Quantcast
Channel: Baca Biar Beken
Viewing all 469 articles
Browse latest View live

Sisi-Sisi Lain Sebuah Perjalanan

$
0
0


Judul: The Naked Traveler 7 (Naked Traveler #7)
Penulis: Trinity
Tebal: 286 hlm
Cetakan: Pertama, Juli 2016
Penerbit: B-First

30758366

Seri The Naked Traveller selalu layak ditunggu karena menyajikan cerita-cerita perjalanannya yang unik dan berbeda. Trinity tidak hanya memotret keindahan suatu objek wisata semata, tetapi apa yang ada di samping atau di belakang tempat wisata pun turut disorotinya juga. Dengan demikian, pembaca akan mendapatkan pemandangan lengkap dari sebuah tempat wisata yang terkenal. Inilah jenis tulisan perjalanan yang tidak hanya memuaskan mata pembaca, tetapi juga memperkaya hati. Segala pengalaman unik Trinity dalam setiap perjalanannya mengingatkan kita kembali bahwa selalu ada hitam dan putih dari setiap objek wisata. Bersama Trinity, perjalanan wisata tidak semata sekadar ajang berfoto narsis di tempat-tempat eksotis dan hits, tetapi juga sebagai sarana untuk lebih mengenal manusia dengan berbagai warnanya.
Seperti di buku ketujuhnya ini, Trinity banyak mengupas tentang sisi lain dari sebuah perjalanan wisata. Tidak melulu senang, kita diajak turut merasakan kehilangan yang dialami Trinity saat ibunda tercinta wafat sementara dirinya masih berada di pulau terpencil di Filipina. Sebuah perjalanan wisata yang semestinya menyenangkan bisa tiba-tiba berubah begitu merepotkan.  Demikian juga hidup, yang kadang bisa berubah sekejap mata tanpa kita mampu menyetirnya. Kita hanya bisa menjalani (dan sebisa mungkin menikmati) kehidupan, sementara bagaimana perjalanan itu akan berujung adalah urusan Tuhan yang Maha Kuasa. Maka inilah salah satu dari tujuan melakukan perjalanan, untuk mengingatkan manusia tentang betapa kecilnya kita di hadapan luasnya alam ciptaanNya, juga di hadapan kekuasaan takdir-Nya. Mungkin ini sebab mengapa banyak orang bijak di zaman dulu yang gemar melakukan perjalanan jauh.

Kembali di Naked Traveller 7, buku ini secara fisik lebih tebal meskipun variasi tempat yang dikunjungi Trinity tidak banyak sekali. Seingat saya cuma Filipina, Kanada, Tanzania dan negara-negara sekitar, Seycelles, India, Fiji, dan Australia. Plus, beberapa tempat di Indonesia tentunya. Fontnya lebih kecil, tetapi ini diimbangi dengan halaman-halaman berwarna yang lebih nyaman dipandang. Lebih bikin iri, lebih tepatnya. Terkait cara penulisan, Trinity masih konsen dengan teknik menulisnya yang gesrek-asyik semau gue tetapi selalu bikin kangen. Sesuai dengan judul bukunya yang naked alias apa adanya, Trinity dengan santai dan lepas menuangkan semua yang dia alami dalam perjalanannya mengelilingi dunia. Kemudian, bab-babnya juga pendek-pendek jadinya nggak bosan membacanya. Rupanya, penulis membagi-bagi satu tulisan di satu tempat menjadi beberapa bab pendek yang enak dibaca. Secara umum, membaca buku ini masih sama menyenangkannya dengan membaca seri-seri NT sebelumnya.
Kalau ada yang kurang, mungkin foto-fotonya. Foto-fotonya sangat kurang banyak padahal Trinity dengan berapi-api menggambarkan spot-spotkeren yang dikunjunginya. Terutama di pulau Flores yang ada air panas di tengah hutan hijau itu, saya kepengen banget lihat fotonya. Juga, ada tulisan tentang kota Ende yang sejak dulu masyhur sebagai kota penerbit buku-buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dulu. Namun, kekurangan ini terbayarkan dengan sedikit cerita perjalanan si Yasmin (sahabat kental Trinity) saat menjalankan ibadah Haji di Tanah Suci.  Membaca pengalaman traveling Trinity yang dikisahkan apa adanya itu selalu seru dan mengasyikkan. Buku ini mengingatkan saya bahwa ada dunia luas di luar sana, sekaligus juga menyadarkan bahwa Indonesia tetaplah rumah tempat kembali yang paling indah.

Puisi Puisi Online

$
0
0

Judul: Diet Stalking, Sepilihan Puisi
Penyusun: Anis Sayidah
Penyunting: Tia Setiadi
Sampul: Amalina
Cetakan: Pertama, Januari 2017
Tebal:119 hlm
Penerbit: DIVA Press
ISBN: 978-602-391-377-
0


Paling suka puisi yang ini:

SEJAK KAPAN, YANG DIKETIK
SELURUHNYA DENGAN HURUF-HURUF BESAR
DISANGKA SEDANG MARAH?

CAPSLOCK JADI SENDIRIAN
MENEPI DI SISI KEYBOARD PALING KIRI
DAN RAJIN MEMARAHI DIRINYA SENDIRI
                                                       (Capslock, hlm. 80)


Rendra, Melawan dengan Puisi

$
0
0
Judul: Orang Orang Rangkasbitung
Penyair: Rendra
Cetakan: Pertama, April 2017
Tebal: 76 halaman
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin


No automatic alt text available.



Samar-samar saya pernah  membaca nama W.S. Rendra saat SMA dulu. Baca namanya doang sih belum baca karyanya. Kemudian pas era kuliah ketemu lagi, kali ini saya sempatkan baca karyanya juga. Sosok Rendra dalam ingatan saya adalah sastrawan berambut gondrong yang kalau lagi membacakan puisi-puisinya terasa banget aura gaharnya. Apalagi, puisi-puisi yang dibacakan Rendra biasanya bernada perlawanan. Dengan ekspresi muka yang sedemikian menghayati isi puisi, serta suaranya yang lantang menggelegar, menyaksikan pembacaan puisi oleh penyair ini niscaya akan mampu menghadirkan kenangan tersendiri. 

Betapa Rendra memang seorang seniman yang total dalam berekspresi, tidak hanya dalam kata-kata yang dipilihnya tetapi juga dalam hal bagaimana ia membawakan puisi-puisi perlawanan tersebut. Tidak heran jika Rendra pernah dikenal sebagai pembaca sanjak termahal di dunia. Konon, pada tahun 1990-an, bayaran untuk satu sesi pembacaan puisi untuk Rendra adalah 3 juta rupiah di Bandung dan Semarang, hingga 12 juta rupiah di TIM Jakarta. Itu tahun 1990-an loh, uang jajan saja masih 500 perak dan uang segitu udah bisa dapat soto satu mangkok plus es teh dan gorengan diplastik kasih sambal. Yah, begitulah. Ketika seseorang sudah fokus dan benar-benar mendalami keahliannya, maka uang akan datang menghampiri *malah ceramah motivasi.

Untungnya, saya nggak harus keluar banyak uang untuk bisa mendengarkan beliau bersanjak. Selain karena WS. Rendra sudah wafat pada tahun 2009, puisi-puisinya kini kembali diterbitkan oleh sejumlah penerbit. Salah satunya adalah Orang-Orang Rangkasbitung ini, yang dicetak ekslusif oleh DIVA Press dengan sampul jaket. Seingat saya, baru buku inilah buku terbitan DIVA Press yang diberi sampul jaket sehingga wajar harganya lumayan mahal. Plus kertasnya juga lebih tebal. Sepertinya buku ini memang untuk edisi koleksi. Karena mahal juga, saya terpaksa belum bisa memilikinya, sekadar menumpang alias meminjam baca dari kantor #numpangcurhat #hematbang. Kita cukupkan dulu pembahasan tentang fisik buku, mari kita fokus ke isinya karena kecantikan dalam itu lebih utama ketimbang polesan lipstik simple brown nomor 25.

PERLAWANAN, aroma inilah yang  langsung menyapa pembaca saat membuka lembar-lembar buku ini. Rendra fokus melawan tatanan dunia era ORBA di puisi-puisinya. Ini bisa diketahui pada tahun-tahun ketika puisinya ditulis, yakni antara tahun 1980-an hingga 1990-an. Negera-negara adidaya adalah yang paling banter dikritik Rendra, mulai dari Amerika Serikat hingga Rusia. Pemerintah negeri sendiri pun tak luput dari kritikannya, terutama terkait lajunya program pembangunan era ORBA yang tampak megah dari luar tetapi sejatinya menggusur dan mengusir orang-orang miskin dengan begitu tidak manusiawinya, dan kala itu belum ada aplikasi macam citizen journalism yang bisa melaporkan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah pada rakyatnya. Pada kesempitan rakyat inilah Renda lalu tampil lewat puisi-puisinya:

...
Setiap kemegahan menciptakan kekumuhan
Setiap kejayaan menciptakan gelandangan
begitulah selalu akan terjadi
bila pembangunan berjalan
tanpa keadilan. (hlm 33)


Puisi-puisinya adalah suara dari mereka yang terbungkam dan dibungkam, dari mereka yang tertindas sehingga untuk coba bersuara saja sulit. Tampak jelas Rendra mengkritik pembangunan Orde Baru yang mengorbankan rakyat kecil atas nama kemajuan, seperti pada 'Sajak tahun Baru 1990'. Dalam 'Doa untuk Anak Cucu' juga tercermin kritik Rendra atas pembangunan membabi buta yang tak mengindahkan dampaknya untuk masa depan:

...
Lindungilah anak cucuku
Lindungilah mereka
dari kesabaran
yang menjelma menjadi kelesuan
dari rasa tak berdaya
yang kehilangan cita-cita. (hlm. 6)

Satu hal yang baru saya tahu, inisial W.S ternyata  singkatan dari  Willibrordus Surendra Broto Rendra yang kemudian berubah lagi menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah beliau memeluk Islam. Walau nama berubah, inisial tetap sama (W.S.) dan begitu juga semangat perlawanan beliau.

Jalan Sunyi Seorang Penulis

$
0
0
Nama Muhidin M Dahlan sudah lama dikenal di kalangan perbukuan tanah air. Beberapa bukunya yang khas bersampul hitam dengan tanda tangan unik menyerupai putaran angin juga telah ramai diperbincangkan di kalangan buku indie. Beberapa kali saya berusaha mencoba membaca karya-karyanya, tetapi hanya karya nonfiksi beliau saja yang sanggup saya selesaikan. Mencoba membaca karya fiksi penulis ini awalnya memunculkan rasa ragu dalam diri saya, takut kalau saya akhirnya ikut terseret dalam ranah yang begitu idealis itu sehingga jadi malas untuk berkarya di luar jalur non indie. Selama ini, seperti ada pandangan berbeda antara penerbit indie dan mayor, di mana satu sama lain seolah saling menyinyiri secara diam-diam. Baik kubu indie yang menuduh kubu mayor sebagai penerbit kapitalis yang sudah melupakan idealismenya, maupun kubu mayor yang menuduh indie tidak tahu pasar dan sengaja memiskinkan diri di jalurnya yang sepi. Tetapi, menjadi pembaca berarti berani membaca buku apa saja. Dan untuk event #BBIHUT6 Marathon ini, sedikit nukilan buku yang mengejutkan ini saya sertakan untuk turut meramaikan. Saya yang kerja di dunia buku Jogja aja kaget baca novel bagus ini. Lewat ulasan ini, saya sekaligus ingin mengungkap sedikit sisi gelap penerbitan dunia buku, khususnya di Jogja.

Pada dasarnya tulisan itu tak ada yang orisinal, mengutip Barthes. (hlm. 131)


Muhidin M Dahlan yang sangat idealis ini memang teguh untuk tetap berjalan di jalur indie. Sejak dari saya pertama mendengar tentang radio buku tahun 2010, buku-bukunya konsisten terbit di jalur ini. Buku ini sendiri diterbitkan secara indie di bawah label dengan nama yang sekaligus menjadi kalimat favorit penulis: Scripta Manent (dari ungkapan latin Scripta manent verba volant--yang tertulis tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.) Novel yang tidak seberapa tebal tetapi setelah dibaca ternyata tebal ini ibarat rekaman awal dari kehidupan seorang penulis. Saya kurang tahu apakah tokoh aku di novel ini adalah gambaran dari Muhidin M Dahlan atau bukan, tetapi jika melihat kentalnya aroma perbukuan Jogja tahun 2000-an awal yang menjadi setting buku ini, bisa jadi penulis banyak terinspirasi dari kehidupannya sendiri dalam menyelesaikan novel ini. Ini yang bikin buku ini menarik karena ada keping-keping fakta di mana pembaca bisa sedikit mengintip sejarah, terutama sejarah dunia penerbitan buku di kota Jogja. Sebagaimana sejarah umumnya yang ada gelap dan terang, buku ini secara tak langsung turut memeparkan kepada pembaca sejarah gelap dunia penerbitan.

Di Yogyakarta, umumnya penerbit jago membuat judul walaupun isinya kerap tidak sejalan dengan judul yang nampang di sampul. Tapi, ini Yogyakarta. (hlm. 191)

Kisah berawal dari masa kecil si Aku yang dibesarkan di sebuah dusun kecil di pelosok desa pantai di Indonesia Timur. Dusun kecil itu dihuni oleh warga nelayan, dan karena itu buku menjadi barang mewah bagi mereka. Si Aku yang awalnya tak suka buku, perlahan mulai membaca-baca aneka buku sampai akhirnya dia menemukan passion sejati hidupnya: dunia buku. Karena dorongan buku juga, si Aku memberanikan diri kuliah ke Jogjakarta, kota bukunya Indonesia. Si Aku begitu kagum dengan Jogja, yang memiliki pasar khusus yang isinya para pelapak buku (Shopping Center) serta banyak toko buku yang hampir ada di tiap jalan besar. Impiannya seperti menemukan kenyataan dengan begitu mudah dan murahnya buku diperjualbelikan. Penulis juga sempat kaget menjumpai bahwa di Jogja ada toko buku yang harga bukunya didiskon. Baginya, alangkah ajaib bahwa buku juga bisa dikorting, sebagaimana beras, minyak goreng, dan berbagai kebutuhan hidup lain. Jogja kemudian menjadi kota tempatnya menemukan dirinya yang asli. Si Aku memutuskan untuk menetap dan mencintai kota buku ini.

