Quantcast
Channel: Baca Biar Beken
Viewing all 469 articles
Browse latest View live

Belajar Mengajar dari Negeri-negeri Timur

$
0
0
Judul: Metode Mengajar ala Tiongkok dan Jepang*
Penulis: Nikola Dickyandi
Tebal: 191 halaman
Cetakan: Pertama, Maret 2016
Penerbit: DIVA Press

 






Tiongkok dan Jepang adalah dua negara di kawasan Asia yang reputasinya telah mendunia. Kedua sama-sama disegani sebagai kekuatan baru di dunia karena kemajuan yang mereka tunjukkan di berbagai bidang. Kemajuan kedua bangsa ini tentu tak bisa dilepaskan dari tingginya kualitas pendidikan yang diterapkan di sana. Sejak lama, kualitas pendidikan di kedua negeri ini memang telah disejajarkan dengan di negara-negara di Barat. Lalu,  faktor-faktor apa yang menjadikan kualitas pendidikan di dua negara ini sangat baik dan bermutu tinggi? Buku ini mencoba menjawabnya.

Baik Jepang maupun Tiongkok, keduanya ternyata menerapkan sistem pendidikan yang cukup maju. Walau begitu, ada perbedaan antara keduanya. Ini tentunya terkait dengan sejarah kedua bangsa yang juga berbeda. Bangsa Tiongkok yang memiliki peradaban berusia ribuan tahun sejak dulu telah termasyhur sebagai salah satu pusat pendidikan terbaik di dunia. Bahkan, Nabi Muhammad Saw. pun menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Tiongkok. Ini menandakan bangsa Tiongkok memang telah terbukti kualitas pendidikannya. Bagi rakyat Tiongkok, pendidikan merupakan hal wajib karena kesesuaiannya dengan filsafat yang mereka anut. Mereka belajar harus dilakukan sepanjang hayat. Proses belajar hanya bisa terhenti ketika seseorang telah meninggal. "Pendidikan ibarat mesin yang mengarahkan dunia kepada kebenaran sehingga harus dikejar sampai mati," demikian sabda Kong Hu Cu. Karena sebagian besar warganya adalah penganut Kong Hu Cu, tidak heran jika pendidikan mendapatkan posisi istimewa di Tiongkok.

Sejak ribuan tahun lalu, bangsa Tiongkok telah mengadakan seleksi pegawai negeri untuk mendapatkan calon pejabat yang benar2 berkualitas. Di Tiongkok kuno, siapa pun bisa menjadi pegawai kekaisaran sepanjang mereka bisa lolos dalam ujian penyaringan pegawai negeri. Semua pemuda yang cerdas (tidak peduli dari golongan masyarakat kaya atau miskin) berhak mengikuti ujian pegawai negeri di Tiongkok kuno. Ini sejalan dengan ajaran Konfusius yang tidak memperbolehkan seseorang memandang asal-usul, strata sosial, atau pangkat. Keunikan sistem pendidikan di Tiongkok kuno adalah siswa wajib belajar dari kitab-kitab Konfusius yang berisi aneka topik pembahasan. Kitab-kitab ini berisi beragam prinsip keilmuan yang disajikan dalam bentuk kisah dan tulisan sastra, termasuk ilmu pasti dan ilmu perang. Konon, ketika seorang siswa lolos dalam seleksi tahap pertama, dia akan dibebaskan dari membayar pajak. Demikian di Tiongkok kuno. Ini menunjukkan betapa bangsa Tiongkok sudah menyadari pentingnya pendidikan, bahkan sejak zaman Dinasti Han, lebih dari 2000 tahun lalu. Keunikan lain, siswa dianjurkan untuk menghafalkan kitab-kitab tersebut dan didorong untuk menuangkan kembali dalam bentuk puisi. Ini rupanya mengapa di film-film silat Tiongkok kita sering melihat adegan siswa menghafal sambil memutar kepalanya, seraya berpuisi. Unik!

Bagaimana dengan sistem pendidikan di Tiongkok di era modern? Apakah masih menerapkan sistem hafalan seperti ribuan tahun sebelumnya? Agak berbeda dengan di zaman kuno, pendidikan di era Tiongkok modern lebih mengedepankan pada penguasaan materi dan keterampilan. Kurikulumnya lebih berorientasi pada siswa melalui diskusi, mendorong cara berpikir yang inovatif, serta lebih mengedepankan kualitas. Sistem pendidikan lewat hafalan dan PR dalam jumlah banyak sudah mulai ditinggalkn di Tiongkok, siswa diarahkan pada materi bersifat praktik. Sejumlah sekolah di Tiongkok juga mewajibkan siswa untuk berolah raga fisik, paling tidak satu jam sebelum pelajaran dimulai. Keseimbangan lahir dan batin, pikiran dan tubuh, ilmu pengetahuan dan keterampilan praktis, yin dan yang selalu menjadi perhatian mereka.
Bagaimana dengan Jepang? Jika dibanding Tiongkok, awal kemajuan pendidikan di Jepang tertinggal jauh, yakni saat Restorasi Meiji (1886). Sebelum Restorasi Meiji, Jepang adalah bangsa yang menutup diri pada dunia luar, kuno, miskin, dan gelap di bawah rezim Tokugawa. Setelah Restorasi Meiji, Jepang membuka diri pada bangsa luar--terutama Barat--langsung tergerak untuk belajar dan mengejar ketertinggalan. Hanya dalam waktu 50 tahun setelah Restorasi Meiji, Jepang menjelma menjadi sebuah negara maju dan disegani dunia. Kemajuan ini tentu tidak bisa lepas dari sistem pendidikan bangsa Jepang yang khas sekaligus unik, berbeda dari bangsa-bangsa lain. Setelah Restorasi Meiji, Jepang mulai giat mengirimkan pelajarnya ke luar negeri untuk mendalami beragam ilmu pengetahuan. Para pemuda Jepang ini kemudian kembali ke Jepang setelah lulus untuk menerapkan dan bahkan menyempurnakan ilmu yg mereka dapat. Upaya ini terbukti berhasil dengan bangkitnya Jepang menjadi negara yang setara dengan negara-negara Barat hanya dalam waktu 50 tahun.

Walaupun terbilang terlambat bila dibanding pendidikan di Tiongkok, namun kualitas pendidikan mereka juga tidak kalah. Pendidikan di Jepang mulai bangkit lewat gerakan Restorasi Meiji tahun 1866-69 yang menyadarkan mereka untuk bergerak mengejar Barat. Restorasi Meiji ini ibarat Renaisance bagi bangsa Barat, yang mendorong bangsa Jepang bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Salah satu efek positif Restorasi Meiji tampak pada sistem pendidikan mereka yang semakin maju, menjadikan warganya kreatif dan cerdas. Amerika Serikat bahkan mendatangkan guru2 dari Jepang. Keunggulan pendidikan di Jepang dibuktikan dengan produk-produk mereka yang bisa ditemukan di hampir semua penjuru dunia. Jepang juga terkenal sebagai bangsa berteknologi tinggi, kreatif, juga inovatis. Tingkat pengangguran pun sangat rendah di sana. Sampai saat ini, sudah ada 22 warga Jepang yang tercatat sebagai penerima hadiah Nobel dari berbagai bidang. Kunci keberhasilan pendidikan di Jepang salah satunya adalah siswa dikenalkan juga dengan beragam bidang pengetahuan dan penerapannya. Tahun 1990, tingkat melek huruf bangsa Jepang mencapai 98% sebelum akhirnya negeri itu terbebas dari buta huruf pada tahun 2000. Rahasia majunya pendidikan Jepang: Wajib belajar 9 tahun, satu sekolah untuk setiap 600 penduduk, dan membangun 32 sekolah, 1 Perguruan Tinggi tiap daerah.

Bangsa Jepang juga sangat menghargai profesi guru. Hanya guru-guru yang benar-benar berkualitas saja yang dibolehkan mengajar. Ketika Sekutu menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, Jepang mengalami kerusakan dan kekalahan yang hampir total. Hal pertama yang ditanyakan Kaisar Hirohito setelah Jepang di bom atom adalah "masih ada berapa orang guru yang selamat dari perang?" Kaisar bahkan langsung bergerilya untuk mendatangi guru-guru yang masih selamat, memberikan arahan untuk bangkit dari keterpurukan. Salah satu titah Kaisar Hirohito saat itu adalah para guru harus melaksanakan pendidikan yang bermutu kepada bangsa Jepang seusai perang. Titah Kaisar ini benar-benar dipatuhi, para guru sedemikian bersemangat membangun kembali negaranya lewat jalur pendidikan. Pemerintah pun menjamin kesejahteraan para guru, dan semua rakyat mendapatkan pendidikan terbaik dengan biaya murah. Jepang juga menerapkan Rainbow Plan, yang salah satunya membatasi jumlah siswa per kelas yang tidak boleh lebih dari 20 anak.

Keberhasilan pendidikan di Jepang tidak bisa dilepaskan juga dari minat baca mereka yang tinggi. Masyarakat Jepang gemar sekali membaca. Untuk siswa-siswi yang kurang suka membaca buku teks, Pemerintah Jepang berbuat kreatif dengan meluncurkan komik buku pelajaran. Luar biasa. Selain siswa tidak mudah bosan, buku pelajaran berbentuk komik juga menyajikan efek visual yang mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Inilah salah satu sebab mengapa bangsa Jepang gemar sekali membaca, karena pemerintahnya memang mendorong rakyatnya gemar membaca. Sekolah-sekolah di Jepang sejak dini mewajibkan siswa membaca buku apa saja di perpustakaan sekolah selama 10 menit sebelum pelajaran. Kewajiban membaca ini awalnya memang dipaksakan, tapi kemudian menjadi sebuah kebiasaan baik yang terbukti sangat bermanfaat bagi Jepang. 

 *Dimuat di Tribun Jogja edisi 14 Agustus 2016.

Buku Kedelapan Harry Potter

$
0
0


Title: Harry Potter and the Cursed Child - Parts I & II (Harry Potter, #8)
Author: J.K. Rowling, Jack Thorne & John Tiffany
Publisher: Little, Brown
Pages: 343 pages
Format: Hardcover
Published: July, 2016



Setelah bertahun-tahun, dengan diselingi dengan munculnya beragam fanfic lanjutan tentang kisah Harry Potter, Tante JK. Rowling dengan resmi memilih dan merilis satu seri lanjutan dari serial penyihir kesukaan dunia ini. Mungkin dengan tujuan agar tidak melanggar sumpahnya untuk tidak lagi menulis tentang Harry Potter, Rowling menyiasatinya dengan menulis versi dramanya. Dengan kata lain, buku ini sama sekali bukan novel seperti 7 buku Harry Potter sebelumnya. Buku ini ibarat naskah drama yang dibukukan. Dalam menyusun naskah yang kemudian dipentaskan ini, Rowling bekerja sama dengan John Tiffany dan Jack Thorne untuk menulis buku yang kemudian resmi dirilis sebagai buku seri Harry Potter yang kedelapan.
Karena digarap bertiga, tentunya ada sedikit rasa yang berbeda saat membaca buku ini. Juga, karena ini drama, kita tidak akan menemukan narasi-narasi panjang khas Rowling tentang dunia sihir yang menakjubkan itu. Sebagaimana umumnya drama, buku ini lebih mementingkan alur dan adegan ketimbang latar, jadi akan lebih banyak aksi dan percakapan ketimbang narasinya. Pembaca juga harus siap diajak loncat-loncat antar adegan, kadang dengan kecepatan yang mengejutkan. Sekali lagi perlu diingat, ini naskah drama dan bukan novel, tapi kita tetap bisa menikmatinya sebagaimana menikmati novel—hanya saja lebih cepat dan lebih ringkas.  

Alkisah, 19 tahun setelah cerita di buku ke-7, Harry Potter tengah mengantarkan anak-anaknya naik Hogwart Express. Putra keduanya, Albus Severus Potter (yang sudah baca buku ke-7 pasti masih ingat adegan memorable ini) bertanya kepada sang ayah, bagaimana jika Topi Seleksi memasukkannya ke asrama Slytherin. Sang ayah menenangkan putranya bahwa tidak masalah seandainya pun Albus masuk Slytherin, karena nama tengahnya diambil dari nama kepala asrama Slytherin paling berani yang pernah dikenalnya. Dan coba tebak, Topi Seleksi memang memasukkan Albus ke asrama dengan lambang warna hijau itu #spoiler.

