Quantcast
Channel: Baca Biar Beken
Viewing all 469 articles
Browse latest View live

Misteri Hidup dan Kisah Cinta Gajah Mada

$
0
0
Judul: Kisah Cinta Gajah Mada
Penyusun: Getsa Bayuadhy
Penyunting: Ratna M, Dyas SA
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 216
Penerbit: Dipta






Menyelesaikan membaca Erstwhile ternyata menyisakan rasa penasaran untuk mengetahui lebih dalam tentang sosok Gajah Mada. Dalam novel Erstwhile, penulis mengajukan satu alternatif jawaban terkait misteri akhir kehidupan dari Mahapatih Gajah Mada, juga asal-usulnya. Dalam sebuah karya fiksi, sah-sah saja jika seorang penulis mengajukan suatu klaim jawaban dari banyak misteri sejarah yang tak atau belum terjawab. Dan Brown juga melakukannya dalam The Da Vinci Code. Sangat susah untuk mengecek kebenaran peristiwa sejarah, apalagi kalau kalau sumber-sumber referensinya tidak ada atau sangat terbatas. Di antara misteri-misteri sejarah yang belum banyak terungkap adalah Gajah Mada. Pun jika beberapa waktu lalu muncul polemik tentang Gajah Mada yang seorang muslim yang berasal dari Persia, ini membuktikan betapa sosok ini memang penuh kontroversi dan misteri. 

Mahapatih Gajah Mada  adalah sosok yang sangat terkenal di nusantara. Keberadaan dan sepak terjangnya juga diketahui oleh suku bangsa-suku bangsa yang ada di penjuru negeri ini--tidak hanya sebatas di Jawa. Ini membuktikan bahwa sosok Gajah Mada adalah sosok yang benar-benar ada dan pernah hidup di bumi nusantara. Bisa saja orang mengajukan klaim bahwa Gajah Mada berasal dari Jawa, dari Sumatra, dari Nusa Tenggara, dari Mongolia, atau bahkan dari Persia; namun seyogyanya dugaan itu dilandasi oleh sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Buku kecil ini misalnya, meringkas segala hal tentang sosok Gajah Mada berdasarkan sumber-sumber populer atau setidaknya dari sumber-sumber yang ditulis para ahli terkait tema besarnya. Tambahan catatan, judul buku ini agak menipu karena yang diulas di dalamnya tidak semata kisah cinta Gajah Mada. Malah, ada banyak informasi penting tentang sosok Gajah Mada yang penting diketahui di buku ini.


Seperti dijelaskan di halaman 112 buku ini, sumber tertulis utama tentang sosok Gajah Mada adalah Kakawin Negarakretagama yang ditulis Empu Prapanca pada tahun 1365 Masehi. Nama Gajah Mada juga disebut dalam sejumlah prasasti kuno dari era Majapahit. Gesta Bayuandhy merangkum kutipan-kutipan kakawin dan baris prasasti tersebut dalam buku ini, lengkap dengan bacaan aslinya dalam bahasa Jawa kuno. Menariknya lagi, buku kecil ini juga memuat beragam info tentang Gajah Mada, mulai dari lahirnya, kiprahnya di dunia politik, kisah percintaannya, hingga meninggalnya. Beberapa sumber yang digunakan juga cukup keren, termasuk buku Gajah Mada Pahlawan Persatuan Bangsa karya Muhammad Yamin yang sudah langka itu. Begitulah caranya, ketika kita kesulitan mengakses buku kuno yang sudah langka, masih ada cara lain untuk mengaksesnya lewat tulisan penulis lain yang menggunakan buku yang sama sebagai sumber rujukan.

Bagian paling menarik di buku ini tentu saja ada pada bab-bab yang mengupas tentang asal usul Gajah Mada dari berbagai versi. Buku ini menyebutkan tempat-tempat Gajah Mada konon dilahirkan, tentu beserta legenda serta mitos yang menyertainya. Begitu juga tempat di mana Gajah Mada dimakamkan. Tema ini masih menjadi misteri sejarah karena sampai saat ini belum ada sumber pasti yang menyebut dimanakah tempat peristirahatan terakhir tokoh besar ini. Benarkah Gajah Mada moksa di penghujung kehidupannya? Yang tak kalah menarik adalah penulis menyertakan sejumlah analisis (nah ini saya kurang tahu apakah analisis penulis buku ini ataukah analisis penulis buku lain yang dikutip di buku ini) tentang sepak terjang Gajah Mada, mulai dari alasannya menaklukan kerajaan-kerajaan lain di nusantara, mengapa dia tidak pernah menikah (atau begitulah menurut para sejarahwan), dan mungkinkah dia sengaja merahasiakan tempat peristirahatan terakhirnya. Bagi para pembaca yang ingin tahu lebih banyak tentang sosok besar yang telah mempersatukan nusantara, buku ini boleh dicoba untuk dicicipi.

Sang Guardian: Garda Pelindung Jiwa dan Cinta

$
0
0


Judul: Pacarku Jatuh dari Langit

Pengarang: Heruka
Penyunting: Diandra Kreatif
Tebal: 624 hlm
Cetakan: 1, Mei 2017
Penerbit: Diandra  Kreatif


                Pertama, saya suka sama cara penulis mengulirkan cerita, lancar sekali.  Sejak halaman awal, saya sudah merasa betah membacanya, lebih karena teknik penulis yang lumayan terasah dan bukan karena ceritanya. Kisah tentang malaikat yang jatuh ke bumi dan jatuh cinta pada manusia sudah beberapa kali diangkat dalam novel, di antaranya Hades dan seri The Mortal Instrument karya Cassandra Clare. Penulis kemudian mengangkat lagi tema ‘malaikat jatuh (cinta)’ tapi kali ini dengan setting Indonesia, dengan dunia SMA-nya yang khas. Ini yang bikin buku ini seger dan saya bisa bertahan membacanya ... setidaknya sampai halaman 200-an. Melewati titik kritis ini, saya mulai merasakan kebosanan. Pada 200 halaman pertama bisa saya selesaikan dalam 3 – 4 hari, tetapi setelah itu kecepatan baca saya menurun drastis sehingga akhirnya butuh waktu hampir 2 minggu untuk membaca buku setebal 600 halaman ini. Ada apakah?

 "Pilihan untuk bahagia akan selalu ada. Meskipun awalnya tak nampak seperti kebahagiaan. Itu semua tergantung padamu, apakah kau akan mensyukurinya  atau tidak.” (hlm. 127)

              Saya masih menjumpai masalah klasik yang sering muncul dalam buku-buku indie di buku ini: editing yang setengah hati. Entah bagaimana proses editing buku ini di tangan penerbit, tetapi saya pikir banyak bagian dalam novel ini yang bisa dipangkas tanpa mengurangi atau mengubah jalan cerita utamanya.  Mungkin editor fokus ke typo dan tanda baca jadi agak abai pada ketebalan. Mungkin juga, penulis merasa sayang memangkas naskahnya. Saya bisa memahaminya. Memotong sebagian dari naskah—yang ditulis dengan bergadang selama ratusan malam atau dengan rela melewatkan hari libur di rumah—memang tidak mudah. Ibaratnya, kita membuang sebagian dari hasil jerih payah. “Mikirnya susah-susah kok dibuang!” gitu mungkin. Tetapi dalam dunia penerbitan, ketebalan naskah adalah hal yang sangat sensitif karena akan berpengaruh pada harga buku (naskah tebal = kertas lebih banyak = harga lebih mahal). Belum lagi dari sisi pembaca, penulis sebaiknya juga mempertimbangkan apakah pembaca masih kuat membaca ratusan halaman tambahan padahal seharusnya nggak harus gitu. 
"Dan ingatlah, Lola, rasa bersalah itu bukan sesuatu yang buruk. Jangan sampai itu mencegahmu menjadi orang yang lebih baik” (hlm. 606)

Pacarku Jatuh dari Langit (setelah saya baca, sepertinya judulnya lebih cocok kalau Pacarku Turun dari Langit) berkisah tentang guardian. Jadi, konon setiap manusia punya guardian yang akan menjaganya.  Nah, ini adalah kisah seorang cewek remaja bersama Lola dengan guardiannya yang bernama Revan. Lola tinggal bersama adiknya di sebuah rumah susun sederhana. Ayah dan ibunya sudah bercerai. Ibunya menikah lagi dan bahagia dengan keluarga barunya. Sementara sang ayah memutuskan bekerja di pertambangan yang jauh agar tidak terkenang mantan istrinya. Lola harus menjaga adiknya, sekaligus tetap menjalani kehidupan normalnya sebagai anak SMA. Lola bahkan mengambil pekerjaan paruh waktu menjadi pelayan kafe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan adiknya. Mungkin karena keteguhan Lola inilah dia dihadiahi seorang eh sesosok guardian berwujud cowok ganteng bersayap.

                Dari ini, saya sudah siap-siap. Jangan-jangan, Lola jadi klepek-klepek sama Revan kayak Bella yang menye-menye sama Edward Cullen. Syukurlah, itu tidak terjadi. Tampak sekali kehidupan telah menempa karakter Lola menjadi gadis keras yang tidak mudah ditaklukkan. Dia memang ada rasa sama Revan, tetapi gadis itu lebih sering bikin Revan pusing ketimbang membuat hatinya berbunga-bunga. Sosok Lola benar-benar mampu menggambarkan ungkapan ‘wanita kadang memang sukar dimengerti’. Saya sendiri sampai geregetan ‘ini Lola maunya apa sih!’. Dalam membentuk karakter Lola inilah penulis layak mendapatkan acungan jempol. Lewat karakter Lola yang berubah-ubah, saya bisa menemukan sosok terluka yang utuh. Lola tidak sok-sokan kuat terus, kadang dia menangis di dalam hati, bahkan dia sempat berpikir untuk mengakhiri semua. Lola adalah sosok protagonis yang manusiawi, dan inilah yang bikin karakternya menarik. Sementara sosok Revan mungkin sudah sering kita jumpai dalam karakter pahlawan yang ganteng-tapi-cenderung-membosankan, begitu mudah ditebak.  Sementara, Lola adalah sosok yang penuh enigma. Bahkan, dibanding Revan, saya lebih memilih Juno.

                Untuk salah ketik, saya kok tidak menemukannya *mungkin kelewat maaf. Mungkin ada beberapa kata yang belum baku, tetapi tidak sampai mengganggu (misalnya hutang dan nampak). Sekali lagi, yang paling mengganggu adalah tebalnya buku ini. Ceritanya sebenarnya sederhana, bisa digambarkan seperti ini:
1. Lola ketemu Revan
2. Lola pelan-pelan mulai jatuh cinta sama Revan
3. Revan membantu Lola melalui berbagai cobaan
4. Lola menemukan fakta tentang ayah dan ibunya
5. Lola menjadi incaran kaum mud, yang merupakan lawan dari guardian
6. Revan berjuang melindungi Lola dari para mud
7. Pecah pertempuran antara para guardian dan mud
8. Pengorbanan

                Garis besarnya mungkin seperti itu. Terlihat sederhana mungkin, tetapi menjadi tidak sederhana ketika kita membacanya dalam cerita yang sudah utuh. Saya terutama kagum sama kemampuan penulis mengekspresikan ungkapan perasaan dalam kata-kata yang tertuang di atas kertas. Banyak sekali kutipan kalimat yang bisa mewakili hal-hal yang kita rasakan di dalam diri. Ini salah satu yang bikin saya bertahan sampai halaman 600 walau kalau boleh jujur, secara cerita saya belum puas karena ending­-nya belum seepic yang saya nantikan meskipun penulis juga mampu dengan cerdas menjawab pertanyaan-pertanyaan yang awalnya  saya kira bakal jadi plothole—meskipun jawabannya juga belum sangat memuaskan sih. Ending-nya memang dibiarkan menggantung sehingga membuka kesempatan kepada pembaca untuk menafsirkan sesuai versi masing-masing. Ini teknik yang bagus, tetapi juga berpotensi bikin pembaca tidak puas.

Setelah sampai di halaman terakhir, saya masih belum mendapatkan jawaban memuaskan atas sejumlah pertanyaan. Saya masih bertanya-tanya benarkan ibu Lola begitu tega meninggalkan dia dan adiknya sebatang kara, bahkan dia sibuk dengan keluarga barunya yang kaya raya. Saya tahu, apa pun bisa terjadi dalam dunia fiksi, tetapi perasaan seorang ibu tak akan pernah menipu. Juga, gimana nasib para mud yang sayapnya berubah, lalu kemana si Revan pergi (dia mati ataukah harus menjalani hukuman abadi), juga tentang asal muasal mud dan guardian ini saya juga masih butuh cerita lagi. We want more! We want more! Kesimpulannya, secara cerita, buku ini bisa dikatakan tidak mengecewakan, mungkin hanya sedikit melelahkan. Seandainya bisa lebih ditipiskan lagi, pasti lebih nikmat membaca buku ini—dan juga tidak menyita banyak kertas sebagaimana yang dikhawatirkan penulis di halaman-halaman belakang novel sangat tebal ini.  

“Dan menjadi pelindung untuk orang yang kau sayangi meskipun tanpa memiliki sayap, itu jauh lebih hebat.” (hlm. 111)

Kerinduan Danarto dalam Godlob

$
0
0


Judul: Godlob, Kumpulan Cerpen
Pengarang: Danarto
Tebal: 252 hlm
Cetakan: 1, Juli 2017
Sampul: Amalina
Penerbit: Basabasi



Sekali lagi, membaca karya Danarto terbukti membuat saya ‘kebingungan’. Saya menjadi bagian dari sekian banyak pembaca yang berujung pada tanya setelah menyelesaikan membaca Godlob. Cerpen-cerpennya memang cenderung berat, terutama berat dengan aneka perlambang. Dan rasa ‘berat’ itu semakin intens ketika Danarto menjejalkan perlambang Ketuhanan dalam tulisan-tulisan di buku ini. Tokoh-tokohnya begitu liar, dalam artian mereka begitu rindunya ingin bertemu Tuhan sehingga maut pun mereka tantang. Putri Salome bahkan bertindak lebih nekat lagi.  Begitu kuatnya keinginan untuk bisa melihat langsung wajahNya, wanita itu memutuskan untuk menentang perintah-perintahNya. Bagi orang lain, apa yang dilakukan Salome dan Rintrik yang buta mungkin dianggap sebuah kegilaan. Tetapi bagi para pecinta, tindakan-tindakan ini adalah wajar adanya. Semacam penyakit kerinduan akut yang mendera para perindu.

“Orang jantan adalah orang yang mengakui keterbatasannya.” (hlm 44)

1. Godlob
                Cerpen yang diawali dengan muram dan angker ini ternyata tidak berujung pada horor. Justru, lewat darah, luka, dan kematian, Danarto seperti hendak memprotes perang. Dalam perang, selalu rakyat yang menjadi korban, selalu para serdadu yang diumpankan sementara para petinggi hanya duduk-duduk di dalam benteng menyusun strategi. Dan ketika akhirnya seluruh tentara binasa—anak-anak yang masih muda itu, yang pergi berperang hanya sekadar memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang baik—tidak ada yang tersisa selain kesedihan bagi yang ditinggalkan. Apalah artinya gelar pahlawan jika keluarga diceraiberaikan dan anak habis tuntas tiada bersisa?

2. JUDUL: JANTUNG TERPANAH
                Cerpen ini unik sejak dari judulnya, yang bukan berupa tulisan tetapi gambar jantung terpanah sebagai perlambang jatuh cinta. Judul unik ini rupanya sesuai dengan isinya, tentang seorang wanita buta yang jatuh cinta kepada Tuhannya. Begitu tajamnya panah asmara itu menancap, sehingga bahkan ancaman maut dari sesamamanusia pun tidak mampu mengoyahkan tekadnya untuk menghadap sang Kekasih Sejati. Cerpen ini memiliki aroma sufisme yang kuat.

 
3. Kecubung Pengasihan
                Tentang seorang wanita hamil yang gemar memakan kembang-kembang di taman. Tetapi, kembang-kembang itu gemar bicara dengan si wanita hamil, sehingga disangka gila dia oleh banyak orang. Tetapi, tiada yang tahu isi hati setiap manusia kecuali Tuhannya. Bahkan seorang yang gila pun bisa menjadi walinya. Danarto lewat cerpen ini seperti menyindir kita—orang-orang waras—yang sering kali terlalu yakin pada keimanan kita, terlalu jumawa dengan ketakwaan diri, sehingga mengerdilkan mereka yang berbeda cara beribadahnya.

