Quantcast
Channel: Baca Biar Beken
Viewing all 469 articles
Browse latest View live

Ulasan dan Giveaway: SIWA, Kesatria Wangsa Surya

$
0
0
Judul Buku : Siwa- Kesatria Wangsa Surya
Penulis : Amish
Penerjemah : Desak Nyoman Pusparini
Penerbit : Javanica
Cetakan pertama : 2016
Tebal : 426 halaman, paperback
ISBN : 978-602-6799-15-9


"Seorang pahlawan ditentukan sejarah, bukan peramal."(hlm. 159)

Dari pelajaran sejarah dan juga film, kita mengenal Siwa sebagai sang Dewa Penghancur, Mahadewa nan agung. Dewa ini kerap dilambangkan tengah Bertahtanya di swargaloka dengan seekor kobra membelit leher dan senjata trisula berada dalam gengamannya. Sosoknya melambangkan dewata paling perkasa, penghancur segala, dewa paling dipuja, yang keagungannya tak terbantahkan. Di dalam novel ini, pembaca akan berkenalan dengan sosok Siwa yang lebih manusiawi--sosok titisannya sebagai manusia--yang juga memiliki sisi-sisi manusiawi seperti setia kawan, humoris, bisa marah, dan juga bisa jatuh cinta. Sejak awal, sosoknya memang telah mencolok, tubuhnya gagah perkasa, kebijaksanaannya dikagumi baik kawan maupun lawan, dan (yang paling khas dari  Siwa muda) lehernya berwarna nila setelah cairan somras memasuki tubuhnya. 

Kisah di buku ini berlangsung pada era India kuno ketika peradaban di Lembah Sungai Indus  mencapai puncak kejayaannya. Seorang utusan dari negeri Meluha mengajak Siwa muda beserta seluruh suku Guna untuk hijrah dari Himalaya menuju negerinya. Siwa sama sekali tidak tahu kalau dirinya diboyong ke Meluha sebagai penggenap ramalan atas sosok Nilakhanta yang konon akan menyelamatkan Wangsa Surya dari ancaman Wangsa Chandra. Kedua bangsa ini memang telah bermusuhan selama ratusan tahun dan telah menetapkan semacam gencatan senjata. Namun, pasukan Wangsa Chandra berbuat curang dengan menyerang desa-desa Wangsa Surya secara diam-diam serta membunuhi kaum bhramana yang tidak berdosa. Kedatangan Siwa kembali meningkatkan semangat Wangsa Surya yang sedang merasa terancam oleh serangan negeri tetangganya.Siwa pun didaulat sebagai pelindung Wangsa Surya meskipun saat itu dia sendiri masih galau apakah dirinya layak menerima tanggung jawab sebesar itu. Siwa muda memang belum mengetahui akan seagung apa dirinya kelak, namun ia terus berusaha membuktikan bahwa bangsa Meluha tidak salah dalam mempercayainya. Pantaslah jika memang sosok sehebat dan seagung ini kemudian begitu dicintai dan bahkan dipuja oleh bangsanya.  Lihat bagaimana Siwa mempimpin orang-orang Meluha:

"Jangan mengikutiku. Berjalanlah di sampingku."(hlm. 198)

Kisah-kisah tentang peradaban modern dari era kuno yang telah musnah diangkat kembali dengan dipadukan lewat kisah Siwa di buku ini. Jalan-jalan kota bangsa Meluha yang rapi dan tertara, permukiman yang dibangun menyerupai blok-blok kota, serta kota yang telah dilengkapi dengan saluran pembuangan air di bawah tanah; semua kualitas ini mengingatkan kita pada temuan para arkeolog tentang reruntuhan kota kuno Mohenjo Daro (Mohan jo Daro di buku ini) di Lembah Sungai Indus (Sungai Sindhu) yang merupakan salah satu peradaban tertua di dunia. Bahkan ada daiwi astra yang merupakan semacam senjata pemusnah massal di era India kuno yang sempat disinggung dalam naskah kuno Ramayana. Setting kuno ini, ditambah dengan kisah bermuatan nasihat-nasihat filosofis yang tidak mengurui ala Avatar Aang menjadikan buku ini tidak sekadar bacaan fantasi yang menyegarkan, namun juga sebuah dokumentasi kuno dari satu bangsa besar dari era kuno.

Walau masuk dalam genre fantasi, kisah ini mengandung banyak sekali pelajaran moral, intrik politik, seni berperang, hingga elemen-elemen pembangun peradaban yang akan disukai para arkeolog dan antrolog. Amish dengan apik memadukan epik India dengan lore-lore dari dunia kuno yang jarang disentuh oleh para penulis fantasi. Kisah ini begitu “timur” dengan segala eksotismenya. Pembaca serasa diajak berjalan-jalan ke era peradaban India kuno nan megah. Banyak hal tentang budaya India (termasuk sistem kastanya itu) dipaparkan dalam buku ini dengan gamblang sehingga banyak pengetahuan baru dan budaya baru yang kita ketahui. Namun kemudian, tidak lalu buku ini jadi semacam buku yang membosankan. Amish menulis novel yang kaya informasi ini dengan tidak melupakan elemen cerita sebagai unsur utama dalam sebuah novel. Pembaca akan terhibur dengan kisah Siwa, termasuk ketika Siwa muda jatuh cinta atau dilanda galau, saat Siwa sedang ngeyel, atau saat sedang bingung. Intinya, buku ini memiliki elemen-elemen dari sebuah karya yang enak dibaca.

"Kesempurnaan lebih merupakan sebuah perjalanan ketimbang tujuan." (hlm. 123)
 
Yang Hilang dan Tergantikan
Seorang penerjemah sering disebut sebagai penulis yang kedua, karena hasil terjemahannya bisa dibilang adalah sebuah karya yang baru, yang berbeda dari naskah aslinya (meskipun intisarinya sama). Walaupun sudah membaca terjemahan The Immortal of Meluha versi Penerbit Mizan, saya menikmati membaca versi terjemahan dari versi Penerbit Javanica ini sebagai sebuah pengalaman membaca satu buku yang baru. Dua penerjemah berbeda tentu akan menghasilkan gaya terjemahan yang tidak serupa. Jadi jangan khawatir buat teman-teman yang sudah membaca terjemahan versi sebelumnya, karena membaca buku ini benar-benar seperti membaca satu karya yang berbeda (meskipun diterjemahkan dari satu buku yang sama). Bagi saya, tidak kemudian terjemahan yang terakhir ini lebih baik dari terjemahan yang pertama. Saya lebih memilih menyebut keduanya sebagai dua karya yang berbeda, yang masing-masing telah diterjemahkan sesuai dengan pertimbangan-pertimbanganmatang.

Jika harus membandingkan, terjemahan versi Penerbit Javanica terasa jauh lebih lengkap daripada terjemahan versi Penerbit Mizan. Di buku ini, aroma India-Indonesianya terasa lebih kental ketimbang versi terjemahan pertama yang masih terasa India-Inggris. Sebagai contoh, Chandravansi dan Suryavansi yang dibiarkan sedemikian adanya di terjemahan versi Mizan, di buku ini dialihbahasakan menjadi Wangsa Chandra dan Wangsa Surya. Perubahan ini lebih cocok dengan lidah Jawa kita yang pada dasarnya lebih dekat ke India ketimbang ke Inggris. Satu lagi, jika dalam versi Mizan, penerbit mengganti ganja dengan tembakau dalam terjemahannya (mungkin untuk menghindarkan pembaca muda dari doktrinasi bahwa  Siwa ternyata gemar mengisap ganja) maka di versi Penerbit Javanica ini ganja tetap diterjemahkan sebagaimana adanya. Ya, Siwa muda dalam buku ini memang digambarkan gemar mengisap ganja untuk melupakan masa lalunya. Memang, dulu saya merasa ada yang 'hilang' saat membaca terjemahan versi pertama sehingga hanya bisa memberi 3 bintang. Saat itu, saya tidak yakin apakah yang hilang itu--rasanya ini India seperti bukan India yang dikenal di nusantara. Setelah membaca buku ini, sedikit banyak saya menemukan rasa yang hilang itu. Dalam banyak hal, terjemahan di buku ini memang terasa lebih lengkap dan kental aroma Indianya. Ia tetap bisa menjadi bacaan fantasi-sejarah yang menyenangkan tanpa harus kehilangan orisinalitasnya.

Penasaran sama kisah Siwa muda? Atau, penasaran sama sebarapa banyak sih yang 'hilang' dalam terjemahan versi pertama?Ada DUA NOVEL gratis nih dari Penerbit Javanica buat kalian yang penasaran. Cara dapatnya gampang kok:
1. Silakan like FP Penerbit JAVANICA.
2. Share postingan kuis ini di FB atau Twitter, minimal satu kali ya.
3. Berdomisili di wilayahRepublik Indonesia
4. Silakan langsung menulis di komentar postingan status ini:

Nama:
Kota Domisili:
Link share:
Twitter/Facebook/Email kamu:


Gampang banget pokoknya. Saya akan memilih 2 peserta yang beruntung yang masing-masing akan mendapatkan satu novel 'SIWA, Kesatria Wangsa Surya' dari Penerbit Javanica.

Giveaway berlangsung sampai tanggal 23 Oktober 2016. Satu orang hanya boleh menjawab satu kali saja biar adil. Jika belum beruntung di blog saya, masih bisa ikutan lagi kok di blognya Sulis dan Luckty ya. Terima kasih sudah turut meramaikan.

Kisah Cinta si Gadis Kertas

$
0
0
Judul buku: The Girl on Paper
Penulis: Guillaume Musso
Penerjemah: Yudith Listiandri
Penyunting: Selsa Chintya
Sampul: Chyntia Yanetha
Penerbit: Spring
ISBN: 978-602-74322-4-6
Cetakan: pertama, September 2016
Tebal: 448 halaman



31815135


Bayangkan tokoh rekaan dari novel karyamu tiba-tiba muncul dan hidup, mewujud nyata di depanmu, lalu terus menerus merecoki kehidupan cintamu? Inilah yang dialami oleh Tom Boyd, penulis trilogie Des Anges yang masyhur. Beberapa bulan sebelumnya, Tom adalah penulis megabest seller dengan karya yang selalu dinantikan pembaca. Novel pertama seri trilogie Des Anges meraih penjualan terbaik dan akan difilmkan. Seri keduanya--meski tidak sedahsyat buku pertama--juga mendapatkan sambutan yang baik dari pembaca. Namun, belum sempat seri ketiga alias buku penutup dari trilogi tersebut ditulis, Tom keburu bertemu dan jatuh cinta dengan Aurore Valacourt. Putusnya hubungan keduanyalah yang lalu menghancurkan semangat menulis Tom. Penulis ini kemudian larut dalam minuman alkohol, merusak dirinya sendiri dengan mengonsumsi obat tidur, dan tidak lagi mau menulis lagi selamanya. Luar biasa memang kehancuran yang bisa diakibatkan oleh cinta. Seperti yang pernah dikatakan oleh Lord Henry dalam novel Lukisan Dorian Gray, yakni bahwa cinta bisa membuat seseorang jadi tidak romantis lagi.

"Milo, aku tidak peduli tentang uang. Uang tidak mengisi kekosongan; uang tidak memecahkan masalah."(hlm. 258)

Dalam kondisi terpuruk inilah karakter Billie Donelly tiba-tiba muncul di hadapan Tom. Karakter dari trilogie Des Anges ini seolah jatuh begitu saja dari halaman 266 dari buku kedua yang mengalami salah cetak. Tom pun awalnya tidak percaya, mengira bahwa eksistensi Billie hanyalah akibat pikirannya yang sudah mulai tidak waras. Tapi, gadis itu benar-benar nyata, dan nyata benar mampu membuat Tom senewen setengah mati. Keduanya pun mengadakan perjanjian: Tom akan menyelesaikan menulis buku ketiga trilogie Des Anges asal Billie mau membantunya mendapatkan kembali hati Aurore. Janji pun disepakati, dan keduanya memulai perjalanan panjang mereka menuju Meksiko untuk menemui Aurore demi mendapatkan kembali cintanya. Lewat keceriaannya, Billie mulai mempengaruhi Tom.

"Untuk apa begitu cemas. Biarkan hidup memberimu hal-hal baik, dan jangan selalu takut kehidupan akan menyakitimu."(hlm. 192)

Sering sekali kita jumpai, kebahagiaan yang utama ada pada perjalanannya dan bukan pada tujuannya. Inilah yang dirasakan oleh Tom. Perjalanannya bersama Billie pelan-pelan mulai mengembalikan semangat hidupnya, juga semangatnya dalam menulis--meskipun masih sangat lemah. Karakter Billie benar-benar mirip dengan versinya dalam novel, sampai Tom sendiri merasa bersalah karena telah menjerumuskan gadis itu dalam plot nasib yang kurang menyenangkan dalam triloginya. Tom pun diam-diam berjanji akan memperbaiki kehidupan Billie di buku ketiga--kalau dia bisa mendapatkan kembali semangat menulisnya. Sampai akhirnya, sebuah kejadian menyadarkan Tom bahwa dia harus mulai menulis buku ketiga kalau tidak ingin kehilangan Billie. Gadis itu mengalami muntah tinta (tentu saja karena dia adalah karakter dalam novel) dan lemah jantung. Dia harus segera dikembalikan ke dalam buku kalau tinggal ingin musnah karena terlalu lama di dunia manusia. Tom mulai berpikir kembali tentang Aurore, apakah gadis sombong itu layak membuatnya terpuruk begitu.

"Aku membuat musik karena musik tidak akan pernah meninggalkan hidupku. Aku suka buku karena buku selalu ada untukku."(hlm. 238)

Sambil berjuang menyelamatkan Billie yang sekarat akibat hilangnya satu-satunya salinan novel yang masih ada, Tom berjuang untuk menyelesaikan buku ketiga. Di saat yang sama, kedua teman Tom, yakni Carole dan Milo, harus menjelajahi hampir separuh dunia untuk mengejar serta menyelamatkan satu-satunya salinan novel itu. Inilah bagian paling menarik dari novel ini. Dari yang separuh awal rada monoton, kemudian mulai bergerak cepat di separuh bagian akhir. Kalimat-kalimat yang berkenaan dengan buku mulai bermuncullan, juga karakter Tom yang penulis juga semakin kuat. Saya benci banget sama Tom di awal-awal buku, tapi mulai separuh ke belakang, mulai kerasa banget kalau Tom ini penulis keren yang seharusnya nggak gitu-gitu amat hanya gara-gara wanita yang bukan jodohnya. Para pembaca buku akan mendapatkan kembali Tom yang penulis buku mulai di bagian tengah. Dan ... sttt, ada ending yang cukup mengejutkan di akhir buku, sebuah twist yang sempat menyusupi rasa curiga saya saat sedang membaca buku ini di pertengahan.

Pembaca dapat dianggap sebagai tokoh utama novel, sejajar dengan penulis, karena tanpanya, tak ada yang terjadi."(hlm 285)

The Girl on Paper ditulis oleh penulis Prancis tetapi belio banyak menggunakan setting Amerika Serikat, terutama LA dan California, lalu Meksiko dan Florida. Tapi, kebanggaan Prancisnya masih kebawa dengan dihadirkannya setting Paris sebagai bagian paling romantis di buku ini. Separuh awal buku ini memang romantis, tapi itu tipe romantis menye-menye galau yang saya nggak suka. Nah, di separuh belakang, romantisnya Tom mulai muncul, terutama melihat perjuangannya dalam menyelamatkan Billie yang kondisi kesehatannya semakin buruk. Selain banyak mengutip banyak hal tentang buku, karakterisasi di novel ini juga kuat--bahkan Aurora pun 'ngarakter banget'. Bagi yang suka baca novel roman, kayaknya sudah bisa menebak akhir kisah ini, menebak dengan siapa Tom akhirnya akan berpasangan. Meski demikian, romantisme yang menutup buku ini benar-benar digambarkan dengan lambat namun membangun, sehingga membuat saya tetap terkenang-kenang pada ceritanya selama satu jam lebih setelah menyelesaikan membaca buku ini. 