“I know what you got in there. Slytherin, Gryffindor, whatever label you’ve given—I know—know that heart is a good one.” (hlm. 328)

Susah untuk mengulas buku ini tanpa spoiler, karena sejak awal memang banyak hal mengejutkan yang akan kita temukan. Banyak juga jawaban yang petunjuknya diberikan di buku ini sehingga bisa sedikit mengobati kerinduan kita akan seri Harry Potter. Tokoh utama di buku ini mestinya juga sudah bisa ditebak, yakni Albus. Dan, di buku ini dia akan punya teman karib yakni si anu, dan harus melawan musuh yang ternyata adalah itunya si ini dan lalu begini dan begitu. Petunjuk utama, mereka akan bertualang dengan Time Turner atau alat pembalik waktu yang dulu pernah digunakan Hermione di buku ketiga. Secara garis besar, isi buku ini dapat dirangkum oleh kata-kata Dumbledore yang--seperti biasa--sangat dalem itu:

“Harry, there is never a perfect answer in this messy, emotional world. Perfection is beyond the reach of humankind, beyond the reach of magic. In every shining moment of happiness is that drop of poison: the knowledge that pain will come again. Be honest to those you love, show your pain. To suffer is as human as to breathe.”

Satu lagi, tokoh utama yang akan membuat pembaca jatuh cinta di buku ini bukan Albus, namun kawan karibnya yang ternyata adalah anaknya si itu. Tokoh-tokoh lama yang dulu saling benci akan saling dipertemukan kembali di buku ini untuk bekerja sama menyelamatkan dunia yang sekali lagi berada dalam ancaman dikuasai oleh sihir gelap. Makin ke belakang makin seru, dan persahabatan antara kedua anak utama di buku ini pokoknya awww banget! Lalu, siapa sebenarnya si Anak yang Terkutuk? Ya itu, anaknya si anu yang ternyata begini begitu. Apakah dia yang jadi sahabatnya Albus? Siapakah sebenarnya si musuh dalam selimut? Silakan baca spoiler-nya di Goodreads. Walau tidak seutuh seperti saat membaca versi novelnya, buku ini bisa menjadi obat kangen yang cukup menyenangkan bagi para fans Harry Potter. 

“… but the lesson even your father sometimes failed to heed is that bravery doesn’t forgive stupidity.” (hlm. 215)

*Maafkan, ulasan buku kali ini sangat tanggung demi untuk menghargai para pembaca yang belum membaca buku ini. Tampaknya,spoileruntuk buku ini berpotensi bakal mengurangi kenikmatan serta keseruan para pembaca. Untuk ulasan lebih lengkap, silakan bisa dibaca  sendiri ulasan penuh spoilernya di Goodreads. You have been warned!*

Mengenalkan Dunia Menulis Sejak Dini

$
0
0
Judul: Nulis itu Gampang
Penulis: Rien DJ
Penyunting: Ayu Wulan
Sampul: Andhi Rasydan
Cetakan: 1, November 2015
Tebal: 144 hlm
Penerbit: Indiva Media Kreasi


27870167

Buku ini untuk kalian yang mencintai kata
Kalian yang ingin mengikuti tradisi para ulama
Kalian yang ingin berbagi kebaikan dengan tulisan
Kalian yang ingin menginspirasi pembaca
Kalian yang ingin mengubah dunia dengan kata-kata. (hlm. 3)

Saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan berbagai buku panduan menulis di pasaran. Mulai dari panduan menulis untuk pemula hingga buku mudah menulis fiksi, semua ada. Pembaca Indonesia saat ini benar-benar memiliki beragam pilihan judul buku dalam hampir semua tema, termasuk dalam menulis. Sayangnya, buku menulis yang khusus ditulis bagi anak-anak masih sangat jarang. Setahu saya, baru ada satu buku dengan tema ini yang digarap dengan cukup bagus, yakni Teknik Menilis Cerita Anak karya Titik W.S dkk (2003) yang diterbitkan Pink Books bekerja sama dengan Pusbuk. Karena itu, ketika Mbak Rien DJ
menerbitkan buku terbarunya ini, saya langsung pesan. Walau kenyataannya, saya baru benar-benar mendapatkan buku bagus ini hampir setahun kemudian. Saya membeli buku ini  langsung ke penulisnya setelah berbulan-bulan lupa terus setiap kali mau beli ini buku di TM. 



Isinya padat dan ringkas, cocok untuk bacaan anak-anak SD - SMP yang ingin mengetahui seluk-beluk dunia kepenulisan. Saya rasa, buku ini juga cocok dibaca anak SMA dan kuliahan karena bahasanya tidak 'kekanak-kanankan' . Info-info standar dalam dunia menulis (mencari ide, membuka cerita, memilih judul, hingga bikin twist) dibahas dengan cukup memadai, walau beberapa kurang mendalam. Pertimbangannya mungkin karena buku ini ditujukan untuk pembaca anak-anak sehingga pembahasan yang terlalu detail dan mendalam malah akan membuat mereka bingung. Dalam beberapa bab, buku ini lebih seperti menyemangati anak-anak untuk berani menulis dulu.

Mbak Saptorini yang pembaca romance ini ternyata piawai banget menulis untuk anak-anak. Mungkin karena sudah punya anak kali ya sehingga bahasa tulisnya enak banget, bikin ceria, dan gampangg dipahami gitu meskipun yang dibahas sedang berat macam menjelaskan tentang setting atau plottwist. Saya yang amatir ini aja bisa mencerna, apalagi anak-anak kekinian yang pasokan gizinya terjamin itu. Sebagai buku pengantar, buku ini cocok sekali dibaca mereka yang ingin mulai menulis dari nol, termasuk orang dewasa sekali pun dapat membacanya. Untuk teman-teman yang membutuhkan materi kepenulisan untuk tingkat pemula, buku ini bisa dijadikan salah satu referensi yang memadai. Sekolah-sekolah SD dan SMP sebaiknya juga menyimpan satu salinan buku ini di perpustakaan.

Saya pun belajar cukup banyak di buku ini, terutama tentang penggunaan tanda baca titik tiga serta tips memulai cerita dengan ragam kalimat yang bikin penasaran pembaca. Hanya saja--kumat deh kegatelan khas editornya--sistematika penomoran di buku ini agak membingungkan. Halaman 54, misalnya, setelah Subbab dengan angka 1, disusul dengan subsubbab yang juga menggunakan angka 1. Di halaman 33 - 35, saya bingung karena setelah subsubbab 3, kok disusul dengan subsubbab 1 lagi padahal tidak ada pergantian Bab atau sub bab. Mungkin, akan lebih rapi jika menggunakan sistematika begini:

Bab 1
A.
1. 
a.
b.
c.

2.
a.
b.

B.
1. 
2.
dan seterusnya.


Terlepas dari kekurangrapian penomoran bab dan subbab, buku seperti ini sangat penting untuk dibaca anak-anak untuk memperkenalkan mereka sejak dini kepada dunia kepenulisan. Pada anak-anaklah kita percayakan masa depan dari dunia kepenulisan  Indonesia. Mungkin, siapa tahu, salah satu anak yang membaca buku ini kelak akan menjadi Eka Kurniawan, Dewi Lestari, atau Andrea Hirata selanjutnya. Semua hal besar dimulai dari hal kecil, termasuk di dunia kepenulisan. Semakin dini mereka mengenal indahnya dunia kepenulisan, semakin besar peluang mereka untuk besar dan berjaya dalam bidang sastra. Kita masih menyimpan harapan besar akan munculnya penerima hadiah Novel Sastra dari Indonesis, dan siapa tahu, dia adalah salah satu atau salah dua dari anak-anak Indonesia.


Buku simpel namun berisi, great job mbak Rien. Sayang kemarin belum sempat meminta tanda tangan ke penulisnya saat kopdar GRI di Solo. Setelah baca buku ini, jadi pengen baca-baca buku mbak Rien yang lain.

Somewhere Only We Know

$
0
0
Judul: Somewhere Only We Know
Penulis: Alexander Thian
Editor: Mita M. Supardi & Tesara Rafiantika
Desainer sampul: Agung Nugroho
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-830-0
Cetakan: pertama, 2015
Tebal: 338 halaman



26058244

Buku yang sudah booming duluan sebelum terbit ini memang pernah bikin heboh linimasa Goodreads tahun 2015. Melihat ulasan yang bertebaran, saya pun ikut tergoda membacanya, namun keinginan itu masih kalah kuat dibanding keinginan menimbun sehingga baru setahun kemudian saya membacanya (dan buku ini sudah cetak ulang limakali). Apa yang membuat novel ini rame? Yah, pertama mungkin karena si penulis yang seorang selebtwit sehingga karya-karyanya langsung diburu followers. Kedua, rancang bangun *halah* novel ini menawarkan cerita cinta yang berbeda: dua cinta dan dua cerita dalam satu buku. Lewat Somewhere Only We Know (untuk selanjutkan akan disingkat SOWK), kita disuguhi dua cerita dengan dua rasa yang berbeda, oleh dua sosok yang juga lain. Mungkin inilah yang menjadikan membaca novel ini jadi menarik dan unik. Yah, selain kisah Kenzo yang tidak biasa itu, juga karena kepiawaian penulis menggali dua karakter utamanya sampai lapis-lapis terdalam. Manusia dengan segala keunikan mereka memang merupakan sumber ide kisah yang tak akan ada habisnya.


"Rasanya nyaman bergelung dengan kesendirian. Rasanya aman bercengkrama dengan kesepian. Kesendirian. Kesepian. Dua kata yang tampak sama, tapi sungguh berbeda."(hlm. 18)

SOWK berisi kisah cinta Ririn dan kisah cinta Kenzo, dua kakak beradik dengan kepribadian yang hampir bertolak belakang. Ririn si Kakak yang meledak-ledak, kadang bisa sangat tidak dewasa, alaynya sering kumat, ekstrovert garis keras, dan sejenisnya dan sejenisnya. Sementara Kenzo lumayan lebih kalem, logikasentris, sering memendam masalahnya sendiri, serta menyukai kesendirian. Tapi, dua-duanya suka berdialog dengan dirinya sendiri plus sama-sama mengalami masalah dalam percintaan. Eh ada satu lagi, dua-duanya sama-sama jatuh cinta sama cowok. Yup, Kenzo itu belok dikit.Tetapi, kedua kakak-adik dengan sifat bertolak belakang ini, malah seperti tercipta satu sama lain. Kenzo yang meluruskan Ririn saat alaynya kumat, sementara bagi Kenzo, hanya Ririnlah satu-satunya yang bisa memahami dirinya. Seperti kata Kenzo: "Manusia kerap memakai topeng tawa untuk menyembunyikan duka mereka," tepat seperti itulah yang dirasakannya. Di balik raut tenang dan kalemnya, Kenzo menyimpan badai yang memporak-porandakan hatinya.
"Memberikan nasihatitu mudah, melaksanakannya teramat susah."(hlm. 19)

 Dua saudara dengan dua hati yang sama-sama patah. Ririn yang tidak bisa move on pada mantan terakhirnya, dan Kenzo yang belum bisa melupakan pria pertama yang mencintai sekaligus melukainya. Sementara Ririn menghabiskan hari-hari dalam kegalauan, Kenzo memilih memendam sendiri sakit hatinya dan menyingkir ke Hanoi, Vietnam, demi melupakan segalanya. Tetapi, seperti subjudul di novel ini, cinta itu ada, selalu ada, akan selalu ada. Kemanapun kita menghindar, jika memang cinta sudah menyapa, sangat susah untuk menolaknya. Sebagai manusia, sangat sulit untuk tidak jatuh cinta karena memang mencintai dan dicintai adalah salah satu fitrah menjadi manusia. Ririn dipertemukan dengan blogger favorit sekaligus pangeran impiannya, sementara Kenzo mendapatkan teman tak terduga dari dunia maya. Dua-duanya kembali disapa oleh cinta. Tetapi, luka yang masih membekas tetap saja menimbulkan trauma.

