Quantcast
Channel: Baca Biar Beken
Viewing all 469 articles
Browse latest View live

Membaca Sastra Melembutkan Dunia

$
0
0


Judul: Membaca Sastra Membaca Dunia
Penyusun: Azwar, S.S., M.Si.
Penyunting: Muhajjah Saratini
Tebal:176 hlm
Sampul: Ferdika
Cetakan: Pertama, Desember 2016
Penerbit: Basabasi




Salah satu tema menarik yang dibahas di buku ini terkait ‘matinya’ pengarang setelah karyanya diterbitkan dan dilempar ke pasar. Pernyataan Barthez ini sekian lama telah menjadi topik hangat di dunia perbukuan. Tulisan sebagai sebuah teks adalah sesuatu yang sifatnya otonom. Ia memang diciptakan oleh si pengarang tetapi setelah dicetak, ia menjadi sesuatu yang baru dan berdiri sendiri. Terlepas dari ada nama pengarang dalam sampul buku itu, sebuah buku adalah sesuatu yang bukan penulisnya. Benarkah begitu? Menarik menyimak sanggahan penulis terhadap teori Barthez ini. Pada kenyataannya, banyak pembaca di Indonesia yang masih membeli buku karena nama besar penulisnya. Faktanya, dalam kasus saya, saya membaca Bumi Manusiakarena yang nulis Pram. Pram yang itu loh! Di luar sana, ada ribuan anak-anak muda yang tengah mengandrungi buku-buku kekinian karya penulis terkini, macam Dee, Seno Gumira Ajidharma, dan tak lupa Tereliye. Sulit membayangkan apakah anak-anak muda itu akan tetap membeli buku Hujan atau Rindu seandainya mereka tidak tahu kalau penulisnya Tereliye. 

“Sastra memang tidak membangun secara fisik, sebagaimana membangun jembatan atau gedung, tetapi sastra membangun manusia yang akan membangun peradaban.” (hlm. 45)


Selain tema di atas, ada beberapa ide menarik lain tentang sastra yang diangkat penulis di buku ini. Tapi saya terutama suka sama cara penulis yang memulai atau menyusun esai-esainya berdasarkan satu buku yang beliau baca. Dengan kata lain, esai-esai di buku ini agak mirip dengan tulisan tentang ulasan buku yang diperdalam. Bab 4 tentang “Sastra yang Memihak” misalnya, disusun berdasarkan pembacaan penulis tentang Bumi Manusia-nya Pram. Lewat novel atau tulisannya, penulis menunjukkan keberpihakkannya kepada sesuatu atau sekelompok orang tertentu. Dalam kasus Pram, lewat Tetralogi Buru-nya itu beliau menunjukkan keberpihakkannya pada orang-orang pribumi yang tertindas di masa penjajah. Jadi, adakah karya sastra yang tidak memihak? Sulit, kalau tidak bisa dibilang mustahil karena setiap penulis pasti menulis karena dorongan keberpihakan tententu, sekecil apa pun itu. Bahkan seandainya ada satu karya sastra yang murni dipersembahkan untuk kemanusiaan pun, dia tetap memihak.

“Karya sastra juga sebuah media perjuangan mewujudkan manusia yang bermartabat, manusia yang hidup berkeadilan, dan manusia yang menyadari seutuhnya bahwa semua manusia sama-sama berhak untuk hidup di dunia ini.” (hlm. 66)

Sastra dapat digunakan untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan besar tanpa terasa mengurui dan menghakimi. Ungkapan ini benar adanya karena sering kali gagasan-gagasan kemanusiaan bisa lebih tersampaikan lewat jalan cerita ketimbang khutbah semata. Betapa banyak dari kita yang jadi lebih peka, lebih mau berempati, dan lebih mau memandang dari sudaut pandang orang lain setelah membaca banyak karya sastra. Dalam hal inilah, sastra memenuhi tugasnya sebagai guru yang tidak mengurui. Ia menunjukkan lewat contoh, mengajak pembaca menyelusup masuk dalam kehidupan tokoh-tokohnya agar kita bisa ikut merasakan secara langsung apa yang dirasakan orang lain tanpa kita harus mengalaminya secara langsung. Jadi benar kata ungkapan, bahwa para pembaca sastra bisa mengalami seribu kehidupan dalam satu kehidupannya.

“Seorang sastrawan yang baik akan mengatakan ‘dengan sastra aku melawan.” (hlm. 90)

Satu kecenderungan yang sangat tampak di buku ini adalah keberpihakkannya pada sastra Islami. Nama Helvy Tiana Rosa dan komunitas Forum Lingkar Pena berulang kali disebut untuk menjelaskan tema-tema tentang sastra Islami. Penulis rupanya agak kurang setuju dengan jargon sastra untuk sastra sebagaimana diusung oleh para sastrawan kawakan Indonesia. Sastra juga bisa digunakan sebagai media dakwah asal disampaikan dengan cara yang halus, elegan, dan tidak mengurui. Ini berbeda dengan pendapat Seno Gumira Ajidarma yang pernah bilang bahwa sastra bukan buku agama sehingga semestinya tidak berisi khutbah keagamaan. Sah-sah saja setiap penulis memiliki kecenderungan berbeda seperti ini. Hal ini malah semakin membuktikan keberpihakan sastra sebagaimana disinggung penulis di bab 4. Sayangnya, sepertinya penulis kurang menunjukkan ragam bacaan yang luas untuk tema sastra islami karena contoh-contoh yang diangkat hanya HTR saja, padahal masih ada tokoh-tokoh sastra Islami lain seperti Asma Nadia, Wahyu Sujani, dan Habiburrahman el Shirazy. 

“Membaca karya sastra yang bai sama dengan menyuruh orang berbuat baik dan benar.” (A.A. Navis, hlm 160)

Akhirnya, kita diajak untuk mencintai sastra dengan cara semakin banyak membaca buku-buku sastra. Karena kecintaan sastra adalah bukti kemajuan peradaban suatu bangsa. Di negara-negara maju, membaca sastra ibarat sudah menjadi kebutuhan. Sementara di negara kita, membaca sastra sepertinya masih menjadi hak eklusif bagi kalangan  tertentu saja. Padahal, sastra dapat mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang manusiawi serta untuk memanusiakan manusia secara manusiawi. Sastra, kata penulis, tidak mengajarkan kita tentang memandang dari fisiknya, dari kekayaannya, atau dari kekuasaannya. Sastra mengajak kita menghormati dan mencintai manusia karena dia juga manusia. Buku ini, walau tipis dan beberapa bahasan di dalamnya agak kurang fokus, menghadirkan ide-ide segar tekait dunia kesusastraan. Beberapa tulisan di dalamnya mengundang kita untuk melengkapi atau mungkin membantahnya lewat tulisan; dan ini sah-sah saja selama dilakukan dengan baik serta lewat referensi yang terpercaya. Pada akhirnya, ketika ada yang bertanya apa sastra itu? Maka, buku ini menyodorkan jawaban yang sangat indah.

“Sastra adalah cara untuk mencintai nilai-nilai kemanusiaan.” (hlm 157)


Esai Menulis Para Sastrawan Dunia

$
0
0
Judul: Menulis itu Indah
Penyusun: Albert Camus, dkk
Penerjemah: Adhe
Penyunting: Dewi K. Michelia
Tebal: 257 hlm
Cetakan: Pertama, 2016
Penerbit:Octopus

33158006
goodreads.com 


Judul buku ini agak misleading, sungguh judul yang terlalu unyu untuk buku yang isinya ternyata berat seperti ini. Apakah menulis itu lalu kemudian tidak indah? Bukan, keindahan menulis sebagaimana keindahan yang lain-lain sifatnya relatif. Bagi seseorang, menulis bisa saja sesuatu kegiatan yang menyenangkan, tetapi bagi orang lainnya bisa jadi sebuah siksaan. Padahal dua-duanya sama-sama penulis (atau sama-sama ingin jadi penulis). Saya jadi ingat kata seorang penulis kawakan yang namanya entah saya kok lupa, bahwa menulis tidak semakin mudah seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi semakin cepat ini. Jadi sepertinya memang menulis yang baik itu adalah tentang ketekunan dan tentang praktik menulis itu sendiri. Dan, hal-hal terkait menulis seperti inilah yang awalnya saya harapkan akan saya dapatkan dari buku ini, ternyata bukan.

“Marquez pernah berkata: ‘Cara terbaik yang membuat seseorang dapat menjalankan revolusi adalah menulis sebaik apa yang dapat dia lakukan.” (hlm ix)

Apa yang dibahas oleh para sastrawan besar dunia di buku ini memang tentang menulis, tetapi menulis versi dunia mereka sendiri. Dalam bab-bab di buku ini (mungkin lebih tepat disebut esai), Virginia Woolf dkk membahas tentang dunia tulis menulis dan juga dunia kesusastraan kekinian. Tepatnya kekinian di era mereka yang akhirnya jadi kekunoan saat saya baca. Sebagian besar sastrawan di buku ini adalah mereka yang jaya dan berkarya pada era antara akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke-20. Mereka adalah suara-suara literasi ketika dunia masih dikuasai mesin ketik, telepon, dan buku-buku cetak. Nama-nama mereka adalah legenda dalam pikiran kita: Albert Camus, Virginia Woolf, Jorge Luis Borges, Jose Saramago, hingga Salman Rushdie nan kontroversial itu. Dan di buku ini, mereka seolah sibuk dengan diri mereka sendiri, menuliskan dalam esai-esai ini terkait gagasan dan pendapat mereka terkait suatu hal—dan bukan tentang proses kreatif mereka dalam menulis.

“Novelis menghancurkan rumah kehidupannya dan menggunakan batu-batunya untuk membangun rumah bagi novelnya.” (Milan Kundera, hlm 154)


Memang, tentang begitu campurbaurnya isi buku ini sudah diwanti-wanti penerbit lewat blurb di sampul belakangnya. Tetapi, tetap saja subjudul ‘Pengalaman Para Penulis Dunia’ di sampul depan agak rancu menurut saya. Bukan berarti esai-esai di buku ini tidak menarik, tapi mungkin kurang sesuai dengan yang pembaca harapkan jika melihat judul buku ini. Yang saya tangkap, tidak semua penulis di buku ini bahagia dengan menulis, banyak di antara mereka yang malah sibuk mengomel. Misalnya saja Virginia Woolf yang sibuk mengkritik para kritikus sastra yang mengkritik karyanya. Memang ada yang berkisah tentang pengalamannya menulis buku, seperti Mark Twain dalam ;Kisah Terbitnya Buku Saya’ serta Gabriel Garcia Marquez yang mengisahkan pertemuannya dengan Ernest Hemingway. Tetapi, beberapa esai yang lain sedemikian ‘egoisnya’ sehingga pembaca awam seperti saya sulit mencernanya. Esai Jean Paul Sartre tentang ‘Apakah Menulis Itu?’ benar-benar bernuansa filsafat yang di penghujung tulisan malah  balik bertanya: “Mengapa seseorang menulis?”

“Bagi penulis, kerja menulis adalah petualangan menuju kedalaman bahasa.” (Octavio Paz, hlm. 183)

Sebagai sebuah buku manual menulis, buku ini mungkin kurang sesuai. Tetapi sebagai sebuah album dokumentasi tentang menulis ala para sastrawan dunia, nah mungkin lebih tepatnya seperti itu. Jika pembaca ingin mencari tahu gimana cara nulis novel yang realis magis kayak punya Marquez atau bikin buku spiritual tapi ngak mengurui kayak Paulo Coelho; jawabannya tidak akan pembaca temukan di buku ini. Tetapi, jika pembaca tertarik mengetahui bagaimana corak karya Carlos Fuentes atau ingin menguak misteri semiotik Umberto Eco; buku ini mungkin bisa sedikit menjawab kekangenan Anda pada mereka. Kepada pembaca pemula, buku ini mungkin kurang cocok. Tetapi untuk pembaca-penulis yang ingin berdekatan lebih lanjut dengan para penulis idolanya; buku ini untuk Anda. 

“Dalam sastra, saya mencari kata-kata sebagai suara.” (Gao Xingjian)

Tetapi, setiap buku selalu menyimpan pengetahuan, sekecil apa pun. Setidaknya, Bertrand Russel sedikit membagikan tips praktis menulisnya. Pertama, jangan menggunakan kata yang panjang jika kata yang pendek bisa digunakan; kedua, taruhlah ide yang berbeda dalam kalimat yang terpisah. Ketiga, jangan membingungkan membaca dengan anak kalimat yang nada dan arahnya berbeda dengan akhir kalimat yang hendak Anda tuliskan. Sekali lagi, menulis itu memang soal ketekunan. Tetapi, sebagai penutup tulisan ini, tak ada salahnya kita renungkan nasihat Marquez di  buku ini:

“... kesejahteraan ekonomi dan kesehatan yang terjaga baik merupakan situasi yang kondusif untuk menulis.” (hlm. 40)

Kejeniusan Cinta Mr. X

$
0
0
Judul:  Kesetiaan Mr. X
Pengarang: Keigo Higashino
Penerjemah: Faira Ammadea
Editor: Dessy Harahap
Tebal: 320 hlm
Cetakan: 1, 2016
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

31142330

Cinta itu universal, dan setiap orang--juga setiap mahkluk--berhak memilih sendiri bagaimana mereka mencintai. Ada yang mencintai terang-terangan hingga si pujaan hati kadang malah jadi ilfil. Di lain pihak, ada juga yang mencintai diam-diam sampai yang dicintai tidak tahu kalau dia dicintai seseorang. Kasus yang kedua ini sepertinya lebih sering kita lihat dalam kehidupan. Tidak ada salahnya mencintai secara diam-diam. Tetapi bisa berbahaya ketika cinta itu sedemikian besarnya namun tetap dibiarkan tak terungkapkan. Hasilnya bisa jadi adalah kenekatan (atau mungkin keberanian) atas nama cintaseperti yang dialami oleh Ishigami.Si jenius matematika yang mengabdikan diri mengajar matematika di SMA ini jatuh cinta kepada wanita tetangganya, Yasuko--yang kebetulan adalah janda beranak satu.  Jatuh cintanya luar biasa dahsyat, hingga logika yang selama ini jadi pegangannya langsung menguap entah ke mana.

"Mana yang paling sulit: menciptakan soal yang sulit atau memecahkannya? Hanya ada satu jawaban pasti."


Sayangnya, kisah cinta Ishigami tidak mulus. Selain dirinya yang bertipe introvert (lelaki ini hanya bisa mengagumi Yasuko dari kejauhan, atau dari balik tembok apartemennya), Yasuko ternyata tidak sekadar janda biasa. Yasuko adalah mantan pekerja klab malam. Selain itu, dia juga dikuntit oleh Togashi, mantan suaminya sering berlaku kasar dan suka memeras uang Yasuko. Suatu malam, tanpa diduga, pria itu masuk ke apartemen Yasuko dan mengancam akan melukai Yasuko dan anaknya. Seperti bisa ditebak sebagaimana di film-film atau komik-komik serupa, entah bagaimana pria bangsat itu berakhir dengan posisi tergeletak dan sudah tidak bernyawa. Hanya ada Yasuko dan putrinya, tengah memegang kabel mesin penghangat kaki. Ribut-ribut ini tentu tidak dilewatkan oleh Ishigami. Dengan kejeniusan otaknya, bujang itu tahu telah terjadi pembunuhan di apartemen sebelah. Inilah saatnya bagi Ishigami untuk tampil dan menjadi pahlawan di depan Yasuko.