"Sebuah buku hanya akan hidup kalau dibaca. Para pembacalah yang menyusun potongan-potongan gambar dan menciptakan dunia imajiner tempat para tokohnya hidup."(hlm. 290)

Satu bintang untuk ceritanya, satu bintang karena telah menyebut buku-buku, satu bintang untuk terjemahannya yang mulus sekali, dan satu bintang lagi untuk semua hal baik yang dibawa novel ini untuk para pembacanya.



 

 

Bertemunya Gadis Bertudung Merah dan Putri Bulan

$
0
0
Judul: Scarlet (The Lunar Chronicles #2)
Penulis: Marissa Meyer
Penerjemah: Dewi Sunarni
Penyunting: Selsa Chintya
Penerbit: Spring
ISBN: 978-602-71505-6-0
Cetakan: pertama, Februari 2016
Tebal: 444 halaman
29265436

Melanjutkan buku pertama Cinderyang mengadaptasi dongeng Cinderella, Marissa Meyer kembali menggunakan pola adaptasi dongeng yang serupa di buku kedua seri The Lunar Chronicles ini. Kali ini, tokoh utamanya adalah Scarlet yang mengenakan tudung berwarna merah tua. Tentu, sudah ketebak dari sampulnya kalau kali ini yang diadaptasi adalah kisah Si Tudung Merah. Dalam dongeng klasik itu,  si Tudung Merah harus melawan serigala jahat yang telah memakan neneknya. Meyer kemudian mengadaptasinya dengan kisah panjang tentang Putri Bulan dalam buku kedua seri Kronik Lunar ini lewat sosok Scarlet, yang memang gemar menggenakan jaket bertudung warna merah menyala. Jadi ceritanya, neneknya Scarlet, yakni Michelle Benoit, diculik oleh entah siapa, dan Scarlet yang masih berusia 18 tahun ditinggalkan sendirian untuk mengurus pertanian. Gadis itu sudah mencoba melaporkan kasus hilangnya sang nenek kepada pihak kepolisian, tetapi yang dia dapatkan hanya janji-janji kosong. Polisi malah menuduh neneknya sengaja melarikan diri karena telah 'mengelupas' chip identitas yang ditanam di pergelangan tangannya.

“Kau tidak akan pernah tahu kapan ada orang asing yang ingin membawamu ke tempat yang tidak kau inginkan.” (hlm. 29)

Tetapi Scarlet bukan gadis yang mudah menyerah. Semangatnya menyala tak kalah dari tudung merah yang dipakainya. Sendirian, ia mencari cara untuk mencari neneknya. Upayanya ini mempertemukannya dengan Wolf, seorang petarung jalanan yang sepertinya bersimpangjalan dengannya. Lewat Wolf inilah Scarlet mengetahui tentang adanya komunitas rahasia yang menyebut diri mereka kawanan serigala. Para anggotanya ditandai dengan tato yang tertoreh pada lengan tangan mereka. Wolf sendiri adalah mantan anggota kawanan yang memutuskan untuk keluar dan kemudian terpaksa menjadi petarung jalanan agar bisa bertahan hidup. Yang sudah baca dongeng si Tudung Merah harusnya sudah bisa menebak sih bakal gimana cerita ini. Tetapi, ramuan cespleng Mayer bisa membuat pembaca (yah, paling tidak saya deh) menjadi lupa dengan dongeng asli karena terlampau larut dalam dunia baru yang diciptakan penulisnya. Bersama Wolf, Scarlet pun memulai perjalanan berbahaya dalam rangka mencari neneknya. Sebuah perjalanan yang bakal mengubah hidupnya, juga hidup Wolf.

Sementara di sisi lain Bumi, Cinder tengah berjuang untuk keluar dari tahanan Persemakmuran Timur. Dalam upayanya itu, dia bertemu dengan sesama tahanan yang bernama Carswell Thorne. Bersama cowok gesrek inilah Cinder kemudian melarikan diri dari Kerajaan Kai menggunakan pesawat ruang angkasa hasil curian Thorne. Kehadiran Thorne di buku kedua ini memang sangat dibutuhkan oleh Cinder (dan juga para pembaca) untuk mengurangi aura sedih akibat ending buku pertama yang sedingin lambung pesawat itu. Thorne--meskipun lebih sering bikin Cinder senewen--terbukti menjadi kawan yang menyenangkan, setidaknya cowok itu bisa mengalihkan sejenak kenangannya akan Pangeran Kai yang kini membencinya. Sementara Thorne adalah tipe cowok rame, maka Wolf adalah sebaliknya. Dia adalah sang alfa, si pemenang sekaligus menempati peringkat pertama dalam kawanannya. Cowok ini bisa mengalahkan enam orang sekaligus, tetapi dia juga mudah merona dan--so cute-nya--suka makan sayuran ngoahaahahaha. Kualitas seorang bad boy bertemu dengan kelembutan serorang cowok rumahan berhasil bikin Scarlet meleleh.

Apa yang menautkan takdir Cinder dan Scarlet? Tidak lain adalah nenek Scarlet sendiri. Sang nenek ternyata memiliki masa lalu yang terkait dengan Putri Selene a.k.a si putri bulan. Scarlet dan Wolf pun berupaya menyelidiki siapa pihak-pihak yang telah menculik neneknya, sementara Cinder dan Thorne berusaha mencari keberadaan Scarlet. Dan, semnetara kedua gadis itu tengah berupaya menemukan keterkaitan di antara Cinder dan nenek Michelle, di New Beijing, Kaisar Kai tengah galau dengan ancaman Ratu Levana. Ratu Bulan nan keji itu mengancam akan menyerang Bumi dalam waktu tiga hari jika Kai tidak segera menangkap Cinder. Kai yang masih terbayang-bayang akan Cinder hanya bisa menjambak-jambak rambut kusutnya sendiri karena beratnya beban masalah yang harus ditanggungnya. Sementara itu, waktu terus berjalan dan Levana membuktikan kembali kekejamannya kepada penduduk Bumi.

Apa yang menarik dari seri ini adalah kepiawaian Meyer memadukan beragam unsur dalam satu cerita yang utuh tapi tetap menarik. Dongeng gadis bertudung merah dan serigala dipadu apik dengan kisah tentang Putri Bulan dengan setting di masa depan. Dengan tekun, Meyer menyusun sebuah benang merah yang memanjang sampai ke buku empat, lalu menyekapnya dengan rapi dalam dongeng-dongeng barat yang diadaptasi, dan tak lupa membubuhinya dengan elemen-elemen romansa dalam porsi yang wajar. Adegan aksinya walau nggak banyak tetapi ketegangan yang dibangun menyebar ke penjuru cerita sehingga seru sekali dibacanya. Tidak salah kalau seri ini dapat banyak bintang karena memang teknik penulisan dan penceritaan Tante Meyer keren, macam baca fanfic tapi digarap dengan beneran. Buku kedua ini kebih seru dari buku pertama, tetapi memang susah untuk move on KaiCinShip wkwkwk mari lanjut ke Cress yang (kayaknya) bakal semakin seru.

"Aku hanya berpikir harusnya kita tidak menghakimi dia, atau siapa pun, tanpa mencoba memahami mereka terlebih dahulu. Bahwa harusnya kita mendapatkan kisah selengkapnya sebelum mengambil kesimpulan."

Obsesi Gila sang Pecinta Buku

$
0
0
Judul : Rumah Kertas
Penulis : Carlos Maria Dominguez
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : I, September 2016
Tebal : 76 hlm, 12x 19cm
ISBN : 978-979-1260-62-6



 

"Jauh lebih sulit membuang buku ketimbang memperolehnya." (hlm. 9)

Ada buku yang rasa-rasanya tak cukup sekali dibacanya. Ada sesuatu dalam buku itu yang tampaknya selalu baru setiap kali membuka dan membacanya. Bahkan pun ketika kita sudah membacanya sampai khatam hingga lima kali serta merasa telah menyentuh setiap kata dan kalimatnya betulang-ulang, perasaan ingin membaca buku itu lagi masih ada. Sampai akhirnya kita sadar, bukan buku itu yang menjadikannya seperti itu, tetapi karena kitalah yang telah jatuh cinta pada buku tersebut. Dan bagi saya, Rumah Kertas adalah salah satu dari buku-buku sejenis itu. Buku yang telah membuat banyak pembaca penimbun buku jatuh cinta ini memang berkisah tentang orang-orang yang jatuh cinta kepada buku. Saya suka sekali buku-buku yang juga berkisah tentang buku karena buku-buku langka semacam ini berpotensi menjadikan kita semakin mencintai menimbun buku. Buku mengubah takdir hidup orang-orang (hlm. 1) dan kisah di buku ini membuktikannya.

"Mereka (buku-buku) masih terus menemaniku. Memberiku perlindungan. Keteduhan di musim panas. Membentengiku dari angin. Buku-buku adalah rumahku."(hlm. 54)

Buku ini dibuka dengan sebuah kisah singkat yang dijamin akan langsung menyita perhatian pembaca. Seorang dosen sastra tertabrak mobil hingga meninggal hanya karena dia terlalu asyik membaca buku. Adakah kecintaan terhadap buku yang melebihi kecintaan sang dosen ini? Kematian Bluma inilah yang menjadi awal perjalanan di tokoh utama 'aku' yang akan membawanya menelusuri kisah-kisah para pecinta buku yang luar biasa. Saat menggantikan posisi Bluma di Jurusan Sastra Amerika Latin Universitas Cambridge, London, si tokoh 'aku' mendapatkan sebuah paket misterius yang dialamatkan kepada mendiang Bluma Lenon. Setelah dibuka, paket itu berisi sebuah buku edisi lama La linea de sombra karya Joseph Conrad dengan bekas-bekas adonan semen kering yang masih menempel pada ujung-ujungnya. Pada halaman persembahan, terdapat tulisan tangan Bluma yang menyebut bahwa buku ini dipersembahkan kepada seseorang bernama Carlos.

"Kamar mandinya berisi buku di tiap dindingnya, kecuali di dinding tempat pancuran air, dan buku-bukunya tak sampai rusak hanya karena ia berhenti mandi air hangat buat mencegah uap. Mau musim panas atau musim dingin, ia selalu mandi air dingin."(hlm. 30)

Terdorong oleh rasa penasaran, sekalian juga hendak pulang ke kampung halaman, si aku menuju ke Uruguay demi melacak siapa Carlos. Pencariannya ini mempertemukan dengan para pecinta buku kelas berat di Montevideo yang bernama Jorge Dinaldi. Kolektor yang juga seorang penjual buku lawas ini mengarahkan si aku kepada seorang pecinta buku lain bernama Delgado, yang akhirnya memberinya petunjuk akan keberadaan Carlos Brauer. Mereka yang disebut terakhir ini adalah para pecinta buku kelas akut. Delgado menggambarkan rumah Brauer yang begitu penuh dengan buku, bahkan sampai ke dapur dan kamar mandi. Brauer ini bahkan rela memberikan mobil kesayangannya kepada salah seorang temannya dengan alasan agar garasinya bisa kosong sehingga bisa diisi dengan lebih banyak buku lagi. Untungnya, Brauer ini adalah seorang pecinta buku sekaligus pembaca buku, dia membaca atau berusaha membaca seluruh buku-buku miliknya. Total ada 20ribu-an buku koleksi miliknya.

Lainnya, ada para kutu buku, pelahap bacaan yang rakus, seperti Brauer itu, yang sepanjang umurnya membangun koleksi perpustakaan yang penting. Pecinta buku tulen, yang sanggup mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk buku yang akan menyita waktu mereka berjam-jam, tanpa kebutuhan lain kecuali untuk mempelajari dan memahaminya."  (hlm. 17)
Sayangnya, Brauer diketahui telah menjual rumahnya dan kemudian pindah ke sebuah kawasan sepi-terpencil di pesisir Uruguay. Kepindahannya ini dipicu oleh terbakarnya lemari indeks buku miliknya, yang membuatnya gagal membuat sebuah katagori besar dari seluruh koleksi buku-bukunya. Meskipun buku-bukunya berhasil diselamatkan, Brauer telanjur kecewa akibat kebakaran itu dan memutuskan untuk pindah rumah. Dengan menyewa truk-truk besar bertutup terpal, Brauer memboyong seluruh koleksi buku ke Rocha bersamanya. Melewati jarak lebih dari 200 km, buku-buku itu dibawa melintasi jalur tanah dengan gerobak-gerobak sebelum kemudian dipindahkan dalam sebuah pondok yang baru dibangun nyaris di batas laut. Dari sinilah obsesi Brauer mulai aneh. Dia ingin buku-buku yang telah menghibur dan melindungi jiwanya itu juga turut melindungi fisiknya dari hujan, panas, serta dingin. Ia hendak membangun sebuah rumah yang tersusun dari buku-buku. kepada para tukang, disodorkannya buku-buku sebagai pengganti batu bata.

"....Ia mengulurkan ke si kuli  sejilid Borges buat dipaskan di bawah kusen jendela, Vallejo untuk pintu, Kafka di atasnya, dan di sampingnya Kant, serta edisi sampul tebal Farrewel to Arms-nya Hemingway, juga Cortazar dan Vargas Llosa, yang selalu menulis karya tebal-tebal; Valle-Inclan dengan Aristoteles, Camus dengan Morosoli; dan Shakespeare lengket selamanya dengan Marlowe kena adukan semen; dan semuanya ditadirkan untuk mendirikan tembok...."  (hlm. 53)

Terdorong penasaran, tokoh 'aku' pun melacak rumah buku milik Brauer itu hingga ke sebuah tanjung terpencil, mendapati rumah kertas itu telah bobrok menyisakan yang tersisa dari buku-buku yang dulu pernah membangunnya. Tahulah kini si aku mengapa ada bekas semen kering pada buku yang dikirimkan kepada Bluma. Seperti banyak orang lainnya, buku-buku telah mengubah takdir hidup si tokoh aku, Bluma, dan tentu saja Brauer. Buku-buku melindungi mereka dengan caranya sendiri, seperti bagaimana kita, para pembaca buku, mencari perlindungan dengan membaca buku-buku ketika kehidupan nyata--mengutip ungkapan Neil Gaiman--terasa begitu tak tertahankan.

"Tak ada orang yang mau lupa menaruh buku. Kita lebih suka kehilangan cincin, arloji, payung, ketimbang buku yang halaman-halamannya takkan pernah bisa kita baca lagi, namun yang tetap terkenang, seperti bunyi judulnya, sebagai emosi yang jauh dan lama dirindu."(hlm. 10)

Cerita yang simpel, tapi dalam kesederhanaan kisah buku ini ada begitu banyak hal yang kita dapatkan. Saya beberapa kali membuka halaman-halaman buku ini dan selalu saja menemukan hal-hal baru tentang buku. Buku ini kudu dimiliki oleh setiap pecinta buku, dibaca setiap pembaca buku, dan disebarkan agar semakin banyak yang membaca buku. Terlalu banyak kutipan indah di buku ini sampai saya takut kalau ulasan ini bukanlah sebuah ulasan buku melainkan kumpulan kutipan.

"Berapa banyak buku yang Anda punya?" tanyaku.
"Jujur saja, saya sudah berhenti menghitung. Tapi saya rasa pasti ada sekitar delapan belas ribu. Sejauh yang saya ingat, saya sudah lama membeli buku di sana sini. Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak dari buku-buku belaka." (hlm. 26)

Linda Christanty, Pembelaan lewat Tulisan

$
0
0
Judul: Para Raja dan Revolusi
Penulis: Linda Christanty
Editor: Tia Setiadi
Pemeriksa Aksara: Rusdianto
Sampul: Zizi
Isi: Bellvania
Cetakan: 1, November 2016
Tebal: 212 hlm
Penerbit: Ircisod



Linda Christanty sudah lama dikenal sebagai wartawan yang juga penulis fiksi. Karya-karyanya selalu mengusung warna-warna pembelaan terhadap pihak-pihak yang lemah atau dilemahkan. Melalui kumpulan tulisannya ini, penulis menunjukkan posisinya sebagai teman dari mereka yang terabaikan, yang termarginalkan, yang menjadi penentang arus utama dan juga yang tidak sejalan dengan wacana populer. Sebagaimana yang disinggungnya dalam kata pengantar, Linda menyebut bahwa kita selama ini telah keliru dengan menganggap bahwa apa yang dianggap benar oleh sebagian besar orang adalah sudah benar sesuai esensinya. Padahal, apa yang benar dalam anggapan mayoritas belum tentu benar secara esensi. Dan, bagaimana dengan pihak minoritas yang seringkali terzhalimi hanya karena mereka minoritas?