"Addicted to pain is not an escape from reality."(hlm. 19)

Saya lebih menyukai kisah Kenzo yang nano-nano itu ketimbang kisah asmara Ririn yang dongeng banget. Pertemuan Ririn dengan Arik sangat sinetroniyah: bertemu sekali dan langsung jatuh cinta. Ini masih ditambah karaktarisasi Arik yang uwow banget. Pria mapan, tinggi, perit sikpek, lengan kekar, sopan, jago dongeng, punya blog yang laris, plus romantis yang detail banget sampai tahu makanan favorit Ririn meskipun baru sekali ketemu. Tokoh ini terasa too good to be true. Penulis mencoba menangkis tuduhan ini pada halaman-halaman akhir buku ini dengan pernyataannya bahwa kadang memang kita harus menerima sesuatu yang memang sempurna dan berbahagia karenanya. Alih-alih meributkan 'kenapa saya bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesempurna ini' kenapa tidak menikmatinya saja? Alasan lain yang digunakan penulis, kita akan mendapatkan sesuai dengan yang kita harapkan, baik itu positif maupun negatif. Sikap Ririn yang alay juga kurang cocok untuk usianya yang sudah 30 tahun menjelang. Pokoknya, saya lebih suka kisah Kenzo yang menurut saya malah bikin buku ini beda.

"Manusia perlu ditampar dengan keras supaya dia menyadari bahwa terus mengeluh tak ada gunanya."(hlm. 19)

Kebalikan dengan Ririn, kisah Kenzo ini agak sulit tertebak. Saya geregetan sendiri sampai saya nekat membuka ke halaman-halaman belakang untuk mengetahui siapa sebenarnya si Hava meskipun baru di pertengahan cerita. Terus, setelah tahu, saya cuma ooooo doang. Twist-nya kurang nampol kalau kata saya karena kayak 'ya udah gitu aja.' Keunggulan lain novel ini adalah banyaknya kalimat-kalimat yang layak kutip di dalamnya, juga deskripsi tempat-tempat wisata yang seru di Bali dan Vietnam--yang masih jarang digunakan sebagai latar cerita roman kita. Dari perjalanan Ririn dan Kenzo, kita diajak belajar untuk tidak mengingkari luka sekaligus tidak terluka lagi karenanya. Luka dan masa lalu selamanya menjadi bagian dari diri kita, tetapi bukan berarti masa depan kita harus selalu diwarnai (apalagi ditentukan) oleh keduanya. Maisng-masing kita memegang takdir kita sendiri: mau ke mana dan akan jadi apa, kita sendiri yang sebenarnya menentukan. Ririn dan Kenzo belajar bahwa mereka sekali lagi bisa mencoba dan belajar untuk menerima cinta, begitu juga kita.


"Rasa sakit adalah pengingat bahwa gua adalah manusia. Dan, tanpa harapan, tak ada yang namanya hidup. To expect is to give purpose in life." (hlm. 262)
 

Ketika Dinosaurus Mengubah Sejarah Bumi

$
0
0
Judul: Day of the Predator (TimeRiders, #2)
Pengarang:  Alex Scarrow
Penerjemah:  Desy Natalia
Tebal: 456 halaman
Cetakan: 1, February 2014
Penerbit: Elex Media Komputindo 




20894994



Jangan pernah bermain-main dengan waktu. Peringatan ini terus menerus disuarakan oleh banyak tokoh besar, mulai dari Dumbledore hingga Waldstein. Yang disebut terakhir tadi adalah sang penemu mesin perjalanan waktu dalam seri Time Riders karya Alex Scarrow ini. Si penemu berbalik menjadi penentang karena dia telah melihat sendiri neraka dengan mesin waktu yang telah diciptakannya itu. Berkat kampanyenya yang tak kenal, pada tahun 2050, Hukum Internasional telah melarang dengan tegas dilakukannya perjalanan waktu karena efek mengerikan yang dapat ditimbulkannya dalam mengubah sejarah. Maka, berbeda dengan perjalanan waktu yang sepertinya menyenangkan di film Doraemon, dalam seri Time Riders sang penulis konsekuen menunjukkan pandangannya bahwa perjalanan waktu adalah sesuatu yang sangat berbahaya.


Prinsip utama yang harus dipegang dalam konsep perjalanan waktu adalah bahwa adanya perubahan sekecil apa pun di masa lampau akan turut mempengaruhi masa depan. Dengan artian, goresan kapak di sebatang pohon pada era Dinosaurus pun sudah lebih dari cukup untuk mengubah perjalanan sejarah. Campur tangan terhadap masa lampau ini disebut sebagai kontaminasi. Semakin besar kontaminasi yang timbul, maka akan semakin dashyat perubahan yang ditimbulkannya di masa depan. Jadi, seorang time traveller harus meminimalisir kontaminasi terhadap masa lalu. Misalnya, jangan sampai meninggalkan jejak sepatu sport Nike saat tengah berjalan-jalan di pantai Texas pada Periode Kapur, 75 juta tahun yang lampau. 

Setelah diajak menyaksikan betapa mengerikannya riak waktu akibat kontaminasi di era PD 1 pada buku satu, di buku kedua ini pembaca sekali lagi diajak menyaksikan hal mengerikan apa yang terjadi ketika kontaminasi terjadi di Era Dinosaurus. Jika di buku pertama, sejarah berubah dengan kemenangan Hitler (yang membuat Bumi jadi ladang radioaktif di tahun 2001), maka di buku iniNew York di tahun 2001 berubah menjadi … hutan belantara. Semua berawal dari kecelakaan di sebuah laboratorium di Texas tahun 2015 saat Liam dan Becks (ini adalah Bob versi cewek) hendak menyelamatkan Edward Chen. Siapa itu Edward Chen? Nah, pokoknya remaja itu kelak akan sesuatu banget di masa depan. Kecelakaan itu melemparkan Liam dan Becks, juga sekelompok pelajar, sejauh enam puluh lima juta tahun ke masa lalu, ke tanah pemburuan dari spesies predator mematikan—yang hingga kini—belum pernah ditemukan.

Petualangan Liam dan anak-anak muda itu di zaman dino tidak semenyenangkan petualangan Nobita dan Doraemon. Malahan, mereka menghadapi special dino yang jauh lebih ganas dari T-rex dan raptor. Lebih gawat lagi, spesies tersebut memiliki kecerdasan jenis hominid, yang berarti hewan-hewan itu bisa mempelajari gerak-gerik Liam dan kawan-kawan. Sementara Sal dan Maddy tidak tahu di masa apa Liam terlempar, keberadaan Liam di era Kapur Akhir menimbulkan kontaminasi besar-besaran dalam sejarah. Kelompok reptile itu mempelajari tingkah laku manusia dan berkembang menjadi semakin cerdas. Sejarah pun berubah. Dinosaurus menguasai bumi dan New York tahun 2011 pun berubah menjadi hutan belantara yang dipenuhi oleh sekelompok dino cerdas.   

Bagaimana kali ini tim Time Rider akan menyelamatkan sejarah sementara keberadaan Liam cs tak terdeteksi. Kali ini, Liam harus berpikir keras untuk memberitahukan posisinya. Mereka terpaksa harus meninggalkan sebuah jejak yang berpotensi mengungkap kerahasiaan perjalanan waktu pada pemerintah AS di tahun 2001. Sementara menunggu Maddy dan Sal menemukan mereka, Liam dan Becks harus berupaya meminimalisir kontaminasi sejarah di Periode Kapur akhir sekaligus menyelamatkan para pelajar tak berdosa yang sama-sama terperangkap di zaman purba yang dipenuhi para pemangsa yang cerdas sekaligus mematikan.

Berbeda dengan buku-buku perjalanan waktu lain yang masih menyisakan banyak bolong logika, penulis demikian hati-hati dalam meminimalisir bolong logika yang berpotensi muncul dalam tulisannya. Akibatnya, perjalanan waktu menjadi sangat tidak menyenangkan lagi di buku ini. Sepertyi dijelaskan di buku pertama, selain berpotensi mengubah sejarah, perjalanan waktu juga membuat pelakunya terpapar radiasi yang dapat merusak tubuh. Well, walau efeknya mengerikan, namun membaca petualangan Liam, Sal, dan Maddy di buku ini sangat seru karena penulis mampu menuliskan konsep perjalanan waktu yang rumit namun masih tetap dapat dinikmati. Kelebihan buku ini adalah pace-ceritanya yang bergerak cepat, penuh aksi, dengan logika-logika yang lumayan rapi tentang perjalanan waktu yang membuat pembaca hanyut alih-alih protes.

Puya ke Puya

$
0
0
Judul: Puya ke Puya
Pengarang: Faisal Oddang
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: Oktober, 2015
Tebal: 218 Halaman





“Setiap ayunan kaki manusia, ia tengah berjalan pergi sekaligus menuju pulang. Orang-orang hidup hanya untuk mati, begitulah. Semakin kau berjalan menjauh, semakin maut berjalan mendekat.”

Kalimat-kalimat pembuka novel ini seakan mengisyaratkan bahwa Puya ke Puya akan diwarnai seputar hidup dan kematian manusia. Sebagai tambahan, karena settingnya yang di Tana Toraja, pembaca mungkin bisa menebak bahwa akan ada banyak pernak-pernik upacara Rambu Solo' di cerita ini. Dan inilah yang menjadi nilai sangat plus dari novel karya Faisal Oddang ini. Penulis muda berbakat ini memang pandai menangkap hal-hal yang ada di sekitar, menjadi gelisah karenanya, lalu menuliskan kegelisahan itu menjadi sebuah novel yang amboi nian. Membaca Puya ke Puya, kita diajak menjadi saksi manusia-manusia yang diombang-ambingkan akibat perseteruan antara adat dan modernisme yang sering tidak akur itu. Novel ini juga dengan tangkas memotret sisi manusiawi manusia yang kadang harus memilih antara mendapatkan uang (duniawi) dan menjaga kehormatan. Apa yang dialami Allu menjadi bukti bahwa bahkan di zaman modern seperti saat ini, pertentangan anatara adat-istiadat dan menjadi manusia modern yang praktis itu masih ada.

 
Garis besar novel ini adalah wafatnya Rante Ralla yang seorang pemuka adat di desanya. Sebagai seorang tetua adat dan bangsawan di Kampung Kete Kesu Toraja, adat mensyaratkan dia harus dimakamkan dengan mengadakan adat Rambu Solo’. Seperti yang sudah jamak diketahui, Rambu Solo' membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak, ahli waris harus menyiapkan 24 kerbau dan ratusan babi sebagai syarat untuk mengantar mendiang ke puya (surga). Tanggung jawab melaksanakan Rambu Solo' ini jatuh kepada Allu Rante, satu-satunya putra Rante Ralla yang saat itu hanyalah seorang mahasiswa di Makassar. Sebagai anak muda yang sudah terkena doktrin kehidupan modern, Alle berpendapat bahwa Rambu Solo' hanyalah bentuk pemborosan sehingga tidak perlu dilakukan. Lebih baik, sang ayah dimakamkan di Makassar tanpa embel-embel adat kuno yang memberatkan itu.

"Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu. Dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukan atau tidak, dan saya pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan."(hlm. 20)


Niat Alle ini tentu langsung ditentang oleh keluarga besarnya, terutama oleh Paman Marthen, adik Rante Ralla. Sebagai keluarga bangsawan, mereka tentu malu dan tidak sanggup saat dimintai pertanggungjawaban oleh para leluhur. Si paman kemudian membujuk Alle dan ibunya, Tina Ralla, untuk menjual tanah dan tongkonan mereka kepada Mr. Berth. Lokasi rumah keluarga Ralla memang menghalagi akses jalan menuju tambang nikel milik bule itu. Allu menghadapi dilema terberat di usianya yang masih muda, apakah dia tega membiarkan roh ayahnya melayang-layang tak dapat tempat hanya karena masalah dana? Di sisi lain, tongkonan peninggalan sang ayah terancam roboh demi melaksanakan Rambu Solo'. Apa yang semula adalah pertentangan antara prinsip adat dengan nilai-nilai modern kemudian berkembang lebih jauh lagi. Puya ke Puya menyodorkan lebih dari konflik antara cueknya modernitas dan kolotnya adat. Novel ini memotret sisi dalam manusia dengan segala warna-warni mereka.

Selain setting Toraja yang kental dengan Rambu Solo'-nya, hal menarik dari novel ini adalah sudut pandang yang digunakan penulis. Faisal Oddang menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian. Peralihan sudut pandang hanya ditandai dengan tanda bintang satu, dua, dan tiga. (* digunakan untuk Rante Ralla yang baru meninggal. (** digunakan untuk Allu Ralla. Dan, (*** digunakan untuk Maria Ralla, adik Allu yang meninggal saat masih bayi. Dengan demikian, penceritaan di novel ini lebih banyak dilakukan dari alam lain. Sebuah cara bercerita yang unik bukan? Dengan teknik ini, pembaca bisa tahu hal-hal yang tidak mungkin dilihat oleh narator yang masih hidup. Dan, di saat yang sama, pembaca masih bisa menyelami dilema dalam diri Alle. 

