Judul Buku : Siwa- Kesatria Wangsa Surya
Penulis : Amish
Penerjemah : Desak Nyoman Pusparini
Penerbit : Javanica
Cetakan pertama : 2016
Tebal : 426 halaman, paperback
ISBN : 978-602-6799-15-9
Penulis : Amish
Penerjemah : Desak Nyoman Pusparini
Penerbit : Javanica
Cetakan pertama : 2016
Tebal : 426 halaman, paperback
ISBN : 978-602-6799-15-9
"Seorang pahlawan ditentukan sejarah, bukan peramal."(hlm. 159)
Dari pelajaran sejarah dan juga film, kita mengenal Siwa sebagai sang Dewa Penghancur, Mahadewa nan agung. Dewa ini kerap dilambangkan tengah Bertahtanya di swargaloka dengan seekor kobra membelit leher dan senjata trisula berada dalam gengamannya. Sosoknya melambangkan dewata paling perkasa, penghancur segala, dewa paling dipuja, yang keagungannya tak terbantahkan. Di dalam novel ini, pembaca akan berkenalan dengan sosok Siwa yang lebih manusiawi--sosok titisannya sebagai manusia--yang juga memiliki sisi-sisi manusiawi seperti setia kawan, humoris, bisa marah, dan juga bisa jatuh cinta. Sejak awal, sosoknya memang telah mencolok, tubuhnya gagah perkasa, kebijaksanaannya dikagumi baik kawan maupun lawan, dan (yang paling khas dari Siwa muda) lehernya berwarna nila setelah cairan somras memasuki tubuhnya.
Kisah di buku ini berlangsung pada era India kuno ketika peradaban di Lembah Sungai Indus mencapai puncak kejayaannya. Seorang utusan dari negeri Meluha mengajak Siwa muda beserta seluruh suku Guna untuk hijrah dari Himalaya menuju negerinya. Siwa sama sekali tidak tahu kalau dirinya diboyong ke Meluha sebagai penggenap ramalan atas sosok Nilakhanta yang konon akan menyelamatkan Wangsa Surya dari ancaman Wangsa Chandra. Kedua bangsa ini memang telah bermusuhan selama ratusan tahun dan telah menetapkan semacam gencatan senjata. Namun, pasukan Wangsa Chandra berbuat curang dengan menyerang desa-desa Wangsa Surya secara diam-diam serta membunuhi kaum bhramana yang tidak berdosa. Kedatangan Siwa kembali meningkatkan semangat Wangsa Surya yang sedang merasa terancam oleh serangan negeri tetangganya.Siwa pun didaulat sebagai pelindung Wangsa Surya meskipun saat itu dia sendiri masih galau apakah dirinya layak menerima tanggung jawab sebesar itu. Siwa muda memang belum mengetahui akan seagung apa dirinya kelak, namun ia terus berusaha membuktikan bahwa bangsa Meluha tidak salah dalam mempercayainya. Pantaslah jika memang sosok sehebat dan seagung ini kemudian begitu dicintai dan bahkan dipuja oleh bangsanya. Lihat bagaimana Siwa mempimpin orang-orang Meluha:
"Jangan mengikutiku. Berjalanlah di sampingku."(hlm. 198)
Kisah-kisah tentang peradaban modern dari era kuno yang telah musnah diangkat kembali dengan dipadukan lewat kisah Siwa di buku ini. Jalan-jalan kota bangsa Meluha yang rapi dan tertara, permukiman yang dibangun menyerupai blok-blok kota, serta kota yang telah dilengkapi dengan saluran pembuangan air di bawah tanah; semua kualitas ini mengingatkan kita pada temuan para arkeolog tentang reruntuhan kota kuno Mohenjo Daro (Mohan jo Daro di buku ini) di Lembah Sungai Indus (Sungai Sindhu) yang merupakan salah satu peradaban tertua di dunia. Bahkan ada daiwi astra yang merupakan semacam senjata pemusnah massal di era India kuno yang sempat disinggung dalam naskah kuno Ramayana. Setting kuno ini, ditambah dengan kisah bermuatan nasihat-nasihat filosofis yang tidak mengurui ala Avatar Aang menjadikan buku ini tidak sekadar bacaan fantasi yang menyegarkan, namun juga sebuah dokumentasi kuno dari satu bangsa besar dari era kuno.