"Kesewenang-wenangan dan ketidakadilan harus dilawan." (hlm. 130)

Buku setebal  212 halaman ini memuat 15 artikel esai karya Linda Christanty dengan tema dan sorotan yang beragam, mulai dari mitos para keturunan raja Mataram Islam yang konon memiliki tanda sisik di dekat ketiaknya hingga tentang Dewi Ibu. Menarik menyimak tulisan-tulisannya yang seakan lepas dan tidak saling terkait dalam buku ini. Sering kali, Linda memulainya dengan cerita masa kecil atau dongeng yang pernah didengarnya, lalu kemudian pembaca dibawa pada opini psi penulis tentang peristiwa-peristiwa kekinian. Awalnya mungkin pembaca jadi agak bingung mengikuti gaya menulis Linda, terutama bagi pembaca yang terbiasa membaca esai ala buku yang disusun rapi. Esai-esai Linda di buku ini menyerupai artikel opini di koran yang kadang tidak jelas ujung pangkalnya, namun selalu ada benang merah tersembunyi yang dipegang penulis sebelum dia menutupnya dengan simpulan yang simpel.

Banyak opini-opini penulis yang bisa dibilang berani namun sekaligus menyegarkan. Kita melihat ide-ide Linda ini liar sekaligus kreatif, tidak dikekang oleh wacana umum yang selama ini kerap mengungkung kita dalam kemonotonan wacana. Tentang  pembangunan candi misalnya, Linda dengan berani menyebut bahwa pembangunan monumen-monumen besar seperti Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur merupakan penyebab runtuhnya kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Dalam opini penulis, para raja dari Wangsa Syailendra dan Sanjaya telah menyalahgunakan ketaatan rakyatnya hanya demi ego untuk membangun monumen megah yang pada gilirannya menyebabkan tumpasnya daya rakyatnya sendiri. Opini seperti ini tentu sah-sah saja diangkat, terlepas dari fakta bahwa Borobudur dan Prambanan juga telah membuat Indonesia dikenal di dunia. Linda mungkin berkaca dari bangsa Mesir dengan piramid-piramid raksasanya.

Sejarah keluarga adalah tema yang sering diangkat oleh Linda dalam bukunya ini. Dalam pandangannya, sejarah sebuah keluarga tidak hanya mengungkap dari mana kita berasal atau berakar, tetapi memperlihatkan bagaimana kekuatan di luar rumah kita membentuk, menyatukan, atau memisahkan individu-individu di dalamnya (hlm. 29). Banyak keluarga yang bersatu oleh sejarah, banyak juga yang tercerai berai karena sejarah. Bahkan dalam satu wangsa pun, perpecahan adalah sesuatu yang begitu sering terjadi sehingga menjadi lumrah adanya. Linda menyorot kasus keluarga dari Kraton Kanoman Cirebon. Raja Adipati Muhammad Nurus dari Kraton Cirebon tidak kurang-kurang dalam mendukung perjuangan kemerdekaan RI. Beliau bahkan sempat beberapa kali menghadapi ancaman dari beberapa orang yang hendak mendirikan Negara Pasundan pada masa-masa awal berdirinya negara RI. Tapi, penghargaan yang ditunjukkan kepada Cirebon (dan juga Jawa Barat) sedemikian kurang.

Bangsa Sunda termasuk salah satu pihak yang hendak dibela Linda lewat buku ini. Sekian lama dibawah rezim Orde Baru yang begitu Jawa telah menjadikan Jawa Barat menjadi dipaksa Jawa. Pernah ada ide untuk menyebut Jawa Barat sebagai Sunda sementara Jawa Tengah adalah Jawa Barat. Hal ini karena bangsa Sunda memang bukan Jawa (sebagaimana Jawanya Jawa Tengah dan Jawa Timur). Mungkin inilah sebab mengapa orang Jakarta sering bilang “Mau ke Jawa” saat mereka hendak ke Jawa Tengah atau Jawa Timur padahal secara geografis masih di Jawa.  Kemudian, pulau Jawa menjadi Nusa Selatan sebagaimana kita juga memiliki Nusa Tenggara. Perseteruan amat halus antara Jawa dan Sunda konon dipicu oleh Perang Bubat di era Gadjah Mada. Karena itulah (konon) tidak pernah ada Jalan Gadjah Mada di Bandung atau kota-kota lain di Jawa Barat. Menarik sekali menyimak perseteruan dua saudara sebangsa ini dari sudut pandang Linda.

Tidak melulu lewat artikel, Linda juga kerap menunjukkan posisi dan pandangannya lewat karya fiksi. Tulisan “Si Per, Cerita dari Aceh” lebih menyerupai tulisan fiksi ketimbang nonfiksi.  Tulisan ini menyempil di antara dua bab yang lumayan berat tentang politik. Paling menarik adalah tulisan tentang “Bangsa Nusantara dan Peradaban Manusia.” Tulisan ini mungkin dibuat saat kita sedang heboh dengan teori dr. Santos yang menyebut bahwa Atlantis berada di nusantara pada zaman kuno. Opini ini diperkuat dengan temuan situs Gunung Padang yang konon berisi piramida yang usianya lebih tua ketimbang piramida yang ada di Mesir. Linda kemudian mengumpulkan beragam temuan ‘konon-kononan’ tentang hal-hal yang tersembunyi atau disembunyikan dari nusantara. Misalnya tentang tato suka Mentawai yang merupakan tato tertua di dunia, leluhur bangsa Korea yang katanya dari Nias, hingga patung-patung moai di pulau Paskah yang konon adalah wajah-wajah para pelaut dari nusantara yang berlayar ke arah timur.

Jika ada yang belum tuntas dari tulisan-tulisan di buku ini, mungkin adalah kurangnya referensi pendukung yang memadai untuk dapat mendukung opini dari penulis. Tentang hal-hal besar dari nusantara kuno di bab 5, misalnya, tidak disertakan sumebr rujukan (baik ilmiah ataupun populer) dari klaim-klaim yang disebutkan sehingga terasanya seperti hanya ‘konon-kononan’ saja.  Seandainya ada pendapat ahli atau catatn kaki yang bisa menguatkan, tentunya akan sangat berharga untuk semakin menambah kualitas buku yang berbobot ini.


Holy Mother, Ibu akan Selalu Melindungimu

$
0
0


Judul: Holy Mother
Pengarang: Akiyoshi Rikako
Penerjemah: Andry Setiawan
Tebal: 280 hlm
Cetakan: 1, Otober 2016
Penerbit: Haru

32450412

Pertama kali membaca karya Akiyoshi Rikako, saya jadi tahu kalau dia adalah penulis yang gemar menipu dan mempermainkan pembacanya. Tapi, bukan dalam artian yang jelek. Novel  The Girl in the Dark mempermainkan pembaca sejak awal, membuat kita menebak-nebak siapa si pelaku. Dan seiring dengan berakhirnya cerita, penulis dengan seenaknya (atau dengan lihainya) mengugurkan semua tebakan pembaca dengan twist yang membuat pembaca tidak bisa berbuat apa-apa selain memberikan acungan jempol dan minimal empat bintang. Iseng saya mencoba mencari-cari plothole yang bisa merusak twist ala penulis, tapi susahnya minta ampun. Penulis ini rapi banget menyembunyikan jebakan, membangun cerita, dan bikin pembaca kecele.

Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun ditemukan tewas dengan kondisi alat kelamin yang sudah terpotong. Sama sekali tidak ada bukti atau petunjuk sekecil apa pun yang dapat membantu polisi untuk memburu pelaku. Dengan cerdasnya, pelaku telah mencuci mayat dengan cairan pemutih yang konon bisa menguraikan protein atau DNA tubuh. Jadi, apakah kemudian Holy Mother mengajak pembaca untuk menebak si pelaku? Ternyata tidak. Pelaku pembunuhan itu bahkan sudah disebutkan di halaman **. Penulis kayak selow banget kasih tahunya. Saya yang sedang menikmati deskripsi tahu-tahu saja disodori fakta bahwa orang inilah pembunuhnya. Saya sampai harus mengulang membaca mulai satu paragraf di atasnya  untuk benar-benar memastikan bahwa penulis memang bermaksud menunjukkan bahwa tokoh inilah si pembunuh berdarah dingin itu.

Kemudian, khas cerita-cerita detektif, alur pembunuhan sengaja dikacaukan dengan menghadirkan tokoh-tokoh lain: dua detektif yang ditugasi menyelidiki kasus ini, seorang pelajar SMU yang suka berlatih kendo, ibu rumah tangga yang khawatir anaknya akan jadi korban, beberapa tetangga korban. Masa lalu dari beberapa tokoh ini diulas hingga detail. Sepertinya tidak ada kaitan antara satu sama lain dengan kasus pembunuhan keji itu, tetapi ternyata ada benang merahnya. Paling menarik tentu saat pembaca diajak mendalami pikiran si pembunuh. Bagaimana dengan telaten dia memilih dan mendekati calon korbannya, saat pelaku menghabisi korbannya, caranya menghilangkan jejak, bagaimana menyembunyikan barang bukti, hingga target berikutnya. Dan, ternyata memang bukan si pembunuh ini yang jadi misteri utamanya. Masih ada kejutan-kejutan besar yang disimpan penulis pada halaman-halaman belakang. Kalau boleh menyumpah, mungkin saya akan bilang Holy fuck! *maaf* Mulai dari sampul buku hingga judul, semua terkait dengan rahasia besar yang menunggu di belakang. Sial, keren bangerrrtttt.

Holy Mother adalah buku ketiganya yang terbit di Indonesia, setelah The Girl in the Dark dan The Dead Return. Saya tidak menemukan keseruan novel pertama di The Dead Return, dan serasa menemukan kembali Akiyoshi Rikako di buku ketiga ini. Penulis ini seolah kembali pada genrenya, pada kebiasaannya yang suka seenaknya sendiri membiarkan pembaca jadi merasa ‘kentang’ di akhir kisah. Tapi, saya menyukai caranya mengakhiri kisah. Membiarkan pembaca berkreasi dan menebak-nebak sendiri bagaimana sebenarnya ending dari kisahnya. Holy Mother juga, dan bahkan apa yang dimuat di buku ini—menurut saya—lebih simpel sekaligus lebih berlapis-lapis dalam menipu pembaca. Semua tebakan saya gagal total, dan si penulis dengan lihainya malah menghadirkan sesuatu yang sama sekali tidak terpikirkan. Dibutuhkan kerapian dan ketelatenan luar biasa untuk menyembunyikan semua petunjuk atau plothole yang bisa muncul di Holy Mother. 
Sebuah novel misteri yang bagus itu aneh, karena saat membacanya kita begitu tidak sabar untuk mengetahui akhir kisahnya. Tetapi begitu sampai halaman akhir, rasanya ingin kembali masuk untuk menikmati kepiawaian penulis membangun plot dan menyembunyikan berbagai petunjuk. Buku ini telah bertindak seperti itu kepada saya. Rela deh bangun dini hari demi agar bisa merampungkan membacanya, dan memang kisahnya tidak mengecewakan. Hal-hal lain yang layak diacungi jempol dari buku ini adalah risetnya yang detail, eksekusinya yang rapi, serta terjemahannya yang mulus. Mas Andry memang kece deh terjemahannya. Saya seringkali mentok dan cepat bosan saat baca novel terjemahan dari Jepang (entah kenapa) tapi novel-novel Akiyoshi Rikako adalah pengecualian. Penulisnya keren, penerjemahnya juga keren. Empat bintang untuk buku ini.

Blogtour dan Giveaway: Seaside

$
0
0

Judul: Seaside
Pengarang: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penyunting: Misni Parjiati
Tebal: 236
Cetakan: 1, Oktober 2016
Penerbit: Senja



Janganpernah meremehkan dahsyatnya dendam, karena dendam yang terus dipupuk dan dipelihara suatu ketika akan meluap dahsyat menjadi amukan tak terkendali. Inilah yang dialami oleh seorang gadis dalam novel Seaside ini. Ayahnya dipenjara hanya karena beliau memiliki komitmen untuk memberantas korupsi yang dilakukan sekelompok pejabat. Bagi sang ayah, hukum harus ditegakkan apa pun taruhannya. Karena kasusnya melibatkan para petinggi di negeri ini, semua cara kotor dan licik pun dikerahkan untuk menjebak ayah si gadis. Komplotan tikus berdasi itu lalu menjebloskan ayah si gadis ke penjara. Apalah yang bisa dilakukan oleh sang anak yang masih seorang mahasiswi saat harus melawan sekelompok koruptor yang didukung harta dan posisi wah? Tapi, dendam ternyata mampu menjadi bahan bakar yang luar biasa. Si gadis bertekad akan membalas dendam demi ayahnya yang tak bersalah.

"Mungkin saja kamu salah. Mungkin saja kamu kalah. tapi kamu nggak jatuh tanpa perlawanan. Meskipun kamu bisa saja kecewa dengan hasilnya, kamu nggak akan kecewa dengan prosesnya. Dan itu yang membuat kamu kuat--itu yang membuat kamu berarti."(hlm. 111)

Dari seorang gadis polos, si tokoh aku berkembang menjadi seorang pembalas dendam yang ganas. Pertemuan dengan sosok misterius bernama Anon langsung menggubah dunianya. Dari Anon, si gadis belajar teknik bela diri, menembak, ketahanan tubuh, melontarkan pisau, dan beragam teknik membunuh lainnya. Dari Anon ini, dia dikenalkan juga kepada sosok-sosok lain seperti Alisha dan juga Alri yang terus melatih, membantu, dan menyiapkan si gadis dalam upaya balas dendamnya. Latihan keras pun harus dijalani si gadis demi menguatkan tubuh dan pikirannya. Mulai dari berenang, lari jarak jauh, menggotong benda berat, gulat, silat, lempar pisau, menembak dengan jitu; dari yang semula gadis kuliahan biasa, sang gadis kini menjadi seorang mesin pembunuh yang terlatih. Dia sudah siap membalaskan dendam ayahnya. Dan, pembalasan dendamnya tidak akan main-main.

"Kenapa meminta orang lain mewujudkan keadilan kalau kita sendiri tidak mencoba memperlakukan orang dengan setara?"(hlm. 147)

Hukum sering kali tajam ke bawah, tetapi langsung tumpul saat mengarah ke atas. Inilah yang mungkin dirasakan si gadis. Jika pelakunya para pejabat kelas tinggi, hukum seolah tak berkutik. Maka, si gadis bertekad untuk menjadi hukum itu sendiri. Ia sendiri yang akan bergerak menghukum para penjahat yang tak tersentuh itu. Satu demi satu, si gadis memburu para calon korbannya: siapa saja mereka, apa jabatannya, dan—yang terpenting—apa saja kelemahan mereka. Dari semua korban, rata-rata lemah terhadap wanita cantik. Orang-orang menjijikan itu gemar bersenang-senang dengan wanita muda. Inilah kesempatan si gadis, dia menyaru menjadi gadis genit yang polos. Di balik senyum menggodanya, si gadis siap menebas putus kepala korbannya .

"Peristiwa yang mengubah manusia itu selalu menarik. Perubahan manusia sendiri menarik. Dan manusia yang berubah, they're more than fascinating."(hlm. 145)

Pembunuhan demi pembunuhan dilakukannya tanpa belas kasih. Kepala terpenggal, usus terburai, peluru yang menembus kepala, darah yang muncrat, hingga racun mematikan yang akan menyiksa korbannya berjam-jam sebelum maut merenggut akan menjadi suguhan dalam novel ini. Bahkan setelah pembunuhan selesai, kengerian lain menanti berupa mesin penggiling tulang dengan suara menggiriskan yang digunakan untuk menghilangkan barang bukti. Orang-orang misterius yang sama juga mengajarkan kepada si gadis hal-hal lain tentang cara membunuh yang bersih, bagaimana menghilangkan jejak, bagaimana membuat alibi, dan kemudian bagaimana menyembunyikan identitas para korban. Apakah si gadis berhasil menghabisi seluruh korbannya? Dan, bagaimana akhir dari semua kekejian ini?