Penokohan dalam novel ini juga sangat kuat. Faisal menunjukkan kepada kita betapa manusia tidak pernah hitam atau putih, kebanyakan dari kita berada di antara keduanya. Tokoh yang semula kita harap jadi protagonis, ternyata berubah di tengah, dan di belakang berbeda lagi. Benar-benar tidak ada tokoh yang sempurna di novel ini. Tarikan tradisi dan kebutuhan akan materi benar-benar mampu mengubah perjalanan para tokoh di buku ini, menjadikan mereka sebagaimana para manusia normal di dunia kebanyakan. Buku sastra yang baik adalah tentang manusia dan menggambarkan kepada kita sejatinya manusia. Dari situ, kita lalu belajar menjadi manusia. Kalau pun belum bisa menjadi manusia yang sempurna, paling tidak kita bergerak menjadi manusia yang lebih baik. Memang layak kalau novel ini menjadi juara IV Sayembara Penulisan Novel DKJ.

Panggilan Sang Monster

$
0
0
Judul: A Monster Call
Pengarang: Patrick Ness
Format: Kindle
Tebal: 224 halaman
Terbit: Mei 2011
Penerbit: Candlewick 


11391373

Kalau ada sebuah buku suram yang menghangatkan hati, itulah buku ini.
Kalau ada cerita sedih yang menggembirakan jiwa, itulah buku ini.
Kalau ada tentang seorang anak yang mampu mendewasakan pembaca dewasa, itulah buku ini.

Beberapa pembaca menyebut buku ini sebagai bacaan terbaik mereka. Kasusnya menurut saya sama kayak membaca buku The Giving Tree yang tampak sederhana namun sejatinya sedemikian menyentuh. Hal-hal sederhanalah yang kadang malah berhasil menyentuh inti dari kesadaran kita dengan lebih dahsyat ketimbang cerita-cerita megah. Maka seperti itulah buku ini. Ditulis dengan spasi sangat renggang dan bisa dibaca dengan cepat layaknya novel anak, buku ini ternyata punya lebih dari sekadar cerita. Ditulis dengan kelam sekaligus menggugah,tanpa sadar, pembaca akan diseret masuk ke rumah si kecil Conor, merasakan menjadi dirinya dengan segala masalah yang dia hadapi. Kalau seumpama buku punya atmosfer, maka atmosfer buku ini pasti sangat hitam pekat. Anehnya, walau suram, seperti ada monster yang mencengkram pembaca untuk terus menekuri halaman demi halaman dari buku ini.


"Stories are important, the monster said. They can be more important than anything. If they carry the truth.

Conor O'Malley dihantui dengan mimpi seram yang datang menghampirinya setiap malam pukul 00.07. Semakin lama, mimpi buruk itu seolah mewujud dalam rupa sesosok monster berukuran raksasa yang lalu berdiam di belakang rumahnya. Anehnya, hanya Conor yang mampu melihat dan mendengar si monster. Kata si monster, hal itu karena Conorlah yang telah memanggilnya, karena Conorlah yang butuh disembuhkan. Malam-malam berikutnya, monster itu datang membawa tiga cerita untuk Conor. Setelah itu, Conor gantian harus menceritakan kisahnya sehingga lengkap ada empat cerita.  

Dalam kehidupan nyata, nasib Conor sedemikian suram. Ayah dan ibunya sudah tidak tinggal serumah, dan selain itu, ibunya tengah menjalani pengobatan (kemungkinan kemoterapi untuk melawan kanker) sehingga dia diasuh oleh sang nenek. Di sekolah, Conor juga sering dirundung oleh teman-temannya. Berbaagi masalah inilah yang mungkin membuat Conor menarik diri dari pergaulan, berharap membuat dirinya tidak kelihatan. Seringkali, kita malah akan semakin kesepian saat merasa ingin kesepian sejenak. Seperti yang dialami Conor, menjadi 'tak terlihat' malah membuatnya semakin mencolok sehingga dia jadi bahan rundungan.Benar-benar deh nyeseknya banget-banget saat baca buku ini.
 
"There is not always a good guy. Nor is there always a bad one. Most people are somewhere in between." 

Keindahan buku ini mungkin terletak pada pesan-pesan yang diselipkan penulisnya. Seperti kutipan kalimat pendek di atas. Penulis menyadarkan kita akan arti menjadi manusia sekaligus bagaimana menjadi manusia. Bahwa manusia, seperti segala di dunia ini, tersusun atas berbagai warna dan tidak melulu hitam dan putih. Jika kita men-judge sesorang hanya karena satu atau dua tindakannya tanpa pernah kita mau memandangnya secara utuh, maka sungguh telah tidak adil kita. Seperti yang dialami juga oleh Conor, tentang teman-teman yang merundungnya dan bagaimana hal itu bisa saja mempengaruhi karakternya. Bertemu si monster menyadarkan Conor bahwa kita dinilai berdasarkan tindakan kita, bukan oleh kata-kata kita.

"You do not write your life with words, the monster said. You write it with actions. What you think is not important. It is only important what you do."

Bagian terakhir buku inilah yang paling bikin nyesek karena kita diajak menemani Conor dalam perjuangan final yang harus dilaluinya, yakni perjuangan untuk merelakan. Setelah disuguhi yang suram-suram, pembaca harus menutup buku ini dengan mata berkaca-kaca saat mengetahui Conor--dalam usianya yang masih sangat muda--harus mengalami satu ujian terbesar dalam kehidupan yang tidak semua orang bahkan orang dewasa sekalipun bisa menghadapinya dengan mulus. Conor telah membuktikan sebuah adagium agung dalam hidup, bahwa merelakan adalah bentuk tertinggi dari mencintai. Conor percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja selama dia percaya.

“Belief is half of all healing.”
 

Makna Merokok bagi Orang Jawa

$
0
0
Judul: Ngudud, Cara Orang Jawa Menikmati Hidup
Penulis: Iman Budhi Santosa
Penyunting: Lantip Ruming Nestopo
Sampul: Subiyantoro
Tebal: 134 hlm
Cetakan: 1, November 2012 
Penerbit: Manasuka

18285068 

Membaca buku telah mengajarkan saya untuk memandang segala sesuatu dari berbagai sudut, untuk tidak memandang dunia secara hitam dan putih, termasuk soal merokok. Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial kita diwarnai dengan perdebatan seru antara yang membela rokok dan yang antirokok gara-gara ada wacana bahwa harga rokok di Indonesia akan dinaikkan menjadi Rp50.000. Masing-masing pihak, baik yang mendukung atau yang menolak rokok, sama-sama bersikukuh mempertahankan pendapatnya. Debat pun bermunculan di media sosial, tidak ada yang mau mengalah. Seolah kita semua sudah lupa bahwa keanekaragaman dan perbedaan adalah kekayaan bangsa ini, termasuk dalam hal merokok. Terlepas dari informasi bahwa merokok merugikan kesehatan itu benar atau tidak, atau hanya semata bentuk konspirasi global untuk menghadang industri kretek nasional; tidak semestinya kita terpecah belah hanya karena rokok. Mari kita kembali pada ajaran leluhur Jawa dalam mengatasi konflik, yakni dengan berpedoman pada apike kepriye (baiknya gimana) dan bukan pada benere kepriye (benarnya gimana) untuk masalah yang masih abu-abu seperti merokok ini.

"Karena dalam semangat patembayatan di Jawa, mereka yang merokok dan tidak merokok tetap sedulur sinarawedi (saudara dekat), sama sekali bukan musuh yang berebut benar sendiri."(hlm. 76)

 

Saya bukan perokok, dan hidung saya selalu gatal, memerah, dan jadi pabrik ingus produktif saat terpapar asap rokok dalam sebuah ruangan tertutup. Intinya, saya tidak suka merokok. Tetapi, tidak suka bukan berarti memusuhi. Setiap hari, kita diberondong dengan berbagai informasi global tentang betapa berbahayanya merokok. begitu masifnya kampanye antirokok ini sampai-sampai memunculkan sebuah atmosfer yang memusuhi para perokok. Jika tulisan yang antirokok sudah berjibun, maka sesekali perlu dibaca juga buku-buku prorokok, salah satunya buku berjudul unik ini. Hanya dengan melihat dari kedua sisi, kita baru bisa memutuskan secara adil dan bijak, apakah merokok itu benar-benar merugikan atau hanya sebagian merugikan, dan berlaku seperti ini--percayalah--akan membuatmu semakin bijak.


Pram mengatakan bahwa kita harus selalu adil sejak dalam pikiran (Pram merokok kretek juga, btw) sehingga tidak layak jika kita menjatuhkan tuduhan tanpa mempertimbangkan pandangan dari kedua sisi. Sahabat si penulis, sastrawan Linus Suryadi AG (pengarang Pengakuan Pariyem) juga adalah seorang perokok berat. Bahkan ketika si penulis diopname, Linus diam-diam sempat menyisipkan beberapa batang rokok saat membesuknya. Terkait fakta bahwa Linus meninggal di usia yang relatif masih muda, penulis berkilah: "Linus meninggal karena stroke, bukan karena rokok." (hlm. 42).Sudah sejak dulu, rokok dikaitkan dengan kreativitas. Banyak sastrawan, penyair, dan novelis Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari rokoknya. Salah satunya yang paling fenomenal adalah Chairil Anwar yang pernah berpose sambil memegang rokok. Terlepas dari fakta bahwa penyair ini meninggal di usia 27 tahun, foto ini sangat legendaris dan banyak digunakan kalangan sastra bahwa merokok itu penting bagi penulis. 

Di buku ini, penulisnya--yang adalah seorang sastrawan Yogya angkatan 70-an--menceritakan kisah kawan-kawan sastrawannya yang tidak pernah bisa lepas dari rokok sejak dulu. Walaupun buku ini nonfiksi, tetapi karena ditulis seorang pengarang, jadinya serasa seperti baca kumpulan cerita. Beberapa cerita adalah nyata yang benar-benar dialami penulisnya terkait kegiatan merokok. Menurut penulis, kandungan nikotin dalam rokok itulah yang mungkin telah memunculkan perasaan rileks dalam otak sehingga ide-ide bagus berdatangan dan proses menulis jadi lancar. Salah seorang kawannya, Usdika, konon hanya bisa nyambung diajak mengobrol jika sambil merokok. Jika tidak merokok, penyair itu berubah menjadi orang gila yang mangkal di depan kantor pos besar Jogja. Mungkin, proses kreatif mencipta puisi telah membuatnya gila dan hanya rokok yang membuat pikirannya masih mampu menambat di bumi.

"Rumah penyair adalah puisi."(Usdika Irbanora)

Dalam Ngudud, kita diajak menyelami alam pemikiran dan psikologi orang Jawa terkait merokok itu sendiri. Mengisap rokok kretek bagi orang Jawa--terutama kalangan rakyat jelata--telah menjadi bagian dari kebudayaan, bukan semata kebiasaan. Penulis menyebut bahwa merokok bagi (sebagian) orang Jawa adalah salah satu cara untuk melepaskan beban hati dan penat pikiran. Merokok bagi orang Jawa, terutama yang laki-laki, tidak ubahnya dengan rutinitas khas orang Jawa yang gemar menikmati suara burung perkutut, minum teh nasgithel (panas-manis-kental), nglaras uyon-uyon / mendengarkan tembang, begadang, atau memancng di sungai malam-malam. Orang luar mungkin memandang kegiatan-kegiatan ini sebagai sesuatu yang mubazir, yang tidak bernilai ekonomis, buang-buang waktu, dan sepertinya hanya sebagai bentuk bermalas-malasan. Tetapi, jika kita mau melihat lebih dalam, inilah bentuk 'me-time' bagi orang Jawa. Seperti kita tahu, setiap orang membutuhkan 'me-time' agar tetap waras dan bersemangat dalam menjalani kehidupan yang kadang berat dan penuh masalah. Sebagian menggunakan 'me-time' dengan membaca, jalan-jalan, ataubrowsing. Nah, salah satu bentuk 'me-time' orang Jawa adalah dengan udud atau merokok.