Selanjutnya, kita akan disuguhi kehebatan Ishigami yang berhasil memadukan logika matematika dan ilmu kriminologi untuk mengelabuhi penyelidikan polisi. Demi cintanya kepada Yasuko, Ishigami mengeluarkan seluruh kejeniusannya untuk merancang sebuah pengalihan yang bakal membuat bingung polisi. Sejak awal, polisi memang telah mencurigai Yasuko sebagai tersangka utama, namun buktinya masih sangat lemah. Tim detektif di bawah pimpinan Kusanagi pun dikerahkan, namun semua celah sepertinya mentok di satu titik. Efeknya sungguh luar biasa ketika matematika digunakan dalam tidak kejahatan, dan kisah di buku ini adalah buktinya. Bahkan polisi dengan segenap timnya sudah mengumpulkan bukti-bukti dan mewawancarai semua saksi, jalan menuju tersangka begitu gelap. Tersangkanya sudah ada dan jelas, tetapi bagaimana membuktikan bahwa si tersangka adalah si A begitu sulit. Sampai akhirnya Kusanagi sadar: seorang jenius harus dilawan dengan orang jenius yang lain.

"Manusia selalu memiliki beberapa wajah."(hlm. 268)

Nama Dr. Manabu Yukawa sudah tidak asing lagi di kepolisian. Dalam beberapa kasus, Kusanagi memang pernah meminta bantuan dari teman semasa kuliahnya ini. Kejeniusan profesor Fisika ini tidak kalah dengan detektif kepolisian sehingga dia mendapat julukan  Detektif Galileo. Masalahnya, tanpa diduga, ternyata Yukawa dan Ishigami dulu juga sempat berteman semasa kuliah. Jadilah kasus pembunuhan kali ini menjadi sedemikian pelik. Untuk bisa menguak alibi Yasuko (yang dilindungi dengan apik oleh Ishigami), Yukawa harus melawan Ishigami yang seorang jenius matematika. Jadi ini akhirnya jenius fisika versus jenius matematika saling adu strategi demi melihat siapa yang paling cerdas dalam menyembunyikan dan menguak kejahatan. Kita sering bertanya apa manfaat praktis matematika dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu jawabannya ada di buku ini. 

Apa sih gunanya hitungan diferensial dan integral? Buang-buang waktu saja!” (hlm. 129)
Selain menyaksikan adu strategi antara Ishigami dan Yukawa, masih ada satu twist lagi yang sudah menanti pembaca di akhir buku. Dari total 320 halaman, baru di 40 halaman terakhir lah kasus ini mulai terkuak. Semua jawaban mulai digelar, termasuk mengapa Ishigami bisa begitu tergila-gila kepada Yasuko sehingga introvert (yang biasanya jarang menyapa orang) itu sampai rela mengorbankan kejeniusannya demi melindungi Yasuko. Yang seru di buku ini adalah bagaimana kepiawaian Ishigami untuk yang memanfaatkan lubang kelemahan dalam asumsi seseorang. Jadi, bukan hanya polisi yang terkecoh. Kita sebagai pembaca juga ikut terkecoh. Pada akhirnya, setiap kejahatan memang harus dipertanggung jawabkan.  Saya juga percaya bahwa tak pernah ada cinta yang sia-sia.

"Kadang demi menolong seseorang, yang harus kita lakukan hanyalah hadir di tempat itu."(hlm. 313)


Blogtour and Giveaway: Milea

$
0
0
Judul: Milea, Suara dari Dilan
Penulis: Pidi Baiq
Penyunting Naskah: Andika Budiman
Sampul: Kulniya Sally
Penerbit:Pastel Books
Cetakan: 5, Januari 2017
Tebal: 360 hlm

 31359829

"Aku belajar untuk tidak menyerah atau berputus asa dan selalu menjadi diriku sendiri. Kukira, aku tidak akan menjadi bagaimana diriku tanpa pengalaman-pengalaman yang aku dapatkan."(Dilan, hlm 54)

Kemunculan Dilan di jagat perbukuan anak muda Indonesia benar-benar membawa kesegaran baru. Dilan meneruskan tradisi cowok baik rada badboy yang telah lebih dahulu dimulai oleh Catatan si Boy, Balada si Roy, serta Lupusnya Hilman. Tapi, Dilan bisa menjadi sepopuler seperti saat ini karena dirinya tetap menjadi Dilan. Buku ketiga seri Dilan ini Pidi Baiq seperti hendak menegaskan sosok Dilan yang se-Dilan-Dilannya, yang tidak mau dikekang oleh monotonnya kehidupan dan juga oleh Lia. Jika di dua buku sebelumnya kita sudah dihibur dengan kisah dari Milea, mari kita dengarkan suara dari Dilan di buku ini.

"Karena aku percaya, di dalam caranya masing-masing, setiap orang melakukan kesalahan. Dan, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk dimaafkan."(hlm. 97)



Milea Adnan Hussein adalah kekasih dari Dilan pada tahun 1990 sebelum mereka putus do tahun 1991. Ketiga seri buku Dilan sendiri memang berisi kisah kasih sepasang sejoli ini. Yang bikin beda Dilan dari kisah sejenis di pasaran adalah sosok Dilannya yang khas: badboy tapi kocak semu kreatif, dengan romantisme yang khas Dilan. Ini yang bikin Milea jatuh cinta kepada cowok itu meskipun secara tampang, Dilan tidak termasuk cowok yang ganteng-ganteng amat (ini diakui sendiri oleh Dilan di buku ketiga ini). Nah, sebenarnya apa yang dilihat Dilan dari Milea sehingga dia bisa jatuh cinta? Di buku ini ada jawabannya. Karena memang ditulis dari sudut pandang Dilan, bisa dimaklumi mengapa cara bercerita buku ketiga ini tidak selincah dua buku sebelumnya. Ini wajar karena Dilan dan Milea adalah dua karakter yang berbeda. Malah akan jadi aneh kalau cara berceritanya sama padahal yang berkisah berbeda.

"Kalau P3K singkatan dari apa?"
P3K itu, Pertolongan Pertama Padahal Kedua."(hlm. 162)

Bagi yang belum membaca dua buku seri Dilan sebelumnya, mungkin akan agak sulit mengikuti cerita di buku ini. Penulis banyak mengulang adegan yang sudah dikisahkan di dua buku sebelumnya, hanya saja dari sudut pandang Dilan. Beberapa cerita malah sengaja tidak diceritakan karena sudah diceritakan oleh Milea. Tapi tenang, sedikit banyak kita masih bisa menemukan unsur 'kedilanan' di buku ini walau tidak sebanyak di buku pertamanya. Begitu juga dengan setting Bandung era 1990-an yang masih asri, plus sedikit setting di Jogja. Bagian menjelang akhir dari buku adalah yang paling menarik menurut saya karena bagian ini mengisahkan sedikit babak kehidupan Dilan yang belum disinggung, yakni ketika Dilan kuliah kemudian bertemu Milea sebagai sepasang mantan. Pokoknya siap-siap baper bagi yang ngejagoin hubungan Dilan - Milea.

"Aku tidak merasa harus lebih baik dari orang lain, aku hanya berusaha untuk lebih baik dari diriku yang kemarin." (hlm. 352)

Menyelesaikan membaca buku ini, bisa disimpulkan inilah penutup dari kisah Dilan dan Milea. Jika ada yang belum habis dikisahkan di dua buku pertama. Kisah tentang Dilan tentunya belum lengkap kalau Dilannya sendiri belum cerita. Gimana kabar geng motornya setelah mereka lulus SMA, kuliah di mana Dilan dan kawan-kawannya, juga siapa yang jadi pacar Milea setelah Dilan. Istilahnya, nanggung banget kalau sudah baca Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990 dan Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 tapi belum baca Milea ini. Bagi kita yang sama-sama terpukau oleh Dilan, buku ini akan menjawab kangen dan kurangmu akan seorang Dilan.



Nah, yang mau gratisannya, bisa ikutan blogtour Milea. Penerbit Mizan menyediakan total 4 buku Milea gratis untuk blogtour sepanjang bulan Februari 2017 ini. Salah satunya ada di blog ini. Untuk cara ikutan, silakan simak ketentuannya berikut ini:

1. Wajib follow twitter Penerbit Mizan atau like Fanpage Penerbit Mizan di Facebook.

2. Share/bagikan postingan kuis ini, minimal sekali. Boleh senggol saya di Facebook (Dion Yulianto) atau Twitter (@dion_yulianto)

3. Jawab pertanyaan berikut di kolom komentar postingan ini:

'Dalam satu paragraf pendek, gambarkan bagaimanakah MENCINTAIMU SECARA SEDERHANA itu'

4. Format Jawaban:
Nama:
Twitter/Facebook/Email:
Link share:
Jawaban:


5. Kuis ditutup tanggal 6 Februari 2017, satu jawaban yang paling klik akan saya pilih menjadi pemenangnya. Agar adil, dimohon untuk menjawab satu kali saja ya.

6. Giveaway ini berlaku hanya untuk peserta yang bermukim atau memiliki alamat kirim di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7. Jika belum beruntung, masih bisa ikutan lagi di blog Mbak Asri.

"Setiap orang berbeda, itu pasti. Manusia sempurna adalah justru yang memiliki kelebihan dan kelemahan." (hlm. 353)

Terima kasih sudah ikutan.


Before Us, Cinta Terlarang Bersemi Kembali

$
0
0


Judul: Before Us
Pengarang: Robin WIjaya
Tebal: 304 hlm
Cetakan: Kedua, 2012
Penerbit: Gagas Media

13433062

"Kadang cinta berkata: logika adalah salah, dan ia hanya membela rasa.”

Ngakak, awal baca novel ini adalah ‘dipaksa’ Kak Ve yang katanya salah milih buku. Kak Ve ini suka banget sama blurb  sampul belakang buku ini, jadi ya langsung ambil. Apalagi novel ini adalah karya salah satu novelis kesukaan blio. Begini blurb-nya:

“Kau tahu, aku tak bisa lolos dengan mudah dari jerat-jerat cerita kita yang tak pernah benar-benar selesai. Kau bilang tak perlu ada yang berubah—tapi kenapa aku merasa semakin jauh dengan dirinya, terseret arus yang membawaku ke pelukanmu?”

“MAS DION, ini COWOK sama COWOK,” kata Kak Ve yang urung menyelesaikan membaca buku ini padahal sudah lumayan sampai setengah buku. “Aku baru sadar kalau si A itu bisek!” bilangnya. “Lho, kan cuma dalam novel. Nggak apa-apa kali, Mbak. Anggap The Sweet Sin jilid 2 gitu,” jawabku. “Enggak mau, mas Dion aja ya baca,” tolaknya. “Lah, kok jadi aku?” sergahku. “La kan Mas Dion apa aja dilahap!,” jawabnya tangkas. Dan saya langsung pengen izin setengah hari (-___-).
Tapi, karena sudah telanjur dikasih bukunya, saya pun kudu membacanya *Halah, sok jual mahal, Mas Dion ini. Demen ya demen aja!” kata Mbak Ajjah ikut campur.  

Jadi ini ada dua sahabat cowok yang erat banget sahabatannya. Namanya Ragil sama Adit. Mereka besar bersama, sekolah bareng, dan jadi sepasang sahabat yang sulit dipisahkan satu sama lain. Di mana ada Ragil, pasti ada Adit. Sayangnya, persahabatan mereka berkembang terlalu jauh. Dari sekadar sahabatan, mereka jadi saling cinta-cintaan. Masalahnya ini Ragil dan Adit sama-sama batangan eh maaf cowok, cwins. Rahasia ini mereka simpan rapat-rapat, sehingga tak satu pun orang lain tahu atau curiga. Bahkan, Radith dan Agil pun pacaran dengan cewek masing-masing untuk menutupi cinta terlarang mereka.

 “Waktu tak pernah melenyapkan perasaan. Ia hanya menyekapnya di dalam ruang. Menunggu saat yang tepat untuk kembali.”

Tahun berlalu, Agil pun menikah dengan Ranti, sementara Radith pergi untuk bekerja di Korea. Semua rahasia gelap hubungan keduanya seolah hanya kilasan khilaf sepasang anak muda di masa lalu. Agil bahkan sudah bahagia dengan keluarga kecil yang dimilikinya. Namun, setiap cinta akan diuji, dan ujian itu datang dalam bentuk Radith. Cowok itu tiba-tiba pulang ke Indonesia dan menemui Agil. Istilahnya, cinta terlarang lama bersemi kembali. Agil sekuat tenaga berupaya menyangkal perasaannya terhadap Radith, sementara Radith harus rela menahan derita rindunya kepada Agil. Rindu yang terlarang, cinta yang tak biasa. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dalam hubungan keduanya.

“Bukankah cinta tak pernah berdiri sendiri? Selalu ada dua orang yang tinggal di dalamnya. Sama-sama mencintai, mencintai dan membenci, atau saling membenci. Semuanya adalah bentuk perasaan yang mewakili cinta dua orang.” 

Secara cerita, Before Us mengangkat tema LGBT yang mirip-mirip dengan buku-buku sejenis di pasaran: cinta terlarang dalam budaya Timur. Endingnya mungkin sudah bisa ditebak bagi pembaca yang sudah banyak baca buku-buku model begini. Tetapi, yang bintang tiga dari buku ini adalah cara penulis menuturkan ceritanya dengan begitu halus dan rapi, enak sekali diikuti sehingga tidak butuh waktu lama buat membacanya. Ini bukti bahwa penulisnya memang sudah banyak pengalaman dalam menulis. Trus, kutipan-kutipannya juga bagus-bagus. Dengan mengabaikan sejenak cinta antarcowok di buku ini, kutipan-kutipan cinta di novel ini juga bisa berlaku untuk cinta yang universal. Btw, mbak Ve, ini bukunya dikasih ke saya? Gitu?

“Kadang kita harus memilih bukan karena kita menginginkan pilihan tersebut. Tapi hanya karena, dengan pilihan tersebut segalanya akan lebih baik.” – halaman 280

Ketika Dewa Apollo jadi Manusia Biasa

$
0
0
Judul: The Trial of Apollo
Pengarang: Rick Riordan
Penerjemah: Reni Indardini 
Tebal: 472 hlm
Cetakan: 1, Januari 2017
Penerbit: Mizan Fantasy

33957614

 Jangan suka menghina, jangan suka meremehkan. Dunia itu berputar. Apa yang awalnya di atas bisa sekejap diturunkan ke bawah. Seperti nasib Apollo, dewa congkak yang dihukum untuk menjalani kehidupan sebagai manusia fana akibat kesalahan fatalnya yang hampir bikin kiamat dunia (Baca seri The Heroes of Olympus). Zeus menghilangkan kedewaan Apollo, termasuk segala hak istimewa dewataniyahnya berupa kereta matahari bebas macet, kemampuan menguapkan penjahat dalam sekali tunjuk, perut yang selalu sixpaks tanpa harus olahraga, wajah tampan yang senantiasa belia, serta fasilitas WIFI gratis di kompleks Olympus. Apollo sekarang tidak lebih dari seorang remaja culun berambut keriting dengan perut menggelambir bernama Lester Papadopoulos. Belum pernah sebelumnya sang Dewa Musik, Panahan, dan Seni Pengobatan yang follower instagramnya paling banyak dibanding dewa-dewi Olympus lainnya ini dipermalukan sedemikian rupa. Tapi, cobaannya tidak hanya sampai di situ. Begitu ia jatuh ke bumi, cowok itu langsung dirundung oleh berandalan jalanan. Apollo yang biasanya hobi menebar wabah kini sama tidak berdayanya dengan remaja kikuk. Lebih parahnya lagi, dia pasrah saja diselamatkan seorang demigod jalanan yang keahlian utamanya hanya melemparkan buah-buahan busuk dari tempat sampah.