"Mudah sekali menyalahkan orang lain, tetapi sulit sekali melihat kesalahan pada diri sendiri?"(hlm. 147)

Ziggy dalam novel Seaside ini rupanya tidak tanggung-tanggung dalam mengumbar adegan-adegan kekerasan di novel ini. Darah dan daging berceceran di mana-mana, tulang yang digiling, bola mata yang ditusuk, dan detik-detik korban berkelonjotan menanti maut. Beberapa adegan keji muncul begitu saja di tengah-tengah narasi, sampai saya yang lain lelap-lelap bohay pun langsung mual. Sepertinya, Seaside hanya untuk konsumsi bacaan 15 tahun ke atas, lumayan berdarah-darah soalnya. Lalu, setelah kengerian itu, adakah sesuatu yang memuaskan di belakang? Ya, ada twist dan sesuatu di ending novel ini yang membuat saya bilang: “Rasakan, ngoahahahahaha!” Novel ini saya rekomendasikan untuk penggemar cerita-cerita thriller yang nggak kentang.

Ada satu novel Seaside karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dibagikan gratis oleh Penebit DIVA Press dalam blogtour kali ini. Silakan simak cara ikutannya berikut ini:



  1. Wajib follow twitter @divapress01 dan like akun fanpagenya Penerbit DIVA Press 
  2. Tolong bantu share/bagikan postingan kuis ini, minimal satu kali saja.
  3. Memiliki alamat kirim hadiah (kalau menang) di wilayah Republik Indonesia
  4. Dimohon hanya menjawab satu kali saja agar adil
  5. Giveaway ini berlangsung sampai tanggal 7 November 2016. Saya akan mengundi satu pemenang beruntung dengan bantuan random(dot)org.
  6. Pengumuman pemenang insya Allah tanggal 8 November. Bagi yang belum beruntung, masih bisa ikutan giveaway-nya di blog Mbak Ina
  7. Silakan menjawab dengan format berikut ini di kolom komentar:

Nama:
Twitter/Facebook:
Link share:
Tahun Kelahiranmu:

     

 Terima kasih sudah ikutan.



Evolusi Penulisan Fiksi ala Gao Xingjian

$
0
0
Judul: Membeli Batang Pancing untuk Kakekku
Pengarang: Gao Xingjian
Penerjemah: An Ismanto
Tebal: 147 hlm
Cetakan: 1, November 2016
Penerbit: basabasi
Sampul: Ferdika



Rasa penasaran setelah membaca cerpen Gao Xingjian dalam kumcer Dijual Keajaiban yang rasanya ‘kok gitu aja?’ maka terbitnya buku ini tentu saja adalah sebuah kabar gembira. Karya lain penulis ini, novel Gunung Jiwa juga sudah susah banget nyarinya. Banyak pembaca baru macam kita-kita ini akhirnya bingung saat hendak mencicipi rasa dalam karya si penulis peraih Nobel yang memilih eksil ke Prancis ini. Apa yang khas dari karya-karyanya? Apakah senada dengan Mo Yan, ataukah ada rasa asli lain yang khas dari penulis asal Tiongkok ini?

Membaca cerpen-cerpen di buku ini, kita seperti diajak menanjak menuju ke sebuah puncak gunung. Awalnya lumayan mudah dan dengan pemandangan yang indah. Etape kedua sudah agak menanjak. Bagian selanjutnya lumayan menanjak, dan bergitu berturut-turut hingga menanjaknya ekstrem banget sampai ngos-ngosan bacanya. Dua cerpen terakhir adalah yang paling menguras pikiran, mana panjang pula itu dua cerpen ck ck ck. Akhirnya, setelah menamatkan membaca seluruh cerpen di buku ini (dengan dua cerpen yang sedemikian sulit diikuti di bagian akhir), pembaca akan mengetahui jawaban tentang mengapa buku ini begini. Buku ini menjadi contoh sekaligus bukti bahwa evolusi dalam penulisan fiksi ternyata masih belum selesai.


Cerpen-cerpen di buku ini mengisahkan tentang hal-hal yang biasa-biasa saja. Ingatan atau memori tampaknya menjadi jiwa (kalau bukan menghantui) buku ini. Tentang anak yang membelikan pancing untuk kakeknya, tentang kecelakaan yang menimpa seorang pria, dan tentang pria muda yang membaca bukunya di pantai dan lalu entah kenapa sampai ke mana-mana. Secara tema, kesederhanaan cerpen-cerpen ini mengingatkan saya pada cerpennya Kawabata, hanya saja lebih panjang dan sedikit lebih agak kompleks. Yang bikin terkejut dari cerpen-cerpen di buku ini adalah cara penulis bernarasi. Bayangkan ketika sedang hanyut dalam paragraf ketiga, pembaca tiba-tiba disuguhi cerita baru di paragraf keempat, lalu ceritanya ganti lagi di paragraf ke enam. Begitu seterusnya sampai cerita ditutup dengan penggalan dari cerita di paragraf pertama. Dan campur-aduk cerita ini terjadi dalam satu cerpen, di mana satu paragraf dengan paragraf lain sepertinya tidak secara langsung terkait tapi memang terkait. Bingung kan? Iya, saya sudah bingung sejak lima hari lalu, tapi saya ampet saja sendiri.

Untungnya, penulis berbaik hati dengan memberikan bonus tulisan tentang menulis di bab paling akhir buku ini. Walau masih lumayan berat, Gao Xingjian memaparkan teknik menulisnya yang sepertinya acak-acakan tetapi sebenarnya tidak. Ia menyebut teknik menulis paragraf yang tidak saling bersambung ini sebagai hal yang sah-sah saja dilakukan seorang penulis atas nama kreativitas. Apa yang dilakukan Gao ini mungkin boleh-boleh saja, tetapi apakah tekniknya ini akan bisa diterima oleh pembaca, ceritanya lain lagi. Yang jelas, setelah membaca pemaparan di bab terakhir ini, saya ingin membaca ulang cerpen-cerpen di buku ini, terutama dua cerpen paling akhir yang bikin senewen itu.

Pengarang yang berhasil, salah satunya, adalah pengarang yang bisa memaksa pembaca untuk membaca ulang karyanya lagi dan lagi. Saya ingin membaca ulang kumcer-kumcer di buku setelah mendapatkan amunisi dari bab terakhir di buku ini. Bukan karena suka sih, lebih karena penasaran. Siapa tahu, setelah membaca kumcer ini untuk kedua kalinya, bintangnya naik jadi empat. Pembaca juga boleh dong berevolusi.

Jeritan (Doa) Warga Jakarta

$
0
0

Judul: Monas, Macet, dan Doa
Penulis: Adityayoga
Tebal: 76 halaman
Cetakan: Pertama, November 2016
Penerbit: Gramedia


Tuhan sering sekali disebut, tetapi kita sendiri kerap tidak adil dalam menyebutnya. Lebih sering namanya hadir dalam pinta kita. Dalam bentuk doa, kita menyebut-Nya hanya untuk meminta, mungkin beberapa kali untuk mengucapkan rasa syukur. Nah, selain untuk meminta dan bersyukur, ada satu lagi namanya sering disebut, yakni saat mengeluh jengkel. Saat-saat ketika kita begitu jengkel oleh sesuatu, tetapi tidak kuasa untuk menolak atau menghindarinya. Sehingga, yang keluar dari bibir dan lidah ini adalah

“Ya Tuhan, gini amat ya?”

Berawal dari postingan Raafi yang unik tentang puisi-puisi ‘Ya Tuhan’ yang ternyata unik dan mengelitik. Saya pun dibuat penasaran dengan buku Monas, Macet, Doa yang Jakarta banget itu dan langsung sukses ngakak saat membaca salah satu petikan puisi (atau bukan puisi di dalamnya)

Ya Tuhan,
Kalau ada yang menemukan buku ini,
tolong dikembalikan kepada pemiliknya.
Amin
Atau, yang ini
doa \ tiga lima

Ya Tuhan,
Berikanlah kesabaran pada
teman-teman kami yang bertato
dari pandangan sinis ibu-ibu
yang alisnya ditato.

Amin.


Banyak petikan-petikan ‘Ya Tuhan’ di buku ini yang sangat Jakarta banget. Walau saya bukan/belum jadi orang Jakarta, saya ikut merasakan apa yang dirasakan teman-teman di Jakarta sana sehingga ikut ngakak baca buku ini. Di antaranya, ketika penulis berdoa agar jangan hujan di hari Jumat petang (karena ini saatnya kaum urban bikin macet sambil refreshing) dan menanyakan perihal kenapa hari Sabtu kok lebih macet daripada hari Senin. Hal yang serupa juga saya jumpai di Jogja yang juga macetnya malah hari Sabtu.

Sayangnya, buku unik ini lumayan mahal untuk halamannya yang tipis. Sekitar 80 halaman tapi harganya Rp35.000. Mana serinya ada lima pula. Ya Tuhan, kok banyak ya.

Ya Tuhan, buku tipis kok harganya mahal sih?

Tapi saya pengen memilikinya. Tapi ini tanggal berapa, Ya Tuhan.

Ya Tuhan, maafkanlah saya karena hanya bisa membaca buku ini di toko buku

Sambil berdiri pula, Ya Tuhan.

Semoga Mas penulisnya memaafkan saya. Besok kalau sudah gajian, saya beli deh bukunya. Tapi satu saja ya. Ini adalah buku unik yang kudu dibaca, ya paling tidak kudu punya deh satu. Bulan depan beli satu ah.

Perlawanan sang Gadis Petir

$
0
0
Judul: Glass Sword
Pengarang: Victoria Aveyard
Penerjemah: Reni Indardini
Penyunting: Jie Effendi
Cetakan: Pertama, Oktober 2016
Tebal: 601 hlm
Penerbit: Mizan Fantasi

32607149

Wow ... buku ini benar-benar menyentrum pembacanya lewat kisah yang seru, tak tertebak alurnya, dan penuh dengan adegan aksi berdarah-darah. Sebagai sebuah buku distopia-fantasy-romance, unsur action dalam novel ini nggak tanggung-tanggung. Saya belum sempat membaca Red Queen karena sudah kehabisan di toko buku Jogja, tetapi secara garis besar yang bisa saya tangkap dari seri ini adalah warga Kerajaan Norta dibagi menjadi dua, yakni Perak dan Merah--sesuai warna darahnya. Para Perak adalah manusia-manusia super yang memiliki kekuatan lebih dibanding kaum merah (yang adalah manusia biasa). Kaum Perak dibagi-bagi dalam klan sesuai kekuatan mereka:  pengendali besi, pengendali air, pengendali api, pengendali angin, pembisik, telekinetis, tubuh yang kebal, dan lain sebagainya. Berkat kekuatan lebihnya ini, Perak menjadi kaum penguasa di Norta, dan kebanyakan mereka menggunakan kekuatannya untuk menindas para darah merah. Kemudian, semuanya berubah ketika Mare Barrow, sang Gadis Petir datang.

 "Aku adalah senjata yang mewujud menjadi daging, pedang berbalut kulit. Aku terlahir untuk membunuh seorang raja, untuk menggulingkan takhta berdarah selagi belum terlambat. Api dan petir menahbiskan Maven, api dan petir pulalah yang akan menjungkalkannya."(hlm. 332)

Mare adalah seorang darah merah tetapi dia mengalami semacam mutasi yang menjadikannya memiliki kekuatan super yang jauh lebih dahsyat ketimbang para Perak. Kejutannya lagi, Mare tidaklah sendirian. Banyak Darah Merah lain yang sepertinya, dengan kekuatan yang belum diketahui oleh para Perak. Para darah merah dengan kekuatan super inilah yang disebut Darah Baru. Pangeran Maven--yang di buku pertama telah menumbangkan dan merebut tahta ayahnya sendiri--kemudian memburu Mare dan Cal yang dianggapnya sebagai pengkhianat. Keberadaan para darah baru itu adalah ancaman bagi para Perak sehingga Maven mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan dan membasmi para Darah Baru. Upanya ini selain untuk menyembunyikan informasi, juga untuk menghukum Mare dan Cal atas pengkhianatan mereka. Mare dan Cal harus berpacu dengan Maven untuk menemukan para Darah Baru sebelum mereka dibasmi Maven.

Aroma x-men memang sangat kuat di buku ini. Kita seperti melihat anak-anak mutant yang direkrut oleh dokter Xavier. Hanya saja, pemimpinnya di sini adalah Storm sementara musuh disetir oleh Ratu Elara yang memiliki kemampuan mengendalikan pikiran ala dokter X. Itu aja? Nggak lah, Seri ini memiliki setting medieval alias abad pertengahan yang kental tapi anehnya kok ada listrik, senapan, dan pesawat jet ya? Kayaknya, Red Queen lebih ke dunia distopia deh. Selain setting medieval berlistrik yang unik, penulis melengkapi kisahnya dengan beragam intrik politik kerajaan yang lumayan rumit. Saking rumitnya, mungkin agak butuh lama membaca seperempat awal buku ini. Tapi, justru ini yang membuat kisahnya begitu kuat karena memiliki basis yang kokoh. Bahkan di buku kedua ini, intrik politiknya semakin melebar ke kerajaan-kerajaan tetangga. Makin banyak yang terlibat, makin banyak pihak-pihak yang mungkin berkhianat, makin seru ngikutinnya!

"Kita tak mungkin memahami isi hati siapa pun sepenuhnya. Tidak juga isi hati kita sendiri."(hlm. 579)

Selain setting dan intriknya, poin utama buku ini ada pada aksi pertempurannya. Cambukan petir, hunjaman logam tajam, limpahan air bah, ganasnya kobaran api, dan aksi ilusi serta beralihrupa mewarnai karakter-karakter di buku ini. Seolah seperti sedang menonton versi medieval dari X-men. Dan adegan pertempurannya tidak hanya satu, tapi berulang-ulang serta menyebar di beberapa bagian buku tebal ini. Seru banget melihat kemampuan-kemampuan super para Darah Baru yang unik-unik sekaligus mengerikan. Bosan dengan aksi pamer para Perak, di buku ini giliran para Darah Baru yang unjuk kebolehan. Dan penulis mampu menuliskan kisah-kisah mutant klise ini dalam cara yang tidak berlebihan sehingga pembaca tidak bosan.

"Tiada yang terlahit jahat, sama seperti tiada yang terlahir sendirian. Mereka menjadi seperti itu karena pilihan dan keadaan."(hlm. 557)

Kemudian, karakter-karakternya dalam buku ini ... benar-benar nyetrum. Walau belum membaca Red Queen, saya merasa mampu mengikuti perkembangan karakter Mare, Cal, dan juga Kilorn yang  dibiarkan tumbuh sewajarnya oleh penulis. Penulis tidak memaksa karakter-karakternya untuk sesuai dengan keinginan pembaca, seolah mereka tumbuh dan berkembang sendiri di tengah-tengah cerita. Pembaca jadi gemes dan pengen ikut nyetrum itu karakter-karakter yang keras kepala, tetapi mereka mengingatkan kita pada orang-orang nyata di sekitar kita. Setelah selesai membaca novel ini, saya acungkan jempol kepada penulis karena telah menciptakan karakter-karakter yang sedemikian berwarna. Sayangnya, saya kurang dapat karakter Maven di buku kedua ini. Kemungkinan, buku kedua ini memang dipersembahkan untuk Cal.

Satu lagi, tepuk tangan yang gemuruh layak dihaturkan kepada penerjemah dan editor. Saya suka pilihan kata (diksi) yang digunakan di novel ini, mengingatkan saya pada diksi di Fablehaven. Banyak kata-kata baru yang sebenarnya adalah kata-kata lama dalam bahasa Indonesia. Memunculkan kembali kata-kata indah ini di buku fantasi kekinian menjadikan kosakata pembaca semakin kaya, plus terasa pas dengan setting buku ini yang agak-agak medieval-kelistrikan. Dan, sampul buku ini, sampulnya UWOWWW 5 juta kali.