"Jangan mengikutiku. Berjalanlah di sampingku."(hlm. 198)
Kisah-kisah tentang peradaban modern dari era kuno yang telah musnah diangkat kembali dengan dipadukan lewat kisah Siwa di buku ini. Jalan-jalan kota bangsa Meluha yang rapi dan tertara, permukiman yang dibangun menyerupai blok-blok kota, serta kota yang telah dilengkapi dengan saluran pembuangan air di bawah tanah; semua kualitas ini mengingatkan kita pada temuan para arkeolog tentang reruntuhan kota kuno Mohenjo Daro (Mohan jo Daro di buku ini) di Lembah Sungai Indus (Sungai Sindhu) yang merupakan salah satu peradaban tertua di dunia. Bahkan ada daiwi astra yang merupakan semacam senjata pemusnah massal di era India kuno yang sempat disinggung dalam naskah kuno Ramayana. Setting kuno ini, ditambah dengan kisah bermuatan nasihat-nasihat filosofis yang tidak mengurui ala Avatar Aang menjadikan buku ini tidak sekadar bacaan fantasi yang menyegarkan, namun juga sebuah dokumentasi kuno dari satu bangsa besar dari era kuno.
Walau masuk dalam genre fantasi, kisah ini mengandung banyak sekali pelajaran moral, intrik politik, seni berperang, hingga elemen-elemen pembangun peradaban yang akan disukai para arkeolog dan antrolog. Amish dengan apik memadukan epik India dengan lore-lore dari dunia kuno yang jarang disentuh oleh para penulis fantasi. Kisah ini begitu “timur” dengan segala eksotismenya. Pembaca serasa diajak berjalan-jalan ke era peradaban India kuno nan megah. Banyak hal tentang budaya India (termasuk sistem kastanya itu) dipaparkan dalam buku ini dengan gamblang sehingga banyak pengetahuan baru dan budaya baru yang kita ketahui. Namun kemudian, tidak lalu buku ini jadi semacam buku yang membosankan. Amish menulis novel yang kaya informasi ini dengan tidak melupakan elemen cerita sebagai unsur utama dalam sebuah novel. Pembaca akan terhibur dengan kisah Siwa, termasuk ketika Siwa muda jatuh cinta atau dilanda galau, saat Siwa sedang ngeyel, atau saat sedang bingung. Intinya, buku ini memiliki elemen-elemen dari sebuah karya yang enak dibaca.
"Kesempurnaan lebih merupakan sebuah perjalanan ketimbang tujuan." (hlm. 123)
Yang Hilang dan Tergantikan
Seorang penerjemah sering disebut sebagai penulis yang kedua, karena hasil terjemahannya bisa dibilang adalah sebuah karya yang baru, yang berbeda dari naskah aslinya (meskipun intisarinya sama). Walaupun sudah membaca terjemahan The Immortal of Meluha versi Penerbit Mizan, saya menikmati membaca versi terjemahan dari versi Penerbit Javanica ini sebagai sebuah pengalaman membaca satu buku yang baru. Dua penerjemah berbeda tentu akan menghasilkan gaya terjemahan yang tidak serupa. Jadi jangan khawatir buat teman-teman yang sudah membaca terjemahan versi sebelumnya, karena membaca buku ini benar-benar seperti membaca satu karya yang berbeda (meskipun diterjemahkan dari satu buku yang sama). Bagi saya, tidak kemudian terjemahan yang terakhir ini lebih baik dari terjemahan yang pertama. Saya lebih memilih menyebut keduanya sebagai dua karya yang berbeda, yang masing-masing telah diterjemahkan sesuai dengan pertimbangan-pertimbanganmatang.