4. Armagedon
                Judulnya ala-ala Barat, tetapi ada unsur horor nusantara (tepatnya Bali) di cerpen ini. Setan dilambangkan sebagai bekakrak yang menghantui padang kering. Ia menggoda manusia dengan tanya dan logika, sehingga akhirnya manusia pun akan terjungkal akibat bujuk rayunya. Mungkin, di cerpen ini, Danarto ingin menunjukkan betapa logika dan rasio tidak selamanya jumawa dalam melawan tipu daya setan penggoda manusia. Dan ketika sang manusia jatuh dalam perangkap iblis, mungkin itulah saat kiamat baginya.

5. Nostalgia
                Ini adalah cerpen yang paling saya sukai di buku ini. Jika saat ini banyak sastrawan yang menceritakan ulang kisah Mahabharata dengan versi mereka sendiri, Danarto sudah melakukannya sejak 1969. Seno Gumira Ajidarma pernah menulis Mahabharata dari versi Drupadi, maka Danarto mencuplik sebagian dari  epos besar India itu dengan menyisipkan aroma sufisme Islam yang kental. Lewat sosok Abimayu, Danarto melukiskan bagaimana pahlawan Padang Kurusetra itu menyambut maut dengan kebahagiaan yang sempurna, sebagaimana kebahagiaan para pecinta sejati yang telah menemukan makna hakiki dalam kehidupan ini. Seorang pecinta yang telah menemukan Kekasih Sejatinya, lebih dari dewa-dewi, bahkan lebih dari Batara Kresna itu sendiri.

6. Asmaradana
                Akhirnya, saya menyerah juga membaca cerpen ini. Judulnya Jawa banget tetapi isinya adalah Hamlet dan Horatio-nya Shakespeare. Jika ada sastrawan yang bisa menggabungkan Jawa dengan Inggris semudah dia memadukan seni dengan sastra, maka Danarto adalah salah satunya. Saya masih menebak-nebak ini cerpen mau ngomongin apa, tapi saya belum dapat pencerahan rupanya. Tebakan random saya sih, cerpen ini seperti hendak berkata kalau dunia ini tidak lebih dari sekadar panggung sandiwara.  

7.  A B R A C A D A B R A
A B R A C A D A B R
A B R A C A D A B
A B R A C A D A
A B R A C A D
A B R A C A
A B R A C
A B R A
A B R
A B
A

Ini bukan salah ketik, memang seperti inilah judul cerpen terakhir di buku ini. Kalau sekarang lagi model tuh cerpen eksperimental, maka Danarto pastilah salah satu juaranya.  Tokohnya masih Hamlet dan Horatio. Hamlet mencoba mati dan lewat sudut pandang penulis—yang anehnya bisa melihat Hamlet di alam sana—pembaca seperti disuguhi bagaimana keadaan dan panorama alam setelah kematian. Sebisa mungkin, penulis berusaha menjabarkan jawaban atas salah satu pertanyaan paling banyak ditanyakan oleh manusia yang masih hidup. Tetapi, sayangnya, Hamlet malah hidup lagi. Bahkan, dia tak tahu apakah benar alam yang dikunjunginya barusan adalah alam maut. Sepertinya, memang tidak akan pernah ada manusia hidup yang bisa mengetahuinya. Kok hal seberat gini bisa kepikiran dibikin cerpen ya, keren memang Pak Danarto.

Tema ketuhanan memang begitu kental dalam cerpen-cerpen Danarto, tetapi di buku ini tema itu begitu dominan menguasai. Berulang kali tokoh-tokohnya menyuarakan nihilisme dalam hidup. Berulang kali pula Danarto membolak-balik perkataan sehingga kelihatannya apa yang ditulisnya itu membingungkan. Tetapi pembaca yang sudah pernah membaca karya Rumi, literatur-literatur tentang sufi, atau setidaknya komik tentang perjalanan hidup Budhha Gautama, akan bisa sedikit memahami apa yang dimaksud Danarto dengan kalimat-kalimat berbaliknya. Bahwa sejatinya manusia berasal dari bukan apa-apa dan akan kembali kepadaNya sebagai bukan apa-apa kecuali hamba-hambaNya. Lewat bahasa yang terbolak-balik, Danarto seperti hendak mengingatkan kita akan kefanaan dan kekerdilan diri di hadapan Sang Pencipta.   

Cerpen-cerpen Danarto anehnya juga masih tetap relevan dibaca saat ini. Bahkan setelah hampir lima puluh tahun berlalu semenjak cerpen-cerpen ini dituliskan, orang masih bisa membaca dan tersentil batinnya saat membaca Godlob. Memang begitulah seorang sastrawan sejati. Ia tidak meninggalkan kepada kita harta benda yang bisa habis sewaktu-waktu, melainkan sebentuk pemikiran yang mungkin akan terus tumbuh mengembang, atau dipikirkan ulang sehingga kalaupun tidak menciptakan sesuatu yang baru, pastilah perlu untuk dipikirkan atau direnungkan lagi dan lagi.  

“Apakah ada tingkat-tingkat kebenaran? Agak benar! Lalu banyak benar! Lalu setidak-tidaknya benar! Lalu lumayan benar! (hlm. 62)

Menguak Proses Kreatif 14 Pengarang Indonesia

$
0
0



Selalu menyenangkan menyimak pengalaman hidup para pengarang yang turut menjadikan mereka seperti sekarang. Dari pengalaman-pengalaman mereka, kita sebagai pembaca bisa belajar banyak tentang menulis, tentang proses kreatif mereka dalam berkarya, dan sesekali juga tentang kehidupan. Dari sekian cerita, kita jadi tahu bahwa para pengarang yang kini masyur namanya dulunya pernah manusia biasa juga. Bahkan, sejatinya pun saat ini mereka adalah manusia biasa seperti semua kita. Hanya pengalaman dan perjuangan mereka dalam menulis itulah yang kemudian mengangkat nama mereka. Para pengarang tersebut menuliskan karya-karya yang lalu menjadikan kehidupan mereka bermakna karena telah turut menyumbangkan ragam tulisan istimewa dalam khasanah sastra bangsa.

Mungkin, karena terdorong oleh keinginan untuk memperkenalkan sekaligus mengabadikan proses kreatif para pengarang inilah, Pamusuk Erneste (yang buku editing karyanya masih menjadi kitab pegangan saya dalam bekerja) berinisiatif untuk mengundang para pengarang Indonesia menuliskan pengalaman mengarangnya. Melalui email, beliau menyurati satu per satu pengarang yang terkenal atau mulai melejit namanya pada era 80-an. Email balasan ternyata berdatangan. Para pengarang lokal seolah menyambut hangat inisiatif istimewa ini sehingga terkumpul belasan artikel, esai, dan narasi tentang proses mengarang para pengarang ini. Kumpulan tulisan inilah yang kemudian diterbitkan dalam empat buku berseri oleh Kepustakaan Populer Gramedia dalam seri #Proses Kreatif #4: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Sayang sekali di Scoop hanya ada seri #4, saya masih berusaha mencari versi cetak dari seri #1 hingga seri #3.

Dalam pengantarnya untuk seri #4 ini, Pamusuk Erneste menyebut bahwa “menulis karya fksi tidak bisa diajarkan, tapi bisa dipelajari. Karena itulah tiap sastrawan memiliki kekhasan dalam proses kreatifnya.” Sebagai pembaca yang ingin juga menulis, kita perlu mengetahui bagaimana setiap pengarang memproses kreativitasnya sehingga menghasilkan tulisan yang dibaca jutaan pembaca. Ada pengarang yang menulis berdasarkan peristiwa yang dilihatnya, seperti Seno Gumira Ajidarma. Ada yang kekhasan tulisannya muncul karena kondisi di mana dia tinggal, seperti Ahmad Tohari. Ada pengarang yang begitu terkagum-kagum pada bahasa sebagai alat komunikasi sehingga dia menggunakan bahasa sebagai ‘senjata’ dalam menulis karya, seperti Montinggo Busye. Ada lagi pengarang yang sedemikian takluk pada  pesona benda-benda di sekitarnya sehingga benda-benda itu menjadi ruh dalam karyanya, seperti kita lihat pada puisi-puisi Afrizal Malna.

Ada 14 penulis yang berbagi proses keratif mereka di buku ini. Mereka adalah Ayu Utami, D. Zawawi Imron, Akhudiat, Motinggo Busye, Piek Ardijanto Soeprijadi, Aoh K. Hadimadja, Herlino Soleman , Acep Zamzam Noor, Seno Gumira Ajidarma, Afrizal Malna, Darman Moenir, Ahmad Tohari, Upita Agustine, dan Ngurah Parsu. Beberapa pengarang sudah sata baca karyanya  (Ayu Utami, Ahmad Tohari, dan Seno Gumira Ajidarma), ada yang saya belum pernah baca karyanya tapi pernah mendengar namanya (Afrizal Malna dan Zawawi Imron), dan banyak yang baru saya dengar namanya #duhmaaf. Masing-masing bercerita tentang bagaimana mereka berproses dalam menulis lewat caranya masing-masing. Saya terutama suka sekali dengan gaya Motinggo Busye dalam berkisah. Bahkan sejak judulnya, pengarang ini sudah menunjukkan kenyentrikkannya “Motinggi Disayang Tuhan, Sekaligus Disayang Setan? Milik Seno menurut saya yang paling sedikit “datar” karena beliau lebih seperti menulis cerpen ketimbang berbagi pengalaman, tapi tetap bisa diambil ilmunya. 

Secara khusus, Ayu Utami menyoroti tentang nasib sebuah karya setelah tulisan itu dilempar ke ranah pembaca.  Barangkali, penulis tidak akan bisa berbuat banyak ketika karya  itu lalu dipuja atau malah dihujat para pembacanya. Saat itulah berlaku ungkapan Barthez bahwa pengarang sudah mati. Namun, saat proses penciptaan sebuah karya, penulis mau tidak mau harus tunduk pada karyanya setidaknya hingga karya itu selesai dituliskan. Ada juga Herlino Soleman yang menyebut menulis sebagai bekerja keras yang mengasyikkan. Afrizal Malna menegaskan vitalnya peran benda dan lingkungan sekitar dalam berkarya. “Setiap hal yang hadir dalam puisi, entah benda atau seseorang, ikut menentukan jalannya puisi. Artinya, mereka sebenarnya telah ikut menulis puisi bersama saya. Puisi ditulis bersama mereka. Bersama orang lain. Mustahil menulis puisi seorang diri.” (hlm. 75)

Seperti banyak hal lain, para pengarang di buku ini menunjukkan betapa mengarang adalah proses yang tidak bisa berdiri sendiri. Setiap pengalaman, peristiwa, hingga benda-benda akan turut mempengaruhi para pengarang dalam berkarya. Selain itu, di buku ini saya juga menemukan pembuktian dari ucapan Motinggo Busye, bahwa ‘Tak ada pengarang yang bisa jadi pengarang tanpa membaca buku.’ Seluruh pengarang di buku ini (dan juga di banyak buku lain yang saya baca) adalah para pembaca yang rakus di masa kecilnya. Dari proses membaca inilah kemudian bibit-bibit menulis itu tumbuh dan kemudian berkembang. Bahkan para penyair yang pengalamannya begitu mendominasi buku ini juga menunjukkan gelagat kecintaan yang luar biasa kepada buku dan membaca di masa kecil mereka. Sekali lagi, memang benar sebuah ungkapan yang berbunyi bahwa para penulis yang baik adalah juga para pembaca buku yang baik. 

10460826 
Judul: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang
 (Proses Kreatif, #4)
Penyusun: Pamusuk Eneste (Editor), Ayu Utami, D. Zawawi Imron, Akhudiat, Motinggo Busye, Piek Ardijanto Soeprijadi, Aoh K. Hadimadja, Herlino Soleman , Acep Zamzam Noor, Seno Gumira Ajidarma, Afrizal Malna, Darman Moenir, Ahmad Tohari, Upita Agustine, dan Ngurah Parsua
Penerbit: KPG, 2009, 270 hlm



Blogtour and Giveaway: SIWA 2, Rahasia Kaum Naga

$
0
0
Penulis:Amish
Penerjemah: Briliantina L Hidayat
Pemindai Aksara: Jenny M Indarto
Penyelaras Bahasa: I Wayan Sarjana
Penggambar Sampul: Imam Bucah
Menata Letak: desain651@gmail.com
ISBN: 978-602-6799-25-8
Tebal: 410 Halaman
Cetakan: Pertama-Juni 2017
Penerbit: Javanica



"Ada dewa di dalam diri setiap manusia. Dan ada kejahatan dalam diri setiap manusia. Pertempuran yang sesungguhnya antara kebaikan dan kejahatan terjadi dalam diri manusia."(hlm. 132)

Setelah menjelajahi wilayah Keraajaan Wangsa Surya di Meluha pada buku pertama, Siwa melanjutkan penjalanannya dalam menemukan kesejatian dirinya sebagai sang mahadewa di negeri Swadipa. Negeri ini berada di wilayah Wangsa Candra. Di buku kedua ini, banyak rahasia terungkap, musuh-musuh baru yang muncul, juga kawan-kawan anyar.  Siwa masih berupaya mendapatkan jawaban tentang siapa sang Naga dan kaumnya. Mereka inilah yang bertanggung jawab dalam tewasnya Brahaspati—saudara karib yang sangat disayangi oleh sang Nilakatha. Dan menurut kabar, jawaban atas hal itu bisa ditemukan di salah satu negeri taklukan yang berada di wilayah Swadipa, yakni Negeri Braga. Misteri yang satu biasanya tertutupi oleh misteri-misteri yang lainnya, dan itulah yang terjadi di negeri ini. Semacam pageblug penyakit aneh mewabah di sana. Konon hanya obat dari kaum Naga saja yang bisa manjur melawan penyakit tersebut. 

Seiring dengan semakin jauh perjalanannya, Siwa semakin bingung dengan segala fenomena yang dihadapinya. Di kota Kashi yang toleran terhadap semua kepercayaan, Siwa menemukan bahwa apa yang selama ini dianggapnya baik ternyata tidak selalu baik, juga apa-apa yang dipandangnya jahat ternyata tidak selamanya berbuat jahat. Terutama terkait kaum Naga, Siwa dan Satui akhirnya menemukan sebuah fakta yang luar biasa tak terbayangkan tentang Raja dan Ratu Naga. Sebuah rahasia kelam dari masa lalu yang selama ini ditutupi dengan alasan yang masih sama misteriusnya. Benarkah Kaum Naga itu jahat? Ataukah meraka hanya korban yang harus menanggung dosa akibat kondisi dan penguasa yang tidak berpihak kepada mereka? Sesuai dengan judulnya, pembaca akhirnya akan diajak mengetahui siapa Kaum Naga di buku ini.

Dibandingkan buku pertama yang sarat perang, buku kedua trilogi Siwa ini lebih banyak tentang perjalanan, baik perjalanan batin Siwa untuk mencapai tingkatan yang lebih bijak maupun perjalanan fisik menjelajahi kawasan Swadipa. Walau begitu, penulis masih menyisipkan di sana-sini adegan pertarungan yang lumayan berdarah-darah. Tetapi, fokus utama di buku ini tetap pada perjalanannya. Setelah mengetahui fakta yang disembunyikan terkait Kaum Naga, Siwa dan rombongannya bergerak menuju Pancawati yang merupakan ibukota kerajaan Kaum Naga. Kota rahasia itu tersembunyi dalam kelebatan Hutan Dandaka yang ganas. Tak seorang pun bisa menembusnya sampai ke Pancawati dengan semangat tanpa bantuan dari Kaum Naga. Saya lega banget karena buku ini dilengkapi dengan peta yang terbukti sangat membantu dalam menikmati ceritanya. Kita juga akan dimanjakan dengan geografi dataran Industan di masa sebelum peradaban, juga diajak mengenal aneka sungai besar di India yang dinamai dengan nama-nama feminin kecuali Sungai Bhrahmaputra. Perjalanan ini sedikit banyak mengingatkan saya pada perjalanan sembilan pembawa cincin karya Tolkien.