Pertarungan Pamungkas para Garde

$
0
0
Judul: United as One
Pengarang: Pittacus Lore
Penerjemah: Nur Aini
Penyunting: Esti Budihapsari
Cetakan: 1, November 2016
Tebal:498 hlm
Penerbit: Mizan Fantasi

32885504

*awas spoiler*

Akhirnya, setelah perjuangan panjang, sampaikah kita pada penghujung dari kisah para alien cakep dari Planet Lorien ini. Tujuh buku bukanlah jumlah yang sedikit, dan penantian panjang pembaca akan selesainya seri ini akhirnya terbayar di buku ketujuh ini. Akhirnya, seperti bisa ditebak mereka berhasil mengalahkan Sentrakus Ra. Yang sudah sering baca fantasi pasti sudah bisa menebak endingnya. Biasanya buku-buku seri memang berujung begitu. Sering kali, kita sudah tahu bakal seperti apa ending sebuah novel, kebaikan mengalahkan kejahatan. Seperti dalam seri Harry Potter, pembaca sebenarnya sudah tahu kalau Harry akhirnya akan mengalahkan Voldermort tetapi tetap saja kita membaca dan menantikan ketujuh serinya. Cara pengarang mengisahkan ceritanya, inilah yang sebenarnya lebih kita nikmati ketimbang endingnya. Meskipun ending yang spektakuler tentu saja akan menjadi sebuah bonus yang akan menjadikan buku tersebut sempurna dan layak dikenang. Nah setidaknya hal itu yang saya temukan di Harry Potter, tapi tidak di buku ini.

Sejak buku lima, saya merasa sudah lelah mengkuti seri ini. Tetapi, iming-iming di ending buku kelima berhasil menggoda saya untuk tetap bertahan sehingga saya pun menantikan dan membaca buku keenam dengan sumringah. Kemudian, ternyata masih ada buku ketujuh yang--akhirnya--dijanjikan penulisnya sebagai buku pamungkas dari seri ini. Kenapa harus tujuh? Mungkin untuk menyesuaikan dengan 7 garde yang masih bertahan hidup sehingga mungkin masing-masing judul ini dipersembahkan kepada mereka. Okelah, meskipun saya sudah mau mengamuk di ending buku keenam, saya tetap bertahan dan berbaik sangka. Saya bayangkan buku ketujuh bakal luar biasa, menjadi penutup yang pamungkas dari seri ini. Kalaupun tidak seepik Harry Potter, setidaknya bisa menandingi hebohnya buku kelima dari seri Fablehaven atau Percy Jackson. Ternyata--menurut saya--buku ketujuh ini tidak seheboh itu.

Berbeda dengan Rowling yang sepertinya sudah punya skema besar dari buku 1 hingga buku 7 Harry Potter, Pittacus Lore sepertinya hanya menulis sampai 7 buku. Jumlah 7 buku ini pun sepertinya ditulis karena terpaksa seolah biar genap 7 buku padahal secara cerita sepertinya sudah bisa dipangkas sampai buku 5 saja. Pun kalau toh memang kudu tujuh buku, United ad One ternyata tidak sekeren yang saya bayangkan, atau saya inginkan. Kisah di buku 7 ini memang keren, masih layak dinikmati dan bisa mengobati kerinduan pembaca fantasi akan adegan pertempuran seru. Para Garde melawan Morgadorian dengan menggunakan pusaka-pusaka Loriennya. Kisahnya juga terancam seru karena Lorien juga menganugerahkan pusaka kepada para remaja Bumi, termasuk Sam yang di buku ini mendapatkan satu lagi tambahan pusaka keren yang tak terbayangkan.

Untuk adegan perang-perangan, ya standar lah. Maksudnya standar yang bagus alias seperti yang kita ingin baca dari buku-buku Pittacus Lore sebelumnya. Hanya saja, entah mengapa saya kok merasa terlalu nanggung ya? Seolah-olah masih ada yang disembunyikan penulis dari para pembaca padahal ini semestinya jadi buku pamungkas. Beberapa hal yang bikin buku ini aneh misalnya:

AWAS SPOILER

Cara John menguasai pusakanya yang sepertinya digampangkan oleh penulis. Hanya dalam beberapa halaman, John ini sudah bisa terbang kayak nomor lima, menghilang kayak nomor 6, bikin es kayak nomor 7, bikin pusaka penghilang pusaka driden kayak punya nomor 10. Penulis terlalu memaksa John untuk mengejar habisnya cerita di buku ini. Ini yang bikin perkembangan John terlalu lurus-lurus aja, tau-tau aja keren dan hebat. Beda kaya di buku pertama yang polos-polos keren gitu si John.

Pertempuran Garde dengan Sentrakus Ra, bener nih cuma gitu doang? Setelah tujuh buku panjang dan lebar, kami butuh adegan pertempuran yang lebih lama, lebih berdarah-darah, lebih bam duar jederrr ketimbang 'mainan lumpur hitam' eh. Adegan yang lebih keren malah pas pertempuran dengan pesawat asing di luar markas Morgadorian. Tapi, pertempuran antara John dan Sentrakus Ra yang 'kok hanya gitu doang' terasa nanggung banget dan terlalu cepat selesai, terutama mengingat panjangnya seri ini yang sampai buku ketujuh.

Hal lain yang mengganjal adalah di mana para manusia? Tulisan di sampul belakang buku ini menginsayaratkan kerja sama manusia dengan para garde untuk melawan musuh. Tetapi, selain pertempuran di Air Terjun Niagara dan di markas Patience Creek, garde manusia ini tidak tampil sama sekali. Juga pertempuran dari pesawat Morgadorian melawan AU manusia di penjuru dunia juga sekadar di skip saja oleh penulis. Alasannya mungkin karena buku ini ditulis dengan sudut pandang orang pertama tunggal sehingga tidak memungkinkan penulis untuk mengisahkan pertempuran lain di penjuru dunia. Hemmm harusnya hal ini bisa diakali dengan menyebar para Garde ke penjuru dunia lewat baru lorit dan mereka bisa mengisahkan pertempuran seru di berbagai kota.

Trus, juga, kalau ini memang buku pamungkas, kenapa para Garde manusia itu tidak diberdayakan? Bukankah Lorien sudah susah-susah membagikan pusaka kepada anak-anak muda di Bumi untuk membela diri, tetapi kenapa sampai di buku ketujuh yang pamungkas ini peran mereka sangat kecil? Lha kalau bukunya aja mau selesai, kenapa mereka nggak dilibatkan? Kemungkinannya, si Pittacus Lore ini bakal membuat sekuel dari serial ini. Yakin deh, melihat rasa buku 7 ini yang sepertinya masih belum selesai dan ada kesan cepat-cepat diselesaikan untuk diganti dengan cerita lanjutan yang lebih baru. Entahlah.

"Kita semua menyesali sesuatu. Ini bukan masalah sifat asli, ini masalah terus maju dan menjadi lebih baik."(hlm. 39)

Winter: Pertempuran Final di Bulan

$
0
0
Judul: Winter
Penulis: Marissa Meyer
Penerjemah:Yudith Listiandri
Jumlah halaman: 900 halaman
Cetakan: 1, Agustus 2016
Penerbit: Spring


31306759

Akhirnya Winter membawa saya ke penghujung The Lunar Chronicles bersama para putri dan pangeran dongeng yang dimodifikasi. Ada banyak hal yang menjadikan buku tebal ini menarik. Pertama, unsur dongeng yang dengan apik disisipkan dalam sebuah kisah roman-fantasi. Kedua, setting futuristik yang mengingatkan kita pada serial Starwars. Ketiga, betapa banyak dan kompleksnya konflik yang diangkat penulis seri ini, dan keempat para karakter yang membuat para pembaca jatuh cinta. Lama setelah kisah ini selesai dibaca, Kai, Cinder, Scarlet, Wolf, Thorne, Cress, Winter, Jacin, dan bahkan Iko; akan terus berdiam di sudut benak pembaca. Sesekali mengingatkan bahwa dahulu pernah ada seorang mekanik bertangan robot yang mampu mengendalikan pikiran, atau seorang pangeran dari Persemakmuran Timur yang menjadi idol para remaja Bumi, atau seorang peretas andal berambut panjang yang terperangkap dalam satelit bumi, atau seorang putri dari Bulan yang kecantikannya malah semakin sempurna karena luka kecil di wajah cantiknya.

Setelah Cinder (Cinderela), Scarlet (Tudung Merah), dan Cress (Ranpunzel); di buku keempat ini penulis mengadopsi kisah si Putri Salju atau Snow White yang mewujud dalam diri Putri Winter. Winter adalah putri tiri dari Levana, yang berarti juga sepupunya Cinder. Mengadopsi kisah Snow White, alkisah Ratu Levana itu iri dengan kecantikan Winter. Dia lalu memaksa sang putri untuk merusak wajahnya sendiri saat Winter masih kecil. Tiga bekas luka melintang di wajahnya yang mulus, tetapi anehnya bekas luka itu malah menjadikan wajah Winter menjadi semakin cantik. Rakyat Bulan begitu memuja dan mencintai sang Putri. Karena berang, Levana mengutus Jacin untuk mengawasi Winter. Dialah sang pemburu yang diutus untuk membunuh sang putri. Tapi, alih-alih menaati perintah sang Ratu, Jacin malah menyelamatkan sang putri. Kisahnya mirip dengan kisah inti dongeng Snow White memang, tetapi bagi yang sudah megikutiperjalanan awak Rampion, kisahnya jauh lebih kompleks dan lebih seru dari sekadar dongeng putri salju.

Winter adalah buku pamungkas dari seri The Lunar Chronicles. Di buku keempat inilah Cinder dkk akhirnya harus berhadapan langsung dengan Levana dan para ahli sihirnya. Lebih menariknya lagi, seluruh kejadian di buku keempat hampir semuanya terjadi di Bulan. Setelah di tiga buku pertama penulis menggunakan setting Asia, Eropa, dan Afrika; buku keempat ini menjadi pemuas pembaca yang mungkin penasaran dengan Kerajaan Bulan. Bulan dalam buku keempat ini tidak jauh berbeda dengan bulan versi kita. Hanya saja, kota-kota di Bulan berada dalam kubah-kubah kaca yang melindungi warga di dalamnya dari kehampaan luar angkasa. Setiap sektor kubah dibagi menurut penduduknya, ada sektor kayu, sektor tambang, dan sektor pertanian. Ini sedikit mengingatkan kita pada setting di seri The Hunger Games. Penulis terbilang cukup detail dalam menggambarkan sistem politik dan kehidupan keseharian warga di Bulan. Inilah salah satu yang saya suka dari seri ini, detailnya sangat menyenangkan diikuti, bikin betah membaca buku yang lumayan tebal ini (900 halaman, dong, Kak, warbiazah).

Dari segi cerita, penulis pandai banget menempatkan 'permata-permata' di sepanjang jalan cerita. Untuk buku setebal ini, kebanyakan narasi apalagi adegan romansa biasanya bakal bikin pembaca gampang menguap. Tetapi, pinternya si penulis, selalu saja ada hal-hal yang menggerakkan cerita. Pas tempo lagi lambat, tahu-tahu ada kejutan yang bikin pembaca penasaran. Lagi asyik-asyiknya menikmati, eh darah berceceran. Pas lagi seneng-senengnya si A selamat, eh kok tau-tau udah ketangkep lagi. Susah untuk melepaskan buku ini karena selalu saja ada hal-hal menarik yang membikin pembaca ingin terus membaca. Apalagi karena ini buku terakhir, keingintahuan pembaca tentang akhir cerita Cinder vs. Levana tentunya semakin besar. Dan adegan pertempuran epic di ending buku ini memang finale banget, tidak tanggung-tanggung alias penuh pertarungan, darah, intrik, juga aneka jebakan yang mengejutkan. Ibaratnya membaca sebuah kisah dari dunia fiksi yang dibangun dengan sedemikian lengkap.

Jadi, apa saja yang bakal didapatkan pembaca di buku ini? Pertarungan final antara Ratu Levana dan Putri Selene, sudah jelas. Juga, kita dipertemukan dengan Putri Winter yang ternyata menghadapi persoalannya sendiri. Cress dan Scarlet juga muncul di buku ke empat ini. Bahkan, bisa dibilang setiap putri di seri ini menghadapi pertempurannya masing-masing. Dan penulis tidak terkesan menggampangkan perjuangan mereka. Malahan, selalu saja ada halangan menghadang Cinder cs. yang bikin pembaca senewen, tapi justru hal-hal seperti ini yang bikin ceritanya nggak datar dan makin seru. Setiap perjuangan keempat gadis itu tidak digambarkan dengan mudah, bahkan cenderungnya mereka kudu berjuang sampai berdarah-darah. Maka, hilang sudah kesan dongeng yang unyu, yang ada adalah sebuah kisah fantasi yang seru. Nah, unsur romansa antar karakternyalah yang sepertinya bikin buku ini tetap terasa unyu walaupun banyak adegan dor, jleb, buk, doar di dalamnya. Sebuah penutup yang epik untuk kisah retelling yang tidak sekadar retelling, tetapi juga menghasilkan sebuah kisah baru yang tak kalah legendarisnya.


Membaca Surealisme ala Danarto dalam Gergasi

$
0
0
Judul: Gergasi
Pengarang: Danarto
Pengantar: Eko Triono
Penyunting: Tia Setiadi
Tebal: 260 hlm
Cetakan: 1, Desember 2016
Penerbit DIVA Press

33106235

Menyelesaikan membaca Gergasi ibarat membaca yang tidak pernah selesai. Selalu ada cerita pendek yang menuntut dibaca ulang dan dibaca lagi, entah karena saya kurang mengerti isinya atau pun karena ada sesuatu yang serasa berharga yang saya luput menangkapnya saat pembacaan yang pertama. Dalam beberapa cerpen, Danarto memperlihatkan nuansa religius yang cukup kental, sementara di banyak cerpen lain, aroma surealis yang pekat menjadikan cerpen-cerpennya sedemikian pelik untuk dipahami secara mudah. Yah, namanya juga aliran surealis jadi beberapa hal yang tidak pernah padu sengaja dipertemukan oleh Danarto lewat karyanya. Maka akan kita temukan di kumcer ini: dua malaikat yang menculik seorang ayah, semut yang mengusung jenasah, pohon-pohon yang bermusyawarah, serta ibu yang menjelma di mana-mana.

Peringatan pertama tentang keunikan Gergasi saya dapat dari Mbak Ajjah, yang mentok di cerpen ketiga. Peringatan selanjutnya datang dari Goodreads, yang menyebut karya ini sesuatu yang diluar rasional, melebihi kewajaran, dan itu yang menjadikan cerpen-cerpennya semakin berkesan. Bahkan saat mengecek situs buku itu untuk cari ide bikin ulasan, masih sedikit sekali ulasan di buku ini. Lebih banyak pembaca yang hanya kasih bintang tinggi tanpa kasih alasan mengapa buku ini memang bagus. Bahkan ada komentar yang berbunyi: Danarto berhasil membuatku ga berpikir keras untuk bisa memahami tujuan, maksud dan makna dari cerita-ceritanya. Great Job! Komentar mengambang seperti ini malah makin bikin baper. Saya merasa semacam butiran capek yang tidak berharga dengan ilmu susastra yang teramat kecilnya. Kenyataannya, saya memang masih mencoba belajar untuk menikmati karya sastra di buku ini. 

Sebuah tulisan salah satunya adalah refleksi dari bagaimana penulis memandang dunia dari sudut pandangnya. Gaya seperti dalam Gergasi inilah yang sepertinya digunakan oleh Danarto: amat surealis dengan nuansa religi yang seperti memercik kecil namun nyala di pinggir-pinggirnya. Ledakannya dimulai di awal, kemudian pembaca jadi penasaran, sebelum sampai ke belakang dengan rasa entah lega entah makin penasaran. Tokoh Ayah sepertinya mengambil peran sentral dalam cerpen-cerpen Danarto ini. Ayah yang bisa muncul di berbagai kantor pada saat yang bersamaan, Ayah yang jadi rebutan manajer-manajer kantor di Jakarta, Ayah yang membawahi 300 perusahaan yang semuanya sukses, Ayah yang kemudian selalu menghilang dalam dunia surealis pada setiap ending cerita. Apakah Ayah-Ayah di cerpen perlambang kekuatan adikodrati tetapi bukan Tuhan yang hanya kuat di awal tetapi musnah menghilang di belakang? Saya belum dapat kalau yang ini.