Mengapa orang Jawa zaman dulu gemar merokok kretek? Penulis menjawabnya dengan sedikit menyinggung tentang sejarah kretek yang masuk ke nusantara pada abad ke-16. Tembakau kemudian ditanam di Jawa untuk diekspor ke luar negeri, dan pada masa-masa inilah penjajah Belanda turut memperkenalkan rokok kepada pribumi. Tetapi, orang-orang Jawa tidak suka dengan rokok ala Eropa, mereka kemudian mengembangkan sendiri bumbu atau saus khas yang terbuat dari campuran rempah-rempah. Campuran bumbu inilah yang kemudian menjadi rokok kretek, rokok khas yang hanya ditemukan dan diproduksi di Indonesia. Beberapa penelitian yang menyebut bahwa rokok rempah dapat mengobati penyakit paru sempat dirilis, tetapi selalu tenggelam oleh kampanye antirokok yang luar biasa masif. Sebagai orang yang kritis dan penyuka tema konspirasi--baik Anda perokok atau bukan--kita patut bertanya-tanya apakah benar kampanye antirokok ini sebenarnya hanya upaya Barat untuk menghancurkan kretek Indonesia yang berjaya? 

Akhirnya, walaupun penulis buku ini cenderung sangat pro dengan merokok, sebagai pembaca kita dipersilakan untuk memilih sendiri: merokok atau tidak. Dalam banyak hal, merokok atau tidak adalah pilihan. Setiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing, termasuk merokok itu sendiri. Penulisnya sendiri mengakui bahwa bibir para perokok terlihat hitam-membiru dan tidak sehat, tidak seperti bibir nonperokok yang merah merona sehat. Tapi, terlepas dari pro-kontra itu, membaca buku ini memberikan kita pandangan baru tentang merokok. Ia mengajak kita untuk memandang merokok bukan hanya sebagai satu kegiatan yang dapat merusak kesehatan, tapi juga sebagai sebentuk 'pelarian' bagi sebagian orang Jawa untuk sejenak melupakan beban hidup sehingga mereka mampu terus bertahan dan membangun sejarah peradaban di tanah kelahiran.
 


Mengenal Narnia Lebih Dekat

$
0
0
Judul: Let's Go Into Narnia
Penyusun: Arie Saptaji
Tebal: 136 hlm
Cetakan: 1, Juli 2005
Penerbit: Gradien Books
ISBN: 9793574089 

9677654

Seri Narnia karya C.S Lewis pertama kali diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Dian Rakyat tahun 70 atau 80-an, sehingga anak-anak era tahun 90-an (baca: saya) mungkin belum banyak mengenal buku fantasi ini. Untungnya, seri fantasi klasik ini diterbitkan kembali olehpenerbit Gramedia dalam seri The Chronicle of Narnia menyusul difilmkannya buku The Lion, The Witch, and The Wardrobe pada tahun 2000-an. Kesuksesan film itu segera disambut penebit besar tanah air itu dengan menerbitkan seluruh serinya yang terdiri dari tujuh buku. Pembaca pun dimanjakan dengan cerita-cerita hebat dari tanah Narnia yang sangat memukau itu. Namun, saat membaca tujuh buku berseri ini, banyak pembaca yang mungkin bingung dengan alur kronologis yang digunakan penulis. Apalagi, tujuh buku diterbitkan hampir berbarengan sehingga pembaca awam kesulitan manakah buku yang harus dibaca duluan, apakah sesuai filmnya atau bukan? Yang jelas, buku The Lion, The Witch, and The Wardrobe bukanlah buku pertama dari tujuh seri itu meskipun buku itulah yang pertama kali ditulis oleh Lewis. Bagaimana bisa?




Adalah Arie Saptaji yang jeli menangkap peluang tersebut dengan menuliskan buku ini. Let's Go Into Narnia adalah semacam buku panduan tidak resmi tentang Narnia untuk mengenal lebih dekat dunia ajaib C.S Lewis itu. – bagi para penggemar dan calon penggemar Dunia Narnia. Dalam buku ini, penulis dengan jeli memaparkan kepada para penggemar dan calon penggemar Narnia untuk mengenal dunia ajaib yang dikuasai oleh Aslan ini. Pertama-tama, pembaca diajak untuk mengenal lebih dekat sosok penulisnya, CS Lewis, yang ternyata adalah seorang sarjana kritikus sastra yang menonjol di Oxford dan Cambridge. beliu ini juga telah mengarang sejumlah fiksi ilmiah dan cerita anak yang laris, serta--yang mungkin jarang diketahui--adalah seorang yang gigih membela iman Kristen. Satu hal lagi, beliau ternyata adalah teman dekat dari JRR Tolkien, penulis Lord of The Rings, yang sedikit banyak mempengaruhi gaya penulisannya. Konon, Tolkien juga yang menantang Lewis untuk menulis Narnia.

Selain menyajikan proses kreatif penulisnya dalam membangun dan menuliskan negeri Narnia di bab Lahirnya Narnia, Hasrat Menulis Cerita yang Bagus, buku ini dilengkapi dengan sinopsis ketujuh buku Narnia. Bagian inilah yang dinanti-nanti oleh para penggemar Narnia karena menjelaskan juga urut-urutan kronologis kejadian di Narnia juga kronologis terbitnya tujuh buku seri. Meskipun masing-masing dari buku seri Narnia bisa dibaca lepas, sebenarnya ada urutan membaca yang paling pas. Jika diurutkan sesuai penulisannya, maka buku yang pertama ditulis adalah
The Lion, The Witch, and The Wardrobe. Tapi kalau diurut berdasarkan kronologi kejadian di Narnia, maka buku pertamanya adalah The Magician Nephew. Bagi pembaca yang baru mengenal Narnia, atau yang mau baca ulang Narnia, mungkin bisa mengikuti urut-urutan sebagaimana yang disarankan oleh CS. Lewis berikut:

1. The Magician Nephew
2. The Lion, The Witch, and The Wardrobe
3. The Horse and His Boy
4. Prince Caspian
5. The Voyage of the Dawn Treader
6. The Silver Chair
7. The Last Battle.

Namun, banyak yang berpendapat bahwa buku yang pertama dibaca harusnya tetap The Lion, The Witch, and The Wardrobe karena itulah buku yang pertama ditulis. Saran dari penulis adalah baca dulu yang The Lion lalu mulai baca sesuai urutan yang disarankan Lewis. Tapi, apa pun itu, membaca Narnia adalah sebuah pengalaman yang mengesankan. 

Selain tentang Narnia, penulis mengangkat juga di buku ini beragam penafsiran terkait Narnia. Benarkan seri ini sebenarnya adalah buku yang mengajarkan ajaran Kristiani? Apakah Aslan itu melambangkan sosok Yesus? Dan masih banyak lagi beragam tafsir dan perbandingan yang diangkat para sarjana terhadap karya Lewis ini. Disarankan, untuk yang belum mebaca 7 seri Narnia agar tidak membaca bab tentang tafsiran ini dulu karena ada banyak sekali bocoranatau spoiler yang akan mengurangi kenikmatan membaca. Sebaiknya membaca buku ini setelah selesai membaca semua seri Narnia untuk mendapatkan jawaban dari beragam pertanyaan, seperti mengapa ada tiang lampu saat Lucy dan Edmund pertama kali datang ke Narnia.


Ini masih ditambah dengan bab tentang pernak-pernik Narnia, seperti misalnya kata 'aslan' yang berarti 'singa' dalam bahasa Turki serta fakta bahwa Narnia adalah nama sebuah kota kuno di Italia. Plus, lampiran di halaman belakang buku ini berisi garis besar sejarah Narnia yang disusun secara kronologis sehingga pembaca bisa melihat berbagai peristiwa yang berlangsung di buku The Magician Nephew hingga The Last Battle. Begitu banyak info tentang Narnia di buku ini sehingga akan melengkapi pembacaan kita pada kisah legendaris karya CS. Lewis. Saya dulu beli buku ini cuma Rp5000, sungguh sangat murah bila menenggok isinya yang lumayan lengkap. Sayang, buku ini sudah langka di pasaran padahal akan sangat berguna sekali digunakan sebagai pemandu untuk membaca Narnia. 

Batavia dalam Catatan Wisata Bangsa Eropa

$
0
0


16136063

Catatan perjalanan sering kali menjadi dokumen primer yang sangat berguna dalam melacak jejak sejarah sebuah kota. Kebiasaan para penjelajah Eropa yang selalu membuat catatan harian atau semacam jurnal tentang segala yang dilihatnya di perjalanan terbukti menjadi dokumen yang sangat berharga di kemudian hari sebagai sumber-sumber tertulis untuk mereka ulang seperti apa wujud dan bentuk sebuah kota pada sebuah masa. Salah satu kota tua yang bisa dibilang 'permata dari Timur' pada era penjelajahan (dan kemudian penjajahan) adalah kota Batavia. Kota tua yang mulai dibangun di muara Ciliwung pada abad ke-16 ini pernah menyandang sejumlah nama, mulai dari Sunda Kelapa, Jacatra, hingga akhirnya menjadi Jakarta sampai saat ini. Tetapi, semua ahli sama sepakat bahwa masa keemasan kota ini adalah ketika kota ini bernama Batavia. 

Judul: Batavia, Kisah Kapten Woodes Rogers dan Dr. Strehler
Penyusun:  Frieda Amran
Editor: Mulyawan Karim
Sampul: Wiko Haripahargio
Cetakan: 1, Oktober 2012
Tebal: 114 hlm
Penerbit: Buku Kompas



Banyak tulisan dan dokumentasi kuno telah menjelaskan dan menggambarkan Batavia dari masa awal pembangunannya hingga ke era perjuangan merebut kemerdekaan. Dalam buku Jawa Tempoe Doloe, bagian paling banyak dibahas adalah tentang Batavia karena bahan tulisan untuk kota tua ini memang melimpah, terutama dari para pelaut, pelancong, dan penjelajah Eropa yang selalu menyempatkan mampir ke kota berjuluk 'Ratu dari Timur' ini. Salah satu eh salah dua dari mereka adalah Kapten Woodes Rogers dan dr. Strehler yang mengunjungi Batavia pada penghujung abad 18 dan juga di abad 19. Secara ringan, mereka menuliskan pengalaman yang mereka alami, apa-apa yang mereka lihat dan dengar, serta menambahkan sedikit-banyak opini mereka tentang Batavia. Dari catatan mereka, kita bisa melihat bagaimana pandangan orang Eropa tentang Batavia.

Karena sifatnya hanya sebagai catatan yang sambil lalu, tentu saja tulisan-tulisan di buku ini belum bisa dijadikan sebagai sumber data yang memuaskan untuk penelitian sejarah. Baik Kapten Rogers maupun dr. Strehler sepertinya hanya 'piknik' saja seraya melontarkan opini-opini semena-menanya tentang apa-apa yang mereka lihat. Misalnya saja, dr. Strehler menyamakan bangsa pribumi dengan bangsa negro Afrika. Konsep warna kulit sawo matang belum dikenal bangsa Belanda waktu itu karena ... yah di Eropa juga nggak ada sawo kali! Catatan si dokter ini lebih lengkap dibanding sang kapten, karena Rogers lebih banyak menulis tentang kapal-kapal menuju Batavia dan benteng-benteng di sekitar kota tua ini. Sementara sang dokter menulis runtut mulai dari perjalanan lewat kapal laut menuju Batavia (yang memakan waktu 120 hari) hingga pikniknya ke Buitenzorg (sekarang Bogor).

Walau terkesan nanggung, banyak data-data unik yang bisa kita dapatkan dari catatan-catatan mereka. Misalnya saja, hotel-hotel di sekitar Batavia sering kali memberikan jeruji pada bak mandinya agar para tamu Eropa tidak menggunakannya sebagai bak untuk berendam. Tamu hanya bisa mengambil air lewat lubang jeruji yang dibuat sebesar gayung. Paling menarik adalah saat menyimak perjalanan si dokter ke berbagai spot menarik di Batavia, seperti Kampoeng Tjina, Passer Baroe, dan Gedung Kesenian. Karena posisi penulisnya sebagai pelancong, kita mendapati perjalanan yang serba menyenangkan di buku ini. Bagi dr. Strehler, Batavia memang benar-benar permata dengan sungai Ciliwung yang airnya maish bersih dan digunakan untuk wisata dan mandi para warga. Inilah yang membuat rasa buku ini jadi tawar karena pembaca hanya disuguhi yang baik-baik saja oleh seorang Eropa yang tampak benar dia masih merasa lebih tinggi derajatnya dari orang-orang pribumi yang dilihatnya di Batavia.