Yang menarik dari seri ini terutama adalah sambil menikmati petualangan sang Nilakatha, kita sekaligus sambil belajar banyak tentang hidup. Siwa dalam seri ini begitu manusiawi. Terlepas dirinya sebagai titisan Batara, Siwa dalam banyak hal adalah seperti kita semua. Berkali-kali dia gagal dan menemukan kekecewaan, namun sering juga bahagia menyapa dan membuatnya menangis gembira.  Siwa dalam buku ini seperti melambangkan setiap kita. Apalagi, di buku ini juga Siwa menemukan bahwa kebaikan dan kejahatan ternyata ibarat dua sisi mata uang. Kebaikan tidak akan ada tanpa adanya kejahatan, dan begitu pula sebaliknya. Dari sini, Siwa kemudian memahami bahwa setiap manusia tercipta beserta kebaikan dan kejahatan dalam dirinya. Tidak ada yang sepenuhnya jahat, begitu pun yang seutuhnya baik. Selalu ada alasan yang menyebabkan keduanya hadir dalam diri manusia. Karenanya, alangkah baiknya jika kita mencoba untuk terlebih dulu mencoba memahami ketimbang keburu menghakimi.

Buku ini adalah kisah fantasi yang lengkap. Petualangan ada, mitologi banyak, pertempurannya cukup menegangkan, mengajak merenung juga iya. Lebih dari itu semua, lewat Siwa, penulis mengajak pembaca untuk memandang orang lain tidak dari fisik atau status ekonomi mereka. Jika kita mau mencoba memahami, selalu ada alasan di balik setiap perilaku buruk maupun baik. Siwa yang Mahadewa saja menghormati setiap orang baru yang dijumpainya, masak kita yang alay gini kok sok suci dan sok benar sendiri. Mari tiru Siwa, ia yang memandang manusia dari batinnya, tidak semata dari fisiknya. Selain pesan positif yang dibawa buku ini, saya juga suka banget dengan cara novel ini diterjemahkan. Mbak Briliantina dengan luwes menggunakan banyak istilah-istilah Jawa yang anehnya kok malah terasa pas. Misalnya saja kata pageblug sebagai variasi dari wabah, juga lanang sebagai variasi laki-laki. Untuk salah ketik saya hanya menemukan dua kali, salah satunya “untung” yang harusnya “untuk”. Selain itu, novel ini matang banget untuk edisi bahasa Indonesianya. 

Pokoknya, kudu banget novel ini dibaca oleh semakin banyak pembaca. Dan, asyiknya, Penerbit Javanica yang baik telah menyediakan total DELAPAN novel “SIWA 2: Rahasia Kaum Naga” ini secara gratis. Dua novel siap diperebutkan di blog Baca Biar Beken. Berikut ini cara ikutannya.



1. Silakan follow dulu akun Penerbit JAVANICA.
2. Share/bagikan postingan giveaway ini di media sosial (boleh di Facebook, Twitter, atau Instagram)
3. Jawab pertanyaan berikut di komentar:

"Saya kepingin tahu banget nih bagaimana sosok Siwa dalam bayangan kalian setelah membaca ulasan ini. Tolong deskripsikan."
 

 4. Mohon menjawab satu kali saja ya dengan format sebagai berikut:

Nama:
Twitter/Facebook:
Tautan share:
Jawaban:

5. Kuis ini berlangsung sampai 13 Agustus 2017, pemenangnya insya Allah bakal diumumkan hari Senin(14/8). Giveaway ini hanya berlaku untuk warga negara Republik Indonesia atau kamu yang memiliki alamat kirim di wilayah NKRI.

6. Satu pemenang akan saya pilih berdasarkan komentar jawaban, sementara satu lagi pemenang akan saya pilih dengan model undian. Yap, pemenangnya ada dua orang kali ini.

Terima kasih sudah ikutan, dijamin nggak rugi banget kalau bisa menang dan baca buku indah ini gratis. 

"Orang kuat akan membentuk nasibnya sendiri." (hlm. 219)


               

1434, Benarkah China Memicu Renaisance?

$
0
0

Judul: 1434: Saat Armada Besar China Berlayar ke Italia
 dan Mengobarkan Renaissance
Penyusun: Gavin Menzies
Penerjemah: Kunti Saptoworini
Tebal: 430 hlm
Cetakan: April, 2009
Penerbit: Alvabet





Bangkitnya Peradaban Barat pada era Renaisance (sekitar abad ke-13 dan ke-14) selama ini diketahui karena maraknya kembali pengkajian terhadap karya-karya Yunani-Romawi. Lewat penerjemahan naskah-naskah Latin kuno, bangsa Eropa mendapatkan kembali kegairahan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi, yang akhirnya mendorong kepada era penjelajahan samudra. Negeri Italia menjadi saksi lahirnya para manusia Renaisance yang serba-bisa, yang sulit ditemukan tandingannya sepanjang sejarah seperti Leonardo da Vinci.Tetapi, sesungguhnya, jika mau jujur, ada semacam celah kosong yang memisahkan antara dua fakta sejarah ini: naskah-naskah Yunani yang lebih bersifat filsafat dengan munculnya sketsa-sketsa peralatan teknologi karya Da Vinci yang begitu detail dan teknis sifatnya. Bagaimana bisa Da Vinci melukis perangkat-perangkat canggih semacam helikopter sederhana, parasut, hingga meriam sederhana? Apakah bangsa Yunani kuno memang benar sudah mengembangkan perangkat-perangkat ini?

Ada sementara pendapat yang menyebut para manusia Renaisance ini belajar dari naskah-naskah peninggalan para ilmuwan Muslim yang ada di Andalusia pada abad ke-10 dan ke-11. Mungkin saja demikian, tapi yang jelas sangat mustahil jika perangkat-perangkat canggih itu muncul begitu saja tanpa ada sumbernya. Sementara itu, di belahan Timur, dalam kurun waktu yang sama dengan era sebelum munculnya Renaisance di Eropa, terjadi peristiwa luar biasa yang banyak dilupakan oleh sejarah (Barat). Pada Januari 1431, Kaisar Tiongkok mengutus Cheng Ho beserta armada raksasanya untuk melakukan pelayaran mengelilingi dunia untuk mengumumkan kekuasaannya. Kita yang di Indonesia pasti sudah akrab dengan pelayaran sang laksanama Muslim ini, yang sedemikian dihormati sehingga jejaknya bisa kita temukan mulai dari Bangkok, semenanjung Malaka hingga ke pesisir utara Jawa, kemudian ke penjuru Samudra Hindia. Pertanyaannya, bagaimana jika Cheng Ho meneruskan pelayarannya hingga ke Laut Tengah dan kemudian singgah di Tuscany (wilayah Kerajaan Romawi Suci) untuk bertemu dengan sang Paus? Dalam kunjungan itu, Cheng Ho dan armadanya membawa serta naskah-naskah serta berbagai perangkat ilmu pengetahuan dari Tiongkok yang kemudian turut andil dalam berseminya era Renaisance di Eropa.


Melalui penelitian lapangan dan jelajah pustaka, Gavin Menzies (yang juga menulis buku tentang Penemuan Benua Amerika oleh bangsa Tiongkok) menyodorkan sejarah alternatif tentang pencetus Renaisance yang sebenarnya. Menzies mengklaim menemukan bukti-bukti kunjungan armada Cheng Ho ke Florensia dan bertemu Paus Eugenius IV. Dalam muhibah ke Italia ini, Cheng Ho meninggalkan tanda mata ilmu pengetahuan bangsa Tiongkok, termasuk peta dunia, peta langit, rumus perhitungan matematis, hingga seni dan arsitektural. Bahkan, seni percetakan yang pertama diklaim oleh Guttenberg konon juga dikembangkan dari mesin cetak yang dihibahkan rombongan Cheng Ho. Termasuk di antara benda-benda itu adalah kitab “Nung Shu”, sebuah risalah yang dicetak di Tiongkok pada 1313. Hal menariknya adalah, dalam Nung Shu ini tercantum pula berbagai sketsa tentang mesin-mesin canggih yang kemudian ditiru oleh para tokoh Renaisance, termasuk oleh Leonardo Da Vinci. Muncul dugaan, Da Vinci pada tahun 1490 belajar serangkaian  gambar mesin dan ilmu teknik dari brosur-brosur di bengkel-bengkel kerja yang sepertinya disalin dari Nung Shu.


                Satu hal yang mendasari asumsi Menzies adalah meledaknya perkembangan dalam bidang karya seni, mesin, teknologi cetak, hingga pembuatan peta setelah tahun 1434. Tahun yang sama ketika Cheng Ho berlabuh ke pesisir Tuscany dan membagikan berbagai artefak ilmu pengetahuan bangsa Tiongkok kepada bangsa Eropa. Kita tahu, Eropa sebelum tahun 1434 hanyalah benua yang penuh dengan kerajaan-kerajaan. Mendadak, setelah 1434 terlewati, muncul beragam penemuan dan orang-orang jenius yang kemudian dipelihara keluarga Medici dan keluarga bangsawan-bangsawan Italia lainnya. Tahun ini secara tidak langsung menjadi titik balik dari abad pertengahan menuju abad pencerahan. Mungkinkah ledakan intelektualisme di Eropa yang kompak terjadi setelah 1434 ini semata kebetulan? Mungkinkan jenius-jenius seperti Leonardo Da Vinci, Leon Battista Alberti, dan Regiomontanus bisa muncul berbarengan dalam satu kurun masa yang berdekatan tapi tidak muncul lagi yang seperti mereka setelahnya? Mungkinkah para jenius ini sempat membaca brosur atau catatan atau naskah apa pun yang sebenarnya salinan dari Nung Shu? Jika menyimak kemiripan  sketsa-skertsa Da Vinci dengan ilustrasi dalam Nung Shu yang disertakan di buku ini, bisa saja kemungkinan itu terjadi. 


 Ilustrasi Armada Cheng Ho dalam Pelayaran Muhibahnya Mengelilingi Dunia
(gavinmenzies.net)

 Selain kemiripan sketsa, hal lain yang mendasari Menzies  untuk menulis buku ini adalah penggunaan peta Amerika oleh para penjelajah samudra. Dikatakan, bahwa Columbus membawa sebuah peta yang kemudian menuntunnya berlayar ke barat dan akhirnya menemukan benua Amerika. Mungkinkah menemukan sebuah benua yang sudah tercantum di dalam peta? Delapan belas tahun sebelumnya, Columbus mendapat sebuah peta kawasan Amerika oleh Paolo Toscanelli yang mengaku mendapatkan pengetahuan dari para lelaki baik berpengetahuan luas yang datang ke Florensia dari Tiongkok pada 1434. Peta-peta Columbus ini mirip sekali dengan peta-peta yang dimiliki armada Cheng Ho saat melakukan pelayaran mengelilingi dunia.  Jika memang semua ini benar, kenapa sejarah dunia sama sekali tidak menyebut Tiongkok sebagai salah satu pendorong munculnya abad penjelajahan? Salah satunya adalah kebijakan isolasi yang dilakukan oleh Kerajaan Tiongkok pada abad ke-15. Pelayaran agung Cheng Ho adalah muhibah terakhir sebelum kekaisaran besar itu menutup diri dari dunia, menyimpan sendiri seluruh kekayaan peradabannya hingga tertutup dari mata dunia. Dan di saat yang sama, Barat mendapatkan kesempatan emas untuk memanfaatkan warisan bangsa Tiongkok ini dan berjaya di panggung dunia lewat Renaisance.  

Apa yang diangkat Menzies ini memang satu hal yang cukup kontroversial. Buku ini cukup banyak mendapatkan satu bintang di goodreads. Di internet bahkan ada satu thread khusus berisi tulisan-tulisan para peneliti yang sepakat menolak teori Menzies ini. Tetapi, banyak juga yang mendukung penulis, yang kemudian turut dicantumkan dalam buku ini. Entah asumsi bahwa Cheng Ho benar-benar sampai ke Italia pada 1434 itu benar atau tidak, buku ini adalah bacaan yang sangat kaya. Menzies bekerja keras mengumpulkan semua bukti dan data untuk menyusun buku ini--dan ini saja sudah membuatnya layak mendapatkan apresiasi. Dari total 430 halaman, hampir 100 halaman adalah catatan kaki serta sumber referensi yang digunakannya dalam menulis buku 1434. Kemudian, apakah memang benar bangsa Tiongkok sebagai pencetus era Renaisance di Eropa? Kita tunggu saja kerja para sejarahwan di masa kini dan masa depan. Jika memang benar, maka catatan sejarah harus diperbaiki kembali untuk menghormati dan menghargai para penjelajah dunia hebat dari Timur ini.
                 

Mencoba Teknik Konmari, Tips Berbenah ala Jepang

$
0
0


Judul Buku : The Life-changing Magic of Tidying Up
Penulis : Marie Kondo
Penerjemah : Reni Indardini
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 224 halaman
Cetakan pertama : Agustus 2016



Kalau ada satu buku nonfiksi yang heboh banget dibicarain di forum-forum pecinta penimbun buku sepanjang tahun 2017 ini, maka salah satunya adalah buku karya Marie Kondo. Buku tentang seni beres-beres rumah ala Jepang ini diberi nama Konmari, sesuai dengan nama penulisnya yang dibalik. Ajaibnya, kata ‘kon mari’ ini mirip dengan kata-kata dalam bahasa Jawa yang artinya “(di) suruh sembuh” atau “(di)minta waras”. Bisa juga sih karena memang lewat bukunya ini Marie Kondo seperti ingin menyuruh orang-orang agar sembuh dari kebiasaan buruk kita yang suka menimbun menyimpan barang melebihi dari yang kita butuhkan.  Tanpa kita sadari, kebiasaan suka menumpuk barang-barang yang lebih sering tidak kita gunakan dan keengganan untuk membuang barang-barang yang bahkan sudah tidak kita perlukan memang sudah menjadi semacam ‘penyakit’. Di Indonesia, terutama di pedesaan yang rumahnya masih lapang dan punya gudang, kebiasaan ini mungkin belum terlalu mengganggu. Tetapi di Jepang yang rumahnya kadang hanya satu atau dua petak, kebiasaan menimbun barang adalah bencana.

Banyak orang, termasuk saya tentunya, enggan membuang barang lebih karena nilai sentimental dari barang tersebut, bukan karena kegunaannya. Bahkan, banyak kita yang juga sering membeli barang karena alasan yang sama. “Wah, jepit rambutnya lucuk. Murah lagi. Beli ah.” Bayangkan kalau tiap hari kita lewat toko pernak-pernik lucu dan beli setidaknya satu. Walau kecil, maka dalam setahun kamar Anda mungkin tidak ada bedanya dengan toko pernak-pernik dalam rumah. Hanya bedanya, “toko” Anda ini lebih berantakan dan lebih bikin frustrasi ketimbang bikin hepi. Lewat buku ini, Kondo memperkenalkan teknik buang-buang barang secara agak frontal-demi-kebaikan. Fokusnya adalah menyimpan barang-barang yang bisa membuat kita bahagia dan membuang barang-barang lain yang tidak menyentuh hati kita. Berbenah harus diawali dengan membuang, inilah prinsip utama teknik Konmari. Dan saya yakin tidak semua orang bisa dengan ikhlas melakukan ‘membuang’ ini pada tumpukan barang mereka.


Untuk cowok-cowok yang mungkin tidak suka beli pernak-pernik, mereka mungkin akan berkelit dengan “Ah saya kan hanya beli barang-barang sesuai fungsinya saja, jadi nggak perlu deh baca teknik konmari ini.” Saya misalnya, hanya punya satu sepatu sneaker dan satu sepatu lari. Sepatu sendal juga satu, sementara celana panjang hanya 3 dan kaus serta kemeja yang bisa dihitung. Pria biasanya memang tidak suka membeli dan menumpuk barang, kecuali barang-barang yang menjadi hobinya. Bagi saya, tumpukan itu berbentuk buku.Masalahnya, walau barangnya sedikit, saya sering kerepotan menyimpannya. Dan teknik konmari ini ternyata juga membahas tentang teknik menyimpan barang. Jika bab 1 sampai 3 di buku ini kurang ‘menyentuh’ saya sebagai penimbun cowok, mungkin karena fokusnya pada membeli barang-barang karena emosi dan bukan karena fungsi. Ini biasanya lebih sering dijumpai pada wanita (walau tidak semua). Tidak heran jika klien Marie Kondo lebih banyak dari kalangan wanita karier muda dan ibuk-ibuk muda (yah tahu sendiri kan, betapa sayangnya ibu-ibu, bahkan sama tutup tupperware yang sudah retak). Kondo sedikit kejam dalam membuang barang. 