Dari dulu, saya selalu iri pada imajinasi para sastrawan yang dengan bebasnya ngepot dalam bercerita tetapi entah bagaimana cerita itu masih enak dibaca. Imajinasi yang liar tetapi indah dan tetap tertata sehingga masih enak diikuti. Seperti yang saya temukan di buku ini. Bayangkan menjaring malaikat, bayangkan malaikat yang membutuhkan manajer, bayangkan pesta yang hanya dihadiri tamu berusia 70 tahun ke atas, bayangkan bagaimana para tamu berusia 70 tahun itu naik membumbung ke atas mengatasi alam raya ... entah apa yang hendak disampaikan penulis, tetapi pasti ada sesuatu. Saya yang remah ini belum bisa menangkapnya, kudu baca lebih banyak karya beliau yang lain rupanya. Imajinasi yang tak terbelenggu namun masih dalam batas-batas teknik penulisan sehingga tetap terasa sah-sah saja cerita seperti ini, inilah salah satu keunggulan buku ini.

Cerpen Balairung adalah yang paling saya sukai di buku ini. Cerita ini khas banget mengingatkan pembaca pada era Orde Baru ketika rezim saat itu dengan giat dan rajin akan mencokok siapa saja yang berani mengusik penguasa. Ki Ageng Tjiptowiro dijemput dari kediamannya oleh PM (Polisi Militer) setelah dalam satu pentas wayangnya, dia menyebut-nyebut tentang korupsi. "Korupsi adalah minuman yang bikin ketagihan. Tidaklah penting kaya atau miskin, punya tahta atau rakyat jelata, seseorang akan melakukannya hanya karena ia ketagihan. Sudah syahdu," demikian bunyi salah satu wayangnya. Pembaca yang pernah merasakan Orde Baru tentu masih ingat dengan beberapa insiden penjemputan para seniman oleh petugas kepolisian karena ucapannya yang agak mengkritik penguasa ketika sedang tampil di atas pentas. Cerpen ini sepertinya menjadi semacam sindiran dari Danarto terkait kasus tersebut. Dan, ternyata cerpen ini ternyata ditulis tahun 1991, masa ketika Orde Baru sedang jaya-jayanya. Danarto menulis cerpen seberani ini? Keren ah beliau.

Borobudur, Monumen Terindah di Belahan Bumi Selatan

$
0
0
Judul: Borobudur, Warisan Umat Manusia
Penulis: Daoed Joesoef
Tebal: 176 hlm
Cetakan: 1, 2015
Penerbit: Buku Kompas

18779624

Kadang, saya ini yang dibaca buku apa yang diulas buku apa. Malah bukan buku utamanya yang diulas, tetapi buku lain yang serupa sebagi bentuk bantahan atau perbandingan dari buku yang dibaca. Terkait buku Borobudur, pasti sudah tahu kan buku Borobudur yang bestseller itu. Buku yang mendapat bintang empat di Goodreads itu sedemikian wownya (dalam artian 'halowwwww') jadi pengennya gemes aja nulis ulasan buku tandingan. Apa yang dibawa oleh penulis buku Borobudur yang itu bisa jadi benar, bisa juga keliru. Hanya Tuhan yang tahu. Tetapi, dalam dunia ilmu pengetahuan, bahwa perdebatan dan kontroversi adalah sesuatu yang lumrah. Temuan baru diperbarui oleh temuan lain yang lebih baru, bukan untuk saling meniadakan tetapi saling melengkapi sehingga semakin sempurna ranah ilmu pengetahuan yang dikumpulkan. Ada pun mengajukan sebuah hipotesis juga sah-sah saja, terlebih dalam bidang sejarah yang bukti-buktinya mungkin telah hilang di masa lampau. Namun, beda kasusnya kalau hipotesis diajukan dengan asal terjang saja tanpa memerdulikan berpuluh tahun bahkan ratusan tahun upaya restorasi sebuah monumen akbar yang melibatkan banyak ahli dari dalam dan luar negeri. Semua penelitian dan kerja besar para arkeolog dan ilmuwan seolah sia-sia sahaja hanya karena sebuah hipotesis dari satu orang penulis (entah peneliti entah bukan) yang beranggapan bahwa pendapatnya tentang Borobudur adalah yang paling benar, pokoknya yang lain salah semua. Daripada ribut mulu baca buku begituan, mending baca buku ini aja.

Sketsa Borobudur pada era penjajahan Belanda (static1.bigstockphoto.com)
Dalam hal menanggapi seorang penulis dan para pemujanya yang sudah sedemikian yakin benar dengan pendapatnya, yang sama sekali tidak mau sedikit pun membuka jalan pada sedikit pun kemungkinan bahwa ada kekurangan kecil dalam hipotesisnya,  tidak ada jalan lain yang lebih elok menghadapi yang seperti ini selain menanggapinya dengan menulis ulasan dari buku lain yang (menurut saya) lebih berbobot. Buku Borobudur ini salah satunya.Penulis buku ini, Daoed Joesoef, adalah ahli yang turut menyaksikan proses restorasi Borobudur selama sepuluh tahun. Dimulai pada 10 Agustus 1973, Candi Borobudur dipugar besar-besaran di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pemugaran akbar ini juga mendapat dukungan dari UNESCO walaupun Indonesia tetap menanggung sebagian terbesar dari biaya pemugaran monumen Buddhis kuno ini. Penulis yang kemudian diangkat menjadi Menkendikbud tahun 1978 ini turut menyempatkan melihat langsung proses pemugaran Borobudur, mulai dari pelepasan dan pemasangan ulang panel-panel pada dindingnya, hingga rehabilitasi stupa-stupa candi. Sepuluh tahun setelah pemugaran, Borobudur akhirnya kembali pada kecantikan aslinya, meskipun beberapa bagian yang hilang memerlukan penambalan.

Secara penyusunan, buku ini mengingatkan kita pada buku-buku teks dari era Orde Baru yang didominasi oleh tulisan dan sangat minim gambar. Kalimatnya cenderung 'berat' dalam segi muatan, namun masih enak dinikmati pembaca awam. Membaca buku ini seperti melemparkan saya kembali ke masa-masa meminjam buku di perpustakaan sekolah. Jenis buku keilmuan yang memang diterbitkan untuk menyampaikan aneka ilmu pengetahuan ketimbang sebagai sebuah bacaan hiburan. Ini bisa dilihat pada pembuatan judul untuk tiap paragraf yang kaku banget, kayak sebuah buku teks pelajaran. Bab . misalnya berjudul 'Nama Candi', bab 2 judulnya 'Keadaan Candi," dan bab-bab berikutnya diwarnai dengan judul yang bentuknya nyaris seragam (Nilai Arkeologis, Nilai Historis, Nilai Spiritual, Nilai Budaya, dan seterusnya). Pembaca buku fiksi mungkin cepat bosan, tapi bagi para penggemar bacaan sejarah, buku ini adalah harta karun. Penulisannya yang jadul malah semakin memunculkan efek nostalgia. Plus, penulisan buku ini pun terkesan sangat serius dan tidak main-main. Penulisnya benar-benar memiliki kompetensi serta pengalaman nyata terkait interaksinya dengan Borobudur.

Jika dibandingkan dengan gaya penulisan sejarah yang lebih kekinian ala Penerbit Komunitas Bambu (dengan judul dan sampul yang eyecacthing plus foto-foto lama), buku ini jelas kalah. Tetapi, isinya dijamin tidak kalah lengkapnya. Pembagian bab yang didasarkan pada nilai-nilai khusus Borobudur membuat buku ini terasa resmi tetapi sekaligus sangat berisi. Pembaca jadi mudah memahami Borobudur dari berbagai aspeknya, mulai dari aspek historis (sejarah pembangunan), arkeologis (nilai penting relik-relik pada bangunan candi), hingga nilai spiritualnya. Dalam teks-teks padat ini, akan kita temukan pelbagai hal menakjubkan seputar candi yang konon merupakan The most beautiful monument on the southern hemisphere (monumen paling indah di belahan bumi selatan) ini. Di antaranya, tentang pendapat bahwa Borobudur pernah memiliki semacam payung yang menutupi stupa puncaknya. Para ahli sampai sekarang belum bisa mereproduksi bagaimana bentuk formasi payung ini, sehingga puncak candi dibiarkan terbuka seperti saat ini.

Struktur 'payung' yang konon pernah menaungi stupa utama Borobudur (luk.staff.ugm.ac.id)

Dalam salah satu edisi majalah National Geographic, saya pernah juga membaca bentuk asli Borobudur yang konon dulu dikelilingi oleh semacam danau. Pembangunan candi ini, yang memiliki pola konsentris, memang terlihat seperti kelopak bunga teratai yang tengah mekar di atas air jika dilihat dari atas. Para ahli juga menemukan bahwa nama-nama desa-desa di sekitar Borobudur memiliki makna-makna yang berkaitan dengan air. Jadi, mungkinkah Borobudur dulu memang terletak di tengah-tengah danau? Seandainya benar demikian, pasti luar biasa hebat para pembangun yang awal. Info lain yang juga diungkap buku ini diantara tentang misteri the unfinished Buddha of Borobudur. Saat pemugaran, ada satu arca Budhha yang para ahli tidak tahu harus meletakkan di bagian mana arca tersebut. Setelah diamati, arca itu juga belum sempurna dibuat sehingga banyak yang berpendapat bahwa itu adalah arca yang gagal dalam proses pembuatan. Tapi, ada pula pendapat bahwa arca tak sempurna itu sebenarnya adalah arca yang dulu mengisi stupa utama. Entah pendapat mana yang benar, semoga kelak ada arkeolog dan ahli sejarah kita yang bisa menjawabnya.

Struktur penampang Candi Borobudur (kumpulanmisteri.com)

Membahas Borobudur belum lengkap kalau kita belum mengupas tentang tingkatan-tingkatan di dalamnya. Seperti kita ketahui, candi ini tersusun atas beberapa bagian berisi panel-panel dinding yang bercerita. Buku ini mengupas lengkap apa saja isi dari panel Karmawibhangga, Lalitawistara, dan Jatada dan Awadana di Borobudur, termasuk misteri panel-panel di kaki candi yang sengaja ditutup karena berisi panel-panel yang menampilkan adegan-adegan berbau pornografi. Ternyata tidak demikian, panel-panel terbawah ini sengaja 'dikorbankan' dengan cara ditutup dengan pondasi batu sebagai upaya agar struktur bangunan candi tidak longsor ke bawah akibat menahan bobot batuan di atasnya. Panel-panel yang disembunyikan ini ternyata tidak melulu menggambarkan adegan-adegan agak saru, tetapi juga tentang keseharian kehidupan manusia pada umumnya, seperti bercocok tanam dan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Sayang sekali, bagian kaki candi yang asli ini harus ditutup untuk menjaga keutuhan candi. Sungguh sedih ketika pada tahun 1985, beberapa stupa di candi megah ini diledakkan oleh sekelompok kaum ekstremis-fanatik dengan alasan Borobudur sebagai sebuah berhala raksasa. Lucu kiranya kalau puluhan tahun setelahnya, ada buku laris yang menyebut berhala ini sebagai peninggalan dari era Nabi Sulaiman. Hanya Allah Swt. sebenar-benarnya pemilik jawaban.



Banjir Karakter Ganjil dalam Jakarta Sebelum Pagi

$
0
0
Judul: Jakarta Sebelum Pagi
Pengarang: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie 
Penyunting: Septi WS
Cetakan: Mei, 2016
Tebal: 270 hlm
Penerbit: Grasindo 

30009042

Pertama, buku ini tentang babi ... ada banyak sekali kata babi di dalam novel ini.

"Bukan hal yang mudah, mengingat bagian bawah rambutku dicat berwarna jambon babi. JAMBON BABI APAAN SIH?"(hlm. 49) 

Kedua, kenapa ada babi? Karena karakter utama di buku ini, Emina Nivalis, uniknya kebangetan. Baru kali ini saya menemukan karakter yang tidak ragu menyerupakan diri dan orang-orang di sekitarnya sebagai babi. Temannya ia panggil babi, bahkan calon pacarnya pun disebutnya babirusa yang pintar. Ini kalau ada yang alergi babi bisa dipastikan terkaget-kaget saat membuka halaman-halaman awal Jakarta Sebelum Pagi. Sudah siap membaca novel kocak tapi sebetulnya cerdas ini?

"... karena kecerdasan hanya dimiliki orang-orang yang mau mendengar jawaban orang yang lebih cerdas darinya." (hlm. 97)

Kemudian, sampai di bab kedua, kita mulai merasa wajar kenapa babi-babi ini banyak sekali bermunculan. Bukan karena ini novel tentang satire babi macam Animal Farms, tetapi memang tokoh utamanya yang absurd banget, tetapi sekaligus malah bikin Emina ini khas, tak terlupakan. Ziggy benar-benar pandai dalam membikin karakter yang beda, yang bedanya pun nggak tanggung-tanggung. Saat membaca Seaside saya menemukan kalau penulis bernama asyik ini memang nggak pernah tanggung-tanggung dalam membuat karakter. Begitu juga tokoh utama dalam novel ini: anehnya sama sekali nggak nanggung. Dan bukan hanya Emina, tokoh-tokoh lain yang mewarnai buku ini juga luar biasa ganjil, nggak biasa, tapi seru. Ada Nissa, gadis berjilbab teman dekat Emina, yang kebangetan banget anehnya. Nissa ini mengingatkan kita pada teman-teman gaul di kantor yang cuek bebek tetapi sesungguhnya sangat menikmati hidup (paling tidak dengan caranya sendiri). Salut untuk Ziggy dalam hal karakterisasi. Ini contoh karakterisasi dari Emina yang wah itu:

"Kalau kedinginan, aku akan mulai kentut-kentut dan mengalami kenaikan minat untuk pup; dan ini adalah dua hal yang tidak aku inginkan ketika sedang melakukan hal serius bersama teman baru."(hlm. 95)

"Untungnya, aku nggak punya kebiasaan untuk pura-pura paham."(hlm. 86)

Lalu masih ada lagi, Saki dan Abel. Yang pertama adalah gadis 12 tahun pemilik sebuah cafe minum teh yang berada di seberang apartemen Emina. Saki ini kalau dibandingin boneka, adalah boneka Jepang yang mulus dan manis tetapi mulutnya serusuh duri dalam daging. Ia adalah representasi anak yang terlalu cepat dewasa sehingga jadi terlalu serius dalam memandang hidup. Emina yang 25 tahun aja sering melongo kalau diceramahin Saki. Saki ini juga jago bikin teh ala Jepang yang ribet itu, udah gitu dia sering banget nyindirin Emina yang disebutnya sangat tidak menghargai kebudayaan manusia yang adi luhung wkwkwk. Tapi, dari Saki ini kita jadi belajar banyak tentang upacara minum teh ala Jepang, termasuk cara mengaduk teh dan posisi memegang gelas saat meminum teh. Kemudian, ada Abel. Well, he is a different case. Kalau diumpamakan sebuah boneka, Abel ini adalah boneka eh manekin yang gagah tapi rusak di dalam. Masa kecilnya yang mengerikan telah menggoreskan semacam (eh dua macam) trauma yang sedemikian mendalam pada jiwanya. Dia sama sekali nggak kuat mendengarkan suara yang keras, juga akan merasa sangat kesakitan ketika disentuh. Masalahnya, Abel ini suka sama Emina sejak kecil. Kan, babi banget? Terus gimana coba?

"Just remember, prinsip kehidupan sosial itu sama seperti ketika berpapasan dengan ular: yang satu sama takutnya dengan yang lain."(hlm. 84)

Cerita besar inilah yang hendak diangkat Ziggy lewat Jakarta Sebelum Pagi. Mungkinkah mencintai tanpa pernah bisa menyentuh dan bicara kepada dia yang kita sayangi. Ini saja sudah rumit, eh Ziggy malah makin mempercantiknya dalam skema cerita yang berbau teka-teki. Sebenarnya alur cerita awalnya sederhana, tetapi dikembangkan jadi unik dan menarik oleh si penulis. Dan selain karakter-karakternya yang sangat nggak umum, narasi (karena memakai sudut pandang orang pertama, yakni si Emina) dan alurnya juga nggak umum. Ada manisnya, ada sedihnya, tapi kocaknya nggak kalah banyak. Bisa dibilang novel ini rame banget. Satu lagi, Ziggy banyak menyelipkan kalimat-kalimat yang quotable banget disela-sela kesablengan Emina atau keseriusan Saki atau kemelow-an Abel. Selain itu, perumpamaan yang digunakan Ziggy (lewat mulut ember Emina) benar-benar diluar dugaan, tapi sekaligus unik dan fresh. Bagi yang pernah membaca Comedy Apparation, nada-nadanya hampir mirip dengan di novel itu. Misalnya saja, si Emina ini menjuluki Abel yang jalannya begitu lambat sampai dia berharap manusia bisa menumbuhkan klakson. Perumpanaan yang cerdas ini sebetulnya, tapi kocak. Empat bintang penuh untuk novel random tapi unik ini.