"Tidak semua monster berwujud reptil seberat tiga ton bernapas beracun. Banyak monster yang berwajah manusia."(hlm. 223)

Walau sudah dihukum, Apollo yang memang tertakdir congkak ini tetap saja narsis tak ketulungan. Bahkan setelah ditolong Percy, si dewa manusia ini masih sempet-sempatnya mengkritik teras rumah Percy yang tidak memiliki anjungan pendaratan untuk kereta terbang. Tapi, well, membaca buku ini kita kudu tahan sama congkaknya Apollo karena dialah yang jadi tokoh utamanya. Menariknya, akhirnya sorotan tidak lagi melulu tertuju pada Percy dkk yang serba sempurna. Apollo di buku ini sama sekali nggak sempurna, setengahnya Percy saja tidak. Jadi, jangan harap mendapatkan adegan aksi macam di seri Percy Jackson atau era Leo Valdes dkk. Kalaupun ada pertempuran, Apollo ini lebih sibuk membikin puisi dua bait alih-alih membidik dengan busur. Nah, untungnya, nyimak narasi Apollo ini asli bikin ngakak. Ada-ada aja tingkah mantan dewa matahari ini. Sementara yang lain sibuk mikir cara mengalahkan roh pembawa wabah penyakit, dia sibuk mengeluh. Sepanjang buku ini, isinya didominasi curcolan Apollo. Jadi kudu sabar-sabarin aja bacanya wkwkwk.

"Aku tersinggung kapan pun karya seni rusak, terutama jika karya seni itu menggambarkan diriku." (hlm. 230)



"Merepotkan saja! keluh Apollo. Bagaimana bisa kalian para demigod bertarung tanpa jurus pasti menang?" (hlm. 66)

Selain itu, buku ini juga menjawab rasa kangen sama Perkemahan Blasteran dengan para demigodnya. Alur cerita utamanya, selain Apollo yang dihukum menjalani takdir sebagai manusia biasa, ternyata masih berkaitan dengan ramalan. Selain Oracle Deplhi, masih ada empat oracle lain yang tersebar di penjuru Yunani kuno (atau sekarang di Amerika Utara). Salah satunya, muncul di hutan Perkemahan Blasteran. Masalahnya, ada musuh baru yang mengancam akan menguasai bahkan melenyapkan semua oracle ini. Padahal, tanpa oracle tidak ada misi untuk para demigod. Nah, sebagai dewa pelindung ramalan, Apollo merasa bertanggung jawab untuk bertindak--walau congkaknya tetep ya. Tetapi, musuh kali ini ternyata lebih berbahaya, bahkan jika dibandingkan dengan gerombolan Kronos dan antek-antek Gaea. Dua perang besar sebelumnya konon juga disetir oleh musuh tersembunyi ini. Gimana caranya Apollo yang sekarang remaja biasa melawan kekuatan-kekuatan misterius yang jaringannya telah menggurita di penjuru dunia?

"Perjalanan itu sendiri lebih bermakna daripada tujuan yang ingin kau capai."(hlm. 299)

Mitologi Yunani memang luar biasa kaya sehingga ada aja yang bisa diolah oleh Rick Riordan. Di buku ini, akan kita temukan lebih banyak dewa dewi serta roh-roh alam yang belum sempat tampil di buku-buku sebelumnya. Anak-anak dewa-dewi minor juga mulai tampil ke depan sehingga cerita tidak lagi didominasi anak 3 dewa utama. Peran Percy dan Nico memang masih ada, tetapi tidak utama. Malahan, saya kok sudah bosan ya liat aksi pahlawannya Percy? Mungkin, Apollo memang telah berhasil mempengaruhi saya dengan puisi-puisi jayus-nya sehingga jadi lebih milih dia #duh. Walau minim aksi, tetapi buku ini sangat asyik diikuti, semacam pemanasan menuju buku kedua. Demigod minor juga lebih banyak tampil di buku ini, jadi yang bosan sama Percy bisa mendapatkan kesegaran baru (walaupun agak senewen) bersama Apollo dan Meg. Oh iya, Meg ini jago banget melempar buah-buahan, jadi sudah bisa ditebak kan dia putrinya siapa?

"Sama seperti kau tidak tahu Labirin akan menyimpang hari ini. Tapi, bukan berarti kita lantas berhenti mencoba. Jangan pernah berhenti mencipta, Putra Hephaestus." (hlm. 216)

Akankah hukuman Zeus membuat Apollo sadar diri? Yah, mungkin iya tapi mungkin juga tidak. Namanya juga dewa, susah sih mengubah wataknya. Tetapi, sepanjang membaca buku ini, kita menyaksikan jiwa Apollo yang bertumbuh sebagaimana tumbuhnya jiwa-jiwa manusia seiring kedewasaannya. Mungkinkah dewa juga bisa jadi dewasa karena dalam kata dewasa itu sendiri ada kata 'dewa'-nya? Mungkin saja sih kalau lihat kasusnya bang Apollo ini. Pokoknya Apollo jadi makin pelukable di ending buku ini. Adegan aksi perangnya? Tenang, masih ada perang keren di penghujung buku ini jadi ada sedikit obat penawar untuk racun narsisnya Apollo. Empat bintang penuh untuk Apollo yang larik-larik puisi jayusnya bikin ngakak alih-alih bikin terharu di setiap awal bab buku ini. Dan, seperti biasa, saya sudah lengket sukanya sama terjemahan ala mbak Reni begini. Keren. Ditunggu banget buku keduanya.

"Tapi, kau memiliki tekad. Sebagai manusia fana, kau memiliki motivasi dan rasa urgensi. Ketiga hal itu kerap tidak dipunyai oleh dewa-dewi." (hlm. 299)

Calamity, Akhir dari Kegelapan Para Epic

$
0
0
Judul: Calamity
Pengarang: Brandon Sanderson 
Penerjemah: Putra Nugroho
Cetakan: 1, Desember 2016
Tebal: 571 hlm
Penerbit: Mizan Fantasi

33848545

"Pahlawannya pasti akan datang, Nak. Tetapi terkadang, kita harus membantunya."(hlm. 447)

Dalam buku buku kedua trilogi The Reckoners karya Brandon Sanderson, David berhasil mengetahui bagaimana cara mencegah berubahnya para epic agar mereka tidak menjadi manusia super yang egois dan super congkak. Kekuatan besar yang telah mengorupsi jiwa ternyata masih bisa dilawan dengan keberanian untuk menghadapi ketakutan terbesar setiap Epic. Inilah yang akan membuat kegelapan mundur. Masalahnya, ketakutan setiap epic juga merupakan sumber kelemahan mereka. Dampaknya, kekuatan mereka ternegasikan alias tidak berfungsi setiap kali ada yang berhasil menemukan sumber ketakutannya. Inilah yang bikin Steelheart membasmi semua saksi mata di buku buku pertama. Sayangnya, pengetahuan ini tidak diperoleh secara gratis.  The Reckoners harus kehilangan Prof yang terjatuh dalam kegelapan karena terkorupsi oleh kekuatannya sendiri akibat tipu daya Regalia. Sekarang, David dan kawan-kawan harus bisa membujuk Prof untuk menghadapi ketakutannya sendiri, atau dunia akan musnah di tangan seorang High Epic baru yang tak kalah kuatnya dengan Steelheart.

"Ketakutan lah yang pertama muncul, kemudian diikuti kelemahan. Bukan sebaliknya."  (hlm. 71)

Kadang, saya merasa lebih terkesan pada setting latar dari sebuah cerita ketimbang ceritanya itu sendiri. Setting buku ketiga ini mengambil di pedalaman Amerika Utara, atau kawasan Fractured States, tepatnya di kota Atlanta. Setelah Calamity, kota itu bernama Ildithia. Penulis sepertinya menaruh perhatian besar pada kota-kota unik di buku ini. Jika Newcago  seluruh gedungnya berubah jadi baja, atau Babilar yang setengah terbenam dalam air, maka Ildithia terbuat sepenuhnya dari garam. Selain itu, Ildithia bisa bergerak secara harfiah. Kota garam ini merambat pelan dengan kecepatan konstan, membangun dan menumbuhkan bangunan-bangunan baru dari garam di bagian depan serta meninggalkan reruntuhan garam di belakang.  Sama seperti Babilar yang keanehannya bikin saya kagum, kota Ildhitia ini juga bikin saya terpesona. Keren ya idenya?Nah, kota garam ini dikuasai serta dijalankan oleh seorang High Epic bernama Lancener yang mampu mengambil kekuatan epic lain. Prof yang sudah dikuasai oleh kegelapan berusaha untuk mengambil alih Ildithia dari Lancener. Tugas David jelas semakin berat.

Ini bukan hanya menghadapi ketakutan, tetapi mengalahkannya, untuk menyelamatkan seseorang."  (hlm. 560)
   
Buku ketiga ini merupakan penutup dari trilogi The Reckoners sehingga banyak pertanyaan penting yang terjawab. Salah satu yang terpenting, siapa sebenarnya Calamity itu? Di mana dia berada? Bisakah dia dikalahkan? Selain berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan penting terkait Calamity, cerita besar di buku ini adalah seputar pertarungan antara Reckoners melawan Prof yang kini sudah punya pengikut baru di Ildithia. Muncul juga tokoh protagonis baru tapi rada nyebelin yang bakal membantu David dan timnya dengan teknologi canggih yang dimilikinya. Secara singkat, adegan-adegan pertempurannya masih sama asyik dengan dua buku sebelumnya. Dari segi kompleksitas cerita, seri ini juga semakin oke bila dibanding dua buku sebelumnya. Yang bikin lebih greget adalah banyaknya twist yang bertebaran di buku ini. Banyak yang tidak tertebak tapi anehnya bikin buku ini semakin asyik dinikmati. Belum lagi, karakter David dengan perumpamaannya yang sering kali random abis. Tapi, ini yang bikin karakter David ini tak terlupakan.

"Kau adalah apa pun dirimu. Dan hanya itu yang penting."(hlm. 79)

Selain ceritanya yang unik, kekuatan para epic dengan segala keajaiban yang mereka lakukan di buku ini (minus membunuhi manusia biasa saat sedang galau atau bosan) adalah satu hal yang bikin buku ini menarik. Kerennya lagi, penulis tidak semata menulis kisah fantasi. Dalam seri ini, pengarang menyampaikan kepada kita tentang banyak hal yang memotivasi, tentang kemanusiaan, tentang rasa tanggung jawab, juga tentang pentingnya berusaha lewat tokoh-tokoh manusia yang manusiawi. Seperti kata David, ... bahwa jauh di dalam hatinya, manusia bukanlah monster? Bahwa kami memiliki kebaikan. Pada akhirnya, para epic juga awalnya manusia biasa dan mereka juga memiliki kelemahannya sendiri. Sebaliknya, para epic juga bisa menjadi pahlawan. David akhirnya menemukan jawaban mengapa ada epic yang tidak menyerah pada kegelapan. Karena manusia tidak menyerah.

"Kamimemang sudah dikalahkan. Tetapi kami tidak gagal, Jonathan. Gagal adalah menolak untuk bertempur. Gagal adalah diam dan berharap ada orang lain yang memperbaiki masalah."(hlm. 525)

Akhir yang EPIK untuk para epic! Memuaskan! Benar-benar menyenangkan mengikuti seri ini.

Dark Romance, Ketika Gelap dan Terang Saling Mencintai

$
0
0
Judul: Dark Romance
Pengarang: Zephyr
Editor: Muhajah Saratini
Cetakan: Pertama, Januari 2017
Tebal: 204 hlm
Penerbit: Senja

 


Di bawah naungan Freya--dewi kesuburan--Kerajaan Asyre yang agung ini berdiri. Tiga bangsa terbesar penghuni Kerajaan Asyre hidup berdampingan dalam damai. Bangsa devoile yang membawa sifat-sifat kegelapan dalam darah hitam mereka, bangsa fyriel dengan kebaikan berpendar dalam cahaya tubuh mereka, dan yang terakhir bangsa manusia--membawa kegelapan sekaligus cahaya di hati yang tersembunyi dalam tubuh lemah mereka. 

Setelah perang berakhir, benua Asyre dibagi menjadi dua kawasan: sebelah barat untuk kerajaan devoile di bawah pimpinan Raja Zodic serta sebelah timur untuk bangsa fyriel dengan dipimpin Raja  Atlura. Di tengah-tengah, dibangunlah tugu perbatasan agar kedua bangsa tidak saling bercampur. Segala bentuk interaksi dilarang. Nah, bangsa manusia di mana? Bangsa manusia tentu saja ada di Bumi. Bagaimana ceritanya manusia bisa ada di bumi dan bukan di Asyre? Ini bagian dari twisted ending di buku ini jadi sebaiknya tidak saya ceritakan.

"Mungkin pendar cahayamu terpakai banyak untuk mengukir wajahmu, Faye." (hlm. 12)

Faye adalah seorang Fyriel dengan pendar cahaya yang sangat lemah. Tidak ada yang tahu mengapa, tetapi gadis cantik itu termasuk lemah untuk seorang putri dari penjaga tambang legenda--Escudo. Senjata yang ditempa dari kristal escudo dapat melukai tubuh bangsa devoile yang konon kebal dengan berbagai serangan apa pun. Keberadaan escudo ini juga sekaligus yang menopang perjanjian damai antara bangsa devoile dan fyriel. Kedua bangsa yang saling bertolak belakang ini sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Perdamaian akan tetap terjaga selama perbatasan tidak dilanggar. Tetapi, cerita ini tidak akan pernah dituliskan kalau nggak ada pelanggaran. Kadang, sebuah pelanggaran terpaksa harus ada agar ada cerita besar yang bergulir.

 Pelanggar itu tidak lain adalah Faye sendiri. Suatu hari, saat tengah bermain di Deep Forest--hutan perbatasan antara wilayah devoile dan fyriel--Faye bertemu dengan seorang devoile asing. Kedua insan berbeda jenis ini seperti ditakdirkan untuk saling bertemu dan lalu masing-masing merasa penasaran. Faye terpesona oleh tindak-tanduk si devoile muda yang selain kuat, tetapi juga pemberontak, dan juga keren. Sementara di devoile cowok juga terkagum-kagum sama kecantikan fyriel lemah yang barusan diselamatkannya. Keanehan muncul, Faye sama sekali tidak merasa kesakitan saat menyentuh sang devoile. Begitu pula sebaliknya. Padahal, kudunya, kegelapan dan cahaya tidak akan pernah bisa bersatu. Yang satu seharusnya akan menyakiti yang lainnya.