Alasan utama saya tertarik membaca buku ini adalah Konmari juga sedikit membahas tentang tips menyimpan, memilih, dan membuang buku. Dalam kursusnya, Kondo membuat prioritas tentang barang-barang yang harus dibenahi, yakni mulai dari pakaian, lalu buku, lalu pernak-pernik, dan diakhiri dengan barang kenang-kenangan. Sayangnya, tips menyimpan buku hanya dibahas sedikit sekali di buku ini sehingga saya kurang puas bacanya. Saya sempat terbengong-bengong membaca bagian ketika Marie Kondo menyobek begitu saja halaman-halaman dari buku yang berisi kutipan-kutipan favoritnya. Kondo kemudian mengklipik sobekan halaman-halaman tersebut, dan ujung-ujungnya malah membuang kliping itu karena tetap tak sempat terbaca. Aduh, mending bukunya buat saya sih (Yon, yakin situ bisa baca huruf kanji?). Terus terang, saya belum bisa sepenuhnya mempraktekkan teknik Konmari untuk buku. Pernah, dia membuang 200 – 300 buku dari rumah kliennya. Kalau saya sih, mending dijual dan buat beli buku lagi (meskipun ini dikritik lagi oleh Kondo karena tetap saja timbunanmu bertambah). Tapi, saya usahakan deh sumbangin 5 – 10 buku saya tiap bulannya. Mending jadi amal dan daripada dibuang?

Bab-bab tentang menyimpan barang adalah bagian yang saya pikir sangat bermanfaat. Simpan barang-barang di satu tempat, jangan disebar di dalam rumah karena lebih menyenangkan mengetahui di mana kita menyimpan barang, meskipun jauh tempatnya. Kondo juga menekankan bahwa barang-barang akan merasa bahagia ketika mereka digunakan ketimbang ketika mereka disimpan. Uang koin misalnya, lebih baik dimasukkan ke dalam dompet dan digunakan untuk bayar parkir atau belanja kecil ketimbang dikumpulin dan akhirnya terlupakan. Dia juga berulangkali menekankan untuk lebih menghargai barang dengan menganggap mereka sebagai teman terdekat kita. Mengucapkan terima kasih kepada tas, atau sepeda motor, atau telepon genggam yang telah usang, misalnya. Mungkin kesannya kekanakan, tetapi hal ini bisa jadi merupakan bentuk ucapan syukur kita karena telah dipertemukan dengan barang-barang yang telah begitu banyak menolong kita.   Lewat buku ini, saya jadi belajar banyak tentang bagaimana menyimpan barang serta menghargai mereka.

The Last Star, Apa yang Menjadikan Kita Manusia?

$
0
0


Beberapa hari lalu, saya sempat membaca satu artikel di surat kabar terkait aksi teror di Barcelona. Satu hal yang saya tangkap dari tulisan itu, bahwa tujuan akhir dari aksi teror bukan pada jumlah korban yang sebanyak-banyaknya, tetapi pada munculnya rasa tidak percaya sesama—kepada orang-orang asing yang bukan dari golongan mereka. Ketika orang sudah tidak saling percaya, ketika itulah para teroris berhasil mencapai tujuannya. Orang jadi merasa tidak aman berada di kerumunan atau di antara orang-orang yang tidak dikenalnya. Mereka tidak mau lagi mengulurkan tangan kepada orang asing, bahkan pada mereka yang membutuhkan. Manusia kehilangan kemanusiaannya. Sungguh mengerikan jika ini terjadi. Seperti inilah resep yang digunakan Rick Yancey dalam buku terakhir seri Gelombang Kelima ini.

"... kau tak pernah kehilangan mereka yang mencintaimu, karena cinta itu konstan: cinta bertahan."(hlm. 142)

Semakin ke belakang, menurut saya buku ini semakin tidak seru dalam hal aksi ala-ala filmnya. Pada buku pertama Gelombang Kelima, pembaca disuguhi dengan teror-teror katastropik dalam bentuk pemusnahan besar-besaran terhadap penduduk Bumi. Dimulai dengan hilangnya listrik, lalu gempa bumi dan gelombang tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir, lalu wabah menyakit merah yang membunuh umat manusia yang selamat. Setelah itu, dimulai peluncuran gelombang keempatberupa penyebaran rasa saling tidak percaya pada sesama. Gejala ini muncul juga di buku kedua seri ini.  Terakhir, yang dituliskan di buku ketiga ini, adalah gelombang kelima sebagai alsi pamungkas dalam upaya pembersihan umat manusia. Tindakan mengerikan ini telah menyapu habis populasi manusia di Bumi, dari yang semula tujuh miliar menjadi tinggal beberapa ratus ribu saja. Parahnya lagi, mereka adalah ratusan ribu orang yang saling curiga satu sama lain.

"Tak peduli sebaik apa pun kau kenal seseorang, pasti masih ada bagian dari mereka tak kauketahui."(hlm. 215)

Lamanya jeda waktu antara terbitnya buku kedua dan ketiga seri ini membuat saya kudu sedikit bekerja keras saat membaca bab-bab awalnya. Pun, cara Yancey menulis yang menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian sukses membuat saya kagok menamatkan halaman-halaman awal. Tapi, begitu bab dua terlewati, alhamdulillah saya dapatkan kembali rasa Gelombang Kelima yang saya rindukan. Untungnya, bab-bab di seri ini pendek-pendek dan dengan adegan yang bergulir cepat sehingga aroma seperti menonton versi film Gelombang Kelima masih ada. Nama-nama seperti Ringer, Cassie, Ben, Zombie, dan Evan Walker kembali muncul di kepala bersama cerita-cerita mereka. Apalagi, adegan pertama di buku ini akan mengingatkan kembali pembaca kepada pembuka di buku kedua. Gemas banget rasanya sama para ‘wakil alien’ yang dengan mudahnya menghabisi para penyitas hanya karena perintah dari atas dan juga atas nama kebaikan Bumi. 

"Kau tak berlari dari orang yang membutuhkanmu. kau berjuang untuk mereka. Kau berjuang di sisi mereka." (hlm. 159)

Untuk sebuah seri yang dibuka dengan epik di buku pertamanya, saya merasa The Last Star ini kurang memuaskan sebagai buku penutup. Terutama dari segi aksi penghancuran dan perang-perangannya. Beberapa kualitas potisif memang masih dipertahankan penulis. Pembaca mungkin terkejut karena pihak “alien” itu ternyata adalah “alien” (alien dalam tanda petik). Bagian perang tanding antar karakter di buku ini juga cukup detail, bikin deg-degan sekaligus nagih saat dibaca. Karakter Cassie juga tetap badass seperti di buku kedua. Tetapi tetap saja, untuk sebuah seri yang diawali dengan musnahnya hampir tujuh miliar manusia, ending yang digunakan penulis dalam The Last Star ini kurang nendang. Saya jadi nggak bisa bilang “RASAKAN KAU, PAK ALIEN” meskipun satu adegan pamungkas di buku ini cukup meledak-ledak (dan mirip-mirip dengan adegan dalam film Indepence Day—maaf spoiler). 

"Karena cinta itu senjata paling berbahaya di dunia. Lebih tak stabil daripada uranium."(hlm. 226)
 
Terlepas dari minimnya adegan tembak-tembakan ala Star Wars, ada satu poin penting yang menurut saya berusaha disampaikan oleh Yancey di buku ini. Pihak alien yang ternyata adalah “alien” di buku ini menunjukkan betapa tidak dibutuhkan senjata canggih atau bom terampuh untuk menghancurkan umat manusia. Pengalaman perang selama ribuan tahun, bahkan dengan bom atom yang telah meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Bumi menunjukkan betapa manusia tetap masih mampu bertahan. Kota-kota dibangun kembali, persekutuan dimulai kembali, permusuhan diawali lagi, perdamaian diupayakan lagi. Tetapi, ketika rasa kemanusiaan itu lenyap dari diri manusia, kita menjadi tak ada bedanya dengan alien-alien yang asing antara satu sama lain. Ketika itu terjadi, manusia mungkin akan musnah sepenuhnya setelah manusia kehilangan apa yang telah menjadikan mereka manusia.  

35488549 

Judul: The Last Star (#Trilogi Gelombang Kelima)
Pengarang: Rick Yancey
Penerjemah: Angelic Zaizai
Penyunting: Mery Riansyah
Tebal: 397 hlm
Cetakan: Pertama, 2017
Penerbit: Gramedia

Vegetarian: Keindahan dalam Kesenduan

$
0
0
Judul: Vegetarian
Pengarang: Han Kang
Penerjemah: Dwita Rizkia
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 222 hlm
Penerbit: baca


34385512

Ketika Vegetarian karya Han Kang memenangkan Man Booker International Prize tahun 2016, saya dan mungkin banyak lagi pembaca di Indonesia merasa agak kecewa. Bukannya apa-apa, tapi ini kan kesempatan banget buat sastra Indonesia agar bisa melaju ke panggung pentas dunia. Kemudian saya  teringat, lawna kita adalah Korea Selatan. Negeri ini gencar sekali dalam mempromosikan industri hiburan mereka sehingga demam Kpop pun melanda hampir sepenjuru dunia. Tapi selain konser Kpop dan drama mereka yang ditonton rakyat dunia, buku-buku karya penulis Korea Selatan pun juga banyak dibaca. Negara ini memang sudah sejak lama aktif mengkampanyekan penerjemahan karya-karya sastranya ke dalam bahasa Inggris. Rupanya, ini adalah bagian dari kampanye Hallyu Wave yang berupaya memperkenalkan produk budaya Korea ke penjuru dunia. Sejak belasan tahun lalu, sudah sedemikian banyak karya sastra Korea yang mereka terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ini tidak lepas dari dukungan pemerintah Korsel yang aktif memberikan dana dan dukungan.

Tentu saja, terlalu picik jika kita menganggap Vegetarian menang hanya karena novel ini telah terlebih dulu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebelum Man Tiger. Tetapi, tidak bisa dipungkiri, para juri sebagian besar hanya menguasai bahasa Inggris serta bahasa-bahasa Barat lain sehingga kesempatan akan lebih besar jika tersedia versi bahasa Inggrisnya. Dalam hal ini, Indonesia bisa dibilang cukup tertinggal. Kemudian, mari kita bandingkan isinya. Saya terlebih dulu membaca Manusia Harimau sebelum Vegetarian, dan letupan nasionalisme dalam dada  tentu saja turut bersorak mendukung karya Eka Kurniawan ketimbang Han Kang. Novel Eka ini sedikit banyak mengingatkan saya pada Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marques tapi dengan rasa dan nuansa lokal. Bahkan sampai ke absurb-absurbnya saya bisa bilang kalau novel ini Marques banget, tetapi dalam hal yang positif. Para kritikus sastra dari luar juga menyebut Eka sebagai Marquesnya Indonesia. Lalu, bagaimana dengan Vegetarian?

Novel karya Han Kang ini mengingatkan saya pada karya-karya Murakami, serta sejumlah penulis Asia Timur dengan corak tulisan sendu, suram, dan efek negativisme yang kuat. Dari awal sampai akhir, novel ini nggak ada cerah-cerahnya karena emosi para karakternya begitu mendominasi. Setting Korea Selatan di musim panas yang semestinya indah seperti tertutup oleh aura muram yang menguar dari emosi para tokohnya. Aroma sendu ini semakin kental karena Han Kang menggunakan sudut pandang orang pertama bergantian. Karena terdiri dari tiga bab, maka ada tiga sutut pandang yang digunakan dalam Vegetarian. Semuanya serbaserdu, muram, dan begitu berbau masalah. Cerita pertama dinaratori oleh suami dari Young Hye. Suami istri ini tipikal rumah tangga baik-baik banget, selalu tenang dan saling menghormati. Yah, setidaknya sampai Young Hye diganggu mimpinya dan memutuskan untuk tidak lagi makan daging. Tidak sekadar menjadi vegetarian. Young Hye bahkan sampai pada taraf ‘sakit’ bahkan saat melihat atau mengendus aroma daging. Seluruh daging di kulkas pun dibuang, dan ketika itulah sang suami mulai merasa ada yang salah. 

Pertemuan keluarga besar digelar. Semua cemas dengan perubahan Young Hye yang tiba-tiba. Sang ibu yang khawatir pun menjenguk putrinya ke kota, bersama suaminya. Pertemuan keluarga besar ini malah membuka borok yang sudah lama tersimpan. Keluarga yang tampak selalu harmonis ini ternyata memiliki masa lalu yang suram, dan sikap aneh Young Hye yang tiba-tiba tidak ingin makan daging mungkin memang dipengaruhi oleh masa lalu itu. Lanjut ke bab 2, penceritanya adalah suami dari In Hye. Wanita ini adalah kakak Young Hye. Secara fisik, In Hye jauh lebih menarik dari adiknya,  tetapi anehnya sang suami malah memiliki ketertarikan terpendam kepada adik iparnya. Setelah kejadian tragis yang terjadi di pertemuan keluarga besar sebelumnya, Young Hye diceraikan dan dia tinggal sendirian. Kesempatan  ini yang kemudian digunakan suami In Hye untuk mewujudkan impian liarnya bersama sang adik ipar. Atas nama seni, keduanya melakukan aktivitas cabul yang aneh—melibatkan cat dan kamera. Parahnya lagi, skandal ini ketahuan oleh sang istri. Maka selanjutnya kita bergerak menuju sudut pandang In Hye di bab tiga.

Perselingkuhan sang suami dengan adiknya sendiri begitu keras menghantam In Hye, tetapi wanita  ini rupanya tipe wanita yang bertahan. Sebagai anak sulung, dia terbiasa mandiri dan menjadi tulang punggung. Selepas terkuaknya affair sang suami, In Hye memutuskan  hidup sendiri untuk merawat putra mereka. Sebagai kakak, In Hye juga ‘berbesar hati’ menjadi wali dari Young Hye yang sekarang dirawat di rumah sakit jiwa. Orang tua mereka sudah tidak mau peduli lagi. Kondisi sang adik semakin parah karena selain tidak mau makan daging, sekarang dia merasa dirinya adalah sebatang pohon. Wanita itu menolak makan selama tiga bulan sehingga tubuhnya susut menjadi 30 kilogram. Mari kita bayangkan betapa besarnya tekanan yang harus dihadapi sang Kakak. Setelah dikhianati suaminya, tidak diperdulikan oleh  orang tuanya, harus membesarkan putranya seorang diri, dan sekarang ada In Hye yang semakin aneh. Hidup seperti menghantam keluarga ini dengan tanpa ampun, menyisakan sosok bertahan yang pada akhirnya pun terancam kolaps.

Secara konflik, Vegetarian memang lebih berwarna-warni ketimbang Manusia Harimau. Masalah psikologis yang ditampakkan penulis di novel ini seperti ada dan tiada, aneh tetapi bukan mustahil terjadi. Novel ini dengan perlahan menyingkap lapis-lapis masa lalu yang membentuk hidup seseorang di masa sekarang dan masa depan. Sementara Manusia Harimau mencengkeram pembaca lewat eksotismenya, Vegetarian menggigit pembaca dengan emosi-emosi kehidupan. Dua-duanya sama-sama istimewa, mungkin sedikit keberuntungan turut berperan dalam menangnya Vegetarian. Hingga halaman akhir membaca novel ini, pembaca akan menyaksikan perjuangan itu belum selesai. Seperti kehidupan, masalah belum akan selesai bahkan ketika halaman terakhir itu tiba. Sebagai manusia, kita kadang hanya bisa ikut mengalir saja pada aliran kehidupan, sambil terus berjuang atau pasrah saja. Pada akhirnya, kehidupan adalah pemenang yang sejati.

NB: Pertamanya heran kenapa sampul ini memakai gambar bunga, ternyata oh ternyata bunga itu ada di bab 2.Sampulnya memang indah, sesuai dengan yang dilambangkannya.