Penasaran menandai adanya harapan. (hlm. 177)

Sayangnya, setiap hal memiliki sisi terang dan gelapnya. Begitu juga dunia buku dan penerbitan. Si Aku yang telah bertekad melabuhkan hati dan jiwa kepada dunia penerbitan ternyata menjumpai dunia tulis menulis tidak seidealis yang dulu ia bayangkan. Dimulai sejak si Aku aktif dalam majalah kampus di IKIP Jogja, si Aku mulai menemukan betapa dunia intelektual seperti media massa ternyata juga dihuni oleh orang-orang nakal. Ia lalu mencoba memakluminya, menganggapnya semata warna-warni dunia penerbitan. Kemudian, selepas majalah kampus, penulis mulai aktif mengirimkan artikel opini dan ulasan buku ke media massa. Sungguh, perjuangan si Aku di buku ini sangat mengingatkan saya pada kehidupan teman-teman saya sesama peresensi yang masih kuliah, ketika hari Minggu menjadi hari yang sangat ditunggu-tunggu untuk melihat adakah nama kita terpampang di rubrik resensi koran itu. Dan begitu ada satu nama muncul, sontak seluruh komunitas bakal dicolek untuk merayakan gegap gempitanya. Suatu ketika, ulasan salah satu teman kami dimuat di Kompas, maka langsung diadakan pelatihan meresensi di rumah si empunya, tentunya dengan makanan dan minuman yang dibeli dari fee dari koran

Bersabarlah. Jangan pernah menyerah dan putus asa. Di mana-mana hidup harus dihadapi dengan cara sabar dengan cara tidak putus asa. Siapa saja. Termasuk Anda sebagai seorang penulis. (hlm. 139)

Lanjut balik ke bukunya, setelah melewati bab tentang perayaan menulis di media massa, buku ini tiba di sisi gelap dunia penerbitan. Yogyakarta selepas reformasi ibarat ladang yang sangat subur untuk dunia penerbitan. Saya merasakan sendiri, dulu ada banyak sekali penerbit baru bermunculan dengan alamat gang. Kadang, kantornya sendiri nggak ada selain satu kamar kos yang juga merupakan kamar pribadi pemiliknya. Nah, dunia penerbitan alternatif Jogja tahun 2000-an inilah yang juga disorot di buku ini. Idealisme awalnya, anak-anak muda Jogja yang kreatif bahu membahu mendirikan penerbitan laternatif untuk mendobrak dominasi penerbit-penerbit Jakarta. Tidak hanya dalam nama, penerbit-penerbit ini juga berani menerbitkan jenis-jenis buku tipe wacana, perlawanan, idealis, bahkan kekirian sebagai semacam ejekan buat penerbit-penerbit di Jakarta yang hanya manut sama pasar. Sebuah impian yang luar biasa, sungguh. Tetapi, sayangnya, godaan itu selalu ada. Banyak dari penerbit-penerbit berprospek bagus itu yang rontok satu per satu. Bukan karena buku-bukunya tidak laku (buku-buku mereka malah jadi buku langka dan banyak dicari) tetapi lebih karena pengelolaan yang tidak profesional.

Menulis adalah tradisi abadi yang ada dalam diri seseorang. Tinggal apa ia sering dipakai atau tidak. Dan ia akan hilang sendiri kalau ia sering taj dipakai. (hlm 223)

Saya merasakan sendiri sebelum bekerja di penerbit saya sekarang, dua kali saya terpaksa mundur dari jajaran redaksi karena persoalan remeh: gaji. Bukan karena gajinya tidak banyak, tetapi karena gaji yang selalu telat dibayarkan. Ada pernah sebulan saya hanya digaji Rp500.000 padahal dalam surat kontak gaji awal saja Rp1.200.000. Apalagi menerjemahkan, bayangkan saya pernah hanya dibayar Rp2.500/lembar untuk nerjemahin buku sejarah berat yang tebal itu. Eeh ini maaf saya jadi curhat. Pernah saya membaca celetuk teman yang suka mangkel kalau baca buku terbitan penerbit Jogja. Maka, dengan membaca buku ini mungkin akan sedikit terjawab mengapa demikian. Ketika kerja keras penulis, penerjemah, dan editor hanya dihargai sedikit sekali maka saat itu lah kualitas naskah menjadi nomor sekian belas. Sungguh sangat disayangkan. Saat-saat inilah saya lalu melarikan diri ke timbunan.

Bacalah novel, niscaya kamu akan melupakan sedikit galau di hatimu. (hlm 228)

Apa yang disampaikan penulis di penghujung buku ini ternyata mirip dengan yang menimpa saya dan teman-teman saya di dunia pebukuan Jogja pada medio tahun 2000-an. Sebagaimana si Aku yang begitu bersemangatnya memajukan dunia buku, tetapi seolah segala upaya dan semangat itu langsung layu karena segelintir pemilik penerbitan yang jatuh dalam *maaf* pesona uang. Alih-alih membayarkan gaji karyawan sesuai perjanjian, banyak yang menghambur-hamburkan uang itu untuk foya-foya. Inilah yang menurut saya menjadi simpulan penulis di buku ini. Tapi, lepas dari kisah negatif itu, buku ini membuat banyak sekali tips dan trik bagi para calon penulis atau untuk kamu-kamu yang ingin terjun serta aktif di dunia perbukuan. Mulai dari tips menulis ulasan buku yang berpotensi dimuat di koran, cara mengajukan naskah, seluk-beluk dunia penerbitan dari sisi orang dalam, hingga tahap-tahapan pencetakan buku itu sendiri. Dengan mengetahui hitam dan putih dunia buku, semoga ini makin menambah kecintaan kita pada buku dengan semangat yang makin membara untuk terus mencoba memperbaikinya.

Jadi, inilah empat jalan untuk menjadi penulis menurut buku ini. Bahwa untuk menjadi penulis yang sejati, kau harus bersiap menjalani jalan sunyi itu:  (1) tetap membaca, (2) tetap menulis, (3) terus bekerja, dan (4) bersiap hidup miskin.


Judul: Jalan Sunyi Seorang Penulis
Pengarang: Muhidin M. Dahlan
Cetakan: 1, Maret 2005
Tebal: 325 hlm
Penerbit: Scripta Manent

 
3659771





Historical Romance yang Tak Pernah Selesai Terbaca

$
0
0


Sebagai seorang yang mengaku pembaca buku segala, saya bohong. Sebagai seorang yang timbunannya lebih tinggi daripada tinggi badan, ada satu genre buku yang dari dulu coba saya gerayangi, tetapi entah kenapa saya selalu menyerah di halaman-halaman awal. Kayaknya  membaca karya-karya Borges yang realis-mumet itu lebih bisa saya tahan ketimbang membaca genre ini.  Tologlah saya, belum pernah sekalipun saya berhasil menamatkan satu buku dari genre ini. Genre yang sampulnya khas itu, kalau bukan gambar rumah manor dengan kebun indah di depannya, ya gambar lady-lady dengan gaun anggunnya. Yah, sudah bisa menebak genre apa kan? Yup, inilah histerical romance eh maaf maksudnya historical romance.



 h kenapa saya selalu menyerah di halaman-halaman awal. Sumpahi pelosok Jawa. Jodh hnya masing-mDi timbunan saya yang tak seberapa itu, ada dua atau tiga buku dari genre ini. Salah satunya (sampulnya saya foto di postingan ini) bahkan sengaja saya taruh di kantor karena sudah tidak ada tempat lagi di kamarsaya bertekad menyelesaikan membacanya sampai selesai. Seingat saya, buku ini saya beli pertengahan tahun 2016 dan sejauh ini saya berhasil sampai ke halaman empat (yaay). Padahal, ini sudah hampir pertengahan 2017 ya, saya kemana saja sih selama ini? Membaca blurb-nya yang rada menjurus, saya sebenarnya berpotensi membaca buku ini sampai selesai. Tetapi, kenapa ya, saya juga tidak tahu persis kok sudah delapan purnama berlalu tetapi bacanya masih aja di halaman empat.

Kadar romance yang terlalu pekat, karakter cewek yang terlalu menye-menye, hingga karakter cowoknya yang terlampau sempurna mungkin hal-hal yang bikin saya kurang betah membaca genre ini. Eh tapi tidak ding. Setahu saya, ada novel fantasi yang romance abis dengan karakter cewek manja dan cowok-sempurna-apa-kabarnya tetapi saya bisa membacanya sampai selesai. Jadi, mungkin tiga hal itu alasannya. Apakah karena setting sejarahnya? Bukan deh, hampir seperempat dari timbunan saya yang apa kabarnya itu isinya buku-buku sejarah semua. Lalu apa ya? Apakah kerana otak cowok saya belum bisa berdamai dengan frekuensi novel jenis ini? Entah. Apa karena saya mahkluk visual jadi lebih milih versi movie ketimbang versi cetaknya? Tobat, Yon ... woy!

Tapi, di tahun 2017 ini, saya akan mencoba sekali lagi untuk menyelesaikan membaca buku Captain of All Pleasures ini. Semoga kuat, semoga tetap fokus baca yang beginian:

Desisan napas pelan keluar dari mulut Derek ketika Nicole menaikinya. Kenikmatannya begitu intens, begitu mengambil kendali. (hlm. 304)


Selamat Ulang Tahun ke-6 untuk Blogger Buku Indonesia

$
0
0


Dulu, ketika saya masih muda, 





sering saya merasa sangat sendirian. Pergi ke sekolah atau kuliah terasa serupa karena jomblo eh singel saya merasa saya berbeda







dengan tubuh yang kecil dan hobi baca buku, saya rupanya bukan jenis cowok yang bisa gampang populer di sekolah






Saya sering sedih sendiri, setelah baca buku bagus tapi nggak bisa heboh tentang buku itu karena sekitar saya jarang yang suka membaca








Semua berubah semenjak saya gabung ke Blogger Buku Indonesia, enam tahun yang lalu. Banyak teman baru yang bisa saja ajak ke negeri fantasi




Bersama teman-teman di BBI, saya tersadarkan kalau membaca itu SEXY


yaaah, walaupun aslinya saya nggak seksi, tapi setidaknya saya merasa sekyeh dengan cara saya sendiri *muntah plasma





Terima kasih BBI, selamat Ulang Tahun yang Keenam. Timbun buku selalu. 



NB: Tidak ada maksud sama sekali menistakan artis Kpop selama pembuatan postingan ini. Ini sekadar mau numpang promo fandom kesayangan. *plak

Sumber gambar:
pinterest.com
img.memesuper.com
Xiumin - Tumblr
Facebook SM Town



GIVEAWAY HUT BBI ke-6

$
0
0
 Meramaikan HUT Blogger Buku Indonesia yang ke-6, blog Baca Biar Beken ikut mengadakan giveaway alias bagi-bagi buku.  Untuk sekaligus semakin mendekatkan pembaca kepada karya-karya sastra tulisan penulis dalam negeri, saya pilihkan satu hadiah istimewa yakni:






Ini adalah salah satu karya legendaris dari satrawan senior kita Seno Gumira Ajidarma. Lebih spesial lagi, di buku ini juga terdapat ilustrasi-ilustrasi futuristis karya sastrawan-seniman Danarto. Ulasan singkatnya bisa teman-teman baca Basabasi.co di rubrik REHAL. Selain itu, masih ada satu buku bonus dari timbunan saya. Judulnya masih rahasia dan nanti menyesuaikan dengan kekhilafan saya yang tumben banget mau bagi-bagi timbunan.  Pokoknya, pemenang beruntung akan mendapatkan total DUA BUKU gratis yang akan saya kirimkan gratis juga ke alamat pemenang.


Cara ikutan:

1. Wajib follow twitter BBI  dan like Facebook BBI di media sosial.

2. Wajib share postingan ini di media sosial (Facebook atau Twitter atau Instagram)

3. Langsung saja tulis di komentar postingan ini

Nama:
Twitter/Facebook: 
Link Share:
Ucapan selamat ulang tahun buat BBI: 

4. Dimohon menjawab satu kali saja ya. Saya akan mengundi satu pemenang beruntung dengan bantuan Om Random.org untuk memilih pemenangnya.

5. Peserta tinggal di wilayah NKRI atau memiliki alamat pengiriman di wilayah Republik Indonesia.

6. Giveaway ini ditutup tanggal 23 April 2017 dan pengumuman pemenangnya insya Allah hari Seninnya.

7. Jangan lupa ikutan giveaway-giveaway keren lain yang digelar serentak oleh teman-teman dari BBI di sini.


Terima kasih sudah dikutan. Semoga kamu yang beruntung.




Review and Giveaway 'Seribu Tahun Mencintaimu"

$
0
0
Judul: Seribu Tahun Mencintaimu
Penulis: Sanie B. Kuncoro, Pringadi Abdi, Faisal Syahreza, Naminist, Novanka Raja, Dodi Prananda, Alvian Hanandi, Andhika Rahmadian Purnama, Nikotopia
Penyunting: Nikotopia
Pemindai Aksara: Jenny M. Indarto
Penggambar Sampul: Imam Bucah
Tebal: 253 halaman
ISBN: 978-602-6799-23-4
Penerbit: Exchange



"Cinta hadir untuk dirasakan. Cinta seperti benih, harus disiram dan dijaga, dengan hati yang baik dan rasa percaya. Cinta akan membebaskanmu untuk menjadi sejatinya dirimu." (Hlm. 52)


Cerita tentang memang tak ada habisnya. Kita juga telah banyak membaca dan mendengar ragam kisah cinta yang entah untuk keberapakalinya dituliskan dan dikisahkan ulang. Tetapi, buku ini membawakan cinta dengan rasa lain. Esensinya tetap cinta, tetapi para pelaku cintanya yang  berbeda. Bayangkan seekor tikus yang mencintai kucing pemangsanya, atau seekor belalang yang jatuh cinta pada bocah baik yang dilihatnya di lapangan bola, atau yang lebih absurd lagi, cinta jalan kepada wanita yang menapakinya. Tidak ada yang gila ketika berkenaan dengan cinta. Dan, karena orang bilang cinta itu universal, maka sah-sah saja ketika ikan mas koki jatuh cinta pada pemilik toko ikan yang menjualnya. Seperti yang dikisahkan dalam buku ini, akan kita temukan 13 kisah tentang cinta dengan beragam warnanya.

1. Seribu Tahun Mencintaimu
Ini adalah cerita paling panjang sekaligus paling saya sukai di buku ini. Ada sedikit elemen fantasi di dalamnya, genre cerita favorit saya. Ceritanya, ada tikus yang jatuh cinta pada seekor kucing. padahal, kucing itu dulu telah memangsa ayahnya. Bagaimana ceritanya seekor tikus bisa cinta sama kucing padahal kucing aja nggak cinta sama saia *skipp? Yang jelas, inilah bentuk cinta paling luar biasa. Orang bijak bilang, ketika kamu bahkan sudah mencintai musuhmu, maka saat itulah cintamu sudah mencapai kesempurnaan yang paripurna. Dan kisah pertama ini, indah dengan caranya sendiri.

2. 3 Warna
Ini adalah cerita kedua favorit saya. Secara teknik bercerita, kisah karya mbak Sanie ini juwara. Teknik penceritaan adalah yang paling matang menurut saya dibandingkan kisah-kisah yang lain. Dari awal, mbak Sanie membuat pembaca bertanya-tanya ini kisahnya siapa dan cinta siapa yang tengah diceritakan sebelum ending yang menghangatkan hati akan menyambut kita di endingnya.

3. Hitam Putih Merpati
Kadang, cinta yang besar pun tidak terlampau besar untuk bisa mematahkan penghalang yang ada. terlebih, ketika penghalang itu telah mengakar kuat dalam budaya kita. Inilah kisah kasih tak sampai si merpati hitam pada si merpati putih. 