"Jangan pernah membaca karena ingin dianggap pintar, bacalah karena kamu mau membaca, dan dengan sendirinya kamu akan jadi pintar."(hlm. 72)













Cybertrons, Garda Legenda Nusantara

$
0
0
Judul: Cybertrons, Guardian of the Legends
Pengarang: Hamid Hamka
Tebal: 231 hlm
Cetakan: 1, Desember 2016
Penerbit: Mazola




Tahun 4040, mesin waktu telah ditemukan dan legenda di Indonesia bisa dibuktikan kebenarannya. Manic adalah remaja dari masa lalu yang tergabung dalam kelompok penjaga legenda dengan markas bernama Cybertron. Mereka menjaga legenda agar tidak terjadi perubahan. Kelompok ini dipimpin oleh Tomang atau familiar sebagai Profesor Crypt.


Ide tentang adanya sekelompok orang yang bertugas menjaga sejarah agar tetap sebagaimana mestinya mungkin sudah banyak diangkat dalam banyak novel fantasi luar, seperti di History Keepers dan Time Riders. Tetapi, saat menyeleksi naskah ini dalam lomba #fikfanDIVA tahun 2013, ide ini masih terasa sangat segar bagi saya. Terlebih, apa yang dijaga oleh kelompok Cybertrons adalah legenda-legenda nusantara. Unik dan pasti bakal asyik banget baca novel fantasi yang memadukan konsep mesin waktu dengan legenda nusantara ini. Inilah salah satu hal yang bikin saya memilih naskah ini sebagai salah satu yang masuk rekomendasi untuk diterbitkan. Sayangnya, kisah tentang perjalanan waktu adalah tema yang sangat riskan jika tidak diolah dengan hati-hati. Banyak plothole yang siap menjebak penulis yang kurang waspada. Dan ini masih ditambah dengan jumlah halaman yang terbatas. Dalam lomba #fikfanDIVA, yang dicari memang novel tipis alias novelet. Halaman maksimal adalah 120 – 130, spasi ganda, TNR dengan ukuran 12 pts. Bayangkan betapa susahnya menulis sebuah novel utuh dengan jumlah halaman setipis itu. Temanya fantasi pula.

Keterbatasan ini yang membuat saya sedikit memaklumi naskah ini sehingga saya naikkan bintangnya jadi tiga terlepas dari sejumlah plothole yang muncul di dalam naskah ini. Terutama, tentang perjalanan waktu itu sendiri. Setting utama Cybertron adalah tahun 4040, dan tujuan perjalanan waktunya adalah ke masa lalu. Tetapi masa lalu yang dipilih di cerita ini adalah ke nusantara di zaman legenda. Pertanyaannya, apakah legenda Gunung Tangkuban Perahu dengan Dayang Sumbi dan Sangkuriangnya itu benar-benar terjadi di masa lalu sehingga bisa didatangi dengan mesin waktu? Tapi, pertanyaan ini mungkin sudah terjawab lewat blurb-nya meskipun masih kurang memuaskan. Pertanyaan yang kedua, perjalanan waktu yang terbaik adalah perjalanan waktu yang tidak mengubah apa pun, seperti yang dilakukan Hermione dengan alat pembalik waktunya. Ini agar tidak terjadi kontaminasi dalam sejarah sebagaimana yang dengan detail telah diupayakan dalam seri The Time Riders. Tetapi, dalam Cybertron, banyak sekali kontaminasi waktu yang terjadi, padahal kontaminasi itu terjadi untuk memastikan agar sejarah masa depan tidak berubah. Ini sebenarnya agak paradoksal.

Tapi, kita abaikan sejenak sejumlah bolong logika di novel ini untuk bisa menikmati novel ini. Jadi, di masa depan itu ada dua kelompok yang saling bersaing: Cybertron dan Story Thief. Yang bertama berupaya menjaga legenda-legenda nusantara sebagaimana adanya seperti yang kita kenal saat ini. Sementara, para Story Thief berusaha mengubah jalannya legenda nusantara demi mengubah masa kini dan masa depan agar sesuai dengan tujuan mereka. Nah para Story Thief ini berulah dengan menculik bawang putih agar tidak ketemu nenek yang baik, menyembunyikan tokoh yang menjadi sosok Batu Menangis, serta bikin Malin Kundang dan Sangkuriang menghilang entah ke mana. Paling gawat, mereka ikut campur dalam perang antara Kebo Iwa dan Gadjah Mada dalam upaya Majapahit menaklukan Bali. Campur tangan ini membuat Majapahit tidak eksis, sehingga nusantara yang bersatu tidak ada. Akibatnya, negara NKRI yang kita kenal saat ini pun tidak pernah ada. Bermain-main dengan waktu adalah hal yang sangat berbahaya.

Jadi, inti novel ini adalah pertarungan antara para anggota Cybertron dan The Story Thief dalam menjaga dan mengubah legenda. Sebenarnya mirip-mirip dengan novel sejenis yang terjemahan. Yang bikin menarik di novel ini tentu saja tokoh-tokohnya yang berasal dari legenda-legenda nusantara. Bayangkan Rorojongrang lari dan tak jadi dikutuk jadi patung. Atau, ibunda Malin Kundang yang ditawan oleh orang dari masa depan. Selain itu, penulis juga menampilkan ulang binatang-binatang mitologis dalam legenda nusantara, di antaranya lembuswana (binatang berkepala gajah bermahkota, memiliki sayap, serta dilengkapi taji tajam di kakinya) serta Orang Bati (mahkluk menyerupai manusia vampir dari Pulau Seram). Terlepas dari masih banyaknya kekurangan di novel ini, ide ceritanya sendiri sangat menarik, enak dinikmati, dan memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut dalam edisi lain yang lebih tebal dan lengkap. Editing buku ini juga sedikit bikin gemes, sungguh sayang untuk buku dengan tema menarik begini.

Istambul, Sebuah Memoar Orhan Pamuk

$
0
0
Judul: Istambul
Pengarang: Orhan Pamuk
Penerjemah: Rahmani Astuti
Cetakan: April 2015
Tebal: 561 hlm
Penerbit: Serambi

6218676

"Yang penting bagi seorang novelis bukanlah jalannya peristiwa, melainkan susunan peristiwa; dan yang penting bagi seorang penulis memoar bukanlah kecepatan faktual catatannya, melainkan ketepatan simetrinya."(hlm. 433)

Ternyata butuh waktu lebih dari satu tahun untuk bisa menyelesaikan membaca buku ini (baca buku aja sampai setahun lebih, apalagi nulisnya yak. Keren deh para penulis itu). Kenapa? Apakah karena tidak menarik? Bukan karena itu, tetapi karena nuanasa huzun atau kemurungan dalam buku ini yang kental banget. Buku ini sendiri adalah memoar dari Orhan Pamuk, penerima Nobel Sastra 2007. Walau memoar, tetapi buku ini sepertnya lebih banyak tentang Istambul itu sendiri. Pamuk sepertinya hendak mengandaikan dirinya dengan kondisi Istanbul yang semakin murung dari hari ke hari. Kota tua dengan peninggalan 2 era imperium besar ini (Bizantium dan Usmani) seperti sudah kehabisan tenaga setelah selama hampir 2.000 tahun menjadi salah satu pusat peradaban dunia. Istanbul di paruh kedua abad 20 adalah kota yang murung--seperti kata Pamuk. Ia mengibaratkan Istanbul sebagaimana dirinya.



"Semua peradaban sama tidak kekalnya dengan orang-orang yang sekarang berada di pemakaman. Dan sebagaimana kita pasti mati, kita harus menerima bahwa tidak ada jalan kembali pada peradaban yang telah datang dan pergi."(hlm. 165)

Orhan Pamuk berasal dari keluarga yang kaya raya. Kakeknya adalah pebisnis yang giat dan sukses, berhasil mewariskan kekayaan kepada keluarga Pamuk. Namun, anak-anaknya rupanya tidak meniru ayahnya. Ayah dari Orhan berkali-kali gagas dalam membuka bisnis, sehingga meskipun Orhan menghabiskan masa kecil dalam kelimpahan, selalu ada ketakutan bahwa harta warisan itu akan habis juga pada suatu titik. Ini seperti Istanbul pasca runtuhnya Kekhalifahan Ustmani. Euforia untuk menghapus segala yang Timur nan eksotis dan menggantinya dengan Barat yg modern malah membuat kota agung ini kehilangan karakter khasnya. Istanbul, sebagaimana warganya, kebingungan antara menjadi Timur atau Barat. Dan hasilnya adalah kemurungan yang menggelayuti kota ini.



Istambul bagi Pamuk kecil dan remaja ibarat orang tuanya yang sejati. Kota inilah yang secara perlahan turut membentuk kepribadian Pamuk dan juga warganya. Dalam memoar ini, Pamuk curhat tentang ayahnya yang sering pergi ke luar kota dan ke luar negeri untuk berbisnis, meninggalkan kedua anaknya dirawat oleh Istambul. Saat Pamuk telah dewasa, kota ini juga masih menjadi tempatnya melarikan diri ketika galau tengah menyapa, atau setelah pertengkaran dengan ibunya perihal niat Pamuk muda yang ingin jadi pelukis. Begitu kentalnya pengaruh Istambul pada Pamuk dan juga warga kota yang lain digambarkan di dalam buku ini dengan detail. Suasana murung kota ini terasa sekali ketika kita membaca lembar-lembar buku ini. Kota yang murung tetapi sekaligus perkasa, menyimpan sejarah dan juga tentunya banyak cerita nan luar biasa.

Menarik kiranya membaca bab-bab terakhir buku ini, yang menggambarkan Orhan muda sebagai pelukis. Hampir sangat sedikit tentang Orhan yang penulis di buku memoar ini, lebih banyak Orhan yang pelukis. Cita-cita awalnya memang ingin jadi pelukis. Dia tidak mau jadi arsitek sebagaimana keinginan orang tuanya. Kegalauannya ini semakin memuncak seiring dengan semakin bertambah usianya. Terutama juga, pengaruh dahsyat yang ditimbulkan mantannya terhadap masa depan Pamuk. Mungkin jika si mantan tidak muncul dalam kehidupannya, dan Pamuk tetap jadi pelukis, dunia tidak akan memiliki Orhan Pamuk yang penulis. Dan, Istambul juga tidak memiliki sang peraih Nobel Sastra yang begitu terinspirasi oleh kota tua tersebut.


Bagaimana ceritanya melukis menjadi penulis? Pamuk sepertinya menggunakan melukis sebagai upaya pelarian dari kegalauan dan kemurungan yang menderanya. Ketika sang ibu menasihati Orhan tentang cita-citanya yang kurang bisa menjamin masa depannya inilah Orhan mulai terpikir untuk beralih ke jenis pelarian yang lain. Setelah lukisan, dia menemukan kata-kata sebagai pelarian yang lain. Dalam pidato Nobelnya, penulis ini pernah bilang kalau dia menulis agar bisa merasa bahagia. Kiranya, inilah pelarian terbaik yang dipilihnya. "Aku tidak ingin menjadi pelukis, aku akan menjadi penulis," ujarnya menutup buku yang murung ini.

"... kesusastraan modern adalah bahwa tulisan yang hebat itu asli, otentik, dan jujur. "(hlm. 161)

Belajar dari Kisah Para Kucing

$
0
0
Judul: Tentang Kucing
Pengarang: Doris Lessing
Penerjemah: An Ismanto
Tebal: 255 hlm
Cetakan: 1, Desember 2016
Penerbit: Basabasi




"Menulis, penulis, tidak muncul dari rumah yang tak punya buku." (hlm. 236)

Buku 'Tentang Kucing' ini sedikit banyak mengingatkan saya pada Istambulnya Pamuk. Jika Pamuk menggunakan kota sebagai refleksi memoarnya, maka Lessing menggunakan kucing. Lebih tepatnya, menggunakan kucing-kucingnya. Ada banyak sekali kucing di buku ini jadi mungkin kalau dibaca sekaligus bisa bikin bosan. Tapi, Lessing menghadirkan cerita tentang kucing-kucingnya dengan cara yang istimewa. Pecinta kucing bakal manggut-manggut membaca tuturannya, sementara bahkan bagi yang bukan penyuka kucing pun akan terpikat oleh teknik bercerita Lessing yang serasa akrab sekali.

"Juru kisah ada di kedalaman diri kita. Juru kisah selalu bersama kita," begitu kata Doris Lessing. Bagaimana kita mengeluarkan dan menyalurkan potensi sang juru cerita dalam diri inilah yang membedakan yang nulis dan yang nggak nulis. Lessing membuktikan, ketika si juru cerita dalam diri terbangkitkan, maka apa pun cerita yang kita tulis akan terasa istimewa. Buku ini buktinya. Siapa sangka, cerita tentang kucing peliharaan bisa diolah jadi seluar biasa ini. Di tangan seorang penulis yang piawai, yang biasa selalu bisa jadi tulisan yang istimewa.


 Kucing dalam pandangan Lessing di buku ini sedikit banyak mengingatkan pada kisah-kisah manusia. Ada kucing yang anggun, pongah, dan sok istimewa seperti si Abu-abu. Ada juga kucing kelas dua yang tunduk pada kuasa kucing lain tapi tetap mempertahankan hak-hak istimewanya seperti si Hitam. Lalu, ada lagi kucing sisihan yang hanya mendapatkan apa yang tersisa dari kucing golongan pertama dan golongan kedua. Bukankah manusia juga demikian? Bukan berarti manusia itu sama kayak kucing loh, hanya saja Lessing mampu menghadirkan cerita kucing-kucingnya yang sekaligus mengingatkan kita bahwa manusia terkadang mendapatkan penggolongan yang serupa.

Ada tiga cerita tentang kucing di buku ini. Cerita pertama, Khusus Tentang Kucing, adalah yang paling panjang sekaligus paling menarik. Awalnya saya mikir bakalan bosan baca cerita beginian. Masak nyeritain kucing aja sampai 157 halaman! Di bab-bab awal kebosanan itu datang, tapi cakar-cakar si kucing dalam cerita perlahan menjerat perhatian saya lewat kisah-kisah mereka. Seperti kucing saja, kisah pertama ini seperti kucing yang menggoda kita dengan elusan ekornya, dengkuran rendahnya yang menenangkan, serta polh lincahnya yang bikin gemas. Tahu-tahu, kisah tentang si abu-abu dan si hitam berhasil menjerat saya untuk membaca sampai tuntas. Tidak disangka, cerita tentang kucing bisa begitu menarik begini. Di cerita pertama ini pula Lessing sedikit banyak berkisah tentang masa kecilnya hingga membentuknya menjadi penulis yang seperti sekarang.

Cerita kedua lebih pendek dan lebih berwarna, kucingnya juga beda. Mungkin bagian ini berasal dari masa-masa dewasa Lessing yang lebih kini. Tulisannya kembali membuat pembaca merenung tentang kucing, dan betapa kita bisa belajar lebih bijaksana dari kehidupan seekor eh dua ekor kucing. Bagaimana orang dewasa memperlakukan kucing juga berbeda-beda, ada yang baik dan penuh kasih sayang, ada juga yang merasa iba tapi ‘mau-gimana-lagi-tapi-saya-tidak-bisa-menerimamu-meski-kamu-lucu’. Kisah tentang dua kucing yang bertahan hidup menjadi cerita terakhir buku ini, yang mengingatkan kita pada tulisan-tulisan dari Amerika Latin tentang manusia ketika ditulis dari sudut pandang yang unik. Kucing—seperti juga manusia—juga memiliki keinginan untuk bertahan, juga untuk menyerah.