Meskipun singkat, membaca Batavia sedikit mengingatkan saya pada suasana di novel Bumi Manusia karya Pram. Malam-malam pesta orang Eropa, hidangan ala Belanda yang terdiri dari 12 macam makanan, hingga pergi menonton pertunjukkan dengan menggunakan dokar atau kereta kuda milik pribadi. Dari buku ini, saya baru tahu kalau sapaan 'Spada' yang jadul itu ternyata singkatan dari 'Siapa ada?' Jika menilik riwayat penerbitannya, memang buku ini hanya digolongkan sebagai dokumen ringan dengan tujuan untuk dibaca sambil bernostalgia di salah satu rubrik Warta Kota, bukan untuk riset dan penelitian--meskipun beberapa data sejarah di dalamnya akan sangat berharga dalam sebuah penelitian kesejarahan yang mendalam tentang Batavia. Buku tipis yang ringan dibaca ini layak dimiliki dan dikoleksi para peminat sejarah Indonesia.

Hindia Timur dalam Kumpulan Cerpen

$
0
0
Hindia Belanda adalah sebuah romantisme yang ramai dikenang, baik pahit dan manisnya. Bagi bangsa kita, masa-masa ketika nusantara berjuluk Hindia Belanda adalah masa-masa kelam dalam sejarah perjalanan bangsa besar ini. Inilah era kejayaan penjajahan dunia sekaligus menjadi titik nadir bagi kemerdekaan kaum pribumi. Kaum sejarahwan menyanjungnya sebagai babakan sejarah nasional yang penuh warna, sementara orang-orang awam lewat kisah-kisah tuturannya menyebut kala ini sebagai masa-masa susah dan tak usah diingat-ingat lagi kalau perlu. Jika selama ini kita telah banyak mendengar, melihat, dan membaca tentang penderitaan leluhur pribumi kita di bawah penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, maka cerpen-cerpen di buku ini akan memberikan pandangan lain tentang masa-masa itu. Bagaimanakah Hindia Belanda dari sudut pandang orang asing? 

22175715


Judul: Semua untuk Hindia
Pengarang: Iksaka Banu
Sampul dan Ilustrasi: Yuyun Nurrachman
Tebal: 153 hlm
Cetakan: 1, Mei 2014
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia









Merentang sepanjang lebih dari tiga setengah abad, dimulai dari pendaratan armada Cornelis de Houtman ke nusantara tahun 1596 hingga kekosongan kekuasaan pada penghujung era penjajahan Jepang tahun 1945, buku ini menyajikan babak-babak dari beragam peristiwa yang turut mewarnai perjalanan Hindia Belanda. Dengan luar biasa piawai, Iksaka Banu berupaya menghadirkan kembali beragam peristiwa bersejarah di Hindia Belanda lewat cerpen-cerpennya. Memang, beberapa cerpen membutuhkan sedikit pengetahuan sejarah yang kurang umum untuk bisa memahami keapikan cerpen tersebut. Misalnya cerpen 'Penunjuk Jalan' yang menceritakan pertemuan seorang Belanda dengan Untung Surapati. Juga cerpen 'Bintang Jatuh' yang menyorot peristiwa tragis pembantaian orang-orang Tiongkok di Batavia pada 1740.

Tidak semua orang menggemari sejarah. Terlalu banyak tanggal, peristiwa, dan nama yang harus diingat. Begitu pula, penjabarannya secara tekstual hanya menghasilkan ras abosan bagi awam yang membacanya. Banyak yang kemudian mengantuk saat diminta membaca buku-buku sejarah karena memang, yah, kalau bacaan isinya semata deretan tanggal dan peristiwa maka apa asyiknya? Inilah yang berusaha diubah oleh Iksaka Banu lewat cerpen-cerpennya. Bermula dari tahun 2000, dia mulai menuliskan cerpen-cerpennya yang berlatar masa dan tempat di Hindia Belanda. Cerpen-cerpen ini pernah dimuat di media massa kelas atas semacam Koran Tempo dan Media Indonesia sehingga penggarapannya memang tidak main-main. Tampak benar penulis melakukan riset mendalam atas data-data historis terkait beragam peristiwa masyhur di Hindia Belanda.


Membaca sejarah dalam bentuk cerpen tentunya menjadi terasa beda karena ada unsur dramatisasi di dalamnya. Meskipun karya fiksi, penulis tetap mampu mempertahankan rasa data sejarah dalam cerpen-cerpen ini tanpa harus menjadikannya terasa datar dan membosankan. Berulang kali, dada ini sesak membaca beragam kejadian tragis dan pilu yang disebut dalam buku ini. Semisal tragedi pembantaian orang Tiongkok tahun 1740, penulis seperti mampu menghadirkan kembali tragedi itu lewat pandangan mata seorang petinggi Belanda yang menyaksikannya secara langsung. Satu hal yang bisa kita pelajari dari cerita-cerita sejarah tentang perang, bahwa perang selalu menerbitkan penderitaan. Penulis juga memancing rasa treyuh itu dalam cerpennya 'Semua Untuk Hindia' yang memotret peristiwa Puputan Margarana dengan sedemikian harunya.

"Kukira kau benar. Tak ada hal baik dari perang. Perang merusak segalanya. Termasuk kesetiaan dan kasih sayang."(hlm. 64)

Apa yang menjadikan buku sejarah itu berbeda dari buku-buku dokumentasi sejarah lainnya? Selain bahwa buku ini adalah kumpulan cerpen, hal lain adalah kemampuan penulis dalam meramu data sejarah lalu merangkainya dalam sebuah cerita yang baru tanpa merusak kronologi aslinya, dan kemudian menghidangkannya kepada pembaca dalam satu karya yang benar-benar baru. Iksaka Banu menghadirkan kembali kepada kita Hindia Belanda dalam wujud yang dramatis tanpa mengorbankan data dan fakta. Ia mengajak kita melihat kembali Hindia Belanda dari sudut yang baru sehingga memampukan kita memperluas cakrawala pandangan kita akan sejarah negeri yang sangat indah ini. Tidak mengherankan kalau buku ini menjadi juara pertama Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori Prosa pada tahun 2014. MERDEKA!

Ketika Monster dan Malaikat Saling Jatuh Cinta

$
0
0
Judul buku: Bersimbah Darah dan Cahaya Bintang 
Tebal: 608 halaman paperback
Penulis: Laini Taylor
Penerjemah: Primadonna Angela
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Juli 2014 


http://66.media.tumblr.com/4d96f60afc1d6c7790c9e51052872335/

Pada zaman dulu, sesosok malaikat jatuh cinta pada sesosok monster; dan dunia terbakar bersama mereka. Pada zaman dahulu, malaikat dan monster saling berperang, dan kita tak lagi bisa membedakan mana pihak yang benar-benar baik dan yang sungguh-sungguh jahat. 

Buku kedua seri Daughter of Smoke and Bone ini jauh lebih seru dari buku pertamanya. Awalnya, saya ragu membaca seri ini karena takut porsi romansanya bakal lebih banyak dari porsi fantasinya. Ternyata, masih imbang. Penulis mengusung kisah fantasi ini dengan premis kisah asmara, tapi tidak kemudian kisah ini jadi kelewat galau dan kehilangan elemen petualangan khas fantasi. Tokoh-tokohnya keren, nggak menye-menye, bahkan cenderung ke FIGHTING. Kegalauan Akiva dan  Karou digambarkan dengan samar sehingga tidak mengubah laju ceritanya yang seru. Plus, buku kedua ini akan mengajak pembaca ke Eretz sehingga bisa merasakan langsung perang antara kaum Seraphim dan Chimaera yang  seru tapi bikin ngelus dada (dada saya sendiri) itu.


Melanjutkan buku pertamanya yang sangat menggantung itu, buku kedua ini sedikit banyak mampu mengobati rasa penasaran pembaca akan sebuah kisah yang ditulis dengan memuaskan. Setelah prolog panjang di buku pertama, buku ini ibaratnya adalah pengantar dari sebuah puncak perang besar yang sudah seru sejak pertengahan halaman. Secara bergantian, pembaca diajak bertualang bersama Akiva di Eretz dan dengan Karou di sebuah padang gurun di Afrika Utara. Kalau yang belum baca buku pertama, Akiva ini dari golongan malaikat (Seraphim) sementara Karou dari golongan monster (Chimaera). Kedua golongan ini telah berperang selama seribu tahun di Eretz sampai kemudian Akiva dan Karou saling jatuh cinta. Dari sini semuanya bermula.

Malaikat dalam mitologi barat agak berbeda dengan malaikat versi kita. Malaikat di buku ini bisa lebih jahat ketimbang para monster. Di buku kedua ini, sepertinya malah kebanyakan tokoh jahatnya diperankan oleh para seraphim sementara golongan monster malah mulai menunjukkan sisi manusiawinya. Penulis seperti hendak menjungkirbalikkan konsepsi pembaca tentan seraphim dan monster. Dalam kisah Akiva, kita akan melihat sisi buruk dari para seraphim yang ternyata juga haus darah dan kaus kekuasaan. Seperti manusia, mereka juga menindas sesama dan menggunakan kekuatan untuk memberantas apa-apa yang menurut mereka berbeda, yakni kaum mosnter. Setelah menghancurkan Loramendi, kota basis terakhir bangsa Chimaera, kaum seraphim masih memburu bahkan suku-suku chimaera yang cinta damai dan tidak bisa bertarung. Begitulah ketika kekuatan dan kedudukan disalahgunakan.

Dari sisi Karou, kita akan mengikuti proses pembangkitan yang dilakukannya. Pada buku pertama, dijelaskan bahwa kaum Chimaera memiliki seorang pembangkit yang bisa menghidupkan kembali chimaera-chimaera yang telah terbunuh selama jiwa mereka sempat dipanen dan disimpan dalam wadah dupa. Nah, Karou ternyata mewarisi kemampuan pembangkit ini. Lebih buruk lagi, dia adalah satu-satunya pembangkit. Sebagai bagian dari Chimaera, Karou merasa bertanggung jawab untuk membantu Thiago--Sang Serigala Putih, panglima tertinggi kaum chimaera--dalam melawan Seraphim. Sayangnya, Thiago ini kelakuannya sama jahatnya dengan raja seraphim yang lalim itu. Pria itu gila kekuasaan dan dia tak ragu lagi memanfaatkan apa yang ada untuk membunuhi musuhnya, termasuk menahan dan memanfaatkan Karou.

Begitulah, dengan kemampuannya, Karou membangkitkan kembali pasukan Thiago yang kejam itu. Mereka lalu menebar teror di Eretz dengan membunuhi para seraphim. Darah dibalas darah, kaum seraphim membalas serangan diam-diam itu dengan membantai kaum chimaera--termasuk ternak-ternak dombanya yang tak bersalah. Akiva yang ditugasi membasmi para chimaera ini mulai berbalik melindungi mantan musuhnya. Setiap kali pasukannya hendak berhasil mengejar sekelompok Chimaera yang kabur, dia membelokkannya. Sampai datangnya satu serangan dari kelompok Thiago yang mengantarkan Akiva pada Karou. Keduanya kembali dipertemukan, hanya untuk saling pergi lagi. Susah memang kalau cinta, kadang rindu dan benci jadi satu dan bolak-balik munculnya. Untung saja kegalauan Karou dan Akiva mereka lampiaskan dengan aksi-aksi keren.

Selain alur cerita yang lebih seru, pembaca juga akan dimanjakan dengan hadirnya lebih banyak karakter keren di buku kedua ini. Suzana dan Mik, dua sahabat Karou yang gesrek itu muncul lagi--kali ini bahkan lebih edan. Juga Liraz dan Hazael yang di buku pertama cuma numpang nampang, di buku ini dapat porsi yang lebih banyak. Kita jadi tahu karakter keduanya yang ternyata tidak hitam-putih. Ada satu lagi tokoh kawan Karou dari sukunya yang muncul dan berperan besar di buku ini. Satu-satunya yang nyebelin adalah karakter antagonis di buku ini yang paket jahatnya komplet banget. Plus, beberapa adegan pembunuhan di buku ini--terutama di ending--bikin ngilu karena kras kres kras kres kayak motong kayu saja. Untungnya, di penghujung buku ini, sudah tampak adanya batas yang jelas antara siapa yang musuh dan siapa yang kawan. Di buku ketiga, perang besar epik itu tampaknya akan tiba.