4.  Mas Kawin dan Mas Koki
Ketika ada seekor mas koki cemburu pada mas-mas yang hendak melamar gadis penjaga toko ikan mas, ceritanya bakal lucu-lucu unyu gimana gitu. Saya suka dengan keteguhan ikan mas yang dari awal sampai akhir sebel sama si mamas. 

5. Pulang
Kisah ini agak beraroma bilogi, eh ekologi. Tentang seekor lutung Jawa yang seperti menolak ketika hendak dipulangkan ke rumah aslinya di Jawa. Dia yang selama ini lahir dan dibesarkan di kebun binatang di Inggris merasakan bahwa cinta sejatinya ada di Inggris, bukan di pulau tempat leluhurnya berasal. Begitulah, rumah seringkali tidak selalu bermakna tempat kita berasal. Rumah yang sejati adalah tempat ketika kita merasa bahagia dan nyaman kembali kepadanya.

6. Selembar Harapan Malam
Tak pernahkan terpikirkan oleh kita, bahwa benda-benda yang kita dekat dengan mereka setiap hari, mungkin saja menjadi saksi dari segala tindakan kita. Seperti dalam kisah ini, sehelai kerudung yang menangis ketika menyaksikan pemiliknya telah mencampakkan kehormatan dirinya sebagaimana dia mencampakkan kain hijab ini. Cerpen ini sedikit 'berkhotbah' menurut saya--hal yang harusnya sebisa mungkin dihindari dalam menulis sastra karena telah merebut hak pembaca untuk menyimpulkan sendiri pesan moral ceritanya.

7. Filosofi Walangkekek
Balas budi juga merupakan salah satu sumber dari terbitnya mata air cinta. Seperti dikisahkan dengan unik di buku ini, tentang seekor belalang yang selalu menempel pada bocah yang tanpa sengaja menolongnya dulu. Tanpa sadar, pertemuan keduanya menjadikan si belalang teman setia si remaja dalam menghadapi hidupnya yang pahit. Walau keduanya tak bisa saling berkomunikasi, tetapi cinta dan persahabatan kadang hadir tanpa perlu ada kata-kata. 

8. Sayap Sepuluh Purnama
Ini juga termasuk cerpen yang saya sukai di buku ini, terutama terkait setting lokalnya yang unik dan jarang ditulis. Diksinya terasa nyastra banget, saya seperti tengah membaca cerpen koran saat membaca cerpen ke delapan ini.

9. Sepasang Sepatu yang Menemukan Cintanya
Dari semua kisah cinta di buku ini, kisah nomor sembilan ini menurut saya adalah yang paling terasa tidak dipaksakan. Jika di kisah-kisah-kisah lain, pelakunya berbeda secara drastis, maka di kisah ini pelakunya sama-sama sepatu. Nah gimana ketika sepatu sneaker ketemu sama sepatu jinjit cewek? Kisah yang unik adalah jawabannya.

10. Napas Terakhir
Cerpen ini memiliki aroma yang sama dengan cerpen ke-6, rupanya karya penulis yang sama. Tema religi tampaknya jadi pilihan sang penulis, yang memberikan warna sejuk di buku ini. Kisah cinta di sini adalah tentang pengurbanan seekor kambing yang hendak dikurbankan di Hari Raya Idul Adha. Dan, lagi-lagi orang bijak bilang, cinta sejati adalah ketika kita selalu siap berkurban untuk sang tercinta.

11. Boneka Kelinci yang Menanti Keajaiban di Sudut Etalase
Dari semua cerpen di buku ini, kisah kesebelas ini adalah satu-satunya yang memiliki plot-twist yang mengejutkan. Kita serasa sedang membaca cerpen psikologis, keren!

12. Mata Uang
Siapakah cinta sejati orang modern? Cinta atau uang? Ataukah cinta itu hanya uang dalam bentuk lain? Kisah kedua belas ini mengingatkan kita untuk sesekali merenung.

13. Jalan yang Salah mencintaimu tapi Tak Menyesal 
Seorang eh selajur jalan yang jatuh cinta pada seorang gadis pelayan kafe yang jatuh cinta pada pria muda pemilik kafe. Sebuah kisah yang absurd tetapi sangat unik dan dibawakan dengan menarik.

Menulis cerpen  itu sulit terutama karena penulis dituntut untuk bercerita dalam porsi yang pendek. lebih sulit lagi ketika temanya adalah teman unik macam di buku ini: cinta antara pihak-pihak yang tidak saja berbeda secara esensi, tapi juga bertentangan menurut hukum alam. Tetapi, selamat kepada para penulis di buku ini. Kalian semua keren karena telah membuktikan lewat cerita tentang agungnya cinta sehingga menerabas batas-batas yang kokoh dan kadang berbahaya.



Tertarik membaca buku ini juga? Nah, kebetulan nih Penerbit Exchange memberikan total  8 BUKU ini GRATIS dalam event blogtour. Di blog Baca Biar beken bakal ada 2 PEMENANG yang masing-masing akan mendapatkan satu novel ini GRATIS.

1.  Wajib menyukai FP Penerbit EXCHANGE
2.  Follow akun instagram Seribu Tahun Mencintaimu, tapi kalau nggak ada IG nggak usah nggak apa-apa kok
3. Share postingan status ini di media sosial
4. Silakan mengisi di kolom komentar postingan ini:

Nama:
Facebook/Twitter:
Email:
link share:
Satu kisah cinta favoritmu (boleh apa saja):

5. Mohon menjawab satu kali saja ya. Plus memiliki alamat kirim di wilayah NKRI.  
6. Satu pemenang akan saya pilih berdasarkan jawaban, dan satu pemenang lagi akan saya pilih berdasarkan sogokan pilihan acak dengan random dot org
7. Jawaban saya tunggu sampai tanggal 30 April 2017 ya.

Terima kasih sudah ikutan.

Review and Giveaway: Twin Flames (Belahan Jiwa)

$
0
0
Judul: Twin Flames
Penulis: Alexia Chen
Penyunting: Eka Saputra
Pemindai Aksara: Jenny Indarto
Penggambar sampul: Imam Bucah
Penerbit : Javanica
Terbit : Maret 2017
Tebal: 499 hlm.
ISBN: 978-602-6799-22-7



Setelah menunggu lebih dari dua tahun, akhirnya sekuel dari A Girl Who Loves a Ghost akhirnya terbit juga. Agak berbeda dengan buku pertamanya yang didominasi kisah romansa unyu-unyu ala drama Korea yang manis, buku kedua ini berkembang menjadi kisah yang lebih tebal, lebih kelam, dan lebih horor. Kesan romansanya masih ada, tetapi aroma utama buku kedua ini adalah aroma horor yang pekat. Membaca buku ini agak mengingatkan saya pada kisah hantu dalam buku Undakan Menjerit  karya Jonathan Stroud. Kata-kata seperti kuncian hantu, tekanan hantu, penampakan, dan istilah-istilah lain yang bikin bulu kuduk meremang banyak bertebaran. Terutama di bagian akhir, adegan-adegan horor bertaburan sampai saya yang baca siang hari sendirian pun merinding dibuatnya. Kisah besarnya agak melenceng dari yang saya harapkan, meski saya tetap menikmatinya. Unsur kerapian tulisan menjadi poin tambahan istimewa untuk buku ini. 

"Ada dua hal yang membuat arwah tidak bisa beristirahat dengan tenang. Yang pertama ... masih ada kepentingannya yang belum diselesaikan di dunia. Dan yang kedua ... karena rohnya dikutuk."(hlm. 168)

Dalam buku pertama (silakan baca dulu ulasannya) Leeta berhasil mengikhlaskan kepergian Yuto ke alam arwah. Meskipun demikian, selama 3 bulan pertama, Leeta rupanya masih belum bisa benar-benar merelakan kekasih hantunya itu. Hari-harinya terasa kosong dan tak bermakna, penuh kegalauan serta kepedihan, dan ini mengisi hampir lima puluh halaman pertama novel tebal ini. Kegalauan Leeta ini yang bikin buku ini sangat lambat di awal, sangat berbeda dengan buku pertamanya yang bisa langsung menarik perhatian pembaca dengan deskripsi unyu ala drakor. Sementara di buku kedua ini, banyak deskripsi dan narasi yang sepertinya berpanjang-panjang. Bahkan butuh 100 halaman lebih sebelum akhirnya pembaca mulai menemukan petunjuk tentang twin flames ini. Untungnya, Alexia Chen menulis dengan begitu rapi, detail, dan deskriptif banget. Tulisannya konsisten sejak dari buku pertama dan dengan di Nedera.

Setiap orang memiliki rahasianya sendiri. Sesuatu yang dianggap lebih baik disimpan untuk diri sendiri daripada dibagikan pada orang lain."(hlm. 190)

Di buku pertama pula, Leeta mengetahui bahwa leluhurnya adalah seorang penyihir. Inilah yang kemudian turut menjadi penggerak buku kedua ini. Selain mengetahui bahwa adiknya, Chloe, juga sama-sama bisa melihat hantu seperti dirinya, Leeta akhirnya mengetahui sebuah rahasia turun-temurun dari keluarga mereka. Sebuah kutukan mengerikan membanyangi generasi demi generasi keluarga ini. Kutukan itu pula yang ternyata membuat Yuto tidak bisa tenang di alamnya. Ya, hantu Yuto kembali ke dunia dan membayangi Leeta. Yuto bahkan merasuki saudara kembarnya, Hiro, yang sedang berusaha mendekati Leeta. Belum selesai dengan masalah ini, Leeta harus menghadapi masalah lain karena ada sosok-sosok hantu lain yang juga mengikutinya. Kali ini, penampakan tersebut tidak hanya membuatnya bergidik, tetapi bahkan hampir mencelakakannya. 

"Twin flames itu terlahir pada kakak-beradik dalam satu silsilah keluarga. Mereka akan melemah jika terpisah, dan menjadi kuat di saat bersatu. Api kembar pembawa harapan."(hlm. 383)

Untungnya, kali ini Leeta tidak sendirian. Bersama Chloe yang juga bisa melihat hantu, Leeta diperkenalkan dengan tante Anna yang ternyata juga sama-sama menanggung kutukan keluarga tersebut. Dikatakan bahwa kutukan itu akan berakhir pada generasi ketujuh oleh kekuatan si api kembar. Tetapi, untuk mematahkan kutukan tersebut,  mereka harus kembali ke asal muasal kutukan sekaligus tempat dari keluarga besar mereka berasal: Tiongkok. Porsi cerita saat di Tiongkok inilah yang paling menarik di buku ini menurut saya. Setelah terbuai dalam alur yang lambat hingga setengah buku, mulai halaman 300 buku ini mulai menunjukkan keseruannya. Petualangan Leeta, Anna, Chloe, dan Kai--cowok teman dekatnya--ke Tiongkok membawa mereka pada sebuah rumah tua angker yang dihuni sosok-sosok misterius yang tidak hanya luar biasa menyeramkan tetapi juga akan menjawab asal muasal dari kutukan turun menurun di keluarga mereka.

"Ketakutan adalah penghalang terbesar untuk mencapai tujuan. Saat ini yang harus kau pegang teguh adalah harapan, dan keyakinan bahwa tidak ada yang tidak bisa kami hadapi jika kami percaya. Harapan itulah yang menuntunku, membuatku kuat." (hlm. 260)




Penasaran dengan buku romance-fantasy-horor ini kan pastinya? Nah, Penerbit Javanica kembali berbaik hati membagikan total 8 novel 'Twin Flames' untuk 8 calon pembaca beruntung. Blog Baca Biar Beken kebagian membagikan dua buku di antaranya.

1. Peserta memiliki alamat kirim di wilayah negara Republik Indonesia.

2.  Wajib menyukai fanpage Penerbit Javanica di facebook.

3. Wajib share/membagikan postingan give away ini di Twitter atau Facebook.

4.  Silakan jawab pertanyaan berikut ini di kolom komentar. Cukup sekali saja ya:

"Kecuali bertemu hantu, pengalaman paling seram tapi receh apa yang pernah kamu alami?"

5. Format jawaban:

Nama:
Twitter/Facebook:
Link share:
Jawaban:


6. Kuis ini berlangsung selama satu pekan sampai tanggal 7 Mei 2017. Saya akan memilih dua pemenang yang masing-masing akan mendapatkan satu novel Twin Flames yang tebal ini. 

7. Satu pemenang akan saya pilih dari satu jawaban yang paling unik, satunya lagi akan saya undi. Pengumuman pemenang insya Allah Selasa (9/5).

Terima kasih sudah ikutan.


Khotbah di Atas Bukit

$
0
0
Judul: Khotbah di Atas Bukit
Pengarang: Kuntowijoyo
Sampul: Faizal
Cetakan: Pertama, Mei 2017
Tebal: 223 hlm
Penerbit: DIVA Press





Dalam perjalanan hidupnya, manusia selalu merindukan waktu-waktu untuk merenungkan kembali apa makna dari hidup yang tengah dijalaninya. Orang-orang zaman dulu biasa melakukannya dengan menyepi ke tengah hutan, atau bersemadi di tengah-tengah alam liar. Orang-orang modern zaman sekarng mungkin menggantinya dengan menyewa vila di Puncak setiap akhir pekan. Keasrian dan keheningan alam memang terbukti manjur mengusir segala penat akibat beban keseharian. Sampai suatu titik, perjalanan hidup seseorang  mungkin akan sampai pada titik yang membosan bagi si empunya. Tidak peduli seberapa sukses perjalanan kariernya, banyak orang yang merindukan bisa kembali kepada keheningan asali, kepada muasalnya yang tercipta sebagai mahkluk yang tak ada apa-apanya. Karena tanpa memiliki apa-apa saat kita lahir, maka tanpa membawa apa-apa pula saat kita pamit dari dunia ini kecuali amal kebajikan.

“Pikiran kita jauh lebih berat dari ransel.” (hlm. 61)

Kegelisahan inilah yang dialami Barman. Pensiunan sukses ini memiliki karier gemilang di masa lalunya. Berbagai negara di dunia juga telah dijelajahi. Pun, Barman jua dianugrahi keluarga yang lumayan harmonis. Putra satu-satunya tumbuh menjadi penerus bisnis yang dapat diandalkan, serta memberikan cucu-cucu yang teramat menawan. Tetapi, manusia memang selalu kurang. Ditengah segala kelengkapan yang didapatkannya, Barman merasakan ada sesuatu yang kurang. Ada lubang kosong dalam perjalanan kehidupannya yang entah apa. Jika menyimak deskripsi sang tokoh di buku ini, Barman muda sepertinya adalah orang yang gemar bertualang. Tujuan hidupnya semata dunia sehingga aspek spiritual sepertinya tidak turut menyentuhnya di masa mudanya. Kegelisahan ini yang kemudian dibaca sang putra, yang kemudian menghadiahkan kepada ayahnya sebuah tamasya di sebuah bukit yang indah.