"Cahaya dan kegelapan. Bisakah kami menjadi satu?"(hlm  73)

Masalahnya makin pelik karena di devoile nyasar tadi adalah Eugene, putra mahkota dari Raja Zadic yang menguasai kegelapan. Namun, cinta memang sering muncul secara tak terduga. Baik Faye maupun Eugene saling jatuh cinta. Sama sekali mereka tidak perduli kalau zat asali keduanya berbeda. Cinta akan mengalahkan semuanya, yah setidaknya inilah yang memenuhi ruang pikiran keduanya. Biasalah, dua orang yang dimabuk cinnta sering kali lupa kalau dunia tidak hanya terdiri atas mereka berdua. Hubungan cinta keduanya pun akhirnya diketahui. Baik pihak devoile maupun fyriel sama-sama gempar. Cinta tidak selamanya menyisakan kedamaian. Dalam banyak kasus dan kisah, cinta malah sering kali memicu perang dahsyat. Benua Asyre sekali lagi berada di ambang perang besar antara kubu gelap dan kubu cahaya.

"Cinta bukan sesuatu yang bisa kau paksakan. Aku mencintaimu. Aku juga tak pernah mengatur hal itu. Perasaan itu muncul dengan sendirinya." (hlm. 83)

Sayangnya, perang itu tidak digambarkan di buku ini. Memang sih basic-nya buku ini memang novel romansa. Tapi kan, ada fantasinya juga? Buat apa dong Eugene dan Kyrion bisa bikin sayap dari gelap dan cahaya kalau adegan perangnya di skip? Seharusnya bisa 4 bintang kalau adegan perangnya turut digambarkan, bukan malah dilewati. Ya seenggaknya dua atau tiga halaman begitu deh nggak apa-apa biar masih terasa aroma fantasinya. Tapi, ya sudahlah, yang penting novel ini ditulis dengan sangat rapi dan runtut, editingnya juga oke. Tidak butuh waktu lama menyelesaikan membaca buku ini karena tulisannya bisa dibilang sudah jadi. Nah, di bagian endingnya juga bakal ada twist yang lumayan beda jadi nggak bikin Dark Romance ini sekadar jadi 'kok cuma gini aja?'  Tapi ya, seaya sedikit teringat sama Twilight pas bagian cinta segitiga Eugene - Faye - Kyrion. Tapi, saya sih tetap #TimKyrion.

Kisah-Kisah di Balik Meja CEO Penerbit Bentang Pustaka

$
0
0
Judul: 50 Kisah tentang Buku, Cinta, dan Cerita-Cerita di Antara Kita
Penyusun: Salman Faridi
Penyunting: Iqbal Dawami dan Nurjannah Intan
Cetakan:. Pertama, Januari 2017
Tebal: 258 hlm
Penerbit: Bentang


33836530

Setelah membaca bukunya Pak Edi tentang sejarah berdirinya DIVA Press, perhatian saya tertuju pada buku hampir serupa yang ditulis oleh CEO penerbit lain di Jogja, Bentang Pustaka. Selalu menarik membaca kisah di balik sebuah buku, seperti yang dikisahkan secara singkat namun berisi oleh CEO Bentang ini. Banyak hal seputar penerbitan dikulik-kulik oleh beliau, terutama terkait Penerbit Bentang. Walau model tulisannya sederhana dan pendek-pendek untuk sekali dibaca, banyak pengetahuan seputar buku dan dunia penerbitan yang saya dapatkan. Terutama, yang paling menarik adaah terkait upaya Penerbit Bentang menyambut era internet. Benarkah orang sudah tidak membaca buku fisik lagi? Apakah mesin cetak sudah tamat? Ternyata tidak. Menurut beliau, buku elektronik tidak menggantikan buku cetak, tetapi melengkapinya. Dan, penerbit yang ingin tetap eksis di abad internet ini harus mulai mencari solusi kreatif untuk merangkul dunia maya, dan bukan mengabaikannya. Inilah jawaban dari pertanyaan tentang mengapa Bentang sepertinya gencar banget mulai menjual buku dalam bentuk digital. 


Buku ini tersusun atas dua bagian besar, yakni 'Menyelami Pesona Buku' dan 'Menziarahi Ketakjuban Bahasa'. Bagian pertama lah yang menurut saya merupakan harta karun dunia perbukuan. Banyak sekali cerita-cerita unik Mas Salman selama bergelut dengan dunia buku dan penerbitan. Kisah di halaman 3 misalnya, tentang maraknya penjualan buku-buku berbahasa Indonesia oleh sejumlah penerbit indie di Malaysia benar-benar sesuatu yang bikin kaget. Mas Salman menyinggung juga mengapa corak novel yang laku di Malaysia berbeda dengan di Indonesia. Salah satunya adalah penerbit Lejen yang judul bukunya terkenal hemat karena hanya terdiri atas satu kata. Ini kemudian diikuti oleh penerbit-penerbit lain di Malaysia. Bab 'Melawan dengan Buku' juga cukup menarik, meskipun terlalu pendek untuk tema seseksi ini. Sama seperti yang dikisahkan Pak Edi, di buku ini Mas Salman menyebut dunia perbukuan bawah tanah di Jogja pada era 1990-an ketika buku-buku kiri dan seksi masih sangat terlarang untuk dibaca dan dijual.

Kisah-kisah menarik lainnya di buku ini termasuk sejumlah pengalaman Mas Salman dalam 'mengkurasi' buku-buku apa saja yang hendak diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Seri Muhammad sang Penggenggam Hujan karya Tasaro GK dipilih karena beliau merindukan buku-buku tentang baginda Rasul yang tetap manusia namun tidak mengabaikan aspek kerasulannya. Juga, pilihan yang mendasari Bentang Pustaka getol menerbitkan buku-buku karya Emha Ainun Nadjib. Ketakjuban sang CEO pada kemajuan Korea Selatan juga yang mendorongnya menerbitkan buku bagus karya Euny Hong berjudul Korean Cool. Bahkan, CEO ini juga tangkas menyambut fenomena maraknya buku-buku bergenre dystopia pada beberapa tahun terakhir. Maka penerbitan ulang novel Animal Farm dan 1984 karya George Orwell pun mendapatkan sambutan yang meriah di pasar. Sedikit tentang The Maze Runner series juga turut dibahas di buku ini. 

Sebuah bacaan nonfiksi tentang dunia buku yang asyik menurut saya. Secara garis besar, banyak hal tentang buku dan dunia penerbitan didedahkan di buku ini. Tetapi, saya belum menemukan 'formula rahasia' dari Penerbit Bentang di buku ini terkait bagaimana penerbit ini mencari dan menerbitkan buku-buku bermutu. Yah, namanya juga rahasia jadi ya kudu dirahasiakan lah hahaha. Beberapa pembahasannya seksi tetapi entah kenapa terasa nanggung. Paling disayangkan, bagian terakhir di buku ini menurut saya terkesan hanya sebagai penambah halaman supaya buku tebal. Bagian ini tema yang dibahas lepas-lepas, beberapa bahkan tidak banyak berkaitan dengan buku. Tetapi, lepas dari itu, buku ini sangat layak dibaca oleh semua yang ingin tahu seputar lika-liku dunia penerbitan.

"Mereka yang memikirkan dan menjaga kepentingan banyak orang, Tuhan pun akan ikut menjaga kepentingannya." (hlm. 120)

Blogtour and Giveaway: AHANGKARA

$
0
0
Judul: Ahangkara
Pengarang:Makinuddin Samin
Penyunting: Joni Sujono
Penyelaras Akhir: Shalahuddin Gh
Pemeriksa Aksara: Jenny M Indarto
Cetakan: 1, Februari 2017
Tebal: 496  hlm
Penerbit: Javanica



"Itulah yang disebut ahangkara, keakuan." (hlm. 238)

Roda kekuasaan terus bergulir seiring dengan berjalannya peradaban. Kekuasaan silih berganti, kerajaan lama jatuh untuk digantikan dengan yang baru. Demikian lah kekuasaan dipergilirkan. Majapahit yang pernah jaya menguasai wilayah nusantara pun tak kuasa mengelak dari perputaran  roda takdirnya. Kerajaan besar ini perlahan redup sebelum akhirnya harus takluk di bawah kekuasaan lain yang mulai tumbuh di utara Jawa, Kerajaan Demak.  Transisi kekuasaan dan keyakinan dari era Majapahit ke era Demak pada abad ke-16 beserta sejumlah peristiwa besar yang mewarnainya inilah yang dikisahkan dengan begitu asyiknya lewat novel ini. Tidak hanya kekayaan data sejarah yang dipaparkan, tetapi di dalamnya tersimpan beragam kisah yang berhasil menghidupkan kembali tokoh-tokoh bersejarah dari tanah Jawa.

Tahun 1478, Demak menyerang Majapahit di Trowulan, kemudian mengganti penguasanya dengan pemimpin boneka. Tanda-tanda kejatuhan Majapahit memang telah dekat. Selain sibuk dengan perang saudara, pengaruhnya juga mulai melemah seiring dengan semakin berkembangnya ajaran agama Rasul yang disebarkan para wali. Walau demikian, sejumlah kadipaten di Brang Wetan (Jawa Timur) masih menyatakan kesetiaannya kepada Majapahit yang dianggap sebagai penjaga budaya leluhur. Salah satunya adalah Kraton Tuban beserta sejumlah wanua (kelurahan) di bawahnya juga diam-diam masih berkiblat kepada Majapahit meskipun banyak penduduk dan pemimpinnya telah menganut ajaran agama Rasul. Kemudian, ketika tersiar desas-desus bahwa Demak akan menyerang Tuban, jaringan telik sandi (mata-mata) pun disiagakan. Dari Wanua Ambulu yang terpencil, disusun beragam siasat rumit untuk menghadapi perang besar yang telah menanti di depan mata.

"Semakin sedikit menimbulkan kerusakan, semakin baik. Menang perang tidak harus menghancurkan, Senapati."(hlm. 182)
 
Alur besar novel ini digerakkan oleh warga wanua Ambulu, sebuah kelurahan kecil di barat Tuban yang akan menjadi target pertama jika Demak benar akan menyerang Tuban. Untuk melindungi rakyat dan juga keyakinan leluhur yang diwariskan lewat Majapahit, para tetua Ambulu mengatur serangkaian siasat yang dijalankan secara diam-diam bersama para telik sandi Tuban. Ketika sejarah menjadi saksi bahwa Demak benar-benar menyerang Tuban dan menghancurkan sisa-sisa kekuatan terakhir Majapahit di Brang Wetan, maka dimulai juga ekspedisi perang pasukan Demak untuk menaklukan seluruh Jawa bagian timur. Pada saat yang sama, berlangsung juga perang bawah tanah selama sembilan belas tahun sebagai serangan balasan untuk Demak. Adu siasat dan adu strategi, perang antartelik sandi pun berlangsung seru antara pihak Demak dan sisa-sisa pengikut Majapahit di penjuru Brangwetan.

"Jalan perang tidak pernah bisa mengubah keyakinan seseorang karena keyakinan tidak bisa dipaksakan melalui kekerasan. Para penyiar agama Rasul di tanah Jawa sejak generasi pertama sampai sekarang selalu menggunakan jalan damai, jalan persaudaraan."(hlm 56)

Uniknya lagi, walau membahas tentang kerajaan Demak dan menyebut tentang sejumlah wali, tidak lalu kemudian novel sejarah ini berubah menjadi novel religi. Bahkan, seperti yang dijelaskan oleh Sunan Kudus sendiri, penyerangan Demak ke Tuban dan Majapahit bukan lah sebuah perang agama melainkan sebuah upaya penaklukan untuk menyatukan seluruh Jawa di bawah satu kekuasaan tunggal. Bahkan, bupati Tuban dan juga banyak kraton-kraton lain di Brang Wetan yang pro-Majapahit banyak yang sudah memeluk agama Rasul. Menarik juga disimak dalam novel ini dapat kita temukan sejumlah penganut ajaran Rasul yang bertindak terlampau fanatik dan merasa benar sendiri. Pihak inilah yang berusaha membelokkan perang Demak - Majapahit menjadi perang agama. 

"Yang kita warisi dari Kanjeng Rasul adalah ajarannya, isi kebenaran di dalamnya, bukan budaya dan rancang bangunnya."  (hlm. 282)
 

 Apa yang menjadikan Ahangkara istimewa adalah kisah sejarah ini dituliskan dalam fiksi yang begitu memikat. Dengan lihai, penulis mampu menyatukan kepingan data dan fakta sejarah dalam jalinan cerita yang renyah. Selamat tinggal bacaan sejarah yang membosankan dan bikin mengantuk karena nyatanya saya betah banget menikmati halaman-halaman di buku ini. Sedikit mengingatkan saya pada semesta dalam kisah Raden Mandasia namun Ahangkara lebih kaya akan data dan fakta sejarah. Begitu banyak kata-kata lama yang dimunculkan, istilah-istilah Jawa--yang mungkin dulu saya bosan mendengarnya saat menonton ketoprak--dihadirkankembali. Tentu dengan disertakan catatan kaki yang menjelaskan makna dari kata-kata tersebut. Tokoh-tokoh bersejarah dari jawa seperti Adipati Unus, Sultan Trenggana, Ratu Kalinyamat, Arya Penangsang, hingga Sunan Kudus 'dihidupkan' ulang dengan sedemikian manusiawi sehingga pembaca bisa merasakan kedekatan dengan tokoh-tokoh hebat tersebut. 

"Yang jauh lebih penting dari kekuasaan dunia adalah kekuasaan atas jiwa."  (hlm. 389)

Kejelian penulis dalam menyusun sebuah cerita yang mampu menampung tokoh-tokoh besar dalam linimasa sejarah di Tanah Jawa layak diacungi jempol. Alih-alih kebingungan, pembaca akan mendapat banyak pengetahuan baru juga cara pandang baru seputar sosok-sosok yang selama ini hanya kita kenal secara sekilas lewat pelajaran sejarah. Sedikit sejarah terkait pembangunan Masjid Kudus juga turut dipaparkan di novel ini. Luar biasa terharu  mendengar  penjelasan Sunan Kudus ketika memerintahkan pembangunan menara masjid agar menyerupai Purawaktra, gerbang barat kotaraja Majapahit di Trowulan. Hal unik lain dari Ahangkara ada pada tema mata-mata alias telik sandi ala Jawa tempo dulu yang didedahkan sedemikian detail di buku ini. Mulai dari cara bersiasat, teknik menyusup, mengelabuhi musuh, menciptakan pancingan, hingga aneka formasi perang digelar begitu semaraknya. Ternyata, bangsa kita juga memiliki kekayaan khazanah dalam ilmu perang yang tak kalah mengagumkan dengan Tiongkok atau negara barat. Buku ini benar-benar menyadarkan saya tentang betapa masih ada banyak sekali pengetahuan leluhur yang belum kita ketahui atau pelajari. 



GIVEAWAY

Mau novel Ahangkara GRATIS? Nah, kebetulan ini Penerbit JAVANICA  menghadiahkan DUA novel Ahangkara secara cuma-cuma untuk dua calon pembacanya. Tapi, ikutan kuisnya dulu ya. Berikut ini syarat dan cara ikutan kuisnya:

1. Silakan di-follow dulu akun fanpage Penerbit Javanica dan akun FB penulisnya Makinuddin Samin.

2. Share/bagikan info giveaway ini di Facebook atau twitter. Boleh mention saya atau penerbitnya.

3.  Silakan dijawab pertanyaan berikut di komentar postingan ini:

"Setuju/tidak dengan adanya perang? Alasannya?"