Lockwood and Co: Bayangan Mengendap

$
0
0
Judul: Bayangan Mengendap
Pengarang: Jonathan Stroud
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Tebal: 496 hlm
Cetakan: Pertama, September 2017
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Baca via Scoop

36088391


Di akhir buku ketiga, kita dikagetkan dengan keputusan Lucy untuk berpisah dengan Lockwood and Co. Alasannya memang cukup sentimentil: untuk melindungi Lockwood.  Alasan ini tidak sepenuhnya akurat karena Lucy mendapatkan ramalan jelek dari Pemuda Berongga yang mereka hadapi di kasus terakhir buku ketiga ini.Tapi, yang namanya sudah cinta eaaakkk jadi apalah arti berkorban demi si kesayangan eciyek ciye *dijambak Lucy.
Lucy kemudian membuka biro konsultasi mandiri, dia melayani permintaan bantuan dari agensi-agensi lain yang membutuhkan tenaganya. Sebaagi agen lepas, dia tidak lagi terikat pada agen manapun. Satu-satunya yang maish mengikat hatinya adalah kenangan akan Lockwood wkwk dan juga pada si tengkorak usil. Harus diakui, walau sering menyebalkan, si tengkorak sudah berulang kali membantu Lucy. Walau kadang bantuannya diberikan dengan setengah hati dan setengah jadi, Lucy berulang kali diselamatkan olehnya. 

Kemampuan Lucy yang agak-agak lumayan dalam menangkap suara hantu dan bisikan dari masa lalu ditambah dengan bisikan dari si tengkorak menjadikannya salah satu agen lepas paling laris. Tidak kurang dari para agensi Fittes juga menyewa bantuannya. Sampai di sini, semua tampaknya beres bagi Lucy. Sampai kemudian si tengkorak dicuri!  Suatu pagi, seseorang mendobrak paksa kamar Lucy dan mencuri wadah hantunya. Lucy yang berusaha mencari tahu siapa pencurinya malah gantian dikejar-kejar para pembunuh bayaran. Jika sebelumnya dia harus berhati-hati dengan sentuhan hantu, mulai saat itu dia juga harus waspada pada tembakan peluru dari manusia hidup. Hantu mungkin bisa ditangani, tapi kalau pembunuh suruhan, Lucy tidak bisa sendiri lagi. Mau tak mau, Lucy harus kembali Portland Row untuk mencari bantuan kepada mantan agensinya. Untuk sedikit spoiler, di buku ini musuhnya bukan lagi hanya para hantu, tetapi juga manusia hidup. Jangan salah, manusia kadang malah lebih kejam kepada sesamanya. Yah, setidaknya dengan begini tim Lockwood.co kembali utuh.

Di buku empat kali ini, kasus-kasus yang dihadapi Lockwood and Co. makin banyak, tambah beragam, serta semakin berbahaya. Berbahayanya karena sepertinya ada tangan-tangan manusia yang turut menyebabkan peristiwa-peristiwa  berhantu ganas. Setelah keempat agen kita dipertemukan lagi, Lucy baru kalau maksud baiknya untuk pergi demi melindungi Antony malah membikin cowok makin nekat. Dari George, Lucy tahu betapa pemuda itu suka begitu saja menerjunkan diri dalam bahaya semenjak Lucy pergi. Bahkan saat mereka menghadapi Kanibal Earling, Lucy melihat sendiri betapa makin sembrononya Anthony. Yah, begitulah kalau sedang ada lubang di hati eaak.  Untungnya, mereka belum kehilangan kekompakan tim. Kasus demi kasus berhasil dilalui, dengan penampakan hantu-hantu yang semakin beragam. Sayangnya, kita bakal jarang mendengar celetukan si tengkorak yang menyebalkan-tapi-dirindukan di buku keempat ini karena posisinya sedang dicuri. Tapi tenang, Lockwood menemukan dua artefak psikis lain yang nggak kalah kerennya.

Jika menyimak  perjalanan dari buku satu hingga buku empat, entah kenapa kok semakin ke sini saya merasakan aura menyeramkannya semakin pudar. Buku keempat ini lebih banyak saya baca di malam hari, dan perasaan serem itu tidak sedahsyat seperti saat membaca buku pertama dulu. Undakan Menjerit sempat membuat saya meletakkan bukunya karena tiba-tiba saya terbayang bunyi-bunyi derit undakan yang tak nyata saat asyik membacanya di malam hari. Sepertinya, seri ini semakin ke sini memang semakin aksi. Apalagi, ditambah dengan keterlibatan tangan-tangan manusia di balik munculnya wabah hantu. Selain hantu, Lockwood and Co harus berhadapan dengan dua agensi terbesar di Inggris yang masing-masing ternyata menyimpan rahasia besar terkait Masalah. Dengan demikian, mereka tak lagi harus waspada kepada para hantu, tetapi juga para manusia yang bermain di balik selubung. Dengan kata lain, buku empat ini lebih seperti novel fantasi ketimbang novel horor supranatural--dan itu bukan masalah karena ceritanya asyik banget. Begitu masuk, susah untuk berhenti.

Bercinta Lewat Puisi dalam Kasmaran

$
0
0
Judul: Kasmaran, Sepilihan Puisi
Penyusun: Usman Arrumy
Cetakan: Pertama, September 2017
Tebal: 144 hlm
Penerbit: DIVA Press



Puisi-puisi di buku ini disusun berdasarkan rentang tahun penulisannya, dimulai dari tahun 2016 lalu mundur hingga ke tahun 2013. Secara tidak langsung, pembaca juga bisa turut merasakan serta mengalami perkembangan yang dialami Usman Arrumy dalam proses berpuisinya. Favorit saya adalah puisi-puisi dari tahun 2016. Coraknya pendek tapi lugas, sederhana tapi tetap dapat maknanya. Rima dan alur penulisannya sedikit mengingatkan saya pada puisi-puisi Jokpin. Dan, benarlah. Ada satu puisi khusus persembahan penulis untuk Joko Pinurbo di buku ini. Puisi yang berjudul "Insomnia II" ini menggunakan kata-kata yang sering banget kita temui pada baris-baris Jokpin. Apalagi kalau bukan 'kopi'.

Insomnia terbuat dari mata kopi
Yang menyerahkan tatapannya
Pada mata seorang pecinta. (hlm. 28) 

Bahkan baris pertamanya langsung membawa kita pada satu baris epik puisi Jokpin: “Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.” Pun jika kita telusuri lebih lanjut puisi ini, jejak Jokpin masih kentara, terutama dalam penggunaan si aku sebagai subyek yang menanggung untuk kepentingan si tercinta. Pola puisi yang pendek-pendek, kaya makna, dan diwarnai dengan permainan kata-kata ala Jokpin ini juga terlihat jelas di beberapa puisi penulis dari tahun 2016. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah puisi "Buku dan Kamu" di halaman 42.

Buku dan kamu tak ada bedanya;
Buku menampung kata-kata.
Dan kamu menampung air mata.
Keduanya sama-sama berasal dari cinta.


Rupanya, saya lebih cocok dengan puisi-puisi pendek tapi berima dan bermakna dari tahun 2016 ini ketimbang puisi-puisi penulis dari era sebelumnya. Semakin ke belakang, puisi-puisinya entah kenapa kok terasa semakin panjang. Usman Arrumy konsisten menggunakan asmara sebagai tema utama, tetapi--sebagaimana disebut Sapardi Djoko Damono dalam pengantarnya untuk buku ini--sebelumnya puisi-puisinya bercorak panjang. Juga semakin banyak perlambang. Puisi-puisi dari era 2015 bisa dibilang berjenis puisi permenungan yang lahir dari tirakat sang penyair. Kita agak harus sedikit mengeryitkan dahi untuk bisa memahami dan menyerap makna dari puisi-puisi panjangnya. Untungnya, bahkan dengan mengesampingkan maknanya, saya sudah sangat terhibur dengan aplikasi perimaannya

Jika kauletakkan di mata, aku penangkal kelimun kantukmu
Meraba rabunmu agar manik dunia dapat kauintip melalui naluriku
Aku penimba luh yang mudah luluh jika sesaat saja kau merasa jauh
(Terzina Rindu, hlm. 48)

Selain konsisten dengan tema cinta, yang patut diacungi jempol dari penyair ini adalah konsistensinya dalam mempertahankan rima serta pemilihan diksi yang rupawan. Seandainya digarap oleh orang kebanyakan, tema cinta dan rindu mungkin hanya akan jatuh pada puisi alay. Berbeda dengan puisi-puisi di buku ini, ketika cinta dan rindu bisa hadir dalam kecantikan penuhnya.

Rinduku padamu, kekasihku
Hanya bisa dijelaskan oleh batu
yang selalu mengasingkan dari keriuhan waktu
Kesunyiannya bersikeras mewakili kesendirianku
(Milestone of Adore, hlm. 54) 

 Jika engkau sedang dimabuk cinta, atau hendak mencari kado yang tepat untuk para perindu, buku kumpulan puisi ini untuk kamu.


Bajak Laut & Purnama Terakhir: Sebuah Komedi Sejarah?

$
0
0
Judul: Bajak Laut dan Purnama Terakhir
Pengarang: Aditya Mulya
Tebal: 340 hlm
Cetakan: Kedua, 2016
Penerbit: Gagas Media 



Saya selalu suka membaca buku sejarah, apalagi jika ada novel yang mengunakan satu babakan peristiwa dalam sejarah tempo dulu di nusantara sebagai setting waktunya. Salah satunya yang paling baru adalah Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi yang walau linimasa sejarahnya agak campur baur, tapi entah bagaimana kok tetap asyik diikuti. Novel Bajak Laut dan Purnama Terakhir ini juga menggunakan latar sejarah sebagai settingnya, yakni sekitar abad 17 atau 18 masehi. Kala itu, lautan nusantara memang masih dikuasai oleh para bajak laut yang berbasis di pulau yang kini bernama Singapura. Mereka ini menjadi duri dalam daging bagi pemerintah VOC karena sering merompak kapal dagang perusahaan. Nah, salah satu diantara bajak laut yang bersliwearn di nusantara kala itu adalah kelompok Kerapu Merah. Namanya memang lebih mengingatkan kita pada nama  rumah makan seafood, dan ternyata pemimpin gerombolan ini memang sama manjurnya dengan hidangan laut: sama-sama bikin darah tinggi wkwkwk.

Kerapu Merah dipimpin oleh Jaka Kelana, seorang pemuda berusia 30 tahunan yang lebih sering memuji dirinya sendiri ketimbang merompak kapal dagang. Menurutnya, dia adalah seorang visioner dengan pemikiran yang melampui zamannya (misalnya saja, dia sudah tahu kue cucur padahal di abadke-17, kue ini belum ditemukan). Sementara anak buahnya berpendapat kalau pimpinannya adalah orang yang paling tepat untuk diabaikan saja. Loh, ini buku sejarah apa buku humor? Saya sebenarnya bingung mengelompokkan novel ini sebagai jenis ini. Soalnya, sejarahnya ada (walau ada banyak bagian yang direka-reka sendiri oleh penulisnya), ada naganya juga (yes, you heard me right, there is a dragon in thisss book. Imagine!), dan humor yang menjurus ke pisuh memisuh juga banyak.  Campur aduk gini malah jatuhnya bikin salah fokus. Awalnya, pembaca diajak mundur ratusan tahun lampau ke nusantara yang masih dikuasai VOC, lalu tiba-tiba ada perompak koplak yang minta ditimpuk. Saya memutuskan untuk menikmati jalan ceritanya saja ketimbang ceriwis.

Selain kekocakan khas Aditya Mulya, hal asyik lain dari novel ini ada pada cara si penulis menfiksikan sejarah. Satu babakan dalam sejarah Majapahit dituliskan ulang dengan versi rekaannya sendiri. Rekaan ini kemudian dipaskan dengan tarikh sejarah yang kita kenal sehingga menjadi semacam cocoklogi yang enak dinikmati.  Konon, salah satu sebab berjayanya Majapahit tidak bisa dilepaskan dari keberadaan 9 orang istimewa yang disebut para arya. Merekalah yang setia mendampingi Raden Wijaya dalam perjuangannya mendirikan Majapahit. Penulis mereka ulang sejarah gelap Majapahit ini dengan menyebut sepuluh pusaka yang membantu Raden Wijaya naik takhta dan memenangkan hampir seluruh kepulauan nusantara. Bagian pusakanya agak-agak fantasi sih, tapi sosok-sosok arya itu benar-benar adalah para tokoh nyata dalam sejarah. Patih Nambi, Lembu Sora, dan tokoh-tokoh lain yang biasanya kita dengarkan sambil lalu dalam pelajaran sejarah dimunculkan ulang dalam karakter-karakter yang kuat. Kualitas ini yang mungkin bikin banyak pembaca bisa belajar sejarah secara lebih menyenangkan.

Banyak informasi untuk yang bisa kita dapatkan dari novel ini, di antaranya asal muasal dari sejumlah kata yang masih kita gunakan hari ini, semisal preman dan KUTANG. Dalam catatan kaki yang diberikan penulis, pembaca juga bisa mendapatkan informasi-informasi ringkas namun penting dalam sejarah nusantara. Walau semakin ke belakang, catatan kaki yang muncul lebih sering bikin ngakak ketimbang bikin paham sejarah. Walau ada embel-embel “Sebuah Komedi Sejarah” pada judul novel ini, nuansa fantasi dan sejarah lebih sering hadir. Keberadaan Jaka Kelana lebih sebagai selingan ketika ceritanya menjadi terlampau serius sejarah atau terlalu kental fantasinya. Saya juga agak merasa keberadaan Jaka Kelana cs ini digunakan sebagai penambal sejumlah bolong logika yang beberapa kali bertebaran di buku ini. Misalnya saja, ada adegan ketika kapal tercepat milik VOC yang dilengkapi meriam dan layar raksasa ternyata tidak mampu mengejar kapal phinisi yang ditunggangi Jaka cs.  Juga, adegan pembobolan kraton Mataram yang kayaknya receh banget. Tapi, sekali lagi, ini kan komedi sejarah. Jadi, lebih baik kita nikmati saja  humornya ketimbang pusing mikirin kurangnya.  

Sceduled Suicided Day, Kisah Perencanaan Bunuh Diri yang Manis

$
0
0

Judul: Sceduled Suicided Day
Pengarang: Akiyoshi Rikako
Penerjemah: Andry Setiawan
Tebal: 280 hlm
Cetakan: Pertama, April 2017
Penerbit: Haru

35049954

Dengan sampul yang “dark’ dan judul yang menjurus ke cerita depresi, orang mungkin akan menganggap novel ini berisi kisah yang gela-gelap suram ala Holy Mother dan The Girl in the Dark. Kenyataannya, novel ini ternyata kisahnya manis dan malah mengingatkan kita pada bacaan komik remaja yang penuh kupu-kupu beterbangan. Walau penulis juga membumbui dengan cerita ala-ala detektif, banyak pembaca yang sepertinya lumayan kecewa dengan menurunkan rating untuk buku ini. Bagi yang mengikuti karya-karya Akiyoshi Rikako di Indonesia, membaca buku ini mungkin memang akan terasa sedikti jomplang. Pasalnya, setelah kita dibikin terkaget-kaget dalam Holy Mother, buku selanjutnya ternyata menghidangkan kisah remaja yang manis. Tetapi bagi saya, bagaimana penulis berkisah dan bagaimana ia mampu menghibur pembaca selalu menjadi poin utama penilaian. Sekali lag, saya bertepuk tangan dalam diam setelah selesai membaca novel ini.

Novel ini mengangkat tema fenomena bunuh diri yang memang menjadi salah satu masalah pelik di Korea Selatan dan Jepang. Di Jepang terutama, sejak dulu terkenal memiliki angka bunuh diri yang tinggi akibat tuntutan dan tekanan kehidupan sehari-hari. Fenomena inilah yang mungkin menjadi keprihatinan penulis sehingga dia sampai menulis sebuah novel remaja khusus tentang bunuh diri. Harapannya, para remaja yang memang menjadi salah satu kelompok usia rawan melakukan bunu diri (akibat perundungan dari teman sebaya atau bahkan orang tua), bersedia berpikir berkali-kali sebelum melakukannya. Mengapa bunuh diri menjadi tren di Jepang? Mungkin karena ada anggapan bahwa tindakan ini merupakan hal yang terhormat untuk dilakukan ketika seseorang menanggung malu atau rasa kecewa yang besar. Bahkan dalam situs web yang dibuka Ruri, tercantum juga daftar tempat-tempat yang populer digunakan sebagai lokasi bunuh diri. Salah satunya Desa Sagamino, yang akan menjadi tujuan Ruri untuk bunuh diri. 