“Bung, kesenangan itu tak bertambah atau berkurang. Kebahagiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di luar diri kita.” (hlm. 63)
Untuk menemani Barman menikmati keindahan alam perbukitan, sang putra juga telah “menyewa’ seorang gadis muda bernama Popi. Wanita cantik ini setuju untuk menemani dan melayani si tua Barman dengan alasan-alasannya sendiri. Maka lengkap sudah kebahagiaan Barman: pemandangan alam yang indah ditambah pemandangan tubuh wanita yang molek. Benarkah demikian? Ternyata tidak. Bahkan ketika di villa dan bersama Popi, Barman masih mendapati dirinya belum menemukan apa yang dicarinya. Masih terasa ada belenggu yang mengikatnya dalam kehidupan. Sampai akhirnya dia bertemu dengan sesosok asing bernama Humam yang anehnya sangat mirip dengan dirinya. Lewat sosok  Humam inilah Barman serasa menemukan apa yang selama ini dicarinya: kebijakan kehidupan.

“Tinggalkan segala milikmu. Apa saja yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikmu.” (hlm. 71)

Humam dan petuah yang diturunkannya kepada Barman sedikit mengingatkan saya pada sosok Sidharta Gautama. Kepada Barman, Humam mengajarkan bagaimana melepaskan diri dari segala bentuk kepemilikan karena semua di dunia ini sejatinya bukan milik kita. Barman juga mendapatkan banyak pelajaran tentang menikmati waktu, seirama dengan alam, juga menghargai semua ciptaan. Ketika kita menikmati waktu, maka tak ada lagi yang namanya menunggu terlalu lama. Dan dengan menghargai setiap ciptaan, bahkan dalam kondisi kekurangan pun akan kita temukan keberlimpahan. Hidup itu seperti alir yang mengalir, yang airnya mengalir ke suatu tempat, sebelum akhirnya beralih rupa menjadi wujud lain sesuai takdir yang telah digariskan. Ketika kita selalu mengkhawatirkan miliki kita, maka kita akan sulit menikmati hidup yang sejati.

“Lupakan semuanya, bahkan dirimu. Yang ada ialah pohon-pohon, rumput-rumput. Engkau makhluk yang paling berbahagia. Waktu ialah untuk dinikmati. Ruang ialah tempat kita bergerak. Gerak adalah hidup kita.” (hlm. 61)

Bagi penikmat karya-karya Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit dipandang sebagai semacam otobiografi Kuntowijoyo yang disamarkan dalam bentuk novel. Saya yang baru membaca dua buku beliau tentunya masih belum berani membenarkan atau menolak gagasan ini. Tetapi, jika ada sesuatu dalam buku ini yang mencerminkan kehidupan sang penulis, maka itu adalah settingnya. Panorama vila-vila di bukit yang dilingkupi kabut serta sebuah pasar di kaki bukit mengingatkan saya pada Kaliurang. Resor wisata di sebelah utara Jogja ini memang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah, udaranya yang sejuk, dengan deretan hutan pinus serta cemara yang selalu menghijau. Ini yang bikin daerah Kaliurang dipenuhi oleh vila-vila mewah yang entah disewakan atau malah dimiliki para orang kaya. 

“Orang-orang yang siang hari hilir mudik dan melepaskan hidup siang hari tanpa mengambil kebijaksanaan. Itu dosa, Nak.” (hlm. 135)

Saya masih belum memahami apa yang terjadi di bangian akhir novel ini. Sepertinya saya harus membacanya lagi untuk bisa menyerap apa yang sejatinya hendak disampaikan oleh penulis lewat novel yang bagus ini. Seperti novel bagus lainnya, Khotbah di Atas Bukit meninggalkan rasa penasaran kepada pembacanya. Rasa penasaran yang menggerakkan pembaca untuk ingin membacanya lagi dan lagi demi menangkap aneka tafsiran yang dilontarkan penulisnya dari kisah Barman ini. Semoga, sebagaimana Humam dan Barman, lewat membaca buku ini kita bisa juga menemukan oase kita masing-masing, tempat kita bisa merenungkan kesejatian dari perjalanan hidup ini, meskipun tanpa harus menyewa sebuah villa mewah di puncak bukit. Tuhan selalu memberi petunjuk kepada mahkluk-mahklukNya lewat berbagai fenomena dan pertanda. Hanya saja, kitanya saja yang sering kali abai dan terus mencari, tanpa sempat sekalipun terpikir kalau jawaban yang kita cari sering kali ada di sekitar kita sendiri.


Pasar, sebuah Novel Sastra Sosiologis

$
0
0
Judul: Pasar
Pengarang: Kuntowijoyo
Sampul: Buldanul Khuri
Cetakan: 1, Februari 2017
Tebal: 378 hlm
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin





Pasar membawa kita kepada alam pedesaan di Jawa tahun 1970-an, ketika segala sesuatunya masih tampak sederhana, ketika dunia tidak lebih lebar dari pasar kecamatan, dan ketika omongan orang menjadi semacam hukum tak tertulis yang dampaknya sangat kuat. Seperti yang digambarkan dengan begitu apik oleh Kuntowijoyo lewat novel Pasar ini. Unsur ‘orang Jawa’ begitu kuat di dalam buku ini, bukan kemudian buku ini untuk mengagung-agungkan orang  Jawa, tetapi sebagai semacam catatan sosiologis tentang perubahan sosial yang dialami orang Jawa pada tahun 1970-an yang dituliskan dalam bentuk sastra. Lewat Pasar, penulis menyimpan sekeping data sosiologis dari sebuah masyarakat kecil di pelosok Jawa dalam bentuk naratif. Bentuk novel seperti ini tentu akan lebih enak dinikmati ketimbang membacanya dalam bentuk laporan.  Kekuatan Kuntowijoyo sebagai dosen antropologi sekaligus sastrawan telah terkukuhkan sepenuhnya lewat Pasar ini. Sastra-sosiologi, mungkin memang inilah istilah yang tepat untuk menyebut PASAR.

"Sebaik-baik perbuatan adalah melihat diri sendiri, mawas diri." (hlm. 10)
Pasar berkisah tentang Pak Mantri Pasar, sosok priyayi yang menjadi panutan di sebuah pasar kecamatan di pelosok desa di Jawa. Pak Mantri dipandang priyayi bukan karena keturunan, tetapi lebih karena kepribadiannya. Semua yang baik-baik dari orang Jawa ada padanya: hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri. Dari mulutnya, sering muncul petuah-petuah khas yang merakyat sekaligus mendalam maknanya. Di sepanjang membaca Pasar, ada begitu banyak kalimat-kalimat Pak Mantri Pasar yang sangat layak kutip, bahkan mulai di halaman pertama pun pembaca sudah bisa menemukannya: “Orang itu bukan garam, maka jangan dianggap sama asinnya.” Berkat kepandaian ilmunya, juga tingginya budi pekertinya, Pak Mantri Pasar dianggap tidak hanya sebagai mantri pasar, tetapi dia adalah panutan. Sosoknya melambangkan kaum priyayi dengan watak istimewa sehingga layak diistimewakan.

"Tidak ada lagi orang Jawa yang lain. Juga camat, juga kepala polisi. Ah, tahunya apa camat-camat sekarang. membuat candrasengkala mesti ke Pak Mantri Pasar. Inilah kelirunya. Zaman dulu pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis."

Kemudian, Kuntowijoyo memperbenturkan nilai-nilai priyayisme orang Jawa ini dengan perkembangan zaman. Pasar yang dulu teratur dibawah emongan Pak Mantri sedikit mulai bertambah ruwet. Orang-orang baru berdatangan. Anak muda masuk membawa pemikirannya sendiri yang sering kali tak mau kompromi. Belum lagi dengan datangnya pemilik modal yang mengubah tatanan ekonomi para warga pasar. Pasar pun mengalami pergolakan sosial akibat adanya perubahan sosial. Bisakah nilai-nilai Jawa—yang terwakili oleh sosok Pak Mantri Pasar—masih sanggup bertahan dalam gempuran nilai-nilai baru yang mulai masuk ke Indonesia pada sekitaran tahun 1970-an? 

"Dendam itu sesaat. Cinta itu kekal."

Benturan sosial inilah yang digambarkan dengan apik dalam novel ini. Empat tokoh utamanya masing-masing mewakili empat kelompok yang mengalami  benturan tersebut. Sosok Pak Mantri mengambarkan kegamangan kelas priyayi dalam menghadapi berubahnya zaman pada era tahun 1970-an. Sementara kaum muda yang mulai melupakan tradisi atas nama efisiensi diwakili oleh Siti Zaitun, juru ketik di bank pasar. Gadis ini juga mewakili kelas birokrat yang hanya suka cari aman, cari cepat, cari asal beres.Sosok Kasan Ngali adalah kelas pemodal yang masuk ke pasar dengan membawa modal besar dengan tujuan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, ada golongan lain yang juga turut terpengaruh oleh perubahan sosial tersebut namun sedikit sekali yang bisa mereka lakukan terkait hal itu. Mereka adalah para warga jelata yang diwakili oleh sosok Paijo yang polos.

"Burung-burung tak bisa bersalah. Mereka memang tak punya otak. Mestinya orang-orang lah yang menggunakan otaknya. Kalau punya beras, ya ditutup." (hlm. 28)

Ketika perubahan sosial besar-besaran melanda dunia, termasuk Jawa-nya Indonesia di tahun 1970-an, apa yang terjadi pada keempat golongan tersebut? Kuntowijoyo secara apik merekam fenomena perubahan sosial ini lewat novel Pasar. Fenomena menarik ini dikisahkan dengan jenaka tetapi tetap kaya akan makna. Istimewanya lagi, Kuntowijoyo menggambarkan setting pedesaan Jawa di tahun 1970-an dengan begitu jelas, kita serasa sedang diajak untuk bernostalgia. Latar dan setting pasar di pedesaan Jawa digambarkan sedemikian detail, pembaca seperti tengah menonton film tahun 70-an dalam bentuk tulisan.

"Orang Jawa harus suka sastra."(hlm. 355)
 
Selain kekuatan utama di setting dan latar, PASAR juga kuat dalam penyampaian nilai-nilai moral yang disampaikan secara tidak menggurui.Sesekali, penulis malah menyampaikan nilai moralnya lewat ungkapan-ungkapan yang ringan dan kadang ceplas-ceplos khas priyayi Jawa, ini yang bikin PASAR enak dibaca sambil santai.Selain enak dibaca ceritanya semata tanpa harus mengeryitkan kening, PASAR juga bisa jadi bahan studi untuk riset tentang kemasyarakatan di Jawa. Jadi, selain layak dikoleksi kalangan akademisi dan peneliti, PASAR juga bisa kok dinikmati para pembaca awam macam kita ini. Setelah membaca novel ini, walau agak senewen dengan sikap sok priyayinya, saya kok malah semakin kagum pada sosok Pak Matri Pasar. Ini novel yang sungguh hebat. Dikisahkan secara sederhana tetapi sesungguhnya begitu kaya akan makna.

Seumpama Matahari, Kisah Cinta Berlatar Perang Aceh

$
0
0
Judul: Seumpama Matahari
Pengarang: Arafat Nur
Penyunting: Yetti A. KA
Tebal: 142 halaman
Cetakan: 1, Mei 2017
Penerbit: DIVA Press




Seumpama Matahari adalah novel kelima karya Arafat Nur yang khas dengan setting Acehnya. Buku ini sendiri--mengutip penulisnya--ditulis berdasarkan catatan gerilya Thayeb Loh Angen, kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hampir saja kisah ini hendak dimusnahkan oleh pelakunya sendiri, tetapi penulis berhasil menyelamatkannya dan kemudian mengabadikannya ke dalam bentuk novel. Untunglah, karena kalau tidak, kita pasti akan kehilangan satu cerita langka sekaligus unik tentang cinta yang berlatarkan era perang di Aceh. Pengerjaannya yang mendahului Lampuki juga semakin menegaskan kalau novel ini bisa jadi menjadi pemantik awal dari proses kreatif Arafat Nur sebelum menelurkan karya-karya sastra lain yang beraroma perang di Aceh pada era GAM. Sebuah karya yang mengajak kita untuk memandang perang dari sudut pandang para pelakunya.

"Kita sama-sama anak bumi, pengatur sekaligus penjaga alam." (hlm. 69)

Novel dibuka dengan adegan pertempuran yang intens. Cara penulis membuka cerita mengingatkan saya pada gaya-gaya penulis luar, yang langsung menghentak perhatian pembaca lewat kata-kata yang sangat kuat deskripsinya: Mati kena tembak adalah salah satu jalan akhir dari banyak jalan akhir lain pada kehidupan ini. Meskipun mati dengan cara begitu sangat tidak menyenangkan, secara tidak langsung, saat ini telah menjadi pilihan yang dengan sadar sedang kami hampiri perlahan-lahan. Gaya yang mendekati puitis tetapi tidak kemayu ini akan sering kita jumpai saat membaca buku ini. Selanjutnya, pembaca akan diajak mengikuti kisah Asrul, seorang pejuang kemerdekaan Aceh yang berperang gerilya melawan TNI di pedalaman Sumatra pada sekitar tahun 2001.

"Adanya  hari ini memang disebabkan masa lalu. Namun, manusia lahir untuk masa depan." (hlm. 111)

Membaca karya sastra mengajarkan kita untuk tidak keburu menghakimi dan tidak ragu berempati. Ini karena sastra memperluas pandangan kita, dengan mengajak kita memandang dari sudut pandang orang lain. Seperti itulah Seumpama Matahari ini. Kita diajak melihat dan mendengarkan pandangan dari salah satu pasukan GAM. Dari sudut pandangnya, pembaca jadi tahu mengapa GAM membenci TNI dan Indonesia. Perlawanan tidak muncul begitu saja, biasanya didahului adanya penindasan atau perlakuan-perlakuan tidak adil. Secara tidak langsung, pembaca diajak bersimpati kepada Asrul. Pemuda itu menjadi seperti itu karena perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan segelintir pasukan TNI pada ayahnya yang tidak bersalah. Dari sinilah dendam itu muncul, yang kemudian mendapatkan penyalurannya lewat GAM.

"Tetapi perang memang begitu. Jika tidak membuat keluarga mereka luka, maka mereka akan membuat luka keluargaku." (hlm. 80)

Tapi, ternyata buku ini tidak melulu tentang perang. Ada kisah cinta juga di dalamnya. Asrul yang tengah melarikan diri dari kejaran aparat ternyata dipertemukan dengan dua orang gadis yang kelak akan mengubah jalan kehidupannya. Tidak ada hal lain yang mereka tawarkan kepada Asrul kecuali cinta nan tulus. Dan perang yang telah merusak wajah alam serta wajah kemanusiaan itu memang sering kali butuh kisah cinta untuk memperlembutnya, syukur-syukur untuk menghentikannya. Seperti yang dialami Asrul, pertemuannya dengan Putri dan Ana telah membawa napas baru dalam hidupnya. Asrul menyadari bahwa hidup tidak melulu tentang perang. Dari keduanya juga Asrul belajar bahwa sejatinya Bumi tetap sama dan satu, tetapi manusia lah yang merusaknya dengan perang hanya karena perbedaan penguasa.