4. Dimohon hanya menjawab satu kali saja. Format jawaban adalah sebagai berikut:

Nama:
Akun twitter/Facebook:
Link share:
Jawaban:

5. Kuis ini akan ditutup pada 26 Februari 2017. Saya akan memilih DUA PEMENANG yang akan mendapatkan masing-masing satu buku ini gratis. Satu pemenang akan dinilai dari jawabannya, sementara satu pemenang lagi dari hasil undian seluruh jawaban yang masuk dengan bantuan random.org.

6. Giveaway ini hanya berlaku untuk peserta yang derdomisili atau memiliki alamat kirim di wilayah NKRI. Jika belum beruntung di blog saya, masih ada kesempatan mendapatkan 6 buku Ahangkara di tiga bloghost lainnya. Silakan bisa langsung meluncur ke blog Mbak Hobby Buku setelah di blog ini.  

Terima kasih sudah ikut meramaikan.

 

Jembatan ke Terabithia; Perayaan Sejati atas Masa Kanak-Kanak

$
0
0
Judul: Bridge to Terabithia
Pengarang: Katherine Paterson
Penerjemah: Rina Wulandari
Tebal: 236 hlm
Cetakan: 1, Desember 2016
Penerbit: Noura Books

33867181

Membaca Bridge to Terabithia untuk yang kedua kalinya tetap menghadirkan rasa haru atas indahnya persahabatan antara Jess dan Leslie. Versi filmnya juga sudah berulang kali diputar di TV, tetapi sebagaimana bukunya, Jembatan ke Terabithia selalu mampu menghadirkan kembali perasaan haru biru ketika kita membaca atau menonton kisahnya. Kini, diterbitkan ulang oleh Noura Books, buku anak legendaris ini hadir kembali dengan sampul yang lebih segar. Sampul hijaunya mengingatkan kita pada hutan ajaib tempat Jess dan Leslie membangun Kerajaan Terabithia mereka. Tali ayunan di atas sungai sebagai penghubung menuju Terabithia juga dilukiskan dengan indahnya. Ahhh ... menatap kehijauan di sampul buku ini serasa mendengar para penghuni Terabithia memanggil-manggil kita untuk turut larut dengan cerita di dalamnya. 

"... mungkin Terabithia semacam kastel yang kau datangi untuk diberi gelar. Setelah kau tinggal sejenak dan tumbuh kuat, kau harus pergi." (hlm. 230)

 

Jesse Aarons tinggal di sebuah peternakan keluarganya sebuah keluarga dengan 4 orang saudari. Ia adalah anak lelaki satu-satunya,dengan dua kakak perempuan yang beranjak remaja dan dua adik perempuan yang masih kanak-kanak. Saat itu ia berusia 10 tahun, masa-masa menjelang remaja di mana seharusnya ia lebih sering bermain dengan anak laki-laki atau saudara laki-laki. Ayahnya pergi pagi dan pulang malam, bekerja komuter dari Washington. Dan saat akhir pekan, ayahnya sudah terlalu lelah bahkan untuk sekadar mengobrol bersama anak cowoknya. Jesse pun melampiaskan rasa galaunya dengan berlatih berlari. Ia ingin menjadi yang tercepat, yang terhebat, anak lelaki yang benar-benar cowok di kelasnya. Ia berlatih lari setiap hari sementara dua adik perempuannya terus-menerus merenggek dan mengganggunya. Banyak hal di buku ini yang mengingatkan kita akan indahnya masa kecil.

"Nenekku mengirimkannya. kau tahu, kan, para nenek selalu lupa kalau kau sudah bertambah besar."(hlm. 68)

Sayangnya, usaha dan impian Jesse mendadak buyar ketika suatu hari ada anak pindahan dari kota bernama Leslie Burke. Anak cewek yang kelakuannya kayak cowok itu telah mengalahkannya dalam perlombaan lari. Bahkan, dia juga berhasil mengalahkan semua anak lelaki di kelas.Jesse awalnya merasa marah. harga dirinya sebagai cowok terusik karena kalah lari dengan cewek. Untungnya, Leslie adalah anak cewek yang unik sehingga tidak butuh lama bagi keduanya untuk bisa bersahabat. Lewat Leslie, Jess belajar tentang menghargai keunikan, tentang menjadi diri sendiri, tentang tetap lurus mengejar impian meskipun orang-orang menertawakannya. Dan, yang lebih utama, Leslie mengajak Jess untuk tidak takut berimajinasi.Keduanya pun mendirikan Kerajaan Terabithia,  tempat  khayalan dan imajinasi adalah batu bata penyusunnya.  Negeri di mana mereka bisa melarikan diri dari tugas sekolah yg membosankan, masalah-masalah dalam keluarga, dan kegalauan-kegalauan lain yang muncul menjelang masa remaja. 

"Semua orang kadang-kadang merasa takut. Kau tak perlu malu. Semua orang pernah takut." (hlm. 223)

Membaca buku ini, kita akan dibawa kembali ke indahnya masa kanak-kanak tempo dulu, tepatnya tahun 1970-an di pedalaman Amerika Serikat. Waktu itu belum ada telepon genggam dan internet, walau sudah ada TV.  Jesse sendiri digambarkan berasal dari keluarga sederhana yang sekedar membelikan anak-anak putrinya gaun yang pantas untuk Paskah pun tak sanggup. Jadi, anak-anak di buku ini bermain dengan apa saja yang tersedia gratis di sekitar. Jesse dan teman-temannya
asyik lomba lari dan main bola ketimbang sibuk PS-an. Mereka terlalu asyik mencari tempat-tempat seru untuk berpetualang di hutan, bikin markas rahasianya, melompati sungai, berayun dengan dahan pohon, lari-lari dengan anjing sehingga tidak sempat mengeluhkan sinyal yang jelek atau hutan yang datang tiba-tiba. Alam benar-benar menjadi sahabat sejati anak-anak. Setting novel ini sangat indah dan sederhana, mengingatkan kita pada film Little House on the Prairie. Benar-benar perayaan dari masa kanak-kanak yang sesungguhnya. 

 
"Terkadang, kau harus memberikan kepada orang lain sesuatu yang mereka sukai, bukan sesuatu yang membuatmu senang karena telah memberikannya." (hlm. 229)


Pernah ada yang bilang bahwa buku bisa membuat pembacanya terluka. Dan, saya memang terluka setelah membaca buku. Tapi terluka yang indah, yang membuat saya langsung terhenyak saat sampai di endingnya. Sebuah ending yang cukup menyayat hati tapi meninggalkan pelajaran moral yang luar biasa bagi kita, para pembaca yang telah diberi anugerah untuk tumbuh dan melalui masa-masa kecil yang begitu indah. Lewat buku kecil ini, pembaca akan belajar banyak hal besar tentang tumbuh dewasa, menjadi dirimu sendiri, juga menjadi manusia yang lebih peduli pada alam sekitar. Kisah indah dalam buku ini selamanya akan tertanam di hati para pembacanya.

"Dan untuk teror yang kelak ada, yah kau hanya perlu menghadapinya dan tidak membiarkannya menakutimu hingga pucat. Benar, kan Leslie?"(hlm. 230)

Cinta versus Persahabatan dalam Novel Imaji Terindah

$
0
0
Judul: Imaji Terindah
Pengarang: Sitta Karina
Penyunting: Siti Nur Andini
Tebal: 288 hlm
Cetakan: Pertama, Desember 2016
Penerbit: Literati

33561931

Lewat Imaji Terindah, saya pertama kali dikenalkan dengan salah satu membertermuda klan Hanafiah, Christoper Hanafi. Kayaknya, klan Hanafiah ini memang terancam bikin nagih pembaca. Sebelum baca buku ini, saya sempat mengecek goodreads untuk mencari tahu isi buku ini karena ini memang pertama kalinya. Alhamdulillah banget ya saya menemukan spoiler yang sangat kejam terkait Aki alias Kianti Srihadi dalam sebuah ulasan *banting sampah* kok ya tega banget ya itu orang dengan santainya bocorin satu hal yang sangat krusial untuk buku ini. Hal yang akan mengubah sekaligus mendewasakan seorang Christoper Hanafi. Tapi, untungnya, selain mendapat hadiah spoiler, saya juga dapat info kalau si Pangeran Chris ini idola banget buat banyak pembaca setia Klan Hanafi. Jadinya, ikut penasaran juga kira-kira apa yang bikin cowok berkacata mata ini jadi idola para pembaca.

“Kalau elo punya niat baik dan ingin melakukan sesuatu yang baik, lalukan. Nggak perlu umbar dengan kata-kata. Perbuatan sudah cukup jadi bukti yang jelas.” (hlm. 142)
 
Chris Hanafi adalah anak dari salah satu klan keluarga Hanafiah yang konon ‘memiliki’ sepertiga Indonesia berkat jaringan bisnisnya yang menggurita di penjuru negeri. Lahir dari keluarga kaya rupanya belum cukup, semesta juga memberinya wajah yang rupawan, tubuh yang tinggi atletis, serta hobi yang cowok banget: otomotif. Chris ini jenis kakak kelas yang jadi idola adik-adik kelasnya di SMA, ya pokoknya idola begitulah. Tapi Chris belum memberikan hatinya pada satu cewek pun, tidak juga pada Rimbi yang teman paling dekatnya. Sayangnya, prinsip Chris yang nggak mau berkomitmen ini runtuh dengan datangnya Kianti Srihadi, murid pindahan dari Jepang. Awal Chris mendekati Kianti (selanjutnya disebut Aki saja ya—saya masih belum habis pikir gimana ceritanya Kianti kok jadi Aki) adalah karena tantangan dari Kei. Putra dari rekan bisnis Papanya itu menantang Chris yang hatinya masih perawan untuk mau pacaran, dan Chris memilih Aki.

“...bahwa hidup itu dibawa gampang, tapi jangan ngegampangin hidup.” (hlm. 180)

Pilihan yang salah, tapi bisa juga malah tepat. Takdir mengajarkan kita untuk menjalani hidup seperti air yang mengalir. Selalu ada hikmah dan kebaikan dari setiap peristiwa, juga dari kisah dan orang yang kehidupan kita bersinggungan dengan mereka. Ini pula yang dialami Chris. Entah bagaimana, cowok cuek itu merasa bergitu bersemangat untuk mencintai Aki. Belum pernah ia merasakan yang seperti itu dalam hidupnya yang masih muda. Christoper Hanafi telah jatuh cinta, dan jatuh cinta kali ini tidak main-main. Ada sesuatu yang istimewa dari diri Aki, sesuatu yang bikin Chris ingin selalu melindunginya. Kemudian, cinta membuktikan bahwa siapa pun harus bisa lolos dari ujiannya kalau ingin mendapatkan kebahagiaan. Bahkan seorang Chris Hanafi yang tajir melintir itu juga nggak bisa lepas dari ujian. Beragam masalah mulai menerpanya semenjak ia dekat dengan Aki: sahabat-sahabatnya yang mulai menjauh, perilakunya yang mendadak melow-galau, hingga rahasia dalam hidup Aki yang sungguh tak terduga.

"Legend says, when you can’t sleep at night, it’s because you’re awake in someone else’ dream.” (hlm. 204)

Pertama kali membaca sosok Chris di buku ini, saya meh aja karena deretan kesempurnaan yang melekat pada diri Chris ini bikin wujudnya nggak manusiawi. Ada begitu banyak pertentangan dalam penggambaran tokoh ini: wajah mulus khas oppa-oppa Korea tapi kok sukanya mainan mesin motor, pake kacamata tapi juga jago renang dan olah raga, kaya raya tapi masih muda; semua kualitas dari sosok pria sempurna ada dalam dirinya. Penulis seperti hendak menjejalkan semua kualitas  cowok kesukaan para cewek dalam satu individu. Karakter seperti ini biasanya membosankan bagi saya, tapi herannya kok banyak pembaca yang suka. Lalu, saya pun meneruskan membaca novel ini. Semakin ke belakang, semakin ceritanya berkembang, saya jadi makin tahu apa yang bikin cowok Hanafi ini spesial bagi para pembaca: caranya memperlakukan wanita. Apa yang Chris lakukan untuk Aki memang romantis abis, intinya ia bisa tahu bagaimana memperlakukan wanita. Ketika akhirnya Chris menunjukkan kerapuhan dirinya, sosok yang awalnya serbasempurna itu kini jadi sedikit lebih manusiawi.

"Orang yang tidak menyerah terhadap persahabatan yang sudah porak-poranda, apalagi namanya kalau bukan pahlawan terhadap persahabatan itu sendiri?” (hlm. 242)

Saya memang jarang baca novel romance tetapi bukan berarti saya anti sama novel jenis ini. Bagi saya, buku yang bagus tetaplah bagus, tak perduli apa pun genrenya. Apalagi, novel yang digarap dengan bagus, bagi saya lebih utama meskipun ceritanya kurang menarik. Kisah di buku ini mungkin pasaran, tetapi terasa menyenangkan dibacanya karena ditulis dengan bagus. Mungkin, saya agak kurang berkenan “halah” dengan karakter Chris yang terlampau sempurna di buku ini. Tetapi, saya benar-benar penasaran sama cuplikan tiga bab awal  dari kisah Nara Hanafi di bagian belakang buku ini. Kalau besok ada tawaran mengulas lagi, saya mau deh *husy giliran gratisan aja semangat ck ck ck* Akhirnya, semua kisah akan selalu membawa pelajaran baru bagi kita. Sebagaimana Chris yang belajar lebih dewasa lewat keberadaan Aki, semoga pembaca juga bisa semakin menghargai cinta, persahabatan, dan keluarga setelah membaca Imaji Terindah. 

“Being good friend is always a good idea.” (hlm. 142)

Terbuai Jok Pin dalam Ibadah Puisi

$
0
0
Judul: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi
Penyusun: Joko Pinurbo
Cetakan: Juni, 2016
Tebal: 212 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Baca di: Scoop

 30531785

Membaca puisi-puisi Jok Pin adalah membaca keistimewaan dalam kesederhanaan. Tanpa kata-kata tinggi yang tak tersentuh awam, Jok Pin selalu berhasil membuai pembaca lewat puisi-puisinya yang bercerita. Ini masih ditambah dengan permainan bunyi-bunyian dalam kata-kata pilihan, menjadikan deretan kata-kata biasa terasa lebih istimewa lewat puisi-puisinya. Kelebihan ini masih ditambah dengan ending yang seperti mempermainkan pembaca, tetapi dengan cara yang menyenangkan. Rasanya, selalu ada yang layak ditunggu di bagian penghujung puisi-puisinya. 

Masa kecil kaurayakan dengan membaca,
Kapalamu berambutkan kata-kata
Pernah aku bertanya, "Kenapa waktumu
kausia-siakan dengan membaca?" Kaujawab ringan.
"Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata
yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan
yang tak terhingga banyaknya."

Kau memang suka menyimak hujan.
Bahkan dalam kepalamu ada hujan
yang meracau sepanjang malam

Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja
dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang
"Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius
maupun yang ringan. Jangan bawakan saya
rencana-rencana besar masa depan.
Jangan bawakan saya kecemasan."


(Surat Malam untuk Paska)


Tema-tema puisinya awam dan lugas, tetapi ada kecenderungan Jok Pin menggunakan satu tema besar dalam puisi-puisinya. Di antaranya celana, hujan, dan buku. Penyair ini sepertinya tetap konsisten menampilkan permainan bunyi dari kata-kata sederhana, alih-alih menggunakan kata-kata kaya akan metafora sebagaimana banyak dipakai penyair-penyair eara kekinian. Prinsip 'puisi yang berbunyi' sebisa mungkin dipertahankan, meskipun akhirnya hanya berujung pada perulangan penggunaan kata-kata yang pendek dan sederhana.

Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja
aku kekasih atau pacar malangmu.
Selamat panjang umur, cetak ulang selalu.

(Selamat Ulang Tahun Buku)

Walau begitu, tidak kemudian puisi-puisi ini jadi semacam larik-larik pasaran. Tidak sekadar berlagu, Jok Pin mempertahankan elemen "puisi yang bercerita" dengan sedikit pengaruh cerpen yang ditandai pada ending mengejutkan di larik paling belakang. Seperti pada puisi 'Dengan Kata Lain' di halaman 126 yang berkisah tentang seorang aku yang baru pulang ke kampung halaman.  Keluar dari stasiun, si aku lalu mencari tukang ojek untuk mengantarnya pulang ke rumah. Tak disangka, tukang ojek itu adalah mantan gurunya dulu. Sesampai di rumah, di tukang ojek keburu berlalu padahal si aku belum sempat membayar ongkos ojeknya. Si aku bingung, pembaca juga penasaran. Kemudian, perhatikan bait terakhir di puisi ini:

Tak ada angin, tak ada hujan, Ayah tiba-tiba
bangkit berdiri dan berseru, "Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu."

Masih banyak lagi puisi-puisi seru di buku ini. Seluruhnya bisa dibaca sambil lalu, atau dinikmati pelan-pelan satu-per-satu. Sambil menikmatinya pelan-pelan, membaca puisi-puisi di buku ini adalah hiburan yang menyenangkan, sama sekali tidak memberatkan. Jika pun ada beberapa puisi di buku ini yang terlampau panjang sehingga menjenuhkan, atau sedikit berisi sehingga memusingkan, cukup dinikmati dulu saja. Semoga selalu masih ada nanti ketika kita bisa menenggoknya kembali.  

T(Teruntuk) Y(yang) P(Pembaca) O (Oemur 18 Tahun ke Atas)

$
0
0
Judul: Typo
Penulis: Chistian Simamora
Penyunting: Alit Tisna Palupi
Penerbit: Twigora
Tebal: xii + 476 halaman


 30370606

Terima kasih kepada Wardah yang berbaik hati meminjamkan buku hawwtttt ini. Dari Wardah pula saya tahu kalau di TYPO ini kadar HOT-nya paling puncak*halah* dibanding karya-karya Chrismor sebelumnya. Saya termasuk mengikuti seri Jboyfriends ini--walau dua buku terakhir belum sempat baca (dan beli) karena ketimbun bacaan sastra*kejengkang di genangan cokelat*--jadi lumayan tahu kadar kipas-kipasnya. Dan memang di TYPO ini kadar adegan ranjangnya termasuk bikin pengen berani! Jika di buku-buku sebelumnya, adegan ranjangnya masih taraf bulatan biru (alias butuh bimbingan ORTU--orang tau) maka di TYPO ini bulatannya merah alias termasuk kudu pake resep 'sudah dewasa sebelum waktunya'sebelum membacanya wkwkwk. Terutama, bagian Mai ketika menyenangkan dirinya sendiri lumayan 'dalem' menggambarkannya. Tapi, untuk pembaca dewasa sih kudunya bisa ditoleransi. Bagi pembaca remaja sebaiknya jangan baca TYPO dulu, atau baca tapi dengan pikiran terbuka (bukan baju yang terbuka ya, catat).


"Eh, berandai-andai boleh nggak?" Mai mengangguk lagi. "Gimana kalau suatu saat salah satu dari kita ternyata jatuh cinta?"
"Artinya, salah satu dari kita baru saja ngelakuin kesalahan." Hening sesaat. "Like a typo."
"Typo? Apa itu?"
"Typographical error," jelas Mai. "Kesalahan ejaan atau penulisan kata pada materi cetak."


Yang bikin TYPO ini beda adalah adegan panas permulaan konfliknya yang bikin panas dingin dapat diintip pada blurb novel ini. Josh Mallick dan Maisie Varma dijodohkan oleh kedua orang tuanya ketika keduanya masih remaja (14 tahun loh, saya 14 tahun dulu masih ngapain ya? Kayaknya masih sibuk cari ikan di sawah alhasil diuber-uber Pak Tani karena nginjek-injek tanaman padinya). Ide perjodohan yang tercetus agak terlalu dini itu awalnya ditanggapi setengah hati oleh Mai. Namanya juga remaja, belum sempat namatin baca serial Cantik masak udah suruh nikah aja? Ya wajar sih Mai menolak. Tetapi, setelah sedikit bertemu dengan Josh, getar-getar itu mulai muncul. Mai tidak lagi sepenuhnya menolak ide perjodohan itu. Tapi, bukan kisah cinta namanya kalau jalannya semulus roti sisir cap Ananda. Oma Josh menentang ide bodoh itu, menganggap orang tua Josh dan Mai sebagai orang-orang yang suka memaksakan kehendaknya. Jadi, ide perjodohan dini pun dibatalkan.

Bertahun-tahun kemudian, Josh dan Mai dipertemukan kembali pada usia twenty-something. Mai tumbuh jadi wanita karier dengan prestasi yang mulus semulus pahanya. Sementara Josh telah berkembang jadi pria dengan pergaulan luas seluas dada bidangnya. Sama-sama muda, pekerja keras, sukses, dan kaya raya; keduanya dipertemukan untuk kali kedua dalam sebuah proyek bersama keluarga Mallick dan Varma. Kembali saling berinteraksi setelah keduanya sama-sama dewasa tentu berbeda dengan ketemunya pas remaja. Sementara Mai adalah cewek kutu buku elegan dengan masa depan cerah, Josh adalah pemuda playboy yang suka gonta-ganti pacar. Josh is definitely not for Mai, except his kiss, may be. Temen deket Mai juga sudah wanti-wanti Mai agar tidak jatuh hati sama Josh mengingat perilaku liar cowok itu. Sayangnya, nafsuperasaan sering kali nggak peduli sama yang namanya logika. Mai masih mengingat getar-getar halus saat perjodohan mereka dulu. Di lain pihak--yang bikin Mai terkejut--Josh ternyata juga masih ingat.

Profesionalisme mengharuskan keduanya sering bertemu dan berinteraksi. Ketika keduanya harus tinggal di Bali selama sebulan untuk mengawasi pembukaan sebuah proyek keluarga, benih-benih cinta menemukan kesempatan bersemi. Mai dan Josh sama-sama tertarik secara fisik, dorongan hasrat di antara keduanya begitu berat sehingga tak mungkin menampik bisikan nafsu yang sudah mendidih di ubun-ubun. Tetapi, atas nama profesionalisme, keduanya sepakat untuk membatasi hubungan keduanya sebagai having fun semata, dan berjanji tidak akan bawa-bawa hati. Hubungan Josh dan Mai hanya sebatas hubungan badan, tidak sampai ke hubungan hati. Errr ... ini rasanya agak gimana gitu sih buat orang Indonesia, tetapi karena di fiksi ya mau gimana lagi. Mangkanya buku ini memang sebaiknya untuk konsumsi pembaca dewasa, bukan remaja. Orang tua dan kakak-kakak harap waspada ya. Karena, hubungan Josh dan Mai di TYPO memang beneran hawwttttsyiinnn. 

Celakanya--atau malah untungnya, cinta perlahan-lahan tumbuh. Walau diam-diam dan saling mengingkari, Josh dan Mai sama-sama memendam perasaan merah hati yang mulai tumbuh. Ya jelas aja sih, hubungannya sampai kipas-kipas bintang lima gitu masak ya nggak ngelibatin hati? Mai aja sampe merem melek sementara Josh melet-melet *skip nggak penting* jadi wajar aja kalau rasa suka itu muncul. Sayangnya, entah karena keadaan atau mungkin penyangkalan, keduanya sepakat untuk hanya saling hasrat tapi tidak saling cinta. Kita adalah janji yang ditakdirkan untuk diingkari, begitu prinsip keduanya. Dan ketika cinta disangkal, yang muncul adalah rasa sakit. Baik Mai dan Josh harus mau menerima balasan dari penyangkalan yang mereka lakukan. Memang benar kata salah seorang penulis: bahwa untuk perkara cinta, jangan pernah main-main dengan kelaminmu hatimu. Tiga bintang untuk TYPO.
  
"Relationship itu lebih dari sekadar berpelukan, berpegangan tangan, berciuman... Relationship isn't about who you can see your life with, but who you can't see your life without." (hlm. 31) 

Berkelana dalam Imajinasi Surealis-Relijius Danarto di Berhala

$
0
0


Judul: Berhala, Kumpulan Cerpen
Pengarang: Danarto
Penyunting: Tia Setiadi
Korektor: Muhajjah Saratini, RN
Tebal: 226 hlm
Cetakan: Pertama, Maret 2017
Penerbit: DIVA Press


Tahu novel ini dari teman yang lulusan Sastra Indonesia, katanya Berhala adalah salah satu karya Danarto yang wajib banget dibaca. Sayangnya, waktu itu kumcer ini sempat langka di pasaran sehingga saya hanya bisa penasaran. Kemudian, ciduk pun bersambut, Berhala kembali diterbitkan dalam proyek #SastraPerjuangan sehingga saya bisa turut membaca gratis novel ini di kantor.  Seperti pengalaman saat membaca Gergasi dulu (yang menghasilkan ulasan yang tak  pernah tuntas), banyak hal yang bikin kaget saat membaca Berhala. Ciri khas Danarto yang surealis-relijius masih terasa kental di banyak cerpen, tetapi tampaknya tidak sekental di Gergasi atau di Setangkai Melati di Sayap Jibril. Beberapa cerita agak 'longgar untuk ukuran Danarto, tetapi di cerita-cerita akhir di buku ini, elemen religius-surealis itu terasa kembali. 

Kisah-kisah di buku ini diawali dengan ide yang sederhana, tapi sangat mengalir dan bikin penasaran. Danarto dengan mulus menuliskan kisah-kisah keseharian yang banyak terkait dengan setting orde baru, seperti tentang korupsi, pembunuh misterius (petrus), dan pembakaran pasar. Beberapa settingnya mungkin terasa kekunoan atau ketinggalan zaman, tapi mohon diingat ulang bahwa Berhala pertama kali terbit tahun 1987. Yang lebih hebat lagi, banyak hal yang disindir Danarto lewat cerpen-cerpen di buku ini adalah tema-tema yang sensitif untuk ukuran rezim Orde Baru. Tetapi, gigitan-gigitan itu selalu tersembunyi secara apik lewat kisah-kisah sederhana yang unik. 

"Kita selalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya." (hlm. 34)


Keunikan lain ada pada judulnya. Setelah buka buku ini dan tanya ulang ke Mbak Ajjah, saya baru sadar kalau tidak ada satu cerpen pun yang berjudul 'Berhala' dalam kumpulan cerpen Berhala ini. Awalnya saya bingung, kok bisa dapat nama 'Berhala' sebagai judul padahal cerpennya nggak ada. Bukankah biasanya judul buku kumcer diambil dari salah satu cerpen di dalamnya? Lalu, saya iseng baca ulasan seorang teman yang menulis bahwa Berhala di buku ini berkaitan dengan apa-apa yang kita idolakan, yang kita cintai dengan terlalu berlebihan sehingga membuat kita lupa akan Tuhan. Dan, esensi dari berhala itu sendiri bukankah segala sesuatu yang ‘disembah padahal dia bukan Tuhan.’ Dengan apik, Danarto menyindir kita tentang berhala-berhala di era modern yang tidak lagi berupa patung. Berhala-berhala di zaman kita adalah harta, jabatan, kecerdasan, bahkan anak yang kita sayangi.  Kecerdasan pun bahkan bisa menjadi berhala kalau kita terlalu memujanya. 

Selain judul yang meresap dalam cerpen-cerpen di dalamnya, ending cerita dalam kisah-kisah karya Danarto ini juga unik. Di awali dengan cerita yang sederhana tapi temanya mengigit, lalu ujug-ujug diakhiri dengan ending yang surealis. Benar kata Umar Kayam di pengantar untuk buku ini, bahwa Danarto dalam cerita-ceritanya seperti memadukan antara yang lahir dan yang batin, antara dunia dan akhirat. Elemen religius ini yang mungkin membuat kisah-kisah dalam Berhala (dan mungkin dalam karya-karya Danarto lainnya) terasa surealis. Danarto menggabungkan begitu saja kisah cerpen koran era Orde Baru dengan kejadian-kejadian ajaib di ending. Seperti cerpen Langit Menganga dan Cendera Mata.  Tapi, nuansa religi itu disembunyikan dengan sedemikian rapat sehingga sama sekali isi buku ini tidak terasa berkhutbah atau hendak menceramahi pembacanya.

Elemen ‘tak terduga’ yang mewarnai cerpen-cerpen Danarto—menurut Umar Kayam--melambangkan manusia yang juga tidak terduga.  Danarto sendiri menyebut Tuhan sebagai Dzat yang Maha Tak Terduga dalam cerita Langit Menganga (hlm. 203). Mungkin hal ini yang turut menginspirasi beliau dalam menuliskan cerpen-cerpennya. Ini makin menegaskan pandangan Danarto yang inin berrelijius dalam karya-karyanya. Mungkin ini atau entah, ada sesuatu dalam karya-karya Danarto yang mungkin butuh dibaca berulang-ulang dengan disertai referensi bacaan lagi jika ingin benar-benar paham apa yang hendak dimaksudkan oleh sang pengarang yang juga pelukis dan perupa ahli ini. Mungkin, Danarto sendiri adalah—sebagaimana kata Umar Kayam lagi—seorang penulis yang sudah sufi sehingga perlu 'tirakat' yang lebih tinggi dan lebih lagi untuk bisa memahaminya.

Empat bintang untuk kumcer legendaris ini. 


Blogtour and Giveaway: Habibie, Ya Nour El Ain

$
0
0
Judul: Habibie, Ya Nour Elain
Pengarang: Maya Lestari GF
Penyunting: Irfan Hidayatullah dan Irawati Subrata
Cetakan: Pertama, Desember 2017
Tebal: 238 hlm
Penerbit: DAR! Mizan
ISBN : 978-602-420-298-9






"Setiap orang perlu dikenang dengan cara yang baik. Dan sebuah pohon atau bunga, adalah pengingat yang menyenangkan."(hlm. 64)

Dunia pesantren ternyata juga menyimpan sepilihan kisah cinta yang tidak kalah manisnya dengan kisah cinta di SMA. Tentu, aroma romansa yang muncul juga akan berbeda dibanding kisah-kisah cinta biasa. Lingkungan pesantren yang membatasi pergaulan antara santriwan dan santriwati menjadikan minimnya interaksi yang terjadi. Tetapi, bukan pertama kali cinta tumbuh di balik tembok pesantren. Walau hanya jenis cinta yang malu-malu dan hanya bisa memandang dari kejauhan (bahkan hanya dalam mimpi), bibit-bibit cinta bisa tumbuh di mana saja, termasuk di pesantren.  Pelan tapi menetap, cinta itu menyusup dalam kalbu sebelum kemudian bermukim di hati selamanya. Tiada siang atau malam yang terlewat tanpa memikirkan si dia.