Watanabe Ruri yakin ayahnya dibunuh oleh ibu tirinya! Awalnya, Ruri memiliki keluarga kecil yang harmonis, dengan kedua orang tua menjalani bisnis yang mereka sukai: memasak. Kemudian, dunia tiba-tiba mulai jungkir balik ketika pada suatu pagi ibunya tiba-tiba ambruk dan terpaksa dibawa ke rumah sakit. Ketika sang ibu dikabarkan telah meninggal, pelan tapi pasti kehidupan menjadi semakin berat bagi gadis remaja itu. Keadaan semakin bertambah buruk ketika sang ayah memutuskan untuk menikahi asistennya, Reiko. Walau tidak setuju, pada akhirnya Ruri terpaksa menyetujui keputusan sang ayah. Bagaimanapun, dia ingin ayahnya berbahagia. Tetapi, pernikahan tampaknya hanya membawa sedikit perubahan. Sang ayah masih sering melamun dan bahkan sering sakit-sakitan. Puncaknya, ketika suatu pagi, Ruri mendapati sang ayah telah meninggal di tempat tidurnya. Dokter menyebut karena gangguan kerja jantung, tetapi Ruri punya teori lain dan itu melibatkan ibu tirinya. 


Lewat penyelidikan kecil-kecilan, Ruri mendapati adanya banyak kejanggalan dalam kematian ayahnya. Tetapi, remaja itu tidak bisa menemukan buktinya. Polisi dan dokter keluarga juga tidak mau percaya. Ruri tahu betul kalau Reiko hanya ingin menguasai harta dan restoran ayahnya. Bahkan, ia mendapati seluruh harta dan restoran telah didaftarkan ulang atas nama perusahaan. Merasa tidak bisa lagi melawan, Ruri nekat memutuskan untuk bunuh diri sebagai bentuk protes kepada ibu tirinya. Untunglah, percobaan bunuh diri yang hendak dilakukannya di Sagamino gagal karena penduduk setempat telah melakukan sejumlah antisipasi. Alih-alih meninggal dan menjadi hantu, Ruri masih hidup ... tetapi dia jadi bisa melihat sesosok hantu seorang pemuda bernama Hiroaki. Hantu itu berjanji akan membantu Ruri mengungkap kejahatan sang ibu tiri asal Ruri mau menunda bunuh dirinya.


Kemudian, dari sini, cerita mulai berjalan seperti kisah-kisah petualangan remaja lainnya. Hiroaki memberikan nasihat-nasihat yang kemudian diterapkan oleh Ruri untuk menyelidiki Reiko. Intensitas keduanya begitu manis, bikin gemes. Pokoknya, cocok banget lah Ruri dama Hiroaki ini andai saja tidak ada halangan gaib yang memisahkan. Sambil menjalani penyelidikan ini, kita sekalian diajak menikmati panorama Sagamino yang sebetulnya indah, juga berbagai makanan enak yang bikin baper. Pokoknya, aroma ‘suicide’ ini malah buyar dan tak tampak sekali di buku ini, digantikan dengan percik-percik asmara khas anak muda yang manis banget. Berhasilkah upaya Ruri untuk mengalahkan kelicikan Reiko? Sebentar, kayak belum pernah baca karya-karya Akiyoshi Rikako saja. Begini, walau kisah buku ini manis, penulis tetap konsisten dengan ciri khasnya: plot twist yang melimpah ruah.


Dalam beberapa bagian akhir, jebakan-jebakan itu bertaburan kayak wijen di kue onde-onde wkwkwk. Masih kayak biasanya, Rikako mengiring pembaca ke sana ke mari, lalu tebakan kita dibelokkan 180 derajat. Sampai-sampai saya menjadi waspada, jangan-jangan bagian yang “itu” juga jebakan juga, dan ternyata benar. Kerennya lagi, penulis mampu mengisi celah-celah yang memungkinkan terjadinya plothole. Hanya bagian “menyelinap lewat jendela” itu yang menurut saya agak susah untuk dipraktikkan. Selebihnya, novel ini adalah buku manis yang sangat menghibur. Poin plus lain, penulis tampaknya melakukan banyak riset saat menulis buku ini, terutama tentang feng shui. Jadinya, pembaca dapat banyak informasi penting tentang banyak hal sambil mengikuti kisah Ruri dan Hiroaki yang so sweet itu.

Para Priyayi: Bagaimana Menjadi Priyayi Sejati

$
0
0
Judul: Para Priyayi
Pengarang: Umar Kayam
Tebal: 308 hlm
Cetakan: Keenam, Januari 2000
Penerbit: Grafiti


984819


Rampung sudah saya menutup cerita keluarga besar Soedarsono ini dengan puas hati. Pria yang awalnya hanya buruh tani ini berjuang menaiki kelas sosial, hingga akhirnya dia menjadi guru dan sah pula dia mendapatkan gelarnya sebagai seorang priyayi. Capaiannya ini tidak bisa dilepaskan dari bantuan serta dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, yang kemudian menasihatinya untuk mengubah namanya menjadi Sastrodarsono.  Dalam buku ini, kita akan diajak mengikuti warna-warni perjalanan hidup keturunan Sastrodarsono, mulai dari eyang Kakung hingga ke cicit-cicitnya. Membosankan? Mungkin, jika yang menulis bukan Umar Kayam. Walau harus dibaca tertatih-tatih dengan dua jeda yang terlalu panjang, saya akhirnya selesai membacanya dan jatuh cinta dengan karya legendaris ini. 

Para Priyayi terasa sangat Jawa sekali. Ini luar biasa mengingat konon Umar Kayam menyelesaikan menulis novel ini saat sedang berada di Amerika Serikat.  Penulis keren sih gitu, nulis ya nulis saja tanpa harus rewel kudu ada di Jawa dulu biar bisa nulis tentang Jawa. Kembali ke Para Priyayi, di buku ini sebutan priyayi ternyata tidak hanya terbatas pada keturunan bangsawan saja. Sama sekali tidak ada darah biru dalam trah keluarga Sastrodarsono. Istilah priyayi kemudian digunakan secara luas untuk menyebut para pamong praja atau yang kita kenal kini dengan istilah pejabat. Sudarsono yang benar-benar ingin mengangkat status sosial keluarganya kemudian membesarkan ketiga anaknya agar kelak bisa menjadi ‘orang’. Dan memang, semua anaknya tumbuh dalam didikan yang baik sebagai anak-anak priyayi untuk kemudian menjadi priyayi juga. 

Mengikuti pertumbuhan ketiga anak Sudarsono ini mungkin terasa membosankan karena perjalanan hidup mereka yang lurus-lurus saja. Tetapi, Umar Kayam menyelinginya dengan beragam kisah khas daerah pedalaman Jawa yang membikin kita larut dalam ceritanya. Sampai-sampai, saya tak sadar kalau yang saya baca ini adalah kisah tiga generasi sebuah keluarga yang semestinya membosankan tetapi nyatanya tidak. Teknik penceritaan yang digunakan penulis seperti mengalun lembut, pelan serta anggun sebagaimana tingkah laku seorang Jawa yang terhormat. Lambat tapi kisahnya menyita minat.  Bagian paling menarik adalah cara penulis mengaitkannya dengan situasi saat ketiga generasi ini tumbuh. Pada generasi pertama, tampak sekali suasana khas Hindia Belanda yang tengah marak dengan beragam organisasi Bumi Putra. Generasi kedua berkembang pada masa penjajahan Jepang serta revolusi kemerdekaan. Banyak perang di sini. Sementara generasi ketiga juga tidak kalah seru karena menjadi saksi peristiwa September 1965.

Buku ini juga tidak terasa membosankan karena dikisahkan dengan sudut pandang orang pertama bergantian. Pembaca jadi mampu membayangkan, merasakan, dan memandang banyak hal. Beragam persoalan memang menimpa keluarga ini, terutama generasi ketiganya. Tetapi, secara umum, seluruh permasalahan tersebut relatif dapat diselesaikan. Jika dipandang sebagai sebuah karya sastra, Para Priyayi cenderung memiliki ritme yang kalem. Banyak konflik besar yang mungkin sekali timbul, tetapi karena semua masalah itu dipandang dari sudut pandang orang-orang Jawa yang cenderung tenang dan mengikuti arus, konflik-konfliknya jadi semacam datar saja. Sebagai priyayi, keluarga Sastrodarsono mungkin telah belajar ojo kagetan, ojo gumuman, dan ojo dumeh sebagaimana orang-orang Jawa yang baik. 

Pada akhirnya, siapakah yang disebut dengan para priyayi itu? Karena istilah ini tidak saja mencakup makna pejabat dan pamong praja, tetapi juga orang-orang dengan sikap hidup yang terhormat. Agak unik kiranya karena di bagian penghujung novel ini, penulis malah menyorot ke sosok Lantip yang aslinya hanyalah anak angkat di keluarga besar Sastrodarsono. Meskipun memiliki orang tua dengan sejarah kehidupan yang kurang baik, Lantip dapat tumbuh menjadi sosok pemuda yang lurus dan taat. Sosoknya melambangkan satu lagi sifat khas orang Jawa, yakni tahu menempatkan diri. Lantip sadar bahwa dirinya hanya anak angkat alias bukan keturunan priyayi, tetapi ia berjuang untuk setidaknya layak berada dalam lingkup keluarga priyayi. Mungkin, malah sosok inilah yang benar-benar layak menyandang gelar priyayi dari generasi ketiga keluarga Sastrodarsono. Dia membuktikan pendapat penulis bahwa seorang priyayi tidak saja dipandang dari keturunannya, tetapi juga dari tindak tanduknya.

Blogtour and Giveaway: Persembahan Teruntuk Bapak

$
0
0
Judul: Persembahan Teruntuk Bapak
Pengarang: Adi Zamzam
Editor: Addin Negara
Cetakan: Pertama, September 2017
Tebal: 184 hlm
Penerbit: DIVA Press





Kisah inspiratif tidak melulu harus tentang orang besar atau perjalanan yang akbar. Dari kisah-kisah sederhana keseharian, kita juga bisa mendapatkan banyak pelajaran dan pengajaran. Seperti kisah di novel tipis ini. Cerita sederhana ini membuktikan betapa setiap cita-cita layak untuk diperjuangkan, betapa pun absurd dan remehnya. Siapa yang pantang menyerah, terus bertekun diri, dan tak mudah goyah,  hasil yang manis sudah menanti di ujung perjalanan. Persembahan Teruntuk Bapak berkisah tentang persahabatan Arya dan Bambang dalam meniti masa depan mereka. Kedua anak muda ini memilih berjuang untuk meraih impian yang mungkin tak terbayangkan di benak anak-anak muda era milenial: menjadi dalang. 

“Dalang itu bukan pekerjaan gampangan. Bukan cuma harus belajar tirakat, memahami karakter tokoh-tokohnya lalu mencari padanan tokoh dalam kehidupan nyata, atau memahami selera penonton. Seorang dalang juga harus punya pegangan nilai, satu kata satu perbuatan.” (hlm. 81)

Arya adalah seorang putra dari mantan dalang. Ayahnya dulu sangat terkenal di Jogja, pernah punya penonton yang setia, serta selalu memiliki trik-trik khusus untuk membuat penonton tetap terjaga semalam suntuk. Sayangnya, passion sang ayah untuk mendalang tidak turun ke putranya. Sementara Bambang adalah seorang remaja keturunan Arab yang ternyata sangat suka mendalang. Nasib keduanya malah seperti tidak mendukung impian masing-masing. Hidup kadang memang seperti ini. Tidak semua yang kita inginkan selaras dengan kenyataan. Lebih sering, kitalah yang terpaksa harus mengalah dan menjalaninya. Tetapi, hidup juga mengajarkan kita untuk senantiasa berpikir positif, untuk belajar dari setiap apa dan dari setiap siapa.

“Tuhan itu punya banyak cara untuk membawa seseorang kepada impian yang diinginkannya. Bisa jadi, segala kesusahan yang dilaluinya di depan adalah cara-Nya untuk mematangkan proses menjadi.” (hlm. 115)

Tetapi permasalah yang harus dihadapi dua remaja ini ternyata tidak hanya tentang passion saja. Penulis kemudian menyeret pembaca dalam kehidupan keluarga Arya yang ternyata sedemikian sesak oleh konflik. Ayahnya yang nglokro setelah berhenti mendalang, lalu kakak sulungnya yang memutuskan berhenti mendalang dan malah memilih menjadi biduanita, serta kakak kedua yang malah terjebak oleh rayuan tak bertanggung jawab. Potret keluarga Arya begitu terang melambangkan sosok keluarga kelas menengah ke bawah yang mungkin dekat dengan keseharian kita. Meski mengangkat tentang perjuangan Arya, tidak kemudian novel ini berubah menjadi novel yang cengeng, mendayu-dayu, atau menuntut iba. Di buku ini, penulis mampu menuliskan cerita yang apa adanya, yang justru dengan begitu malah menjadikan cerita ini dekat dan mudah diterima. 

“Kalau yang kau tuju uang, semuanya akan habis setelah uangnya juga habis. Rugilah kamu. Tapi kalau yang kau tuju ilmu, segala jenis ilmu takkan habis kau gunakan. Meskipun berkali-kali.” (hlm. 131)

Sayangnya, saya agak merasa perpindahan cerita di novel ini agak melompat-lompat. Lompatannya juga kadang sangat samar sehingga ketika cerita telah berpindah, perhatian saya masih ada di cerita sebelumnya. Terlepas dari yang sedikit itu, ada banyak hal yang bisa kita dapatkan dengan membaca novel ini. Salah banyaknya, hal-hal baru tentang wayang dan dunia dalang, juga tentang pentingnya inovasi.


 

GIVEAWAY

Penerbit DIVA Press masih menyediakan satu novel ini gratis buat teman-teman yang belum beruntung di tiga blog sebelumnya.  Untuk mendapatkannya, silakan ikuti langkah-langkah berikut:

1. Silakan follow twitter @divapress01 atau like fanpage Penerbit DIVA Press. Boleh dua-duanya, atau salah satu saja.

2. Share/bagikan postingan kuis ini di media sosial kamu.

3. Jawab pertanyaan berikut:

"Apa sih impian terbesarmu, dan langkah apa yang sudah kamu lakukan untuk mencapainya?"

4. Format jawaban:
Nama:
FB/Twitter:
Tautan membagikan:
 Jawaban:

5. Dimohon untuk menjawab satu kali saja ya. Kuis ini hanya berlaku untuk pemenang dengan alamat pengiriman di wilayah NKRIdan akan berlangsung sampai 30 September 2017. Pengumuman pemenang insya Allah di hari Senin tanggal 2 Oktober 2017. Terima kasih sudah ikutan.

Sttt ... habis ini konon bakal ada giveaway lagi loh, siap-siap saja.






Blogtour dan Giveaway: Moonlight's Lullaby

$
0
0
Judul: Moonlight’s Lullaby
Pengarang: Khi-Khi Kiara
Penyunting: Diara Oso
Cetakan: Pertama, September 2017
Tebal: 232 hlm
Penerbit: Laksana



Kystaline Robyn Venushara Blackwood, kita panggil saja Alisha (kok bisa Alisha ya? Ternyata, asal usulnya begini: Ali dari ‘KystALIne’ dan sha dari ‘VenuSHAra). Gadis kecil ini tinggal bersama ayahnya dan abangnya, Euro di Brooklyn, New York. Tidak ada yang beda dari gadis kecil. Kenyataannya, Alisha termasuk gadis yang beruntung karena memiliki ayah dan abang yang sangat mencintainya. Mereka juga termasuk keluarga menengah sehingga gadis kecil itu tidak pernah kekurangan secara materi. Alisha hanya kekurangan kasih sayang seorang ibu. Setiap kali ia menanyakan perihal ibunya kepada ayah dan abangnya, jawabannya selalu sama, bahwa wanita itu sudah pergi ke tempat yang jauh. Dari abangnya, dia mengetahui kalau kedua orang tua mereka telah bercerai. Walau kasih sayang dari ayah dan abangnya tak pernah surut, Alisha sesekali merindukan juga sosok seorang ibu yang menemani tidurnya, membacakan dongeng untuknya, bermain dengannya.  