"Satu-satunya kebodohan terbesar manusia adalah membuat alat penghancur; bom, mesin, dan mesin pembunuh. Tugas suci manusia sebagai pelindung dan pemimpin. Bukan saling melenyapkan."(hlm. 69)

Secara garis besar, buku ini kecenderungannya menentang perang antara GAM dan TNI. Tetapi hebatnya, Arafat Nur menyampaikan gagasannya tersebut dengan tidak mengurui. Samar tapi kokoh, penulis menyelipkan ide tentang perdamaian di Aceh lewat cerita cinta yang sederhana tetapi sangat mengena. Untuk buku tipis yang bisa dibaca sekali duduk, kisah ini menawarkan warna lain di balik perang Aceh, sekaligus mengajak pembaca untuk merenungkan kembali apa sejatinya perang itu. Setelah sampai di penghujung buku yang ditutup dengan sama kuatnya, kita akan terdorong untuk bertanya kepada diri sendiri: mengapa kita terus berperang?







Berguru Menulis Puisi Kepada Rindu

$
0
0


Judul: Berguru kepada Rindu
Penyusun: Acep Zamzam Noor
Sampul: Amalina
Cetakan: Pertama, April 2017
Tebal: 88 hlm
Penerbit: DIVA Press



Dalam acara Kampus Fiksi Emas 2017, Joko Pinurbo menyebaut Acep Zamzam Nor sebagai penyair yang karya-karyanya wajib dibaca. Terutama bagi para calon penyair yang ingin memyempurnakan keahlian bermulut manisnya berpuisinya. Memang, guru terbaik para penulis adalah para penulis yang lainnya. Maka begitu pula, guru terbaik penyair adalah penyair-penyair lainnya. Jadi, selain mau  membaca alam dan kejadian di sekitarnya, seorang penyair harus tekun membaca karya-karya penyair lain untuk bisa menghasilkan karya-karya puisi yang tetap bagus dan semakin dahsyat. Menurut Jokpin, puisi-puisi Acep memiliki aroma alam yang kental. Puisi-puisinya memang banyak menggambarkan tentang fenomena alam. Fenomena-fenomena ini ditangkapnya dengan indra, kemudian dipindahkan dalam baris-baris kata yang tak kalah indahnya.

Keteguhan dipunyai gelombang
Dengan tariannya yang lentur
Ketabahan dimiliki karang
Yang tulus menerima setiap debur

Keteguhan dipegang ufuk
Sebagai pembatas ruang dan waktu
Kematangan digenggam matahari
Yang rela tenggelam untuk terbit kembali
(Pelajaran dari Teluk, 2014)

Menggunakan kata-kata yang sederhana, bait-bait pendek, Acep mampu menghasilkan puisi yang mengalun lembut. Pilihan kata-katanya bisa dipahami awam, dan ini masih dilengkapi dengan nada lagu yang tercermin pada rima-rimanya (silakan baca baris 2 dan 4, serta 7 dan 8 pada puisi di atas). Dari semua puisi di buku ini, kebanyakan memang pendek-pendek dan ringkas, dan ini menjadi ciri khas sendiri yang sekaligus memudahkan pembaca puisi tingkat awal seperti saya untuk bisa menikmatinya. 

Cinta adalah buku tebal
Yang tak pernah akan selesai
Aku baca
(Cinta, hlm. 36) 

Selain tentang alam, Jokpin juga menyebut Acep sebagai jagonya pembikin syair-syair cinta. Tetapi, puisi cinta di buku ini sama sekali tidak mendayu-dayu, walau masih menggunakan bahasa cinta semacam rindu dan kenangan, juga senja. Cinta dalam puisi-puisi Acep menurut saya adalah cinta yang universal, seperti pada puisi yang sangat saya sukai ini:

Cinta yang maha besar
Hanya mampu diungkapkan
Lewat puisi pendek
(Cinta, hlm. 37)

Tema cinta memang seperti tak habis digali, baik dalam novel ataupun puisi. Tetapi puisi-puisi cinta di buku ini sama sekali tidak terasa basi. Membacanya, kita diajak terkenang pada masa-masa dulu ketika cinta mungkin pernah menyapa walau masih malu-malu. Saya senyum-senyum sendiri membaca puisi-puisi lembut di buku ini. Lembut mungkin cocok digunakan untuk menyebut puisi-puisi Acep Zamzam Noor.

Andai ruang bisa dilipat
Selipkan aku dalam suratmu
Cinta tidak membutuhkan jarak
Meski rindu selalu mengulur waktu.
(Surat, hlm. 38)

Pada akhirnya, saya mulai sedikit memahami kenapa Jokpin meminta kita untuk belajar berpuisi pada Acep Zamzam Noor. Lewat karya-karyanya ini, penyair mampu menunjukan bahwa puisi cinta tidak melulu harus selalu mendayu-dayu. Juga, bahwa puisi tidak selamanya harus berpanjang-panjang demi memamerkan kekayaan kosa kata. Sebuah puisi yang baik adalah ketika puisi itu setidaknya dapat dinikmati pembacanya, syukur-syukur dapat sedikit-banyak melembutkan jiwanya.

Puisi yang baik seharusnya
Seperti batu akik. Permukaannya halus
Kedalamannya dapat diterawang dan sinarnya
Memancar ke luar. Batu akik yang matang
Tidak banyak menampilkan gambar
Namun memantulkan bayangan
Hati yang menggosoknya.
(Batu Akik, hlm 52)

Puisi-puisi di buku ini memiliki perpaduan keindahan lukisan dengan kemeriahan permainan kata-kata. Pantas saja, selain berpuisi, penyairnya ternyata pelukis yang produktif. Keren ya bisa menggambarkan keindahan ke dalam dua media: kata dan rupa.

Drama Sepasang Sejoli di Caraval

$
0
0
Judul: Caraval
Pengarang: Stephanie Garber
Penerjemah: Jia Effendi
Cetakan: Pertama, Maret 2017
Tebal: 436 hlm
Penerbit: Nourabooks


34673451



Caraval, sebuah parade magis akan berlangsung di sebuah pulau misterius, Isla de los Suenos. Ini bukanlah parade atau sirkus biasa. Caraval adalah hiburan seru sekaligus petualangan yang berbahaya. Dalam Caraval, semua orang bisa ikut bermain, tetapi mereka juga bias terluka. Sebuah perpaduan antara permainan, acting, teka-teki, serta tarik ulur siasat, Caraval akan menjadi pelarian yang sangat tepat untuk melupakan sejenak rutinitas keseharian yang membosankan atau mungkin malah penuh tekanan. Dalam Caraval, peserta akan diajak menelusuri terowongan-terowongan rahasia, kanal-kanal penuh muslihat, hingga penginapan-penginapan yang seperti menyimpan sejuta rahasia. Caraval juga menawarkan beragam sihir yang bisa kau beli dengan rahasiamu, parfum yang bisa mencegah orang melukaimu, gaun yang berubah-ubah sesuai emosi pemakainya, dan masih banyak lagi. Semua ini masih ditambah dengan satu hadiah istimewa yang telah menanti sang juara di akhir permainan.

“Caraval lebih daripada sekadar sebuah permainan atau sebuah pertunjukan. Itu adalah hal terdekat dengan sihir yang bisa kau temukan di dunia ini." (hlm. 18)

 
Scarlet dan Tella, dua bersaudari ini telah bermimpi bisa menonton Caraval sejak keduanya masih kecil. Scarlet yang begitu menyayangi adiknya, Tella, bahkan sudah mengirimkan surat kepada sang pemilik Caraval, yakni Legend nan misterius. Hamper setiap tahun surat dikirim dan sekalipun tak berbalas. Hingga akhirnya kesabaran itu berbuah hasil pada tahun ketujuh: Legend mengundajng keduanya untuk tidak saja manjadi penonton Caraval, tetapi ikut bermain di dalamnya. Sebagai gadis yang beranjak remaja, undangan ini tentu tak dapat ditolak. Scarlet tumbuh jadi remaja yang lurus, penurut, dan cenderung menjauhi petualangan. Tetapi Tella adalah kebalikan dari kakaknya. Gadis ini begitu mendamba petualangan.

“Mimpi-mimpi yang menjadi nyata memang indah, tetapi itu juga bisa menjadi mimpi buruk jika orang-orang tidak bangun." (hlm. 80)

Dalam hati kecilnya, Scarlet sebenarnya juga tertarik ikut Caraval. Tetapi, risiko yang ditanggung terlalu besar. Caraval memang permainan yang menyenangkan, tetapi sihir di dalamnya bisa menyeret peserta yang terlampau asyik bermain dalam pesonanya yang berbahaya. Apalagi, konon dulu ada seorang peserta yang meninggal setelah ikut Caraval. Rasa takut bertarung dengan rasa penasaran, dan berkat Donna yang nekat, rasa penasaran menang. Walau tidak dengan kemauan sendiri, Scarllet, Tella, dan seorang pemuda Bengal temannya, Julian, masuk dan menjadi salah tiga peserta dalam Caraval. Selain penasaran, keinginan ikut Caraval juga didorong oleh sebab lain. Sudah sejak lama, kedua bersaudari itu hidup di bawah tekanan sang ayah yang kejam. Kekejamannya sungguh di luar batas, tetapi entah bagaimana Scarlet tidak bisa melarikan diri dari siksaan itu. Caraval diharapkan menjadi pelariannya sementara.

"Kenapa kau selalu terfokus pada apa yang harus kau berikan daripada pada apa yang akan kau dapatkan? Ada beberapa hal yang layak dikejar apa pun biayanya." (hlm. 200)

Jalannya Caraval ternyata mirip jalannya takdir yang sering kali tak terduga. Scarlet sama sekali tidak menyangka kalau caraval akan banyak mengubah dirinya. Dimulai dari hilangnya sang adik dalam labirin Caraval, Scarlet menyadari kalau Caraval tahun ini berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Undangan khusus yang didapatkannya adalah tanda bahwa permainan ini adalah untuknya dan adik yang sangat disayanginya akan menjadi pertaruhan utama. Mau tak mau, Scarlet harus mengikuti permainan, memecahkan petunjuk, serta menjalani beragam permainan serta pemandangan paling aneh yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Caraval memang indah sekaligus memabukkan. Jika kau terlampau larut di dalamnya, berhati-hatilah karena mungkin saja jiwa atau badanmu akan terluka. Dan Scarlett diwanti-wanti untuk berhati-hati. Untunglah ada sosok Julian yang dalam kisah ini ternyata begitu banyak membantu Scarlett.

"Kalau kau sungguh-sungguh ingin memainkannya dengan benar, kau harus mempelajari sejarahnya." (hlm. 203)

Walau bandel dan sok jantan, Julian ini ternyata dapat diandalkan. Berulang lagi dia menyelamatkan Scarlett yang sangat naïf sekaligus ceroboh. Walau sering bertengkar, keduanyaternyata cocok sekali kalau saling berkerja sama untuk mencari petunjuk serta melewati beragam jebakan yang bertebaran dalam Caraval. Ini yang kemudian mengingatkan saya pada sesuatu. Interaksi suka tapi sering berantem ini sering sekali saya jumpai dalam film atau buku romantic. Dan setelah saya cek goodreads serta membaca selesai buku ini, saya bisa menyimpulkan kalau Caraval ini lebih condong ke kisah romance ketimbang fantasi. Bukan roman-fantasi ala seri The Mortal Instruments-nya Cassandra Clare, tetapi lebih mendekati seri Twillight-nya Meyer. Settingnya yang jadul juga makin mengingatkan saya pada genre hysterical romance eh historical romance yang nganu-nganu itu. Ini belum dramanya. Sumpah deh, Scarlet ini di awal sampai tengah drama banget. Adegan-adegan yang drama (bukan dramatis loh ya) juga bertebaran di sepanjang buku. Gimana ya, lama-lama kok fantasi Caraval-nya hilang dan ketutup sama intensitas drama Scarlet dan Julian.

"Aku percaya kau bisa menjadi orang baik kalau kau menginginkannya." (hlm. 259)

Hal lain yang sebetulnya unik dalam novel ini, tetapi karena menurut saya jadi mengganggu karena begitu sering muncul adalah kalimat-kalimat berbunga yang tak pada tempatnya. Jika sesekali muncul mungkin bisa dimaklumi, tetapi kalimat-kalimat penuh warna-warni macam: “hari yang berwarna hijau”, “udara yang seperti sup”, “gaun yang sehalus mimpi buruk” muncul banyak sekali. Andai saja Scarlet memiliki kemampuan melihat aura suatu benda atau peristiwa, mungkin bisa dimaklumi. Tetapi, novel ini diceritakan dari sudut pandang orang ketiga tunggal, dan dengan meletakkan kalimat-kalimat berbunga begini di tengah-tengah cerita, saya merasa penulis ingin memperindah bahasa tetapi secara tak langsung dia juga memaksakan seleranya kepada cerita. Mungkin, karena saya jarang membaca genre historical romance, gaya penulisan seperti ini biasa digunakan. Tetapi, entahlah, porsinya terlalu banyak dalam Caraval ini sehingga bikin novel ini semakin drama saja.

“Setiap orang memiliki kekuatan untuk mengubah takdir mereka jika mereka cukup berani memperjuangkan hasratnya lebih dari apa pun." (hlm. 156)

Menjelang akhir Caraval (jujur membaca buku ini melelahkan bagi saya yang bukan penggemar bacaan romance drama), saya bisa mulai memahami mengapa karakter Scarlet drama abis di depan. Caraval ibarat sebuah ujian yang akan menempa gadis itu menjadi wanita yang lebih dewasa, lebih berani mengambil keputusan, serta mau berjuang untuk mengapai masa depannya dengan kekuatan serta caranya sendiri. Bahkan Julian pun mengalami perkembangan karakter yang mengingatkan kita pada pentingnya pengorbanan dan kesetiaan, serta cinta. Secara ringkas, novel Caraval ini sepertinya memang lebih menyorot pada perkembangan karakter keduanya, juga perkembangan hubungan antara keduanya. Caraval menjadi setting yang luar biasa unik dalam sebuah kisah cinta sehingga membuat kisah Scarlet dan Julian ini lebih istimewa. Dan Caraval memang benar-benar misterius. Sampai di halaman terakhir, saya masih belum menemukan jawaban atau gambaran yang memuaskan tentang apa Caraval itu sendiri selain lorong-lorong penuh sihir, tipu daya, kepura-puraan yang dibalut oleh unsur drama yang luar biasa kental.

"Tidak seorang pun benar-benar jujur, jawal Nigel. Bahkan kalaupun kita tidak berbohong kepada orang lain, sering kali kita membohongi diri sendiri." (hlm. 160)


A Head Full of Ghost. Kerasukan atau Tidak?

$
0
0
Judul: A Head Full of Ghost
Pengarang: Paul Tremblay
Penerjemah: Reni Indardini
Cetakan: Pertama, Maret 2017
Tebal: 400 halaman
Penerbit: Nourabooks
 
34776973

Kehidupan normal Merry (8 tahun) berubah sejak Marjorie mulai bertingkah aneh. Remaja empat belas tahun itu tiba-tiba saja sering berteriak-teriak nggak jelas di malam hari. Menerocos bahwa ada suara-suara yang saling berteriak tanpa henti di kepalanya. Akibatnya, Marjorie sering sekali melempar barang-barang, mengobrak-abrik kamarnya, bahkan pernah meninju dinding kamarnya sendiri sampai penyok. Keadaan semakin gawat ketika badan gadis itu dipenuhi luka bekas cakarannya sendiri. Rupanya, Marjorie sudah sedemikian tidak tahan dengan suara-suara di kepalanya sampai dia melukai dirinya sendiri. Lebih gawatnya lagi, gadis itu juga mulai mengancam adik kecilnya dengan ucapan-ucapan yang luar biasa mengerikan. Tindakan medis pun segera diambil, kedua orang tuanya mulai rutin membawa Marjorie ke psikolog dan dokter.