"Tapi jatuh cinta bukanlah sesuatu yang bisa direncanakan .... Cinta adalah sesuatu yang di luar dimensi manusia. Ia tidak berada dalam rencana-rencana atau cita-cita. ... Cinta diciptakan dengan dimensi dan logikanya sendiri dan diciptakan Tuhan untuk masuk ke alam manusia dengan cara yang tidak mampu kita pahami." (hlm. 14)

Inilah yang dialami oleh Nilam, seorang santriwati taat di sebuah pondok pesantren. Takdir telah mempertemukannya dengan Barra Sadewa tepat di bawah pohon mahoni kesukaannya. Pohon yang menjadi penanda kelahirannya itu seolah menjadi sebuah pertemuan malu-malu yang tak disangka akan mengubah hari-hari kedua insan muda ini. Karena kebandelannya, Barra yang anak SMA biasa dihukum oleh kepala sekolahnya untuk mondok selama dua pekan di pondok pesantren milik ayah Nilam. Memasuki dunia pesantren yang masih sangat asing, Barra kebingungan dan terpaksa bertanya kepada satu-satunya manusia pertama yang dijumpainya di pesantren, Nilam. Dalam diamnya, Nilam berusaha menanggapi Barra yang tengah bertanya arah ke pesantren putra. Debar-debar aneh mulai terasa di hati Nilam. 

Kamu seperti bukan dari dunia ini. Seperti muncul dari buku-buku sastra lama, atau keluar dari pikiran-pikiran paling terhormat seorang pujangga."(hlm 46)
Walau sadar bahwa dia dan Barra begitu berbeda bak langit dan bumi, entah kenapa sosok cowok badung itu terus terbayang dalam pikirannya. Nilam adalah seorang santriwati pemalu yang lebih suka menghabiskan waktu bersama buku-buku. Barra Sadewa, sebaliknya adalah tipe cowok SMA bandel yang suka kelayapan dan main musik sampai malam. Mungkinkah kedua insan yang jauh berbeda ini dipersatukan? Bukankah cinta biasanya menyatukan mereka yang hampir sama dan serupa? Ah, tetapi Tuhan Maha Berkuasa, cinta juga kadang bisa menyatukan dua insan yang begitu berbeda. Tetapi, lingkungan pesantren yang ketat tidak memungkinkan cinta keduanya diumbar. Hanya surat menyurat yang menjadi curahan hati. Surat demi surat menjadi saksi perjalanan cinta keduanya. Lewat surat Barra untuk Nilam dan surat Nilam untuk Barra, pembaca diajak menyaksikan perjalanan cinta keduanya. Cinta yang malu-malu mungkin ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kisah Nilam dan Barra. Mungkin kah cinta keduanya bisa bersatu sementara dunia mereka sedemikian berbeda?  

Hidup adalah refleksi diri kita. Apa yang kamu keluarkan untuk dunia, itulah yang akan dipantulkan balik kepadamu. Kamulah yang memilih, akankah memberi kebaikan atau keburukan."(hlm. 16)

Semenjak Syahadat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, saya jarang membaca novel berlatar pesantren. Membaca novel ini, selain membawa nostalgia indah itu, juga memperkenalkan kembali nuansa pesantren yang khas. Eloknya lagi, setting pesantrennya di pedalaman Sumatra bikin terkenang pada buku-buku Balai Pustaka di era SMP dulu. Nah, selain kisah cinta Nilam dan Barra, keunggulan lain dari buku ini  ada pada sosok-sosok pendamping yang sedemikian bijaksana. Seperti ayah Nilam dan juga guru-guru di pondok pesantren, ujaran dan ucapan mereka sedemikian menyejukkan. Nilai-nilai islam di pesantren yang menyejukkan kembali dihadirkan lewat tokoh-tokoh ulama di buku ini. Pokoknya, selain dapat cinta yang manis disimak, pembaca juga dapat banyak petuah-petuah yang maknyes di hati. 

"Kadang orang tak memerlukan banyak nasihat. Mereka cuma butuh melihat, bahwa mereka disayangi. Kasih sayang adalah nasihat yang paling baik." (hlm. 155)


GIVEAWAY YAYYYY


Mau cobain rasa cinta yang manis dan malu-malu di novel ini? Kebetulan nih Penerbit Dar! Mizan bakal membagikan satu novel Habibie, Ya Nour El Ain gratis untuk satu pembaca yang beruntung. 

1. Silakan follow dulu akun twitter  Maya Lestari GFPenerbit Mizandan  Dar! Mizan.

2. Silakan follow juga Instagram (bagi yang punya) @Pastelbooks.id

3. Share info giveaway ini dengan mencolek saya di @dion_yulianto atau di Facebook (Dion Yulianto)

4. Silakan menjawab pertanyaan berikut di kolom komentar postingan ini (cukup satu kali saja)

"Pengen coba mondok di Pondok Pesantren nggak sih? Kalau iya alasannya apa, dan kalau tidak alasannya apa juga."

5. Format Jawaban:

Nama:
Twitter/Facebook:
Tautan share:
Jawaban:

6. Giveaway di blog ini berlangsung sampai 13 Maret 2017. Saya akan memilih satu pemenang berdasarkan jawabannya.Giveaway ini hanya berlaku untuk peserta yang beralamat (atau memiliki alamat kirim) di NKRI saja ya.

Terima kasih sudah ikutan.

 
  

Curahan Hati Seorang Drupadi

$
0
0
Judul: Drupadi
Pengarang: Seno Gumira Ajidarma 
Editor: Widya Kirana
Cetakan: 1, 2017
Tebal: 149 hlm
Ilustrasi Sampul dan Isi: Danarto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Membaca Drupadi adalah membaca epos agung Mahabharata dari sudut pandang Drupadi. Model penceritaan seperti ini sebenarnya sudah digunakan oleh Divakaruni dalam The Palace of Illusion yang sampai saat ini saya belum 'tega' membacanya karena lumayan tebal (padahal belinya tahun 2012). Mahabharata saja saya membacanya dengan cara mencicil  sehingga bisa tamat juga walau butuh waktu enam bulan. Tetapi, ada untungnya juga selesai membaca karya agung dari India itu jadi bisa sedikit tahu alur besar kisah dalam Mahabharata mulai dari pembuangan Pandawa hingga pecahnya perang akbar Bharatayudha. Sedikit banyak, juga jadi lumayan tahu beberapa tokohnya: Patih Sengkuni yang licik, Pandita Durna dan Adipati Karna yang sakti tetapi harus membela Kurawa karena kewajiban sebagai ksatria, dan terutama tentang sosok Drupadi yang begitu legendaris ini. Dalam banyak tulisan, istri dari kelima Pandawa ini disebut-sebut sebagai wanita yang memulai perang Bharata Yudha. Sebuah perang yang tidak hanya memunahkan semua bala Kurawa (yang jumlahnya 100 orang) tetapi juga meminta korban anak-anak Pandawa. 

"Betapa segala sesuatu yang berlebihan hanya akan berakhir memualkan sahaja."(hlm. 35)


Salah satu penyebab perang besar antara kubu Pandawa dan Kurawa ini memang dendam Drupadi kepada Duryudhana, meskipun masih ada penyebab-penyebab lain terkait kelicikan keluarga Kurawa. Tetapi, dalam Drupadi, Seno menyorot khusus peran Drupadi. Yang sudah baca Mahabharata pasti tahu posisi Drupadi ini. Generasi 80-90-an yang dulu sempat menyaksikan serial Mahabharata di TPI juga pasti masih hafal adegan Drupadi yang pakaian sarinya ditarik oleh Dursasana. Atas kehendak dewata, helaian kain yang membalut tubuh Drupadi tidak habis-habis meskipun Dursasana terus menariknya. Dalam cerita di TV atau di versi buku, dikisahkan Dursasana akhirnya kelelahan sendiri ketika hendak 'menelanjangi' Drupadi. Walau demikian, Drupadi tetap tidak rela dengan pelecehan kehormatan ini. Wanita itu menyerukan sumpah suci bahwa dendamnya tidak akan pernah tuntas sebelum dia bisa keramas dengan darah Dursasana. Mungkinkah Drupadi demikian mendendam sebegitu hebat? 

Seno rupanya memiliki versi jawaban terkait dendam Drupadi ini.  Dalam Drupadi, penulis ini menghadirkan kisah Mahabharata dalam versi ringkas, tetapi fokus penceritaan adalah dari sudut pandang Drupadi. Maka pembaca akan bisa menyimak di buku ini, tentang kelahiran Drupadi yang tercipta dari sekuntum teratai yang tengah mekar, bagaimana wanita ini kemudian tumbuh menjadi gadis yang cantik bak dewi kahyangan, hingga akhirnya ia menjadi istri dari Arjuna sekaligus istri dari keempat Pandawa yang lainnya. Kemudian, Seno secara khusus membeberkan adegan ketika Yudhistiwa bermain dadu (judi) dengan para bala Kurawa yang licik atas bisikan jahat Sengkuni. Sulung Pandawa ini memang gemar berjudi walaupun ia selalu kalah, dan inilah yang dimanfaatkan Sengkuni untuk merebut kerajaan Hastina. Ketika harta dan kerajaan sudah kalah di arena pertaruhan, Yudhistira pun mempertaruhkan Drupadi--istri yang sangat dicintainya.  Sebagaimana bis ditebak, ia kalah dan Drupadi pun direlakan menjadi barang milik Kurawa.

Di babak ini, pembaca akhirnya akan mengetahui mengapa Drupadi sedemikian mendendam kepada Kurawa. Agak berbeda dengan versi yang sudah kita baca, dalam Drupadi ini Seno menjatuhkan vonis yang sedemikian mengerikan kepada Drupadi. Ilustrasi Danarto yang menghiasi halaman-halaman dalam buku ini begitu pedih menggambarkan kepiluan wanita tersebut yang dipaksa melayani 100 Kurawa. Di mana Pandawa? Kelimanya hanya diam saja menyaksikan Drupadi sebagai korban keegoisan sang sulung. Betapa nasib Drupadi menyiratkan takdir wanita yang seolah adalah baran milik pria sehingga bisa dipertaruhkan atau bahkan diperjualbelikan seenaknya. Lebih miris lagi, lagi-lagi nilai kesatria yang menahan Pandawa untuk menyelamatkan Drupadi. Sebagai lelaki ksatria, mereka pantang melanggar janjinya, meskipun janji itu harus mengorbankan harga diri istri mereka yang sangat dicintai. Aneh rasanya, ketika nilai-nilai kesatriaan itu malah akhirnya mencegah mereka bertindak layaknya para kesatria yang harusnya melindungi wanita.

Jika membaca Mahabharata kita disuguhi dengan nilai-nilai kepahlawanan para Pandawa, maka dalam buku ini Pandawa-lah yang dikritik habis-habisan. Seno sepertinya menggunakan sudut pandang feminisme, terbukti dengan begitu banyak barus kalimat yang menyudutkan Pandawa. Dengan cerdas, penulis mengajak pembaca melihat kisah ini dari sudut pandang Drupadi sehingga sedikit banyak kita bisa 'memahami' besarnya dendam wanita itu terhadap keluarga Kurawa. Dari buku ini juga, kita belajar untuk menguak sisi hitam dari manusia--bahwa manusia adalah mahkluk yang abu-abu alias perpaduan dari hitam dan putih, baik dan buruk. Selalu ada alasan di balik setiap tindakan dan pilihan. Dan lewat membaca buku-buku seperti Drupadi ini, kita belajar untuk tidak lekas menghakimi dan mau memahami. 

“Maka hidup di dunia bukan hanya soal kita
menjadi baik atau menjadi buruk,
tapi soal bagaimana kita bersikap kepada
kebaikan dan keburukan itu.”

Tirai, Kasus Terakhir Hercule Poirot

$
0
0


Judul: Tirai
Pengarang: Agatha Christie
Penerjemah:
Tebal: 320 hlm
Cetakan: 3, Oktober 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

23307952
 
Seperti tersirat dalam judul versi Inggrisnya, pembaca bisa menebak bahwa inilah kasus terakhir yang ditangani Hercule Poirot. Jadi, siap-siap sedih terharu saja ya seusai membaca buku ini karena hiks ... hiks. Tirai mengambil tempat kejadian perkara di Styles, yang juga lokasi pertama kali Hercule Poirot dipertemukan dengan Hastings. Puri tua yang kini menjadi losmen tua itu pernah menjadi saksi kasus perdana Poirot (yang sekaligus adalah buku pertama karya Agatha Christie) dan sekaligus menjadi saksi perpisahan antara kedua sahabat detektif ini. Dan di kasus terakhirnya ini, Hercule Poirot akhirnya dipertemukan dengan seorang musuh yang seimbang. Si X ini begitu licin dan licik. Dia adalah otak dibalik terjadinya lima pembunuhan, dengan alibi dan metode yang sedemikian sempurna. Sementara kesehatannya semakin melemah, Hercule Poirot harus berkejaran dengan waktu untuk mengungkap si pembunuh dan menyeretnya ke pengadilan.

Hastings dipanggil ke Styles oleh Poirot yang sudah lama tidak ditemuinya. Poirot yang sudah mulai menua, berangsur sakit jantung, dan terpaksa harus duduk di kursi roda mengejutkan Hastings. Tetapi walau fisiknya lemah, Poirot menjamin bahwa otaknya masih sejenius dulu. Justru ats alasan inilah, Hastings dipanggil oleh Poirot karena menurutnya bahwa bakal ada kasus pembunuhan di Puri Styles. Puri tua yang dijadikan losmen itu dihuni oleh pasangan Luttrell (sebagai pemiliknya). Sementara, para tamunya adalah pasangan John Franklin dan Barbara Franklin, Judith Hastings (putri sulung Hastings), Stephen Norton (seorang pengamat burung), Allerton (playboy), William Boyd Carrington (mantan bangsawan), Miss  Cole yang misterius, serta suster yang merawat Nyonya Franklin. Satu di antara mereka adalah seorang pembunuh yang bertanggung jawab dalam lima kali pembunuhan. Hastings ceritanya dipaksa berpikir keras oleh Poirot untuk menemukan seseorang itu, karena Poirot tidak mau memberitahukan hal itu kepada Hastings. Bisa bahaya menurut Poirot jika Hastings tahu padahal buktinya belum ada.

 Saya sampai harus membuka-buka kembali halaman-halaman yang telah saya baca ketika proses membaca buku ini. Takut ada petunjuk yang terlewat, tokoh yang tersesat, atau mungkin sesuatu yang sengaja disembunyikan Poirot. Sepertinya, tidak cukup membaca Tirai ini satu kali saja, karena sesuatu yang terasa tidak selesai atau mungkin karena saya yang tidak ingin cerita Poirot selesai sampai di sini. Begitu banyak kejadian mengejutkan selepas halaman 200. Begitu banyak tokoh yang menyimpan rahasia sekaligus terkuak rahasianya menjelang akhir. Dan di sini, saya kembali membuka-buka lagi halaman depan untuk mencoba menikmati lagi kisah ini, mencoba agar tidak terlalu terjebak oleh tipuan penulis dalam menyembunyikan si X. Ekali lagi, Ratu Misteri ini bisa menyembunyikan si X dengan rap. Saya memang sudah menduga kalau ada sesuatu ketika Hastings hampir melakukan sesuatu yang xxxxx tetapi sama sekali kalau si X adalah si X.