Itu sebelum peristiwa kecelakaan itu. Dalam sebuah perjalanan ke Lousiana, mobil yang ditumpangi keluarga Blackwood mengalami kecelakaan karena tertabrak truk. Alisha yang duduk di kursi depan mengalami luka yang paling parah pada bagian kepalanya. Gadis itu harus menjalani rawat inap secara intensif selama satu bulan di rumah sakit sebelum akhirnya dokter mengizinkannya dirawat di rumah. Semenjak kejadian itu, Alisha sering mengalami serangan sakit kepala mendadak. Dokter mengatakan telah terjadi kerusakan pada otak si gadis kecil sehingga wajar jika sesekali muncul sakit kepala asalkan Alisha tidak berpikir yang berat-berat. Tetapi, selain sakit kepala, Alisha juga kerap dihantui dengan halusinasi. Dia bisa mendengarkan suara-suara musik seperti orang yang sedang bermain piano atau biola. Anehnya, hanya dia yang bisa mendengarkan suara-suara itu.

"Lagu itu terdengar dekat, tepat di sampingku, mampir sebentar lalu hilang. Sementara itu, kulihat tidak ada yang main piano. Tidak ada orang di ruang keluarga."(hlm. 48)

Ketika Alisha menanyakan itu kepada ayahnya, jawabannya tetap sama: Alisha sedang berhalusinasi. Tetapi bagaimana bisa halusisasi sejernih itu suaranya. Anehnya lagi, halusinasi itu semakin spesifik. Setiap jam 11 malam, Alisha mendengar nada ‘Fur Elisi’ tengah dimainkan di ruang keluarganya. Awalnya, Alisha mengira ayahnya yang bermain piano, tetapi ternyata bukan. Rasa penasaran akhirnya mendorong Alisha untuk mengecek sendiri ke ruang keluarga. Bukan sang ayah yang ia jumpai sedang bermain piano di sana, tetapi sesosok wanita berambut pirang dan bermata biru dengan kaki yang tak menapak tanah. Satu hal yang aneh dari sosok itu, dia hanya muncul saat bulan purnama atau saat sedang ada cahaya bulan. Sosok itu juga hangat dan dapat dipegang oelh Alisha. Siapa sebenarnya sosok itu? Baik atau jahatkah dia? Benarkah dia memang ingin bersahabat dengan Alisha ataukah itu sekadar kedok untuk mengelabuhi dan kemudian memangsa si gadis cilik?

"Tubuhnya mengurus, nyaris terlihat semua tulang-tulangnya, dengan gurat-gurat hitam yang menjalar dari tangan sampai ke kepala. Mulutnya menganga, melebar dari bawah. Darah keluar dari leher, mulut, hidung, dan mata."(hlm. 221)

Novel ini sebenarnya berpotensi seram, terlebih dengan dukungan ilustrasi creepy di halaman belakang. Tetapi, menjadi nanggung karena menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal dari seorang anak gadis berusia 8 - 9 tahun yang sering mengalami sakit kepala. Novel ini seperti kehilangan unsur detailnya. Ya, wajar sih anak kecil tidak bisa menggambarkan segala sesuatunya hingga detail. Termasuk yang kurang detail adalah penggambaran tentang hantunya yang kurang deskriptif di tengah. Penulis berulang kali menggambarkannya sebagai wanita pirang bermata biru (yang diulang-ulang entah berapa kali). Suasana saat sang hantu termanifestasi (kok macam Lockwood aja) juga kurang diekpos sehingga saya sebagai pembaca jadi kurang merasakan suasana horornya. Selain itu, setting tempat yang di Amerika Serikat juga kurang terasa di novel ini. jadi Alisha ini tinggal di Brooklyn tapi sepanjang buku ini saya tidak menemukan pemandangan pencakar langit atau kemacetan jalanan khas New York. Lagi-lagi, balik ke si pencerita yang masih kecil sehingga sedikit bisa dimaklumi--meskipun hal-hal semacam itu harusnya juga tidak luput dari pandangan mata seorang anak kecil. (less)




GIVEAWAY

Penasaran sama sosok serem itu, baca aja yok di novel Moonlight’s Lullaby ini. Lagi bokek? Duh masih tanggal muda masak sudah bokek saja. Baiklah, Penerbit DIVA Press memberi kesempatan buat teman-teman semua untuk mendapatkan 4 novel ini gratis sepanjang bulan Oktober 2017 ini. Salah satunya di blog Baca Biar Beken. Gimana cara ikutannya? 

 1. Silakan follow twitter @divapress01@divapress01 atau like fanpage Penerbit DIVA Press. Boleh dua-duanya, atau salah satu saja.

2. Share/bagikan postingan kuis ini di media sosial kamu.

3. Jawab pertanyaan berikut:

"Apa hal terserem ala kamu, tapi itu bukan yang horor-horor? Sertakan alasannya juga ya."

4. Format jawaban:
Nama:
FB/Twitter:
Tautan membagikan:
Jawaban:

5. Dimohon untuk menjawab satu kali saja ya. Kuis ini hanya berlaku untuk pemenang dengan alamat pengiriman di wilayah NKRI dan akan berlangsung sampai 8 Oktober 2017. Pengumuman pemenang insya Allah di hari Senin tanggal 9 Oktober 2017. Terima kasih sudah ikutan.

Sttt ... habis ini konon bakal ada giveaway lagi loh, siap-siap saja.
 

Menjajal Wattpad: Nerdy Girl

$
0
0

Judul: Nerdy Girl
Pengarang: Alnira
Penyunting: Avifah Ve
Tebal: 424 hlm
Cetakan: Pertama, September 2017
Penerbit: DIVA Press



Bagi saya, ada dua tujuan orang membaca buku. Pertama adalah untuk mendapatkan informasi (termasuk ilmu pengetahuan dan buku-buku pelajaran/kuliah) dan yang kedua untuk mendapatkan penghiburan. Untuk tujuan kedua ini, biasanya orang membaca buku-buku dari jenis fiksi seperti novel, cerpen, atau puisi walaupun tidak sedikit pula orang membaca buku-buku nonfiksi sebagai penghiburan. Khusus untuk pembaca novel, biasanya orang membaca novel untuk mencari penghiburan, entah itu penghiburan yang membangun ataupun penghiburan yang menghibur semata. Membaca buku-buku sastra menurut saya adalah salah satu bentuk penghiburan yang membangun. Ini karena buku-buku jenis ini mampu melembutkan pembacanya, memberikan banyak pelajaran tentang kehidupan, juga menjadikan kita peka pada isu-isu sosial. Tentu tidak semata novel-novel sastra yang memiliki keunggulan ini. Banyak novel nonsastra dan juga novel populer yang digarap dan ditulis dengan baik juga mampu menghadirkan fungsi penghiburan yang mendidik ini. Kemudian, bagaimana dengan versi penghiburan yang melenakan?


Kadang, kita hanya ingin membaca dan menikmati saja tulisan yang dibawakan penulis. Dengan artian, kita tidak mau berpikir banyak saat membaca sebuah novel. Tidak perlu data sejarah, tidak perlu harus meraih Nobel sastra, tidak perlu pakai kata-kata yang rumit. Pokoknya, cukup novel itu bisa dinikmati dan membuat kita lupa sejenak pada kehidupan nyata. Inilah yang oleh Neil Gaiman disebut sebagai membaca sebagai pelarian ketika dunia nyata serasa sedang tidak ramah. Novel Nerdy Girl karya Alnira menurut saya adalah jenis novel yang cocok untuk tujuan ini. Secara cerita, noel ini tidak ada bedanya dengan roman-roman remaja-dewasa muda yang mungkin mudah kita jumpai di toko buku. Buat yang suka nonton drama Korea, kisah Jonathan dan Aihara mungkin akan sedikit mengingatkan pada alur kisah cintanya nan manis. Apalagi, penulis yang sepertinya seorang Kpopers seperti mampu memanfaatkan kegemarannya pada Hallyu Wave itu dalam naskahnya ini. Pengetahuan yang baik tentang budaya pop Korea, dipadukan dengan karakterisasi yang oke, plus keterampilan menulis yang matang, maka jadilah novel Nerdy Girl yang saya akui sangat menghibur.



Tidak ada masalah pada alur cerita Nerdy Girl. Jujur saya menikmatinya karena penulis luwes banget nulisnya. Untuk masalah tata bahasa dan kalimat, bisa dibilang sudah mantap. Cerita cinta yang sebenarnya klise terbantu oleh karakterisasi yang sangat kuat pada diri Aihara. Saya menyebut karakter cewek ini sebagai karakter tak sempurna yang merasa sempurna dengan ketidaksempurnaannya. Melihat Aihara tidak ada beda dengan memandang cewek-cewek kebanyakan di luar sana. Jadilah karakter ini terasa akrab dan tidak dibuat-buat dalam pikiran saya. Aihara sudah berulang kali membuat saya ngakak, atau setidaknya membuat bibir saya melengkung ke atas dengan celetukan-celetukan konyolnya yang awam banget tapi malah ngakak. Karakter ini bikin jatuh cinta dan gampang didekati oleh pembaca. Jika dipikir, keberadaan Aihara-lah yang membuat saya memutuskan lanjut membaca Nerdy Girl sampai selesai (dan hanya dalam waktu 2 hari). Ini adalah prestasi bagi saya yang jarang baca roman, apalagi inilah kali pertama saya berhasil menyelesaikan sebuah karya yang diangkat dari jagad wattpad.


Sekilas membaca blurb novel ini, saya bisa menebak kalau Nerdy Girl bakal jadi another Cinderella story ketika ada seorang pemuda tampan jatuh cinta pada gadis yang biasa-biasa saja. Cerita semacam ini bisa bagus, bisa juga malah jatuhnya lebai kalau penulis tidak pandai mengolahnya. Untungnya, Alnira bisa bikin sesuatu yang segar dalam Nerdy Girl.  Satu hal yang menjadi sedikit masalah menurut saya adalah karakter cowoknya, si Jonathan Prayoga.  Cowok ini begitu sempurna sesempurnanya cowok. Saking sempurnanya sampai saya nggak yakin kalau sosok ini ada. Selain tipikal cowok idola standar (tingginya 185 cm, keturunan agak bule, atletis, perut sikpack, pokoknya ganteng lah), Josetan eh Jonathan ini cerdas secara akademik, punya karier cemerlang, kerjaan kantor selalu beres, dan tidak suka main cewek. Udah bikin iri belum? Satu-satunya kekurangannya adalah dia pemarah sehingga para karyawan menjulukinya 3G alias ‘ganteng-ganteng galak’. Tapi, setelah pacaran sama Aihara, marah-marahnya ilang. Makin perfect ketika Josetan ini ternyata bisa cepat akrab sama ayah dan Bunda-nya Aihara dan pintar mengambil hati mereka. Bahkan, dia juga rajin sembahyang Subuh. Beli di mana ya mantu kayak Josetan ini?


Masih kurang? Masih ... ini lama-lama saya senewen sama cowok ini. Aihara terus menggambarkan Jonathan sebagai cowok yang selalu wangi, napasnya harum bahkan setelah makan. Perutnya juga rata dan sixpeck padahal sepanjang buku ini (mohon koreksi kalau saya keliru) Josetan tidak pernah digambarkan sedang berolahraga. Sebagai eksekutif muda, dia selalu pulang malam berangkat pagi, sementara akhir pekan digunakan untuk molor sampai sebelum Dhuhur. Makan juga tidak ada pantangan. Anehnya, perutnya tetap rata dan sixpacks. Mereka yang nge-gym tahu benar betapa susahnya mendapatkan dan mempertahankan perut sixpacks. Makanya saya bahagia dengan perut sederhana ini (baca: one pack). Kalau kurang perfect lagi, Josetan ini adalah tipe pria yang monogamis alias kalau suka dengan satu cewek ya selama satu cewek itu doang. Dia bahkan membenci cowok-cowok yang suka jelalatan melihat cewek seksi. Padahal, duh adalah wajar kalau cowok itu mahkluk visual. Kita mungkin sedikit meleng saat ada cewek cantik lewat, tapi bukan berati itu jatuh cinta sama dia. Iklan Hiloteens aja bilang kalau ‘cowok itu gampang bosan’ jadi memang sudah alamiah jika sering belok (dikiiiiiittt kok) kalau ada mhakluk indah tiba-tiba melintas. Saya rasa, ini normal. Tapi, Jonathan tidak seperti itu. Hidup dan cintanya adalah untuk Aihara. 


Saking cintanya, Josetan ini punya ruang rahasia tempatnya menyimpan foto-foto candid Aihara sejak gadis itu masih usia tiga tahun. Emmm ... ini kok malah serem ya, bukannya romantis. Kalau di novel-novel luar, gejala ini termasuk aneh dan bisa dibilang psykopat. Masih ingat sama serial Charmed ketika manajer p3 ternyata terobsesi sama Prue dan menyimpan semua foto-fotonya? Buat penulis, ini adalah lambang romantisme yang paling puncak. Buat saya, itu seram. Masih kurang lagi, di ending Nerdy Girl, Josetan ini ternyata RAWRRR juga di ranjang. Pokoknya, Aihara benar-benar puas karena dapat cowok yang sempurna luar dalam, sempurna fisik maupun perasaan (Josetan selalu mengalah dan bisa memahami Aihara), di ranjang dan luar ranjang. Dengan kata lain, Josetan ini nggak mungkin eksis di dunia nyata—ya atau kalau eksis mungkin dia adalah satu di antara sepuluh juta. Takutnya, ilusi sosok Josetan ini yang bikin pembaca cewek mengharapkan sosok yang nggak nyata untuk benar-benar ada di dunia nyata. Padahal, lewat Nerdy Girl juga Aihara belajar untuk bersikap biasa-biasa saja dalam mengagumi Yesung Suju dengan memilih Jonathan yang benar-benar nyata. Yah, mungkin Josetan ini ada untuk Aihara, tetapi dia tidak nyata buat pembaca. Balik-baliknya: Yah, namanya juga fiksi, Mas!

Tahilalat, Puisi Fiksi Mini ala Jokpin

$
0
0
Judul: Tahilalat
Penyair: Joko Pinurbo
Cetakan: Pertama, Oktober  2017
Tebal: 108 hlm
Penerbit: Basabasi



Selalu  kangen dengan puisi-puisi Joko Pinurbo. Melalui puisi, Jokpin seperti membuat semacam fiksi mini tetapi tetap dengan aplikasi unsur-unsur puisi seperti rima dan ketukan. Jika fiksi mini mungkin terbatasi pada 140 karakter, maka cerita-cerita Jokpin ini terbatasi ketukan serta rima. Ini yang bikin puisi-puisi beliau terasa selalu khas. Awalnya dibuka dengan cerita, kemudian berlanjut pada permainan kata-kata dan nada, sebelum tanpa sadar pembaca sudah terseret dalam pesonanya.

Di rumah itu mereka tinggal berdua
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.
(hlm 72)


Puisi-puisi Jokpin juga dikenal karena penggunaan kata-katanya yang singkat dan efektif. Diksi atau pilihan katanya sederhana sehingga mudah dicerna, walau kadang makna puisinya butuh perenungan dulu untuk mencerna apa yang hendak disampaikan. Sayangnya, karena buku ini adalah penerbitan ulang dari buku beliau (pertama terbit September 2012) sehingga tidak banyak mencolek isu-isu aktual sebagaimana khasnya Jokpin dalam buku puisi terbarunya Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi yang keren banget itu. Tapi, tetap saja, puisi-puisinya selalu layak dinikmati kapan pun.

Mungkin cara terbaik untuk mencegah
Kemunculannya adalah berhenti menulis

Tapi kawan saya bilang, “Bukankah
Tanpa dia sudah lama kamu mati?”

(hlm. 65)


Sayangnya, ada beberapa eh banyak puisi di buku ini yang sepertinya sudah pernah saya baca di bukunya yang lain, misal Cenala, Durrahman, dan Liburan Sekolah. Jika ada yang baru di buku ini mungkin puisi-puisi pendek yang mendominasi awal-awal buku ini. Seperti sajak Duel di halaman 11.

Ayo, buku, baca mataku! 