Zaman dahulu kala, malaikat dan monster bertarung saling bersisian melawan sekelompok lawan yang sama. 

Misteri Kode Kiamat dalam Manuskrip Abad Pertengahan

$
0
0

21855702
Mengubah sejarah masa lalu adalah sesuatu yang tidak baik, bahkan dengan tujuan untuk menciptakan masa kini yang lebih baik sekalipun. Pesan ini yang mungkin hendak disampaikan di buku ketiga seri Time Riders ini. Setelah bertualang di era Dinosaurus pada buku kedua dan berupaya keras mencegah New York tahun 2001 menjadi hutan belantara zama Jurasic, Liam dkk kembali dikirim ke masa lalu untuk menyelidiki sebuah misteri sejarah. Misteri dan sejarah, inilah yang saya kira menjadi kekuatan utama seri ini dalam menarik para pembacanya. Semua orang suka dengan misteri, dan ketika misteri itu digabungkan dengan sejarah, maka unsur menariknya menjadi berlipat-lipat karena ada bukti tertulisnya. Yah, karena tanda dari beralihnya periode prasejarah ke sejarah adalah adanya tulisan maka kasus kali ini berkaitan dengan manuskrip Voynich.



Manuskrip ini berasal dari Abad Pertengahan dan benar-benar ada. Tes karbon menyebut manuskrip ini berasal dari abad ke-12 M, dan sampai sekarang belum ada yang bisa membaca isi dari manuskrip misterius tersebut. Setidaknya, begitulah sejarah menurut versi kita. Dalam buku 3 ini, sejarahnya agak berubah. Muncul sebuah film yang dibintangi oleh Leonardo diCaprio yang berjudul 'The Manuskrip'. Film ini terinspirasi oleh kisah Adam Lewis, mahasiswa yang berhasil membaca manuskrip Voynich. Tim Time Riders yang berusaha menjaga agar lini waktu tetap berjalan secara semestinya segera bertindak untuk menyelidiki. Penyelidikan mereka ternyata berujung lebih jauh lagi. Liam, Bob, dan Becks harus menuju ke Inggris pada abad ke-12, era kekuasaan Raja Ricard the Lionheart yang termasyhur itu.

Membaca sejarah berbeda dengan mengalami sendiri sejarah itu secara langsung. Liam membuktikan betapa Ricard sebagai sosok nyata sangat berbeda dengan sosok sang raja legendaris dari Inggris. Ricard Hati Singa di buku ini digambarkan sebagai raja yang haus akan kekuasaan serta mau melakukan apa saja demi mencapai cita-cita mulianya. Raja ini melancarkan perang salib ke-3 dan gagal, dan saat pulang malah ditawan musuh serta mengalami kebangkrutan. Sementara di Inggris, keadaan juga tidak lebih baik. Pangeran John yang lemah yang ditugasi menjalankan pemerintahan terbukti tidak mampu memegang kendali sebesar itu. Inggris kacau balau, rakyatnya kelaparan, dan pemberontakan bisa pecah sewaktu-waktu. Masalah semakin gawat ketika John kehilangan sebuah relik suci milik Raja Ricard yang dititipkan kepadanya.

Selain menyelidiki manuskrip Voynich, Liam juga harus mencari tahu tentang sosok pria misterius yang konon sedemikian kuat dan memiliki tubuh sekeras baja. Tidak ada jawaban lain tentang orang itu kecuali bahwa dia pasti juga berasal dari masa depan. Hal yang semakin bikin penasaran, sosok itu juga yang telah merebut relik suci milik raja Ricard. Kali ini, bukan hanya manuskrip kuno itu yang harus dipecahkan. Liam cs. harus berjuang mencegah si penyusup mengubah sejarah masa depan atau kota New York hanya akan berupa hutan di pinggiran sungai dekat lautan pada tahun 2001. Meskipun dalam lini masa sejarah yang baru itu dunia menjadi jauh lebih bersih dan tenang di masa depan, tetap saja itu bukanlah sejarah yang 'asli.' 

Seri ini semakin ke sini semakin seru tapi bolong logikanya juga semakin rada (dan anehnya, typonya kok juga makin nambah). Agak berbeda dari dua seri berikutnya, ketika perjalanan waktu yang mereka lakukan menimbulkan gelombang waktu yang merusak Bumi di tahun 2001, perjalanan kali ini malah membuat New York di tahun 2001 menjadi jauh lebih tenang dan bersih. Tetapi, mengubah sejarah masa lalu (bahkan untuk masa kini yang lebih tenang) adalah sangat berbahaya karena konon dapat memicu robeknya selubung antara dunia dengan Kekacauan (entah apa ini, mumet) yang dapat menimbulkan kiamat. Selain mengajak pembaca ke setting yang lebih asri dan hijau, para penggila teori konspirasi ala Dan Brown mungkin juga bakal tertarik membaca buku ketiga ini.


Judul: The Doomsday Code
Pengarang: Alex Scarrow
Penerjemah: Desy Nathalia
Editor: Andriyani
Cetakan: 1, Januari 2014
Tebal: 464 hlm
Penerbit: Elex Media Komputindo

Misteri Angka-Angka

$
0
0
Jika Muriel Rukeyser pernah berkata bahwa alam semesta terbentuk oleh cerita-cerita, maka lewat buku ini Annemarie Schimmel hendak menegaskan bahwa semesta juga terbentuk atas angka-angka. Dari angka nol yang kosong hingga 360 yang membagi sebuah lingkaran, peradaban-peradaban kuno di Bumi diwarnai oleh angka-angka (selain juga cerita). Dalam beberapa peradaban, angka-angka bahkan menjadi bukti kemajuan mereka, seperti angka nol di India dan 360 pada bangsa Sumeria. Sementara dalam sejumlah peradaban yang lebih modern, angka-angka dianggap memiliki nilai numerik serta dapat melambangkan sesuatu. Angka 13 misalnya, kondang sebagai angka sial di Barat sementara angka 8 dianggap sebagai angka keberuntungan di Tiongkok karena bentuknya yang tidak terputus. Setiap angka, dengan demikian, memiliki 'nilai dan sejarahnya sendiri.' 


Lebih dari semata dokumentasi tentang angka-angka, buku ini menelisik lebih jauh tentang mitos dan perlambang angka-angka dalam agama-agama besar di dunia. Tiga agama langit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan juga Hindu dan Buddha, mendapat pembahasan yang lumayan banyak. Sejumlah informasi terkait angka-angka dalam beberapa peradaban besar dunia juga turut dijabarkan, mulai dari suku Aztec hingga Tiongkok kuno. Membaca buku ini, saya jadi sadar betapa angka-angka yang kita gunakan sehari-hari itu telah melewati kurun masa yang sangat panjang sehingga menjadi wujud dan fungsinya seperti sekarang. Diawali dengan pengamatan atas benda-benda langit oleh suku-suku purba tiga ribu tahun lalu, umat manusia mulai membentuk kaitan antara benda-benda langit itu dengan perhitungan sederhana yang dapat mereka manfaatkan, misalnya untuk menentukan musim bercocok tanam atau menentukan arah.

Setiap peradaban memiliki tanda-tanda angkanya sendiri, dan setiap peradaban juga memiliki perbedaan tentang bagaimana mereka memaknai suatu angka.  Terkait agama, angka-angka tertentu rupanya juga memiliki keistimewaannya sendiri. Angka 1, misalnya, sangat diagungkan dalam Islam karena melambangkan Allah yang Maha Esa. Sementara, dalam ajaran Kristiani, angka 3 adalah yang dikuduskan karena melambangkan Tritunggal. Di lain pihak, beberapa angka dimaknai secara positif oleh sejumlah agama, misalnya angka 7. Tapi, ada juga angka yang dipandang positif di suatu kebudayaan dan di saat yang sama dipandang negatif di peradaban lain, angka 9 misalnya. Dikutip dari ulasan Kaha Anwar bahwa angka 9 memiliki interpretasi sebagai berikut:

Interpretasi lain yang telah dikenal sejak zaman kuno menekanan watak angka 9 yang nyaris sempurna. Troy dikepung selama 9 tahun, dan Odysseus menempuh perjalanan dalam rentang waktu yang sama. Sembilan malaikat dalam Dante adalah refleksi dari kesempurnaan angka 3, yang kemudian dilengkapi dengan Tuhan yang Esa yang meliputi segala sesuatu sehingga membentuk keutuhan 10. Interpretasi “surgawi” lain atas angka 9 bisa ditelisik dari perannya sebagai hasil 8 +1, keindahan agung dan tinggi. Kedudukan 9 yang serupa bisa dijumpai di dalam filsafat Ikhwan ash Shafa dengan tingkat eksistensinya: satu pencipta, 2 jenis intelek, 3 jiwa. 4 jenis materi, 5 jenis alam, alam badaniah yang ditentukan dengan 6 arah, 7 langit berplanet, 2 x 4 unsur, dan terakhir 3 x 3 tingkat kerajaan bintang, tumbuhan dan mineral.

http://2.bp.blogspot.com/-9QwdPAm3pPo/Vf6qB_RPDtI/AAAAAAAAAAk/MA9TPUq4Fz8/s1600/

Banyak pertanyaan besar kita tentang angka yang akan dijawab di buku ini. Misalnya saja, mengapa angka 13 dianggap sebagai angka sial. Salah satunya adalah dalam tradisi Kristen disebutkan bahwa Yesus dikhianati oleh murid ke-13. Ini malah berkebalikan dengan tradisi Kabbalah Yahudi yang menanggap angka 13 sebagai angka keberuntungan karena nilai numeriknya membentuk kata "Esa" yang merupakan sifat Tuhan. Di suku Maya juga, angka 13 dimasukkan sebagai angka keberuntungan. Jadi, pendapat bahwa sebuah angka adalah sial dan lainnya tidak itu memang sejatinya relatif. Setiap bangsa, dengan demikian, memiliki angka keberuntungan dan angka kesialannya masing-masing sesuai dengan persepsi dan pengalaman mereka. 

Selain membuktikan betapa dahsyatnya pengetahuan penulis tentang sejarah dan antropologi bangsa-bansga dan agama-agama besar di dunia, yang menjadikan buku ini semakin menarik adalah ilustrasi-ilustrasi di dalamnya. Bahkan, saya bisa tahan membaca buku ini terutama adalah karena ilustrasi-ilustrasi khas abad pertengahan di dalamnya. Dengan telaten, penulis dan tim menyeleksi ratusan buku referensi untuk menyalin ulang gambar-gambar dan foto-foto yang berkaitan dengan angka-angka. Buku ini penuh dengan puluhan lukisan dinding di gereja-gereja kuno Eropa, patung-patung singa di India, anagram-anagram Tiongkok nan eksotis, tabel nilai numerik ala Yuahudi, hingga papan angka yang sering dijadikan jimat oleh sebagian bangsa Muslim di Turki dan Timur Tengah. Yang lebih luar biasa, beliau penulis mengumpulkan semua gambar ini di zaman ketika mungkin internet belum banyak digunakan. Bayangkan betapa banyaknya buku yang harus beliau buka, jam-jam yang dihabiskan di perpustakaan berdebu untuk riset pustaka, dan merangkai kembali semua angka-angka yang memusingkan itu menjadi sebuah buku. 



Judul: Misteri Angka-Angka
Penulis: Annemarie Schimmel
Penerjemah:
Cetakan: 1, Oktober 2006
Tebal: 309 hlm
Penerbit: Pustaka Hidayah

Babad Ngalor Ngidul

$
0
0
Judul: Babad Ngalor Ngidul
Penulis: Elizabeth D. Inandiak 
Tebal: 160 hlm
sampul dan ilustrasi: Bayu Dono
Cetakan: 1, Mei 2016
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia


30237252

Saya mengenal nama Elizabeth D. Inandiak pertama kali lewat seri Serat Centhini yang digubahnya ke bahasa Prancis dan kemudian ke bahasa Indonesia. Banyak yang bilang, dari sekian versi terjemahan Serat Centhini di Indonesia, gubahan beliau adalah yang paling apik. Persentuhannya dengan Serat Centhini rupanya membuatnya jatuh cinta pada negeri ini, terutama dengan budaya Jawa, sehingga kemudian dia mukim dan banyak berinteraksi dengan orang-orang Jawa. Satu fakta yang agak menyedihkan sebenarnya, ketika bangsa kita mulai tertarik membaca dan mempelajari kembali Serat Centhini setelah naskah kuno asli nusantara itu dipelajari dan dipopulerkan oleh seorang asing. Apakah bangsa kita sedemikian kurang kreatifnya sehingga membutuhkan sebuah picuan dari luar sebelum kita bisa benar-benar menghargai harta pustaka milik bangsa? Entahlah, semoga saja tidak.