Yang bikin Tirai ini greget adalah ada dua bonus tambahan dari Poirot di penghujung cerita. Tidak saja identitas si X telah berhasil dikuak, masih ada dua kejadian besar lagi yang menanti para pembaca di penghujung kisah. Salah satunya mungkin sudah bisa ditebak lewat versi judul Tirai dalam bahasa Inggris. Sebuah fakta yang bakal bikin penggemar Poirot tersedu-sedu. Tetapi, selain itu ternyata ada satu fakta lain yang bakal mengejutkan pembaca. Yah, di buku ini, sang detektif kesayangan kita memang digambarkan sedang sakit-sakitan, semakin tua, dan lemah dan ini sudah bisa menjadi petunjuk tentang akhir dari buku ini. Tetapi, sia-siap saja, bakal banyak bagian yang akan mengecoh pembaca. Sehingga, kemungkinan yang saya alami juga akan dilakukan pembaca lain: membuka-buka lagi halaman depan untuk mengecek kebenaran fakta-fakta di belakang. Satu kata: KEREN. Terima kasih Papa Poirot, terima kasih Tante Agatha Christie atas tokoh yang  indah ini.  

Kisah tentang Ke-takberhingga-an Cinta

$
0
0
Judul: Angan Senja ∞ Senyum Pagi
Penulis: Fahd Pahdepie
Penyunting:  Falcon Publishing
ISBN: 9786026051455
Tebal: 353 hlm
Cetakan: Pertama- Maret 2017
Penerbit: PT Falcon 



34326408


Bagaimana matematika yang ditegakkan oleh dasar logika bisa berpadu harmonis dengan musik yang tersusun atas urutan nada-nada bisa saling berpadu menjadi sebuah komposisi nan indah? Kadang, dua hal yang sangat jauh berbeda sering kali malah bisa saling berpadu secara sempurna, sebagaimana Angan Senja dan Senyum Pagi. Angan adalah seorang murid SMA genius yang jago matematika. Senyum sebaliknya, adalah tipikal cewek gaul SMA yang sangat populer di sekolahnya. Sementara Angan cenderung introvert dan lebih suka membaca, Senyum suka banget bergaul dengan banyak orang. Siapa sangka, kedua karakter berbeda ini secara tidak sengaja dipertemukan dalam sebuah acara bolos sekolah. Meskipun alasan bolos keduanya berbeda (Angan karena bosan dengan pelajaran sementara Senyum bolos karena belum mengerjakan tugas), keduanya sama-sama berlindung di sebuah ceruk tersembunyi di belakang kelas. Di antara semua perbedaan besar yang memisahkan keduanya, Angan dan Senyum ternyata bisa akrab karena mereka telah menemukan satu persamaan mereka: musik.

Musik adalah matematika perasaan. Mungkin ia bisa dihitung, tapi punya kemungkinan tak terbatas. (hlm. 81)


Sebagaimana kisah cinta anak SMA, cerita Angan dan Senyum menjadi ikatan yang lebih dari sekadar teman. Seringnya frekuensi pertemuan akhirnya memunculkan rasa nyaman. Baik Angan atupun Senyum merasa sudah klop satu sama lain. Sayangnya, keduanya sama-sama menyangkal adanya perasaan tersebut. Besarnya jurang perbedaan ternyata mampu memaksa cinta bertekuk lutut, keduanya memutuskan bahwa yang satu tidak tercipta untuk yang lainnya. Angan ragu karena Senyum benar-benar bukan tipe gadis yang ia bayangkan jadi pasangannya, sementara Senyum juga masih ragu dengan sosok Angan. Meskipun rasa indah itu sama-sama telah membelit keduanya, rasa ragu dan buruk sangka telah menjauhkan keduanya. Akhirnya cinta sepasang SMA itu pun terpaksa berakir seiring dengan lulusnya Senyum. Oh iya, Senyum ini adalah kakak kelas Angan. Tepatnya Angan kelas 10 sementara Senyum sudah kelas 12. Perbedaan lain, Angan adalah anak IPA teladan, Senyum anak IPS populer: dua tipe kepribadian yang jarang sekali bisa akur.

Seandainya orang lain mengetahui bahwa melupakan adalah sebuah kebahagiaan, mereka akan mengerti bahwa mengingat segalanya adalah sebuah penderitaan. (hlm. 10)

Hampir tujuh belas tahun kemudian, keduanya dipertemukan lagi, sayangnya dengan jurang pemisah yang semakin besar. Senyum sudah menjadi seorang ibu satu anak. Meskipun sudah menjanda, saat itu Senyum posisinya sudah hendak menikah dengan Hari, seorang pengacara sukses.  Angan sendiri, meskipun masih melajang, telah menjadi seorang sukses dengan memanfaatkan bakat cemerlangnya di bidang matematika. Selain jago matematika, Angan juga dianugerahi ingatan yang supertajam. Semua yang pernah dia alami, dia lihat, dia rasakan, dia dengar akan terekam jelas dalam ingatannya.  Bakat ingatan ini selama ini telah sangat membantunya dalam meraih kesuksesan, tetapi untuk kenangan masa lalunya bersama Senyum, bakat itu malah menjadi siksaan. Sekuat apa pun Angan berusaha melupakan, kenangan akan Senyum Pagi tak pernah lekang dari ingatan. Tetapi, kenyataan lagi-lagi mengingatkannya untuk move on. Angan harus memilih melupakan Senyum Pagi untuk memenuhi janji terakhir mendiang ibunya: menikah dengan Dini, sepupu sekaligus calon mantu pilihan.

Kita ini bodoh, ya? Mungkin karena kita pernah saling jatuh cinta. (hlm. 325)

Sepanjang buku ini, pembaca akan menyaksikan tarik ulur perasaan antara Senyum dan Angan. Dua orang yang sebenarnya sama-sama saling mencinta tetapi terkalahkan oleh keadaan dan dugaan sehingga kebahagiaan tak kunjung hadir menyapa. Dengan lembut, penulis mengajak pembaca menikmati kisah cinta Angan dan Senyum. Sebuah kisah cinta yang manis, yang apa adanya, yang seolah benar-benar nyata berkat kepiawaian penulis merajut cerita. Walau secara garis besar, kisah di buku ini sederhana, justru di kesederhanaan itulah terletak keunggulan novel ini. Kalimat-kalimatnya tidak mendayu-dayu sok romantis dan tidak pula kelewat gaul sehingga malah terasa vulgar ala-ala novel romance kekinian. Angan Senja dan Senyum Pagi terasa sangat romantis lewat cara kisah itu disampaikan, bukan karena penggunaan bahasa yang aduhai berlebai bohai. Ini masih ditambah dengan kepiawaian penulis menarik ulur cerita sehingga pembaca yakin akan susah berhenti membaca kalau belum sampai ke penghujung cerita. Akhirnya, selamat menikmati satu lagi kisah cinta yang mengharu-biru  tetapi dikisahkan dengan sewajarnya tanpa berlebig-lebih dalam mengobral  kata-kata manis yang bikin diabetes.

Semua orang berhak bahagia ... . Pada waktunya, semua orang akan bahagia dengan jalannya sendiri-sendiri, Nduk. Tinggal kita mau emngambil langkahnya atau tidak. (hlm. 154)

Jempol tambahan untuk sampulnya. Awalnya, saya mengira sampul lukisan ini hasil nyomot di google image karena gambarnya tampak kasar dari kejauhan. Tetapi, setelah diamati secara saksama, dan setelah dapat konfirmasi dari tulisan di dalam bahwa sampul ini adalah sebuah lukisan, saya langsung menyukainya. Perpaduan warna orange dan hitam mungkin tampak kotor dari kejauhan, tetapi saat sampul buku ini dilihat dari dekat, baru ketahuan betapa indah komposisi dan perpaduan warnanya. Torehan-torehan kuas sang pelukis berhasil mengambil warna-warni senja juga warna-warni pagi untuk kemudian ditorehkan pada kanvas—menyusul pada sampul buku ini. Kertas sampulnya juga kuat dan teraba mantap, semantap kisah cinta yang disampulinya.  



House of Secret #3: Petualangan Final Walker Bersaudara/ri

$
0
0
Judul: Clash of the Worlds
Pengarang: Chris Columbus, Ned Vizzini, dan Chris Lylander
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penyunting: Yuke P dan Yuli Pritania
Sampul: Vinsen 
Cetakan: Pertama, Februari 2017
Penerbit: Penerbit Noura 

34452912 

"Kecerdasan sejati adalah menyadari dan mengenali bukan apa yang kita ketahui ... tapi apa yang tidak kita ketahui...."(hlm. 458)

Petualangan tiga anak keluarga Walker diwarnai dengan bencana besar yang mengancam keberlangsungan dunia. Di dunia buku, Penyihir Angin mengumpulkan seluruh sekutu jahatnya untuk bersiap-siap menyeberang ke dunia nyata dengan tujuan untuk menguasainya. Padahal, di saat yang sama, tabir pembatas antara Bumi dengan dunia buku ciptaan Denver Kristoff semakin melemah, terutama dengan tewasnya sang Raja Badai di tangan anak perempuannya sendiri, Penyihir Angin. Cordelia, Brendan, dan Eleanor Walker sebagai satu-satunya tiga pahlawan yang bisa menyelamatkan dunia malah terjebak dalam masalah lain yang tak kalah pelik. Kebiasaan judi sang ayah telah menjadikan keluarga Walker miskin sehingga mereka terpaksa pindah ke sebuah apartemen mungil yang bobrok. Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain. Makhluk-makluk ajaib yang selama ini hanya ada dalam buku-buku Kristoff mendadak muncul di dunia nyata. Fat Jagger sang gergasi baik hati muncul di teluk dekat San Fransico, sementara sesosok manusia salju menyeramkan juga dilaporkan dalam sebuah siaran berita di TV. 

"Aku ingin menolong orang-orang. Artinya, aku hanya ingin berbuat benar ketika berbuat benar itu penting."(hlm. 304)

Masalah rumah bisa diabaikan sejenak. Nasib dan keselamatan dunia harus diutamakan. Untuk mencari tahu cara mengembalikan Fat Jagger ke dunia buku, ketiga anak Walker harus memutar otak sampai akhirnya mereka sepakat untuk membangkitkan kembali Raja Badai yang telah tewas. Brendan yang ternyata memiliki ingatan kuat mendapatkan kehormatan untuk menjalankan tugas berbahaya ini. Cowok ini kebetulan masih ingat mantra pembangkitan yang dirapalkan para penyihir saat membangkitkan arwah para penjaga hikayat. Anda para pembaca yang sudah menyimak sepak terjang bocah kocak ini di buku pertama dan kedua pasti bisa menebak hasilnya. Tidak hanya membangkitkan Raja Badai (yah dia memang berhasil sih), dia juga membangkitkan seluruh mayat yang ada di kuburan besar di pinggiran San Francisco. Satu lagi masalah yang muncul: serangan zombie-zombie haus darah eh haus otak yang berkeliaran di makam.

 "Cinta membutuhkan pengorbanan, kerelaan menyerahkan sepotong kebahagiaan dan kesejahteraanmu sendiri untuk meningkatkan kehidupan yang lain." (hlm. 455)

Sementara Cordelia dan Eleanor juga tidak begitu beruntung. Eleanor memang berhasil memanggil Fat Jagger, tetapi kini mereka dikejar-kejar sepasukan Garda Nasional Amerika yang menganggap keberadaan raksasa baik itu sebagai ancaman. Saat menyelamatkan Brendan dari amukan zombie, keduanya juga menyadari kalau Brendan sudah digigit dan terinfeksi. Bocah itu sebentar lagi akan menjadi zombie. Sama seperti di buku-buku sebelumnya, ketika semua jalan terasa buntu dan masalah semakin memburuk, anak-anak Walker hanya bisa berlindung di balik keangkeran rumah Denver Kristoff. Kali ini, rumah itu kembali menyediakan jawabannya (yang--seperti biasanya--tidak mudah untuk dilakukan). Atas petunjuk arwah Raja Badai, ketiga bersaudara Walker harus masuk kembali ke dunia buku.  Selain untuk menyelamatkan Brendan, mereka harus bertualang kembali untuk mendapatkan tiga Penjaga Dunia. Tiga benda magis inilah yang akan mencegah tabrakan antara dunia kenyataan dengan dunia dalam buku-buku karya Kristoff. 

"Kepahlawanan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Sifat itu sudah ada di dalam diri kita. Dan, itu baru berarti selama kita tetap menjadi diri sendiri."(hlm. 458)

Sekali lagi,  Cordelia, Brendan, dan Eleanor Walker harus melakukan perjalanan ajaib di dunia buku. Petualangan mereka beragam, dari era Wild Wild West hingga ke pulau ganjil dengan tumbuhan berwarna-warni. Musuh-musuh yang dihadapi pun tidak kalah berbahaya. Awalnya, mereka harus berhadapan dengan sherif picik berpikiran sempit, alien yang entah kawan atau lawan, serta mahkluk cantik dari Atlantis. Membaca dan menikmati petualangan ketiga anak Walker ini ibarat menyaksikan sebuah film petualangan anak-anak yang seru. Dengan kalimat sederhana, ini adalah novel yang sangat filmis. Ide penggabungan antara buku dan film ini sedikit disinggung pada halaman 298. Untuk rangka cerita secara garis besar,fokus buku ketiga ini lebih pada memasukkan sebanyak mungkin adegan aksi dalam cerita sehingga tak terlalu mempermasalahkan pilihan kata. Kisahnya pun bergerak cepat, kejar mengejar dari satu petualangan ke petualangan lainnya. Beberapa adegan di dalamnya mungkin sedikit mengingatkan kita pada film Jumanji dan Up! yang dipadukan dengan Shark Boy dan The Myterious Islandsebelum berujung pada ending yang lumayan klise tetapi tetap enak dinikmati.

"Mereka keluargamu. Ikatan di antara kalian sangat dalam. Jauh lebih dalam daripada sihir atau buku kuno."(hlm. 454)
Jika ada yang dikritisi, mungkin sampulnya. Sampul buku versi bahasa Indonesia ini kurang menggambarkan apa yang terjadi di dalam buku. Di cerita, ketiga Walker bersaudara terbang dengan balon hidrogen besar yang tersembunyi di salah satu bagian rumah Kristoff. Jadi, seperti di film Up!, rumah itu ikut terbang. Sementara di sampul buku ini digambarkan ketiga anak itu terbang dengan keranjang balon udara. Tapi, model sampul karya Vinsen yang macam ilustrasi begini selalu kena banget bagusnya. Hal lain mungkin alur ceritanya yang melompat-lompat terlalu cepat: dari dunia nyata lalu ke Wild West, lalu ke pulau ajaib, lalu ke tempat-tempat lain. Begini, seolah petualangan di satu lokasi cepat-cepat dirampungkan karena sudah ada petualangan lain yang menunggu di lokasi lain. Ini benar-benar seperti kita sedang menonton film. Ya, teknik berkisah cepat seperti ini ok ok saja sih sebagai bentuk variasi dalam story telling, tapi mungkin karena saya terbiasa baca novel yang deskripsinya detail banget jadinya serasa kurang puas saja sih. Misalnya, saat anak-anak ini ada di Atlantis, sayang sekali deskripsinya hanya seperti sepintas lalu. Selebihnya, novel ini adalah tentang kepahlawanan, pengorbanan, bertumbuh dewasa, kesetiaan pada nilai-nilai keluarga dengan ending yang menyenangkan.

Tentang terjemahannya? Seperti biasa, hasil terjemahan Mbak Lulu Fitri Rajman selalu keren, idolakuh.

Viewing all 469 articles
Browse latest View live