(2007)

Tolong, Saya Keterusan Borong Buku di GrabBuku/MacaBuku

$
0
0



Terkadang, seperti di kisah-kisah FTV, hal-hal manis bermula dari kesalahpahaman. Seperti perjumpaan pertama saya dengan Grab Buku/Maca Buku yang cukup heboh. Awalnya ada seorang teman BBI yang melaporkan bahwa ulasannya digunakan untuk promosi tanpa izin oleh Grab Buku di Facebook. Ahem ...teman ini kebetulan cewek. Saya yang cowok sejati bagian Divisi HUMAS Blogger Buku Indonesia pun gerak cepat dengan mengirimkan inbox ke toko daring tersebut. Ternyata responnya sangat cepat, saudara-saudara—walau tidak secepat datangnya jodoh ihiks. Pihak Grab Buku akhirnya meminta maaf karena mereka mengaku belum mengetahui sistem kerja sama dengan BBI. Kesalahpahaman kecil itu pun akhirnya terselesaikan, dengan bonus saya mendapatkan jodoh kenalan satu lagi toko buku online dengan aplikasinya yang asik: Maca Buku. Jadi, walau belum dapat jodoh, dapat toko buku yang murah pun patut disyukuri bukan? Oke skip. Lanjut. Dalam bahasa Jawa, ‘maca buku’ bermakna ‘membaca buku’. Dengan demikian, sudah jelas kalau aplikasi ini adalah untuk para penimbun pembaca buku. Bahasa awamnya: Elo bisa beli buku secara online di sini.


Sebelum lanjut ke MacaBuku, saya ingin sedikit berbagi pengalaman berbelanja buku secara online selama ini. Walau terhitung sering beli buku secara on line, saya jarang sekali membeli buku dari toko-toko buku online kelas atas (idih bohong banget!). Paling banyak, saya hanya hanya membeli dari teman-teman Facebook yang saya kenal dan mereka kebetulan juga menjual buku. Entah ya, rasanya kok lebih tenang gitu kalau saya beli buku kepada orang-orang yang juga suka membaca buku. Gimana ya, beli buku ke toko-toko online gitu serasa beli sama mesin, padahal ya nggak juga. Halah, bilang aja kalau mesin nggak bisa dimodusin, Yon *tampar diri sendiri* Mungkin, karena interaksinya kurang kali ya (Tuh kan bener, cuma mau modus doang!) Belum lagi ribetnya: kudu mendaftar dulu lah, kudu jadi member dulu, dan lain-lain. Hal-hal ribet seperti inilah yang bikin saya nggak kunjung dapat jodoh males.

Nah, penampakan *halah* yang sama sebetulnya juga saya temukan saat memesan buku melalui aplikasi MacaBuku.  Tetapi, tidak ... ada sesuatu yang beda dari MacaBuku. Aplikasi ini memiliki tampilan yang simpel. Dia tidak terlampau meriah sebagaimana toko-toko buku online lain. Ibaratnya macam Kim So Hyun sebelum diendors pabrikan kosmetik. Simpel tapi bikin pengen ngapel. Keunggulan lain, tampilan MacaBuku tidak dipenuhi oleh baner-baner yang berebut perhatian calon pembeli. Memang ada 7 atau 8 banner, tetapi tidak semuanya adalah iklan preorder buku baru. Sekitar lima atau empat di antaranya adalah banner pemesanan buku yang dibuat dengan gaya minimalis. Pokoknya bikin pembeli nggak grusa-grusu saat hendak membeli buku. Pokoknya, jadi nggak kayak risih pas beli macam pas lagi milih-milih underwear di toko baju tapi malah diikuti sama mbak-mbak SPG yang heboh nawarin piranti lunak itu: “Mari Mas, sempaknya diskon 25%, yang ini karetnya warna pelangi dan bisa muat banyak.” Duh ngelantur, abaikan.  

 Tetapi justru dengan format seperti ini pembeli serasa dibebaskan saat hendak memilih buku untuk dibeli. Tiap mau beli buku, kita tinggal mencari lewat kolom pencarian (perhatikan tanda kaca pembesar di bagian atas) dengan mengetik judul buku atau penulisnya (jangan nama gebetanmu!). Setelah ketemu, tinggal klik JODOH BELI. Kemudian, akan muncul kolom konfirmasi agen pengiriman yang dipilih. Komputer akan secara otomatis menghitung total tagihan setelah dikurangi diskon dan ditambah ongkos kirim. Eh, sebentar. Diskon? Yup, beli buku lewat aplikasi MacaBuku juga akan mendapatkan diskon yang bervariasi antara 15% hingga 25% untuk buku baru. Sementara, untuk buku bekas berkualitas bagus, harga tertera adalah harga pas. Saya nggak tega mau nawar karena bukunya sudah dibandrol murah banget. Sayangnya, koleksi MacaBuku belum selengkap toko-toko buku online lain. Saat saya mencari seri Time Riders, yang tersedia hanya nomor 5 dari total 8 seri. Gimana kalau saya ngeklik ‘calon jodoh’ ya? Jangan-jangan jawabannya: Stok Kosong! Duh.

Gimana cara mengunduh MacaBuku? Tinggal masuk ke Playstore dan carilah aplikasi MacaBuku di sana. Dengan tampilannya yang simpel dan minimalis, saya rasa MacaBuku tidak terlalu berat di HP. Lebih berat file-file saru eh seru yang sering kamu unduh saat lagi khilaf itu. Dosanya juga lebih gede broh, jadi mending unduh MacaBuku aja deh. Lanjut.  Saat sedang mencari buku ataupun membelinya, langkah-langkahnya sederhana. Bahkan langsung dari telepon pintar pun bisa, tidak harus dari komputer pribadi atau laptop. Proses membeli buku berlangsung cepat, segera, to the point, tanpa pembeli dilempar ke sana kemari atau disuguhi dulu dengan iklan-iklan buku lain yang tidak dicarinya. Fasilitas lainnya apa? Selain buku baru diskon dan buku bekas harga murah, ada buku gratisnya juga. Jadi pembeli bisa ‘meminta’ buku gratis dari daftar judul yang disediakan dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Saya kebetulan belum pernah mencoba fasilitas buku gratis ini, ya sadar diri sih timbunan buku yang belum dibaca masih sepanjang jarak menuju hatimu.

Gimana dengan ongkos kirim? Jujur, saya termasuk orang yang sangat sensitif dengan ongkos kirim (dan harga buku tentunya). Sering kali, saya membatalkan pesanan karena ongkos kirimnya yang mahal (kadang hampir sepertiga harga buku) padahal kalau dipikir-pikir, Jogja juga nggak jauh-jauh amat dari penerbitnya yang di Jakarta. Masalahnya, sekian banyak toko buku online yang ada hanya melayani pengiriman dengan agen-agen besar macam (maaf ya Kak sebut merek) JNE, TIKI, dan POS Indonesia yang biayanya lumayan bikin manyun. Untuk satu buku ke Jogja, ongkirnya bisa Rp22.000. Lha kalau harga bukunya Cuma Rp50.000, sudah hampir separuh harga buku dong ya. Nah, di Grab Buku/MacaBuku inilah akhirnya saya menemukan jodoh toko buku yang melayani pengiriman lewat ekspedisi pengiriman junjungan saya: WAHANA (duh sebut merek lagi). Dengan ekspedisi ini, ongkir bisa dipotong hingga separuh, bahkan lebih ketimbang jika menggunakan kurir konvensional. Memang sampainya agak lama, tetapi demi efisiensi dan cadangan beras di rumah, lama sedikit nggak apa-apa. Aku nungguin kamu saja kuat, apalagi cuma nungguin mas-mas Wahana eaaak. Btw, ini saya sedang mengulas MacaBuku loh bukan agen ekspedisi Wahana. Kesimpulannya, saya sangat puas dengan pelayanan yang diberikan MacaBuku--apalagi kalau diskonnya ditambah #eh *dijambak Mbak Miminnya (*^*)/

Kisah Kasih Dua Lelaki, Mungkinkah Cinta?

$
0
0


Judul: Mungkinkah Cinta?
Pengarang: Valen Suzan
Cetakan: Pertama, September 2017
Tebal: 516 hlm
Penerbit: Leutika Prio


36323978


Sudah beberapa kali saya membaca dan mengulas novel-novel tentang cinta sejenis. Kebanyakan—kalau tidak dibilang semua—berakhir dengan ikatan cinta yang ‘terpaksa’ harus dihentikan karena beragam sebab. Dalam Jakarta Love Story dan Lelaki Terindah, cerita cinta itu pupus dengan berakhirnya kehidupan salah satu pasangan. Sementara, dalam The Sweet Sins dan Before Us, para penulisnya lebih memilih ‘jarak’ sebagai pembatas yang pada akhirnya akan mengakhiri hubungan terlarang ini. Para penulis mungkin lebih memilih cara aman ini agar karyanya tidak dianggap ‘melegalkan’ hubungan sejenis mengingat pasar pembaca di Indonesia yang sangat menentang hubungan cinta yang tidak normal tersebut. Bisa menulis dan menerbitkan buku dengan tema menyimpang seperti homoseksual di Indonesia saja sudah bikin waswas, apalagi kalau ditambah dengan ending yang menjurus pada dukungan pada cinta sejenis. Bisa-bisa bukunya bakal dilarang terbit dan dijual di Indonesia. Nah, kalau Mungkinkah Cinta? ini bagaimana? Ternyata, akhirnya happy ending, saudara-saudari!


Davy adalah seorang gay yang diam-diam jatuh cinta kepada Erwanda, seorang koleganya di kantor. Sayangnya, Erwanda itu adalah seorang cowok straight (normal) yang playboy dan suka gonta-ganti pasangan. Perjuangan Davy sepertinya akan berat. Dan, memang, sepanjang buku ini pembaca akan disuguhi pemandangan jatuh-bangunnya Davy dalam mengejar Erwanda. Memang kalau dibayangin mustahil banget sih, cowok yang kudu menaklukan pria normal macho dan playboy pula. Biasanya, kebanyakan gay akan merasa tahu diri dengan memilih mundur, cukup dengan memandang pria pujaannya dari kejauhan. Tetapi, Davy tidak semudah itu menyerah. Beruntungnya, Davy ini punya aset yang tak boleh diabaikan: paras muka setengah bule. Dilahirkan dari ayah Perancis dan Ibu yang jawa-Tiongkok membuat Davy memiliki wajah blasteran yang elok dipandang. Muka-muka seperti ini dilihatpun sudah nyenengin. Banyak cewek yang tertarik dan sering mencuri pandang ke Davy, termasuk teman semejanya, Jenny, yang terus memepet cowok itu. Sayangnya, Davy selalu menanggapi dengan dingin. Dia tidak ingin mengecewakan cewek-cewek itu dengan janji-janji palsu yang takkan pernah bisa dia penuhi.

Fokus Davy adalah pada Erwanda, sejak pertama kali cowok itu melihatnya di sebuah klub malam dan lalu berlanjut ke pertemuan tak disengaja di pantry kantor. Saat itu, Erwada tak sengaja menumpahkan kopi yang dibawa Davy sehingga mengotori lengan kemejanya. Peristiwa itu ternyata tidak hanya menyisakan bekas di kemeja Davy, tapi juga di hatinya eaaak. Pada diri Erwanda, Davy menemukan sosok pria yang dipujanya. Dan ternyata Erwarda pun menemukan sosok adiknya yang telah meninggal dalam diri Davy. Jadilah mereka berdua ‘kakak-adek’ ketemu gede yang akrab banget: pulang bareng, nongkrong bareng, hingga nginep bareng. Sakit dekatnya hubungan Day dan Erwanda, Anya yang merupakan kekasih Erwarda pun curiga. Puncaknya ketika mereka bertiga sedang liburan di Bali, Davy akhirnya menembak Erwarda—dan Anya diam-diam mengetahui hal ini. Erwarda pun antara shock sekaligus heran. Sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa Davy akan mencintainya sebagai kekasih, apalagi mereka sama-sama lelaki. Erwarda pun menjauh dari Davy.
Davy kembali patah hati untuk entah keberapa kalinya. Dia tahu, inilah risiko seorang gay yang mencintai seorang laki-laki tulen. Lebih mirisnya lagi, ada email gelap yang tersebar ke seluruh orang-orang di kantor, yang dengan gamblang menyebut Davy seorang gay. Tekanan pun bertambah, tidak hanya kehilangan Erwanda kini Davy seolah juga kehilangan teman-temannya. Mereka yang semula biasa kini perlahan menjauh. Bahkan bos sekantor yang semula membanggakannya pun turut mengucilkannya. Jadi memang benar bahwa penerimaan terhadap kaum liyan di Indonesia itu masih bullshit. Nyatanya, masih banyak kita yang memandang bahwa homoseksual itu menular, padahal menurut ilmu pengetahuan terkini tidak. Tetapi, anehnya, penulis buku ini malah menunjukkan kalau homoseksual itu menular. Buktinya, Erwanda mulai mengalami getar-getar aneh dalam dirinya sejak Davy menembaknya. Cowok yang dulunya selalu bergairah saat di ranjang dengan wanita itu tiba-tiba padam. Pemandangan dua cewek seksi sedang bergulat di ranjang tidak berhasil membangkitkan kelelakiannya. Pikiran dan hatinya entah bagaimana selalu tertuju kepada Davy, yang sama cowoknya dengan dirinya. 

Erwanda pun akhirnya menyerah. Dengan jantan, dia mengakui bahwa dirinya telah jatuh cinta dengan Davy. Pada akhirnya, dia menikmati dan ketagihan dengan hubungan sejenis yang mereka lakukan. Bahkan di bagian belakang buku ini, tampak malah cinta Erwanda lah yang lebih besar kepada Davy. Ketika semua orang terdekat menentang dan berusaha memutuskan hubungan terlarang di antara keduanya, justru malah Erwarda yang berdiri di depan melindungi Davy. Bahkan, pria itu rela mengorbankan dirinya dicoret dari daftar ahli waris keluarganya yang kaya raya. Kedua cowok itu pun akhirnya berbahagia dengan pilihan mereka, dan mereka siap menanggung risikonya. Yah, akhirnya, saya selesai juga membacanya, yang langsung saya diskusikan dengan Mbak Ajjah. Tentang banyak hal, terutama fakta bahwa homoseksual itu menular secara psikologis. Buku ini membuktikan dugaan mbak Ajjah, bahwa seorang pria normal pun bisa jadi belok kalau ‘digarap’ secara telaten. Seperti Erwanda, yang awalnya cocok dengan Davy yang pintar memosisikan diri jadi adik  angkatnya. Pesahabatan yang terlampau kental itu akhirnya perlahan mampu mengubah Erwanda yang semula jijik sama hubungan sejenis, menjadi menyukainya asalkan itu bersama Davy. Jadi, poinnya bukan pada suka pada semua cowok, tetapi Erwanda suka cowok hanya kalau cowoknya Davy. Bahaya juga ya.

Nah, yang saya suka dari novel ini adalah teknis penulisannya yang rapi dan mengalir lancar. Penulis yang mengaku telah melakukan riset sebelum menulis novel ini benar-benar membuktikan ucapannya. Buku ini terasa begitu real, tidak dipaksakan. Seperti saat ibunda Davy tahu perbuatan anaknya dengan Erwanda, wanita itu tidak kemudian ‘mengikhlaskan’ Davy menjadi berbeda hanya karena dia ibunya. Sampai di belakang, sang ibu tetap tidak merestui hubungan mereka, walau akhirnya sedikit luluh. Tapi, dalam hati, masih ada harapan kecil bahwa anaknya akan kembali normal dan mencintai wanita. Pun demikian dengan keluarga Erwanda yang terus menentang sampai akhir karena memang seperti itulah yang akan dilakukan keluarga-keluarga normal di kehidupan yang normal. Penulis tidak memaksakan ide cinta sejenis ini untuk diterima. Ia realistis menggambarkan apa yang sekiranya bakal terjadi ketika kisah Davy dan Erwanda benar-benar terjadi di dunia nyata. Siapa yang berniat keluar jalur, ya harus bersiap menanggung risiko beratnya karena cinta tidak melulu tentang yang indah-indah saja. Saya tutup ulasan ini dengan kutipan yang saya suka banget:
“Lagi, penampilan tidak bisa membeli impian kita.” (hlm. 11)

NB: Saya tidak suka sampul buku ini, kesannya asal tempel aja. Itu mana yang Davy mana yang Erwanda kok nggak cocok sama sekali. 
Viewing all 469 articles
Browse latest View live