Jika harus membandingkan, terjemahan versi Penerbit Javanica terasa jauh lebih lengkap daripada terjemahan versi Penerbit Mizan. Di buku ini, aroma India-Indonesianya terasa lebih kental ketimbang versi terjemahan pertama yang masih terasa India-Inggris. Sebagai contoh, Chandravansi dan Suryavansi yang dibiarkan sedemikian adanya di terjemahan versi Mizan, di buku ini dialihbahasakan menjadi Wangsa Chandra dan Wangsa Surya. Perubahan ini lebih cocok dengan lidah Jawa kita yang pada dasarnya lebih dekat ke India ketimbang ke Inggris. Satu lagi, jika dalam versi Mizan, penerbit mengganti ganja dengan tembakau dalam terjemahannya (mungkin untuk menghindarkan pembaca muda dari doktrinasi bahwa Siwa ternyata gemar mengisap ganja) maka di versi Penerbit Javanica ini ganja tetap diterjemahkan sebagaimana adanya. Ya, Siwa muda dalam buku ini memang digambarkan gemar mengisap ganja untuk melupakan masa lalunya. Memang, dulu saya merasa ada yang 'hilang' saat membaca terjemahan versi pertama sehingga hanya bisa memberi 3 bintang. Saat itu, saya tidak yakin apakah yang hilang itu--rasanya ini India seperti bukan India yang dikenal di nusantara. Setelah membaca buku ini, sedikit banyak saya menemukan rasa yang hilang itu. Dalam banyak hal, terjemahan di buku ini memang terasa lebih lengkap dan kental aroma Indianya. Ia tetap bisa menjadi bacaan fantasi-sejarah yang menyenangkan tanpa harus kehilangan orisinalitasnya.
Jika harus membandingkan, terjemahan versi Penerbit Javanica terasa jauh lebih lengkap daripada terjemahan versi Penerbit Mizan. Di buku ini, aroma India-Indonesianya terasa lebih kental ketimbang versi terjemahan pertama yang masih terasa India-Inggris. Sebagai contoh, Chandravansi dan Suryavansi yang dibiarkan sedemikian adanya di terjemahan versi Mizan, di buku ini dialihbahasakan menjadi Wangsa Chandra dan Wangsa Surya. Perubahan ini lebih cocok dengan lidah Jawa kita yang pada dasarnya lebih dekat ke India ketimbang ke Inggris. Satu lagi, jika dalam versi Mizan, penerbit mengganti ganja dengan tembakau dalam terjemahannya (mungkin untuk menghindarkan pembaca muda dari doktrinasi bahwa Siwa ternyata gemar mengisap ganja) maka di versi Penerbit Javanica ini ganja tetap diterjemahkan sebagaimana adanya. Ya, Siwa muda dalam buku ini memang digambarkan gemar mengisap ganja untuk melupakan masa lalunya. Memang, dulu saya merasa ada yang 'hilang' saat membaca terjemahan versi pertama sehingga hanya bisa memberi 3 bintang. Saat itu, saya tidak yakin apakah yang hilang itu--rasanya ini India seperti bukan India yang dikenal di nusantara. Setelah membaca buku ini, sedikit banyak saya menemukan rasa yang hilang itu. Dalam banyak hal, terjemahan di buku ini memang terasa lebih lengkap dan kental aroma Indianya. Ia tetap bisa menjadi bacaan fantasi-sejarah yang menyenangkan tanpa harus kehilangan orisinalitasnya.
Penasaran sama kisah Siwa muda? Atau, penasaran sama sebarapa banyak sih yang 'hilang' dalam terjemahan versi pertama?Ada DUA NOVEL gratis nih dari Penerbit Javanica buat kalian yang penasaran. Cara dapatnya gampang kok:
1. Silakan like FP Penerbit JAVANICA.
2. Share postingan kuis ini di FB atau Twitter, minimal satu kali ya.
3. Berdomisili di wilayahRepublik Indonesia
4. Silakan langsung menulis di komentar postingan status ini:
Nama:
Kota Domisili:
Link share:
Twitter/Facebook/Email kamu:
Gampang banget pokoknya. Saya akan memilih 2 peserta yang beruntung yang masing-masing akan mendapatkan satu novel 'SIWA, Kesatria Wangsa Surya' dari Penerbit Javanica.