Bonus dari buku ini adalah satu bab terakhir berisi Pidato Nobel Doris Lessing 2007. Dikisahkannya sebuah cerita dari pelosok Zimbabwe, sekelompok orang tengah menanti pembagian jatah air. Pemandangan biasa di pedalaman Afrika: wanita-wanita kurus kering menjinjing wadah air dar plastik, muka-muka berdebu dengan pandangan cekung, anak-anak kurus yang mengerumuni ibunya demi meminta seteguk air di tengah embusan debu gurun yang kering kerontang. Tetapi ada satu hal yang tidak biasa: salah satu wanita itu tengah membaca sehelai kertas yang tampaknya disobek dari sebuah buku. Perempuan itu sedang membaca Anna Karenina. Membaca sebuah cerita bahkan dari buku yang dia tidak pernah atau belum membaca keseluruhan cerita, ini membantunya bertahan melawan kerasnya kehidupan. Selembar tulisan ini juga yang membuatnya bertekad untuk menyediakan buku bagi anak-anaknya kelak, meskipun dirinya belum diberi kesempatan menikmati membaca buku. Wanita seperti inilah, dan juga mereka yang masih membicarakan buku serta pendidikan meskipun sudah tiga hari mereka belum makan, yang lebih pantas diganjar penghargaan sekelas Nobel Sastra.

"Cerita-cerita kitalah yang akan menciptakan ulang diri kita, ketika kita compang-camping, terluka, atau bahkan hancur. Phoenix kita adalah sang juru kisah, sang pencipta mimpi, sang pencipta mitos, yang merepresentasikan diri kita yang terbaik dan yang paling kreatif." (hlm. 250)

Petualangan Keren Mencari Palu Thor

$
0
0
Judul: Magnus Chase and the Gods of Asgard, Palu Thor
Pengarang: Rick Riordan
penerjemah: Reni Indardini
Peyunting: Yuke Ratna P
Tebal: 588 hlm
Cetakan: 1, November 2016
Penerbit: Noura Books

 33224375

Setelah dibuku pertama kita diajak kenalan sama Magnus, Valhala, dan dewa-dewi Nordik yang lebih sering bikin jengkel ketimbang bikin hormat, Magnus Chase dan Sam datang lagi mengajak kita bertualang. Kali ini, tujuan perjalanan (atau misi) mereka adalah mencari senjata magis yang menjadi judul buku ini: palu Thor. Yang sudah baca buku pertama tentunya sudah hapal dengan tabiat dewa-dewi dari bangsa Aesir ini: gesrek parah. Odin yang kepo banget dengan hp keluara terbaru (Nokia, pabriknya ada di Finlandia yang merupakan salah satu wilayah Viking dulu) serta Thor yang lebih sering menggunakan palunya untuk menonton episode terbaru serial BBC Channel; masih bakal temukan lagi satu lagi dewa gesrek di buku kedua ini. Nah, ceritanya, palu Thor ini hilang. Jadi Magnus dan Samirah ditugaskan untuk mencari tahu dan sekalian menemukan palu keramat ini. Dan mereka kudu bergegas menemukannya atau Thor bakalan ketinggalan episod terbaru Goblin eh salah, atau kaum raksasa akan nekat menyerang Midgard (dunia manusia).

Tidak ada palu. Tidak ada palu. Ini aku dengan Beyonce, tapi tidak ada palu."(hlm. 317)


Ada sembilan dunia dalam mitologi Nordik, dan kesembilan dunia ini saling terhubung oleh Yggdrasil (pohon dunia). Cek lampiran di halaman belakang untuk mengetahui nama-nama kesembilan dunia tersebut dan siapa saja penghuninya. Kenapa? Karena di buku kedua ini Magnus dengan kurang kerjaannya akan membawa pembaca mempertaruhkan nyawa mereka ke Alfheim, Jotunheim, dan juga Helheim. Petualangan baru, tetapi masih dengan teman-teman se genk yang lama:  Magnus yang Seorang einherjar (demigod ala Nordik), Samirah al Abbas satu-satunya valkyrie berhijab,  Heart (peri tunarungu yang jago merapal sihir rune), serta Blitz (kurcaci paling modis di sembilan dunia). Plus, mereka ketambahan satu anggota lagi yang unik. Kombinasi para jagoan magis yang pastinya siap menjanjikan petualangan seru bagi pembaca. Yah, kalau memang ditembak polisi peri, dicemplungin dalam kaleng acar para raksasa, naik kuda terbang yang akan tetap terbang ngebut meskipun penunggangnya ketinggalan di tanah, serta menerobos tanah menuju inti Bumi yang membara bisa disebut sebagai petualangan yang mengasyikan. Damn it, saya ketularan nyinyirnya si Magnus.

Kembali di palunya Thor, tanpa palu sakti bernama Mjolnir ini, musuh-musuh Asgard yang dikomandoi oleh para raksasa bisa besar kepala dan lalu menyerang. Dalam penglihatan Dewa Heimdall (Dewa Kewaspadaan dan Penjaga Gerbang Menuju Asgard) atau sebut saja dewa teropong, para raksasa sudah berderap di sepanjang perbatasan dengan Midgard. Tinggal tunggu waktu saja sebelum gerombolan perusak suasana ini muncul di tengah-tengah Boston dan mengamuk. Thor juga bakal semakin senewen karena nggak bisa marathon nonton serial Friends, yang ini sepertinya lebih gawat ketimbang segerombolan raksasa yang mengamuk. Dari petunjuk yang ada, yang diberikan sesosok misterius entah siapa, Magnus dkk diberi tahu kalau palu Thor dicuri. Loki juga memberikan bisakan tipu-tipu dalam mimpi Magnus, dia bilang kalau palunya udah ketemu tetapi pihak pencuri meminta dibawakan calon mempelai perempuan serta maskawin untuk ditukar dengan Mjolnir. Mas kawinnya apa? Ternyata pedang magis bernama Skofnung yang bikin si Jack (pedangnya Frey, milik Magnus) suka caper.

"Pengetahuan selalu bermanfaat."  (hlm 433)

Jadi, ini cerita awalnya mau cari palu, tetapi kudu cari pedang dulu. Ya sudah, mereka cari pedangnya dulu. Dan, karena ini semua bisikan dari Loki maka bisa ditebak kalau ini semua adalah jebakan. Yah, apa lagi sih yang bisa diharapkan dari dewa kelicikan selain kelicikan. Pedang Skofnung ini baru awal. Dari penjara abadinya yang mengerikan, Loki telah mengatur siasat licik yang tak diduga-duga siapa pun. Tapi, lupakan dulu Loki. Daripada senewen, mending kenalan sama Alex yang menjadi orang kelima di kelompok magical grup ala  nordik ini. Namanya Alex. Sama seperti Sam, Alex ini adalah anaknya Loki dan dia punya keunikan lain: gender fluid. Alex ini satu hari adalah seorang cowok, tapi esok paginya dia berubah jadi cewek, tapi dia bukan banci. Alex adalah seorang Argr. Cek sendiri ya apa makna nya di buku ini. Selain Alex, yang menguasai buku ini adalah Hearth dan Samirah. Bisa dibilang, Magnus bukanlah tokoh utama di buku kedua ini karena Om Rick rupanya ingin menaruh porsi lebih banyak pada teman-temannya. Terutama di peri pendiam, Heartstone, kita akan tahu lebih banyak tentang siapa peri bisu yang keren ini sekaligus berkunjung ke dunianya. Lalu, yang semakin menakjubkan untuk dibahas adalah tentang Samirah al Abbas.

"Sempat-sempatnya kau berdoa pada saat seperti ini?"kata Magnussaat diminta mengawasi Sam saat sedang dzuhur. Samirah tertawa tanpa nada humor."Pertanyaan sebenarnya, bisa-bisanya aku tidak berdoa saat seperti ini."(hlm. 186)

Selain sebagai satu-satunya valkyrie berhijab, Sam juga tidak pernah lupa sholat lima waktu. Kecuali kalau sedang tidak dikejar raksasa atau mayat hidup, Sam selalu berusaha sholat lima waktu secara tepat waktu. Apa kabarnya kita yang Subuhan saja sering jam setengah enam ya hadehhh. Lewat persona Sam ini juga, Rick seperti hendak menyuarakan posisinya terkait dewa-dewi. Jika entitas-entitas seperti Thor dan Odin benar ada, lalu bagaimana dengan agama-agama yang kita anut. Dengan bijak, Samirah menjawab pertanyaan membingungkan ini: "Dewa-dewi bukanlah Tuhan yang Maha Esa, mereka hanya entitas dengan kekuatan yang luas biasa, tetapi mereka bukan Tuhan." Ini diperkuat dengan pengakuan tunangan Sam yang sempat mengalami culture shock setelah dia dibawa lewat jembatan bifrost. "Siapa saja yang befoto selfie sebanyak itu dengan pedang dan tanduk domba ..." ck ck ck. Secara umum, buku kedua seri Magnus Chase ini sama asyiknya dengan buku-buku Om Rick yang lain. Hanya saja, formula yang sama jika digunakan lama-lama juga bikin lumayan bosan (meskipun tetap menarik). Ini tampak pada sejumlah celetukan Magnus dkk yang tetap lucu tapi ya masih begitu-begitu saja. Bagusnya, kita jadi semakin mengenal tentang mitologi Nordik yang ternyata tidak kalah keren dengan Yunani, Mesir, atau Romawi. Kreativitas penulis dalam mengolah mitologi benar-benar layak diacungi jempol.

Perlawanan Sunyi Para Pengungsi Omega

$
0
0
Judul: The Map of Bones (The Fire Sermon #2)
Pengarang: Fransesca Haig
Penerjemah: Reni Indardini
Tebal: 572 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2016
Penerbit: Mizan Fantasi

32767826



Sekitar empat ribu tahun di masa depan, dunia porak-poranda akibat perang nuklir yang membakar habis peradaban. Seluruh kebudayaan musnah beserta sebagian manusia penghuninya. Sisanya, manusia-manusia yang selamat harus memulai semuanya dari nol sambil menghiruo udara serta meminum air yang penuh radiasi nuklir. Sejarah bumi lenyap, orang-orang hanya tahu masa Sebelum Detonasi dan Sesudah Detonasi. Selain menghancurkan peradaban, perang nuklir juga menghasilkan efek samping yang sangat mengerikan. Semua bayi yang lahir Setelah Detonasi terlahir kembar. Satu bayi sempurna dan satu bayi yang mengalami cacat. Bayi yang terlahir sempurna ini lalu disebut kaum Alfa sementara kembarannya yang tak sempurna masuk golongan Omega. Uniknya, setiap kembaran dipersatukan oleh ikatan yang sangat erat. Alfa dan Omega lahir dan mati secara bersamaan. Ketika yang satu mati, maka kembarannya akan ikut mati. Jika si Omega mati karena dibunuh atau sakit atau kecelakaan, maka kembarannya si Alfa juga akan ikut-ikutan mati—meskipun saat itu fisiknya dalam kondisi prima. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya: si Alfa mati, maka kembaran Omeganya juga ikut mati.

“Keberanian jenisnya macam-macam.”(hlm 535)
Dalam buku pertama, The Fire Sermon, dikisahkan tentang penindasan yang dilakukan golongan Alfa kepada kaum Omega. Dewan Alfa sudah menetapkan bahwa antara Alfa dan Omega harus dipisah sejak anak-anak. Kaum Omega yang cacat lalu dicap dengan lambang omega di dahinya, lalu ditindas semena-mena oleh kaum Alfa. Keberadaan kaum Omega yang cacat menjadi momok bagi kaum Alfa sehingga mereka menekan, menjauhi, bahkan menindas kaum Omega. Cass dan Zach adalah kembar Omega – Alfa yang dipisah sejak anak-anak. Keduanya lalu tumbuh dewasa di pihak berlawanan, dan saling memusuhi. Dalam buku pertama, pembaca telah menyaksikan pembantaian kaum Alfa terhadap kaum Omega di Pulau. Tetapi, Cass juga berhasil menghancurkan rencana Zach yang hendak mengurung para omega dalam tabung cairan. Bagi kaum Alfa, mengurung kembarannya dalam cairan yang disokong mesin pendukung kehidupan adalah alternatif terbaik untuk menjaga kembaran Omeganya tetap hidup. Tetapi, bagi kaum Omega yang dicelup dalam tabung, mereka harus mengalami penderitaan tak terpeti, serasa hidup segan mati pun tak mau. Sudah saatnya Omega melawan. Walau hanya bersenjata kapak usang, kayu tumpul, besi melengkung, dan nyanyian sunyi; kaum Omega maju berjuang.

“Kekerasan tidak menghasilkan perubahan nyata yang permanen.” (hlm. 302)

Cass dan kaum Omega lainnya sudah muak ditindas. Dan di The Map of Bones ini mereka melanjutkan perlawanannya di dunia yang sudah terlalu dikuasai kaum Alfa. Bersama Piper dan Zed, ketiganya bertualang mencari para Omega yang tersisa untuk kembali mengobarkan perlawanan terhadap tirani Alfa. Mesin tabung temuan Zach semakin menguatkan tekad mereka. Kaum Omega harus melawan, lebih baik mati dalam pertempuran ketimbang dibiarkan sekarat dalam tabung.  Perjuangan belum berakhir. Diawali dengan menemukan Sally, mantan anggota Resistance yang legendaris karena berhasil menyusup ke lingkaran dalam Dewan Alfa dan masih bisa kabur hidup-hidup dari sana. Sally ini walau sudah sepuh, tetapi legendanya menjadikan kaum Omega hormat kepadanya. Sally juga yang membantu Cass dkk dalam menjalankan rencana-rencana mereka melawan Dewan Alfa.

“Tidak ada salahnya diperhatikan oleh orang lain.” (hlm 130)

Banyak ulasan menyebut buku kedua trilogi The Fire Sermon ini muram dan datar. Kisahnya memang cenderung datar, dengan begitu banyak peristiwa sederhana yang diceritakan berpanjang-panjang sementara adegan perangnya hanya muncul satu dua kali. Muram juga karena pembaca terus menerus disodori Cass yang galau berat akibat terawangan yang diterimanya, serta beban rasa bersalah yang menghimpitnya. Tetapi, novel ini ditulis dengan luwes. Kalimat dan paragrafnya—kalau bukan indah—terasa rapi dan halus. Meluncur halus mungkin ungkapan yang  tepat untuk novel ini. Alurnya lambat tetapi tidak membosankan, bisa dinikmati. Nyatanya saya hanya butuh dua hari membacanya, padahal baca Magnus Chase 2 saja sampai seminggu. Dan walau adegan perkelahiannya sedikit, tetapi penulis tidak tanggung-tanggung dalam mendeskripsikannya. Adegan pertempuran seperti digelar seutuh-utuhnya di depan mata pembaca. Darah tumpah, tebasan pedang, tusukan anak panah, darah yang membanjir. Ini buku kalau nggak muram ala musim dingin ya berdarah-darah ala peperangan—tetapi dalam artian yang seru untuk dibaca. 

“Sama sekali tak ada unsur keindahan dalam berkelahi.” (hlm. 71)

Ada alasan mengapa buku ini lambat. Banyak pertanyaan yang muncul di buku pertama coba dijawab penulis. Tentang bagaimana Zach bisa membuat tabung-tabung mengerikan itu, tentang apa yang sebenarnya menimpa Bumi pada masa Sebelum, tentang adanya Tempat Lain, tentang ledakan yang terus menerus muncul dalam terawangan Cass, juga tentang Bahtera yang konon menyimpan informasi dari masa Sebelum. Cass juga akhirnya menemukan jawaban atas sikap dingin Zed  kepadanya. Hubungan Piper dan Cass juga makin tegas di sini. Akankah Piper menjadi pengganti Kip? Membaca buku ini membawa rasa kepuasan tersendiri, sulit untuk tidak jatuh cinta pada karakter-karakternya, juga pada dunia paskaapokaliptik, serta cara menulis penulis yang halus. Romancenya terhitung minimal untuk buku setebal ini. Dan, yang terpenting, nilai-nilai kemanusiaan yang tersirat dalam ceritanya akan mengubah persepsi pembaca tentang menjadi manusia dan bagaimana memanusiakan manusia. Terjemahannya juga apik sekali. Saya selalu suka sama model terjemahan ala mbak Reni Indardini yang kayak gini.

“Kau mau bertarung, sekalipun kau melihat kita kalah. Kau sudah tahu sedari awal dan kau tetap saja berdiri di sini, siap untuk berjuang. Itu dia yang namanya harapan.” (hlm. 263)


Viewing all 469 articles
Browse latest View live