Sayangnya, tindakan medis tidak kunjung menunjukkan hasil positif. Gejala aneh yang dialami Marjorie malah semakin parah. Gadis itu bahkan pernah masuk diam-diam ke kamar adiknya hanya untuk memencet hidung sang adik yang sedang tidur. Marjorie bahkan mulai berani mendebat sang ayah dengan sanggahan-sanggahan yang nggak akan pernah keluar dari mulut remaja 14 tahun biasa. Dokter dan kedua orang tuanya pun semain kebingungan ketika Marjorie bahkan mengetahui sejumlah peristiwa tragis yang terjadi puluhan tahun sebelumnya. Ketika dunia kedokteran gagal memberikan jawaban yang memuaskan, sang ayah berpaling kepada solusi supranatural. Diputuskan bahwa Marjorie telah kerasukan roh jahat.

Dari titik inilah, perjalanan hidup Merry dan keluarga Barretts seolah bergerak ke arah yang salah. Ibunda Marjorie bersikukuh bahwa putri sulungnya tidak kerasukan, dia menentang keras Pak Barretts yang terus-menerus mengajak Marjorie ke gereja dan menemui seorang pendeta Katolik. Tetapi ini malah ditanggapi salah oleh suaminya, yang mengira istri dan anak-anaknya kini tak lagi menaati dirinya sebagai kepala keluarga. Satu masalah merembet ke masalah lain. Belum selesai kasus Marjorie, keluarga itu sudah diwarnai dengan percecokan suami-istri tentang segala hal yang sepertinya selalu salah. Dari suaut pandang Merry, pembaca bisa menyaksikan betapa keluarga itu memang tengah berada di ambang perpecahan hingga datang orang-orang dari TV yang tertarik pada kasus Marjorie.

Tuan Barretts memang tengah didera krisis ekonomi. Pria itu dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama puluhan tahun. Tentu saja, tawaran dari kru TV tak dapat ditolaknya. Uang melimpah siap mengalir jika keluarga itu bersedia direkam kesehariannya, terutama hal-hal terkait kerasukan yang dialami Marjorie. Sebuah bantuan yang awalnya ibarat pertolongan dari Tuhan yang selama ini dinantikan oleh keluarga itu. Maka diputuskan, semua hal tentang Marjorie akan direkam untuk kemudian ditayangkan dalam miniseri berjudul The Possesions. Serial itu ternyata sukses dan disukai pembaca, tetapi dampak negatifnya sangat besar bagi Merry dan keluarganya. Marjorie serasa mendapatkan pembenaran akan kerasukannya sehingga tingkahnya makin menjadi-jadi. Dalam satu episode, gadis itu dengan meyakinkan menunjukkan betapa dirinya benar-benar kerasukan sehingga Pak Barretts pun memutuskan akan mengadakan upacara pengusiran roh.

Upacara exorcisme inilah yang menjadi titik puncak semuanya. Ketika akhirnya keluarga Barrets dan seluruh penonton akhirnya mengetahui apakah Marjorie benar-benar kerasukan atau tidak. Dalam cerita yang membuka buku ini, pembaca diajak bertemu dengan Merry setelah 15 tahun peristiwa itu berlalu. Dalam percakapannya bersama Sarah--seorang penulis yang tertarik menuliskan kisahnya--Merry akhirnya membuka kembali kenangan kelam yang dilihatnya di usia delapan tahun. Semua hal misterius yang terjadi setelah ritual pengusiran arwah itu dipaparkannya secara detail. Sebuah rahasia besar yang akan menjungkirbalik semua anggapan penonton The Possessions dan juga pembaca tentang rahasia besar tentang Keluarga Barrets dulu. 

Secara khusus, kisah ini seperti hendak menyorot kehidupan urban ala Amerika yang menjadi gaya hidup kalangan menengah ke bawah di sana. Kasus yang dialami Marjorie hanyalah puncak gunung es dari keseluruhan kasus berbahaya yang tengah mengintai para keluarga Amerika yang mapan. Dari pandangan Merry yang polos, kita bisa mengetahui betapa nilai-nilai kekeluargaan yang semakin usang di era modern ini, juga betapa agama sering kali belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan untuk sejumlah kasus tertentu. Lebih penting dari itu, novel kelam ini mengajarkan kepada pembaca tentang pentingnya menjag keutuhan keluarga, tentang horor yang jauh lebih menakutkan dari roh jahat, juga tentang nilai-nilai pengorbanan dalam keluarga.

Sulit untuk tidak spoiler dalam menulis ulasan buku ini. Jika dikasih tahu di awal, pembaca bisa-bisa bosan dan tidak mau menyelesaikan membacanya. Tetapi, buku ini memang sangat lambat dan bertele-tele penceritaannya. Rasa seram yang ditimbulkan juga tidak sesuai yang saya harapkan. Judul buku ini beserta endors dari Stephen King di halaman sampul sedikit banyak bisa memberi bocoran tentang isi buku ini. Tetapi jika pembaca bersabar membacanya, sebuah kejutan besar telah menanti di belakang. Kejutan ini yang bikin saya bingung memutuskan siapa yang sebenarnya baik dan siapa yang aslinya jahat dalam novel ini. Juga, tentang sosok si A yang ternyata cerdas luar biasa sehingga mau tak mau pembaca bisa sedikit bersimpati kepadanya. Memang ending buku ini nggak seheboh perkiraan saya, tetapi kisah ini memiliki caranya sendiri untuk bergelung dalam ceruk kecil di dalam kepala para pembacanya. 

Jadi, Marjorie kerasukan atau tidak? Silakan baca buku yang direkomendasikan oleh sang master horor, Stephen King, ini.

Dokumentasi Sastra Dunia Terlengkap dalam Bahasa Indonesia

$
0
0

Judul: Cinta Semanis Racun
Penerjemah: Anton Kurnia
Tebal: 632 hlm
Cetakan: 1, Agustus 2016
Penerbit: DIVA Press



Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa ada pada perkembangan sastranya. Bangsa-bangsa yang maju adalah para pembaca sastra yang lahap. Budaya membaca mereka sangat kuat yang pada gilirannya turut mendukung lahirnya para penulis sastra yang berbakat. Fakta bahwa sebagian besar penerima Nobel Sastra berasal dari negara-negara maju di kawasan Eropa dan Amerika Utara (baru-baru ini Tiongkok dan Jepang juga) juga semakin menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara majunya suatu bangsa dengan kemajuan karya sastranya. Mungkin kasusnya agak berbeda untuk di Amerika Selatan, tetapi kebanyakan penerima Nobel Sastra memang didominasi dari warga-negara maju. Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun belum ada sastrawan negeri ini yang mendapatkan kehormatan Nobel sastra, kita patur berbangga karena Pram pernah dinominasikan sebagai calon penerima Nobel sastra, meskipuntidak pernah terpilih juga akhirnya.

Kita memimpikan untuk bisa memiliki penulis atau sastrawan penerima Nobel Sastra dari Indonesia. Mimpi seperti ini sah-sah saja, tetapi perlu kita ingat juga bahwa pencapaian seprestisius itu harus didahului dengan pengembangan dan pertumbuhan budaya membaca di negeri ini. Umumnya, penulis yang baik lahir dari masyarakat pembaca yang baik. Tanpa adanya keinginan yang kuat untuk mau membaca, sulit untuk bisa menjadi seorang penulis besar, apalagi penulis sekaliber para penerima Nobel Sastra. Keinginan membaca yang kuat ini tentunya juga harus didukung pula dengan tersedianya bacaan-bacaan sastra yang berkualitas, termasuk karya-karya sastra gubahan para pengarang kelas dunia. Bagaimana dunia mau mengapresiasi karya-karya sastra dari Indonesia jika bangsa Indonesia sendiri cuek pada sastra dunia. 

Menjadikan masyarakat Indonesia melek pada sastra dunia salah satunya telah dilakukan oleh Anton Kurnia. Selama kurun waktu 15 tahun, Anton Kurnia dengan tekun telah memilih dan memilah, kemudian menerjemahkan puluhan cerita pendek karya para pengarang dunia. Cerita-cerita pendek ini kemudian dikirimkan dan banyak yang dimuat di media massa. Beberapa karya terjemahannya bahkan menjadi langganan untuk diterbitkan di Koran Tempo edisi akhir pekan. Ketekunannya menerjemahkan cerita-cerita pendek dunia didasari oleh keyakinannya akan pentingnya memperkenalkan sastra dunia kepada pembaca Indonesia. Dalam hal ini, upaya besar Anton Kurnia ini menemukan relevansi dengan impian bangsa ini untuk memiliki penulis sekaliber Orhan Pamuk atau Haruki Murakami.

Kendala bahasa merupakan penghalang utama bagi sebagian besar pembaca Indonesia. Berbeda dengan masyarakat pembaca di negeri Jiran yang memiliki budaya berbahasa Inggris cukup tinggi, umumnya masyarakat Indonesia masih belum terbiasa membaca buku berbahasa Inggris. Karena, upaya Anton Kurnia menerjemahkan cerpen-cerpen karya pengarang dunia sungguh sangat patut diapresiasi. Sebuah petuah dari salah satu penulis besar menjadi penyemangatnya dalam menerjemahkan. “Setiap sastrawan memiliki tanggung jawab moral untuk menerjemahkan satu karya sastra dunia ke dalam bahasa ibunya.” Upaya ini tidak lain tidak bukan agar pembaca di negaranya juga bisa turut menikmati dan mengambil pelajaran dari tulisan para maestro sastra dunia. 

Buku yang sekaligus menjadi dokumentasi karya Anton Kurnia ini memuat 99 cerita pendek karya para pengarang dari berbagai penjuru dunia. Bagi para pembaca akut yang tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama-nama klasik seperti Frank Kafka, Oscar Wilde, dan O’Henry; hadirnya buku ini ibarat pemuas rasa rindu membaca karya-karya legendaris tersebut. Sementara bagi para pembaca kontemporer, hadirnya nama-nama seperti Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marques di buku tebal ini tentu akan menghadirkan daya tarik tersendiri. Pun bagi para pembaca pemula yang baru terbuai eloknya dunia sastra, buku ini akan menjadi semacam pengantar yang ramah sekaligus lengkap dalam sebuah tur pembacaan sastra dunia. 

Siapa saja di buku ini? Dimulai dari para sastrawan dari era klasik seperti Anton Chekov, Fyodor Dostoyevsky, Emile Zola, James Joyce, dan Franz Kafka. Kemudian ada para maestro Amerika Latin yang karya-karya beraliran realisme magisnya kembali diminati saat ini, seperti semacam Jorge Luis Borges, Jorge Cortazar, Carlos Fuentes, Isabel Allende, dan Roberto Bolano. Tak ketinggalan juga peraih Nobel Sastra serupa Gabriel Garcia Marquez, Octavio Paz, Nadine Gordimer, Gao Xingjian, dan Mo Yan. Karya penulis-penulis calon peraih Nobel juga turut ditampilkan, mulai dari Horacio Castellanos Moya (pengarang Honduras yang disebut-sebut World Literature Today layak meraih Nobel Sastra), Etgar Keret (penulis Israel yang menarik perhatian dunia), dan tentu saja  Haruki Murakami (novelis laris yang berkali-kali menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra).

Selain begitu beragamnya nama dan karya, hal unik dari buku ini adalah penerjemah menyusun dan membagi isi buku ini sesuai daerah tempat para penulisnya bertempat tinggal. Dengan demikian, meskipun cerpen-cerpen dari Amerika Latih dan Eropa cukup mendominasi, kita masih bisa membaca karya-karya dari kawasan yang jarang diasosiasikan sebagai kawasan yang nyastra, seperti Karibia dan Oseania. Membaca karya-karya dari daerah-daerah baru ini membuktikan betapa lingkungan memang turut menyumbang dalam corak tulisan para penulisnya. Masih ada lagi kawasan Asia Timur, yang akhir-akhir ini rupanya menjadi salah satu perhatian dunia. Penantian Murakami akan Nobel sastra secara tidak langsung membuat pembaca menyorotkan pandangan pada karya-karya lain dari Tiongkok dan Jepang yang ternyata tidak kalah berbobot.

Karena sebuah buku yang bagus, tulis sastrawan Hamsad Rangkuti, dapat memincu munculnya gangguan kreatif pada pembacanya, semoga buku ini pun bisa berbuat demikian kepada para pembaca di Indonesia. Melek sastra dunia diawali dengan tersedianya karya-karya dunia yang bisa terbaca tanpa memaksa pembaca awam pun mengerutkan keningnya. Anton Kurnia dengan luwes menerjemahkan kisah-kisah dunia di buku ini. Kalimat-kalimatnya mudah dipahami, dan masih terasa sekali ada aroma asli dari naskah orisinalnya. Penerjemahan di antaranya adalah perkara pengalaman. Cerpen-cerpen di buku tebal ini membuktikan betapa panjang dan banyaknya jam terbang sang penerjemah dalam menekuni kamus dan tesaurus untuk memunculkan cerita terjemahan yang seelok naskah aslinya. Buku ini adalah sebuah dokumentasi sastra dunia dalam bahasa Indonesia yang tak ternilai harganya. Sekian ulasan rasa esai ini.


foto: FB Penerbit DIVA Press


Blogtour and Giveaway: Man's Defender

$
0
0
Judul: Man’s Defender
Penulis: Maisie Junardy dan Donna Widjajanto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Hetih Rusli
Cover: Eduard Iwan Mangopang
Cetakan: Pertama
Terbitan: Jakarta, 2017
Tebal: 288 Halaman
ISBN: 978-602-03-3983-2






Selama ini, banyak dari kita yang takut dengan perbedaan. Padahal, perbedaan sama sekali bukan sesuatu untuk ditakutkan. Perbedaan di dunia ini adalah sebuah kewajaran adanya. Dalam satu ayatNya, Tuhan juga telah menegaskan bahwa perbedaan adalah suatu fitrah dalam ciptaanNya. Mengapa harus takut pada perbedaan dan keberagaman? Mungkin, kita hanya belum tahu tentang betapa samanya kita dalam perbedaan. Bahwa setiap kita adalah unik dan berbeda, dan itulah persamaan yang menyatukan kita. Mempromosikan tentang pentingnya memahami dan menghargai perbedaan sebagai sebuah keunikan ini juga bisa dilakukan lewat bacaan. Hal indah inilah yang dilakukan Maisie Junardy dan Donna Widjajanto lewat novel ini. Memadukan asyiknya teknologi game virtual dengan kisah khas remaja belasan tahun, kedua penulis ini berhasil menyisipkan jubelan materi tentang indahnya keberagaman lewat kisah yang cukup seru untuk disimak.

"Tidak ada manusia di dunia ini yang sepertimu, dan tidak pernah akan ada lagi. Begitu juga menusia lainnya. Kalian memiliki kesamaan untuk berbeda."(hlm. 109)

Perasaan takut inilah yang awalnya dirasakan Alexander Putra Rosetti. Dilahirkan dari orang tua yang berbeda ras menjadikan dirinya anak ras campuran. Dirinya selalu terlihat berbeda di antara teman-temannya. Ini semakin diperparah dengan orang tuanya yang sering berpindah-pindah tempat tinggal. Dalam usianya yang masih enam belas tahun, Alex sudah pernah tinggal di banyak negara, mulai dari Tiongkok hingga Turki, dari Indonesia hingga India. Hampir setiap tahun, keluarganya berpindah rumah ke negara lain. Sayangnya, pengalaman terus berpindah-pindah inilah yang tidak disukai Alex. Terlalu cepat tinggal di suatu negara membuatnya tidak memiliki teman akrab. Baru saja dia menemukan teman-teman yang cocok, orang tuanya keburu mengajaknya berpindah negara. Maka makin nggak punya temanlah dia. Fisiknya yang berbeda juga sering membuatnya ditolak, seperti pengalaman buruknya selama tinggal di India.

"Kita tidak bisa mengubah orang lain, Alex. Tapi kita bisa mengubah diri kita sendiri." (hlm. 143)



Marco, Ayah Alex sendiri seperti tidak peduli dengan putranya. Pria itu begitu disibukkan dengan pekerjaannya hingga bahkan istrinya sendiri pun tidak tahan dengan pilihannya ini. Apa yang sebenarnya sedang dikerjakan Marco? Dia ternyata sedang merancang
CAASI–Culture Art Application and Simulation Interface, sebuah alat yang ditujukan untuk memperkenalkan keragaman budaya manusia di penjuru dunia. Dan putranya, Alex, akan menjadi subjek ujicoba yang pertama kali menggunakan CAASI ini. Apa sih sebenarnya CAASI ini? Alat ini berbentuk sarung tangan dan dikenakan saat penggunanya sedang tidur. Melalui titik-titik akunpuntur yang ada di ujung jari, CAASI akan membawa penggunanya ke alam mimpi tempat dia bisa bertemu serta berinteraksi bersama avatar pilihannya. Selama tidur, si pengguna akan diajak untuk berkeliling dunia dalam rangka mengenal anekaragam manusia dan kebudayaannya.

"Dunia kita ini sangat kaya budayanya. Banyak sekali harta karun yang bisa kita eksplorasi."(hlm. 182)

Berkat CAASI, Alex bisa melanglang buana mengunjungi berbagai manusia di berbagai belahan dunia, mulai dari suku Aborigin di Australia hingga ikut dalam penyerbuan bangsa Mongol yang pernah menguasai hampir seperempat dunia. Bagian inilah salah satu yang paling menarik dari buku ini. Sebagai pembaca, kita juga turut disuguhi banyak pengetahuan etnologis dan antropologis tentang banyak hal: tentang filosofi onsai di Jepang, tentang suku bangsa di Filipina yang memiliki sinonim terbanyak dari nasi, tentang Papua Nugini dengan dialek bahasa terbanyak di dunia, hingga perlambang dari tarian sufi yang berputar-putar itu. Pokoknya, banyak banget ilmu dan pengetahuan baru yang bakal kamu dapatkan dengan membaca novel ini.

"Dan kau tidak aneh. Berbeda itu tidak aneh." (hlm. 72)

Walau demikian, sebagaimana yang dikeluhkan Alex, CAASI masih cenderung mengajari dengan cara menguliahi atau menggurui. Beberapa pembaca mungkin juga akan merasa kalau novel ini hampir-hampir seperti ensiklopedia dengan banyak data di dalamnya sehingga tugas 'berceritanya' agak terganggu. Tetapi, mengesampingkan itu, buku ini tetap masih bisa dinikmati sebagai bacaan yang mengasyikkan. Kisah Alex juga mengingatkan kita pada bacaan-bacaan remaja ala-ala novel terjemahan. Lebih dari itu, novel ini turut mengemban sebuah tugas mulia yang teramat kita butuhkan saat ini: menghargai perbedaan. Di masa ketika dunia maya begitu riuh dengan ujaran kebencian karena perbedaan, buku ini sedikit banyak akan menyadarkan kita betapa sejatinya kita semua sama karena setiap kita adalah unik dan berbeda. 

“Alex, berbeda itu bukan kesalahan… Keunikanmu berharga… Keunikanmu adalah kelebihanmu…”  (hlm.75)



Tertarik membaca buku ini? Kalau gratis gimana? Kebetulan nih Penerbit Gramedia memberikan satu eksemplar novel Man's Defender gratis untuk satu calon pembaca yang beruntung. Berikut ini cara dapetinnya:

1. Tinggal atau memiliki alamat kirim di wilayah NKRI

2. Wajib like fanpage Man's Defender

3. Silakan share postingan ini, boleh di Facebook atau di Twitter dengan mencantumkan tagar #MansDefender. Boleh mention saya, boleh tidak yang penting kamu yakin #halah.

4. Silakan jawab pertanyaan berikut di komentar postingan ini:

"Keunikanmu adalah kelebihanmu. Nah, share dong di sini keunikan yang kamu miliki dan kamu bangga karenanya?"

5. Mohon jawab sekali saja dengan format sebagai berikut:

Nama:
Twitter/Facebook:
Email:
Link share:

Jawaban:

6. Saya akan memilih satu jawaban paling asyik dan paling unik yang berhak mendapatkan satu buku ini gratis. Buku juga akan dikirim gratis dari penerbitnya langsung ke alamat kalian.

7. Giveaway ini berlangsung selama LIMA HARI saja, bukan seminggu loh, dan akan ditutup pada tanggal 30 Mei 2017. 

Terima kasih sudah ikutan.






Review, Blogtour, and Giveaway 'RAHWANA'

$
0
0
Judul: Rahwana
Penulis: Anand Neelakantan
Penerjemah: Desak Nyoman Pusparini, Chandra Citrawati
Penyunting: Shalahuddin Gh
Penyelaras Bahasa: I Wayan Sariana
Pemindai Aksara: Jenny M Indarto
Penggambar Sampul: Imam Bucah
Penata Letak: desain651@gmail.com
ISBN: 978-602-6799–24-1
Penerbit: Javanica




blurb:
“Akulah Rahwana, sang Asura! Selama ribuan tahun aku difitnah. Kematianku dirayakan di mana-mana dengan sukacita. Kenapa? Karena aku menantang bangsa Dewa demi kebahagiaan putriku, Sinta? Karena aku berjuang membebaskan rakyatku dari aturan kasta yang semena-mena? Engkau telah mendengar kemenangan Rama sang penakluk dalam Ramayana. Sekarang simaklah Rahwanayana, karena aku Rahwana!”

Sejarah selalu menjadi milik sang pemenang. Ia akan mendapatkan semuanya, termasuk menjadi kebenaran. Namanya dilantunkan penuh puja-puji para pujangga, dan selama ribuan tahun setelahnya, sosoknya bahkan berkembang sedemikian rupa sehingga bahkan disembah sebagai perwujudan dewata.
Pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana kisah Ramayana ini ketika dipandang dari sudut pandang Rahwana? Bagaimana jika versi Ramayana yang sekarang adalah versi dari sang pemenang? Bagaimana jika alasan sebenarnya Rahwana menculik Sinta adalah karena wanita itu ternyata adalah putrinya? Bagaimana jika peradaban bangsa Asura yang dihancurkan Rama ternyata jauh lebih maju daripada peradaban Ayodhya? Mengapa selama ini kita tidak memandang Rama dan pasukan wanaranya sebagai agresor yang telah membakar dan meruntuhkan sebuah kebudayaan besar bangsa Asura?

Dalam beragam kisah Ramayana, kita dicekoki dengan kisah kepahlawanan Rama dan Laksmana sebagai dua pangeran yang menyelamatkan Sinta dan mengalahkan si raksasa Rahwana sang penguasa angkara. Tetapi bagaimana dengan pihak yang kalah? Jangan-jangan, si kalah juga tidak sepenuhnya bersalah. Buku ini adalah kisah Ramayana dari sudut pandang Rahwana. Dikisahkan dengan sudut pandang orang pertama, bergantian antara Rahwana dan abdi setianya, Bhadra. Pembaca diajak mengenal lebih dekat pribadi Rahwana, bagaimana pandangannya akan dunia, juga sepak terjangnya dalam menaklukan musuh-musuhnya. Dari sudut pandang ini, kita bisa memaklumi bahkan mengagumi sosoknya sebagai manusia biasa. Saya malah hampir tak percaya kalau kalimat indah ini meluncur dari ucapan Rahwana, sang penguasa Alengka:"Menurutku itu tak sopan. Apakah mempelai wanita hadiah sayembara? Aku bahkan pernah mendengar lelaki bangsa dewa yang menjual istrinya untuk dijadikan budak, menggadaikannya, atau mempergunakannya sebagai taruhan. sungguh menyedihkan, tetapi apa yang bisa diharapkan dari bangsa pengembara yang belum sepenuhnya beradab itu."

Sebagaimana Rama, Rahwana adalah manusia biasa juga. Hanya saja, keduanya berbeda ras. Rahwana berasal dari ras Asura yang berkulit hitam, pendek, dengan rambut ikal. Mereka adalah bangsa asli India. Sementara Rama dari ras Dewa yang berkulit lebih terang (kemungkinan dari ras Arya yang berasal dari India barat daya). Ras Dewa kemudian menginvasi Jambudwipa dan membasmi bangsa Asura dengan semena-mena. Kota-kota megah dan kuil-kuil indah diruntuhkan, dan yang lebih parah, prinsip kesetaraan dihapuskan dan diganti dengan sistem kasta sesuai ajaran para brahman dari ras Dewa. Ketika penyerangan brutal ini terjadi, Rahwana masih seorang remaja belasan tahun yang tinggal di tebing terpencil pulau Alengka (sekarang Srilanka). Kisah tentang keganasan suku liar bangsa Dewa yang memporak-porandakan daratan utama turut memicu amarah dalam diri Rahwana muda. Inilah saat takdirnya dimulai. Sebuah perjalanan dan penaklukan panjang telah membentang di hadapannya demi mengembalikan kejayaan peradaban bangsa Asura.

"Tapi aku tak berniat membunuh Rama. putriku membaktikan dirinya untuk Rama dan aku tak ingin membuatnya menderita. Aku hanya berencana menahan Sinta di Alengka sampai pengasingan dengan Rama selesai. Sinta bisa kembali bersama dengannya saat dia menjadi raja di kerajaan kecilnya." (Rahwana, hlm. 395)

Sebagai remaja, Rahwana dianugerahi dengan keberanian dan tubuh perkasa. Dia kemudian ditempa dengan pendidikan dan latihan dibawah bimbingan guru Mahabali dan Brahma yang kaya akan pengalaman dan kebijaksanaan. Pada usia 24 tahun, Rahwana telah menjelma seorang pemimpin yang berkharisma dan dikagumi rakyatnya. Di bawah komandonya, bangsa Asura dipersatukan sehingga mereka mampu menyerang balik Jambudwipa yang dikuasai bangsa Dewa. Berkat kepemimpinan Rahwana, hampir separuh daratan India kembali ke pangkuan bangsa Asura. Pembangunan kota-kota megah kembali marak, banyak kuil Siwa nan indah dibangun, pertanian maju pesat, dan Alengka sebagai pusat pemerintahan Asura berkembang menjadi wilayah paling maju dan kaya pada masa itu. Kesetaraan dijunjung tinggi, bangsa Asura sama sekali tidak mengenal sistem kasta. Semua orang bisa naik menduduki jawaban lebih tinggi selama dia mau berusaha dan bekerja keras meraihnya. Ini berbeda dengab bangsa Dewa yang membeda-bedakan pekerjaan dan penduduk berdasarkan sistem kasta. Ilmu pengetahuan juga maju di bawah pimpinan Rahwana. Bahkan, mereka berhasil merakit sebuah mesin terbang bernama puspaka yang menyerupai helikopter di era modern.


"Tak berbeda dengan mereka, kita mulai membeda-bedakan manusia. bahwa ada manusia yang murni dan ada yang tidak. bukan karena perbuatan atau pikiran mereka, melainkan karena garis keturunan."(hlm. 451)
 
Berbeda dengan banyak kisah Ramayana yang menyebut bangsa Asura ditindas Rahwana, di buku ini dikisahkan India atau Jambudwipa maju pesat selama di bawah kekuasaan Rahwana. Apa yang selama ini kita dengar dan baca tentang bobroknya bangsa Asura ternyata adalah hasil penulisan sejarah dari sisi sang pemenang, yakni bangsa Dewa. Dalam banyak hal, meskipun Rahwana juga bukan seorang pemimpin yang baik, tetapi bangsa Asura bisa meraih kedamaian dan hidup yang lumayan tenang di bawah pimpinannya. Mungkin, memang masih ada sedikit huru-hara dan pertumpahan darah, tetapi pertambahan usia turut mendewasakan sang Maharaja Rahwana sehingga dia mulai mengurangi perang dan fokus pada pembangunan. Buku ini akan menghadirkan sisi manusiawi Rahwana untuk kita. Saya mbrebes mili membacanya. Pandangan saya akan Rahwana berubah total saat menyaksikan perjuangannya sebagai manusia biasa, sebagai raja yang hanya ingin menolong rakyatnya dari penindasan bangsa penjajah dengan sistem kastanya, sebagai seorang ayah yang hanya ingin menyelamatkan putri tersayangnya.


"Rahwana tidak akan pernah dipuja dan dituhankan. Dia terlalu manusiawi untuk menjadi Tuhan."  (hlm. 500)
  
Rahwana dan Rama dalam buku ini seutuhnya adalah para manusia yang tidak bisa lepas dari jerat takdir. Berbeda dengan kisah-kisah Ramayana yang dipenuhi dengan dewa-dewi yang turut campur tangan langsung dalam jalannya cerita, dewa-dewi dalam Rahwana cenderung lebih pasif. Apa yang menjadikan Rahwana seperti Rahwana dan Rama seperti Rama adalah tindakan dan pilihan mereka sendiri. Bahwa takdir setiap manusia mungkin telah digariskan, tetapi masih ada kehendak bebas yang akan menentukan perjalanan hidupnya. Seperti kata penulis novel tebal ini, Rahwana menjadi Rahwana bukan karena dia jahat, tetapi lebih karena dia adalah korban dari keadaan. Tidak ada pahlawan dan penjahat sejati di buku ini, mereka semua adalah manusia-manusia yang terperangkap dalam jaring masyarakat dan waktu. Satu poin plus lagi, terjemahan serta suntingan buku ini bagus sekali. Saya sama sekali tidak merasa sedang membaca sebuah karya terjemahan. Diksi-diksi yang digunakan pun tepat dan menggena sekali. Novel ini mungkin tebal dan lama dibacanya, tetapi tidak akan rugi mereka yang menyempatkan untuk membaca Rahwana. 

"Akan tetapi aku selalu percaya bahwa masyarakat yang disebut beradab ketika memperlakukan wanita dan kaum tertindasnya dengan baik. Tatanan kasta sungguh kaku dan tidak adil. Aku tak mampu membayangkan keadaan orang-orang yang berada di anak tangga terbawah." (Rahwana, hlm. 375)
 

Mau DUA NOVEL RAHWANA gratis?


Penerbit Javanica yang baik banget itu mau bagi dua novel Rahwana yang keren ini buat dua calon pembaca. Semua saja boleh ikutan dan memiliki kesempatan yang sama untuk membawa pulang satu novel Rahwana yang sangat saya rekomendasikan ini.

1. Tinggal atau memiliki alamat kirim di wilayah NKRI.
2. Follow instagram @javanicabooks, atau kalau belum punya instagram silakan like fanpagenya di Penerbit Javanica
3. Silakan share postingan ini, boleh di Twitter atau Facebook
4. Jawab pertanyaan berikut di kolom komentar:

"Mana yang membuatmu lebih nyaman: menjadi diri sendiri tapi kurang  disukai atau menjadi seperti orang lain agar disukai, sertakan alasannya ya. Tidak ada jawaban salah atau benar di kuis ini. Semua jawaban adalah bagus, silakan jawab dengan sejujur-jujurnya beserta alasannya."

5. Saya akan memilih satu pemenang berdasarkan jawaban yang paling asyik dan satu pemenang lagi lewat undian dengan random.org.
6. Kuis berlangsung selama satu pekan sampai 11 Juni 2017 ya, jadi ada banyak waktu buat bikin jawaban yang seasyik mungkin.
7. Sudah kok, gitu aja. Terima kasih ya sudah ikutan.

Komik di Indonesia dalam Pandangan seorang Pembaca

$
0
0
Judul: Buah Terlarang dan Cinta Morina
Penyusun: Anton Kurnia

Editor : Gunawan Tri Atmodjo 
Cetakan: Pertama, Juni 2017
Tebal: 228 hlm
Penerbit: Basabasi





Agak bersalah juga menyelesaikan membaca buku ini di jam kerja. Tetapi, hari Kamis (8/6) kemarin terjadi pemadaman listrik dengan jangka waktu yang tidak tanggung: 6 jam. Dan, karena mau sortir buku juga nggak jago, jadi daripada rumpi (haus sih jadi lagi ngindarin rumpi) saya bertekad menyelesaikan membaca buku ini. Hasilnya tidak mengecewakan. Buku ini memberikan kepada pembacanya banyak informasi menarik terkait dunia komik di Indonesia. Atau, mungkin lebih tepatnya, memandang dunia komik Indonesia dari sudut pandang pembaca. Bagi pecinta komik, buku ini akan jadi pemandu istimewa untuk lebih mengenal perkembangan komik lokal. Sedangkan bagi peminat sejarah dan pembaca pada umumnya, buku ini adalah jenis buku unik yang jarang ditemukan ragamnya di pasaran. kemudian, tentang anggapan bahwa membaca komik itu tidak berguna. Penulis menjawabnya lewat buku ini.

Ada beberapa hal besar tentang komik yang dibahas di buku ini. Pertama sejarah perkembangan komik di Indonesia, terutama di Bandung. Dulu, ternyata ada toko buku Maranantha  yang menjadi saksi kejayaan komik lokal tahun 1950 hingga 1980-an. Toko ini juga melayani percetakan serta penerbitan komik-komik karya komikus lokal yang kondang kala itu, diantaranya Koo Ping Hoo dan RA Kosasih.  Keren ya seandainya toko ini masih ada, dan ternyata memang masih ada sodara-sodara. Sayangnya, toko legendaris ini kini menyusut menjadi semakin kecil, dan dibuka hanya untuk mengisi waktu pemiliknya—bukan karena banyak yang masih cari komik terbitan lawas. Menarik juga mengetahui bahwa saat jaya-jayanya dulu, komik terbitan toko ini tidak hanya dipajang di toko buku tetapi juga dijual oleh para pedagang eceran biasa. Luar biasa, seandainya saja hal yang sama masih terjadi saat ini. Ini bukti bahwa masyarakat Indonesia ternyata juga suka baca.

Hal kedua yang dibahas di buku ini tentu saja adalah para komikus lokal yang pernah merajai serta menggerakkan  dunia perkomikan Indonesia. Untuk urusan ini, RA Kosasih menjadi jawaranya lewat seri komik Ramayana dan Mahabarata tetapi dengan rasa Indonesia. Bisa dibilang, komik inilah salah satu yang bisa mendekatkan para pembaca Indonesia dengan kisah pewayangan. Selain itu,  beliau ternyata juga pernah membuat komik superhero perempuan berjudul Sri Asih yang mungkin terinspirasi oleh Wonder  Woman. Tentu, selain itu, kita masih ingat bahwa negeri ini juga pernah menghasilkan komikus-komikus yang memproduksi seri superhero warna lokal seperti Gundala Putra Petir dan Laba-Laba Merah. Fakta unik lainnya, komik Deni Manusia Ikan ternyata adalah terjemahan dari komik luar negeri yang aslinya berjudul Denizen of the Deep. Komik ini sudah sulit didapatkan di pasaran saat ini.

Bicara tentang komik di Indonesia, tentu tidak bisa dilepaskan dari serian Tintin karya Herge. Sebagaimana kebanyakan pecinta buku lain di Indonesia, penulis rupanya memiliki kenangan khusus terhadap seri ini sehingga satu bagian di buku ini dipersembahkan untuk wartawan pemberani ini. Walau banyak hal tentang Tintin yang dikisahkan ulang, tetapi banyak informasi baru juga yang bisa kita dapatkan. Di antaranya, bandara yang digunakan untuk pendaratan pesawat Tintin dalam seri Penerbangan 714 adalah Bandara Kemayoran,  bukan Halim PK. Indonesia juga  adalah negara satu-satunya di Asia Tenggara yang oleh Herge dipilih sebagai setting komik Tintin. Ada lagi satu informasi menarik terkait rahasia Tintin yang tampak selalu muda. Konon, ada profesor dari Eropa yang menyebut bahwa rahasia awet muda Tintin adalah karena dia sering tidak sadarkan diri akibat trauma di kepala. Ya, memang sih dalam kebanyakan kisah Tintin, dia sering sekali dipukul kepalanya sampai pingsan. Trauma di kepala ini yang bikin hormon pertumbuhan berhenti berproduksi. Ada-ada saja ya, eh tapi siapa tahu?

Satu hal menarik lain terkait perkembangan komik nusantara, konon ada penerbit lain di Indonesia yang telah menerbitkan Tintin sebelum penerbit Indira. Konon, hanya beberapa kolektor saja yang memiliki buku cetak Tintin berbahasa Indonesia sebelum diterbitkan Indira. Tetapi, sampai sekarang, belum ada yang benar-benar bisa menunjukkan keberadaan buku tersebut. Misterius ya? Ada juga kisah tentang komik terbitan penerbit kecil di Sumatra Utara yang telah terlebih dahulu menggunakan istilah novel grafis jauh sebelum istilah ini pertama kali muncul dan digunakan di  Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Penulis menyertakan foto sampul komik bergambar pertama ini di buku ini. Yang saya  bolak-balik dan putar-putar untuk berusaha menyerap unsur kekunoannya *kurang kerjaan*. Sayangnya, penulis sedikit sekali mengulas tentang fenomena komik manga yang mewarnai dunia komik Indonesia mulai tahun 1990-an. Tetap saja, buku ini sangat penting dimiliki dan dibaca untuk menambah pengetahuan seputar perkembangan dunia komik di Indonesia.

Blogtour and Giveaway: Erstwhile, Persekutuan Sang Waktu

$
0
0


Judul : Erstwhile, Persekutuan Sang Waktu
Pengarang : Rio Haminoto
Penerbit: Koloni (imprint M&C!)
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal: 367 hlm

 

Selalu menyenangkan membaca buku-buku berjenis 'perjalanan waktu'. Walau tidak selalu menggunakan mesin waktu, perjalanan waktu juga bisa dilakukan dengan mundur ke belakang ke era penjelajahan samudra lewat pembacaan manuskrip dari Abad ke-14 M. Sebuah abad yang juga  menjadi saksi kebesaran salah satu kerajaan kuno di Nusantara, yakni kerajaan Majapahit. Dibawah pimpinan raja dan ratu legendaris yang dikawal oleh Mahapatih Gadjah Mada, Majapahit tumbuh menjadi kerajaan Maritim yang kekuasaannya membentang mulai dari Semenanjung Malaya hingga pulau Ambon. Banyak sejarahwan dan peneliti masih terkagum-kagum dengan bagaimana sebuah kerajaan di pojok Jawa ini bisa tumbuh menjadi hampir semacam imperium yang luas wilayahnya hampir menyamai bahkan melampaui luas negara Republik Indonesia saat ini. Peran penting Maha Patih Gadjah Mada memang tak diragukan lagi bagi kejayaan kerajaan ini, tapi banyak hal tentang sosok agung ini yang masih berselimut misteri. Beragam dugaan diajukan, tetapi nyatanya masih sangat sedikit yang kita ketahui tentang sosok yang telah berjasa besar bagi kejayaan nusantara di masa lampau ini.

Konon, sosoknya yang tergambar dalam sebuah arca peninggalan Majapahit dan pernah kita lihatdi buku pelajaran sejarah itu sebenarnya juga bukan sosok beliau. Sosok Gadjah Mada memang masih menjadi kontroversi. Siapakah orang tuanya? Apakah Gajdah Mada pernah jatuh cinta? Dan, dimanakah makam dari tokoh besar ini? Penulis Erstwhile berupaya menjawab celah sejarah yang masih terselubung misteri itu lewat karya fiksi. Memadukan antara kisah sejarah dengan roman, Erstwhile menjadi sebuah bacaan kaya data yang mengesankan dan sama sekali tidak membosankan. Penulis mampu meracik sebuah kisah untuk mencoba mengisi celah-celah belum terungkap dalam sejarah nusantara yang bergerak cepat dan membikin penasaran. Dalam satu hari saya mampu menandaskan membaca novel apik ini karena asyiknya tema yang diangkat serta kepiawaian penulis menyajikan cerita yang saya yakin butuh riset panjang untuk bisa menulisnya.

Semua berawal dari lelang sebuah naskah kuno karya Picaro Donevante, seorang Florence yang terbuang ke Paris pada awal tahun 1300-an. Demi cintanya kepada seorang wanita, Donevante bertekad mengikuti jejak penjelajah besar Marcopolo yang telah melakukan perjalanan ke Tiongkok (Cathay) ratusan tahun sebelumnya. Anak muda itu begitu terpukau dengan deskripsi kota-kota yang kaya akan emas dan rempah-rempah di timur. Dia bertekad akan ikut membangun kekayaannya dari bisnis perdagangan dengan bangsa Cathay selain untuk mewujudkan impiannya untuk bisa lebih mengenal dunia Timur. Perjalanan pun dimulainya, walau dengan modal nekat dan uang seadaanya. Tapi kesungguhan dan ketulusan hatinya telah menggerakkan takdir dan mengubah tujuannya. Alih-alih berkunjung ke Cathay, Donevante dan rekan-rekan seperjalanannya malah sampai ke sebuah kerajaan kuno di nusantara yang selama puluhan tahun ke depan akan menjadi bagian dari hidupnya: Majapahit.

Di negeri inilah, Donevante berkawan akrab dengan Mahapatih Gadjah Mada, juga dengan Ratu Tribhuwana Tunggal Dewi, dan Raja Hayam Wuruk. Bahkan, pria ini menjadi ‘teman curhat’ dari ibu suri Gayatri yang menjadi poros kekuasaan Majapahit yang sesungguhnya. Dari hubungan perkawanan ini, Donevante kemudian menjadi sosok yang turut mendorong majunya Majapahit. Sebuah premis yang sangat menarik dari penulis, bahwa kemegahan dan kemajuan Majapahit selain karena peran besar Gadjah Mada juga karena adanya sosok asing lain dari belahan Bumi Barat bernama Picaro Donevante. Bule dari Italia ini membawa serta nilai-nilai renaisance Eropa ke Bumi Majapahit, dan dengan demikian memberikan pengaruh yang sangat besar pada kegemilangan Majapahit.  Dia menyertai saat Gadjah Mada menyerang Bali, menaklukan Borneo, hingga menduduki Tumasik (Singapura). Donevante juga turut mengawal Putri Dyah Pitaloka dalam peristiwa memilukan yang kelak kita kenal dengan Perang Bubat. Bagi para penyuka sejarah, novel ini menjadi sejarah-alternatif yang sangat mengasyikan untuk diikuti. Pasti akan benar-benar keren membayangkan seorang bule tengah beramah tamah dengan para putri Majapahit membicarakan tentang nilai-nilai romantisme ala  Eropa di sebuah keputren.

Meskipun banyak tokoh dan peristiwa sejarah dilibatkan di dalamnya, novel ini sama sekali tidak membosankan untuk dibaca. Justru karena premisnya yang unik, kita jadi dibikin penasaran dengan ujung petualangan seorang Picaro Donevante di bumi nusantara. alih-alih bosan, kita malah dapat banyak pengetahuan baru dan lebioh detail tentang sejumlah peristiwa sejarah yang selama ini kita ketahui hanya sekilas. Penggunaan sudut pandang pertama dan ketiga secara bergantian antara Picaro dan Rafa awalnya mungkin cukup mengganggu, tetapi terbukti kemudian menjadi penyegar saat pembaca sedang bosan dengan pemandangan di era jadul Majapahit. Apalagi, penulis menggunakan setting kota-kota besar di penjuru dunia, bergantian dengan setting nusantara  sehingga membikin kita iri nggak bosan. Kemudian, penutup novel ini menyajikan sebuah simpulan yang memuaskan tentang sejumlah teka-teki dalam sejarah: siapa sebenarnya Gadjah Mada, bagaimana asal-usulnya, dan kalau memang Gadjah Mada pernah mengenal seorang Eropa di era renaisance, dimanakah pusaranya?  Sejarah mencatat, semenjak Gadjah Mada menghilang, Majapahit pun perlahan mulai meredup demi menyongsong masa keruntuhannya. Apakah ini berkaitan dengan kepulangan Picaro Donevante ke Paris?





Sekarang, kita ke gratisan bukunya. Satu novel Erstwhile telah disediakan oleh Penerbit Koloni untuk satu calon pembaca yang beruntung di blogtour blog Baca Biar Beken. Berikut ini cara ikutannya:

1. Wajib likefanpage Penerbit Koloni atau instagram @kolonipublishers. Kalau belum punya IG, cukup follow FBnya saja nggak apa-apa.

2. Share/bagikan postingan ini di media sosial kamu (IG atau Twitter atau Facebook).

3. Jawab pertanyaan ini di kolom komentar, sekali saja ya.

"Kasih usul dong supaya sejarah bisa jadi tema yang menarik untuk dibaca atau diperbincangkan? Sertakan juga alasannya ya."

4. Silakan tulis pendapat bebas kalian dengan format sebagai berikut:

Nama:
Twitter/Facebook:
Domisili:
Link Share:

"Jawaban"

5. Blogtour di blog ini akan ditutup tanggal 23 Juli 2017. Pastikan kamu memiliki alamat kirim di NKRI ya. Terima kasih sudah ikutan.



Viewing all 469 articles
Browse latest View live