Sebagai penulis, beliau mengaku tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya demi membantu korban gempa Jogja dan korban erupsi Merapi 2010 selain dengan menulis. Dan buku ini merupakan rangkuman ingatannya tentang kedua peristiwa besar di tanah Jawa itu yang dikemasnya dalam sebentuk cerita bersambung antar-bab. Buku ini merupakan upayanya untuk merekam dan menyatukan serpihan dan sepilihan cerita tentang berbagai hal terkait mitos Merapi dan Laut Selatan yang entah didengarkannya beneran dari orang-orang nyata ataukah hanya dongeng rekaannya semata. Tetapi jika pun ini dogeng, Elizabeth D. Inandiakbenar-benar seorang pendongeng yang hebat dan meyakinkan. Penulis buku ini terasa sangat Jawa, lebih dari Jawanya saya (padahal saya yang orang Jawa asli). Memang benar kata pepatah, banyak orang Jawa sekarang yang 'ilang Jawane' ... saya contohnya, hiks.

Ngalor ngidul, istilah ini merujuk pada kegiatan melakukan sesuatu yang tidak jelas jluntrungannya, seperti bicara ngalor ngidul alias bicara sampai kemana-mana tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam konsep Jogja, ngalor-ngidul memiliki makna yang sejatinya sangat dalam, yakni perbincangan akrab antara pihak Lor (utara) dan pihak Kidul (selatan). Dalam konsep mitologis Jogja, kota ini memang berada di tengah-tengah antara Lor (yang diwakili Gunung Merapi) dan Kidul (Ratu Pantai Selatan). Peran Kraton Yogyakarta kemudian adalah sebagai penengah dari segala sesuatu. Sebagaimana ungkapan bijak dalam agama yang menyebut bahwa menjadi manusia yang baik adalah yang berada di tengah-tengah, yang menengahi, yang tidak kaya banget tapi juga tidak miskin melarat, tidak kikir tapi juga tidak boros; yang di tengah-tengah di antara kedua kutub ekstrem. 

Elizabeth D. Inandiak memulainya dari puncak Merapi, menyorot kehidupan sosok masyhur yang pesonanya akan selamanya lekat dengan gunung kuno ini, Mbah Maridjan. Penulis mengisahkan pertemuannya dengan sang Juru Kunci Merapi, tentang bagaimana beliau benar-benar menjaga Merapi agar tidak diperjualbelikan, tentang kesederhanaan dan falsafah hidupnya, juga tentang 'kesaktiannya' yang konon piawai memperkirakan kapan Merapi akan meletus. Elizabeth D. Inandiak kemudian menyoroti tentang iklan 'Kuku Bima' yang kata sebagian orang telah 'merusak' keagungan sang Juru Kunci. Beliau yang sebelumnya bersahaja telah 'diperalat' menjadi alat promosi kapitalisme sehingga ilmu titen-nya tidak lagi semanjur dahulu. Erupsi tahun 2010 membuktikan bahwa sebuah gunung tidak perlu dijaga karena Merapi bisa menjaga dirinya sendiri. Dia tidak mau diprediksi dan diatur-atur, begitulah alam. Mbah Maridjan pun menjadi salah satu korban embusan awan panas Merapi setelah bersikukuh tidak mau mengungsi.

Lewat babad ini, penulis sepertinya hendak menyorot efek industrialisme dan kapitalisme terhadap kesederhanaan bangsa Jawa. Selama ini, banyak kita berpikir bahwa modernitas akan membawa kebaikan bagi manusia--disamping kemudahan-kemudahan teknologi yang dibawanya serta. Semua di zaman ini serbainstan, termasuk mendaki Merapi yang dulu harus dilakukandengan dibarengi beragam tirakat dan penghormatan. Sekarang, semua bisa mendaki gunung dan banyak yang kemudian lupa untukmenghormati alam. Atas nama modernitas--dan kadang bahkan atas nama agama--banyak kita yang kemudian menindas alam, memperlakukannya bukan sebagai rekan tetapi sebagai sesuatu yang wajib ditaklukan. Gempa 2006 dan Erupsi Merapi 2010 membuktikan bahwa alam mampu menjaga dirinya sendiri, karena itulah di buku ini disebut bahwa Mbah Maridjan bertanggung jawab kepada Kraton, dan bukan kepada Merapi. Gunung ini telah membuktikan, bahwa dia mampu dalam sekejap saja menghancurkan kesombongan manusia yang sedemikian tamak memenuhi lereng dan punggungnya dengan perumahan mewah dan lapangan golf tetapi abai pada sesamanya.

Dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi mistis karya Bayu Dono, buku ini adalah bacaan yang unik bagi mereka yang tertarik pada beragam referensi tentang kebudayaan Jawa. Sebagai orang Jawa (dan orang Jogja), saya turut belajar banyak tentang Jawa dan Jogja dari buku bersampul unik ini.  

Gara-Gara Alat Vital Saya Membeli Buku Ini

$
0
0
Judul: Gara-Gara Alat Vital dan Kancing Gigi 
Penyusun: Gustaaf Kusno
Editor: Iskandar Zulkarnaen
Cetakan:1, Januari 2014
Tebal: 187 hlm
Penerbit: Gramedia




Dulu, setelah baca buku 9 Dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing saya trus kepikiran pengen jadi penerjemah. Akhirnya, ambil konsentrasi penerjemahan di semester-semester akhir. Semua karena buku! Bukannya apa-apa, yang terbayang di kepala saat itu: 'Betapa masih mudanya bahasa Indonesianya sehingga kosakatanya banyak yang comot sana comot sini. Andai bahasa Indonesia punya lebih banyak variasi kata pasti aduhai.' Kemudian, saya alami sendiri bahwa kadang tindakan comot sana conot sini itu memang sering kali tak terhindarkan dalam proses menerjemahkan. Beberapa (atau banyak) kata dalam bahasa Inggris belum memiliki padanan dalam bahasa Indonesia sehingga terpaksa si penerjemah ikut main comot. Bersalah iya, tapi mau bagaimana lagi?

Kemudian, saya bertemu buku ini. Jika dalam buku pertama kita bisa tahu asal-muasal banyak kata dalam bahasa Indonesia yang dicomot dari bahasa asing, maka di buku ini penulis memusatkan perhatiannya pada bahasa Belanda, Inggris, dan Malaysia sebagai sumber comotan. Paling banyak dibahas adalah kata-kata dalam bahasa Indonesia yang ternyata berasal dari bahasa Belanda, juga bagaimana kata-kata itu kadang dipergunakan secara keliru, seperti spooring & balancing. Kata "spooring" ternyata bukan dari bahasa Inggris, tapi dari bahasa Belanda yang diinggriskan tapi di Inggris sendiri kata-kata itu nggak ada (yang digunakan adalah "tracking and balancing"). Kata-kata lain yang ternyata berasal dari bahasa Belanda di antaranya: bivak, waterpas, setip (karet penghapus), plakban, nakas, sun (ciuman), meses, inreyen, behel, dan juga verboden. Kemudian, simak yang satu ini:


Tanya: Kenapa kita sakit mag?
Jawab: Karena kita dijajah Belanda.

Kok bisa? Jawabannya ada di halaman 124.
Bagian paling menarik tentu tentang penyerapan dari bahasa Malaysia. Sudah jamak kita dibuat tersenyum oleh versi Malaysia dari beberapa kata dalam bahasa Inggris. Nah untuk yang berikut ini, bolehlah kita sikit senyum untuk versi Malaysia dari sejumlah istilah medis berikut:

impoten --> mati pucuk
ereksi --> ketegangan zakar
ayan --> sawan babi
sistem saluran pencernaan --> sistem penghadaman
kandung kemih --> pundi kencing
ICU --> unit rawatan rapi
opname --> kemasukan hospital
UGD --> bilik kecemasan

Ngomong-ngomong, istilah 'rumah sakit korban lelaki' ternyata tidak kita temukan di sana. Istilah ini murni hanya untuk bercanda saja.

Kreativitas tetangga serumpun ini tampak pada cara mereka mengalihbahasakan dalam bentuk singkatan, seperti pollen (serbuk benang sari) yang dialihbahasakan menjadi debunga (singkatan dari debu bunga). Kreatif dan unik! Coba kita juga kreatif dengan menyebutnya sebagai 'serburi' yang kedengaran lebih 'bungawi' . Tentang akronim ini, saya juga baru tahu (duh memang lemot kamu, Yon) kalau 'cikgu' di Ipin-Upin itu adalah singkatan dari 'encik guru.' Terus, ada lagi yang unik, semacam 'pagawam' (panggung wayang gambar) untuk "cinema" serta 'jantina' (jantan betina) sebagai padanan kata 'gender'. Unik dan kreatif ya? Yang 'jantina' itu mungkin bisa kita tiru.
 
NB: Lucu juga kalau mengingat bagaimana buku bagus ini bisa sampai ke tangan saya. Ceritanya persis seperti judul buku ini. Awalnya saya mencomot buku ini gara-gara ada tulisan Alat Vital-nya, kemudian baru sadar kalau ini adalah buku bunga rampai bahasa. Semua gara-gara alat vital hahaha *plak


gambar: yes24.co.id

Wisanggeni, Buronan Para Dewata

$
0
0
"Perhatikanlah, Wisanggeni, bahwa kekuatan batin bisa mengendalikan yang lahir." (hlm. 92)

Tidak selamanya kisah dari dunia pewayangan disajikan dengan sedemikian monoton dan tanpa greget sehingga membuat penonton hanya menantikan bagian 'uyon-uyon' dengan godaan sinden seksi dan candaan si dalang muda yang kadang menyerempet agak porno. Ada alasan mengapa wayang menjadi sedemikian istimewa, pementasan cerita wayang megandung kandungan hikmah dan filosofi tentang kehidupan  yang sedemikian adi luhung. Sungguh akan sangat sayang kalau generasi muda Indonesia tidak tertarik dengan salah satu bukti puncak pencapaian nonbendawi dari bangsa ini.  Ada satu cara asyik mengenalkan kembali kehebatan wayang kepada pembaca muda, yakni dengan menuliskannya ulang dalam bahasa yang lebih populer tanpa harus kehilangan ketinggian maknanya. Dan, siapa lagi yang lebih layak menunaikan tugas ini kalau bukan para sastrawan?

Seno Gumira Ajidarma, beberapa dari kita mengenalnya sebagai sastrawan 'pemilik senja.' Tidak disangka, di sela-sela jadwal padatnya, beliau masih sempat menulis tentang dunia perwayangan. Penulis keren sih gitu, masih sempet nulis meskipun lemburan dan tenggat waktu datang menghadang. Selain buku ini, Kitab Omong Kosong adalah buku lain karya beliau yang juga menggambil kisah tentang perwayangan. Yang lebih kerennya lagi, di buku tipis ini kita juga menemukan ilustrasi-ilustrasi keren karya Danarto. Iya, Danarto yang juga cerpenis dan seniman itu menorehkan dalam buku ini ilustrasi-ilustrasi futuristik dan egaliternya tentang tokoh-tokoh pewayangan. Bahkan Seno sendiri memuji lukisan Danarto di buku ini sebagai sesuatu yang baru dan mengentak. Tetap wayang tapi ada sesuatu yang terasa futuristis dan non strerotif dari lukisan-lukisan Danarto ini.

Apa jadinya ketika dewata tidak menginginkan anak dari hasil pernikahan antara manusia dan bidadari? Hasilnya adalah kisah Wisanggeni.  Lahir sebagai buah cinta atas pernikahan Arjuna dengan Dewi Dresanala, Wisanggeni ditolak oleh kahyangan dengan alasan keberadaannya akan menjatuhkan martabat para dewa sehingga diupayakan segala cara untuk menghilangkannya. Tidak berapa lama setelah kelahirannya, Batara Brahma menculik dan meracuni wisanggeni, kemudian menjatuhkan si bayi kecil ke tengah samudra. Maka bergolaklah samudra dengan api dan wisa (bisa), dan dari dua kata inilah Wisanggeni dinamai. Kemudian, sai bayi Wisanggeni dirawat oleh Betara Baruna dan Sang Hyang Antaboga yang menguasai lautan, mendidik dan mengajarkan beragam laku serta ilmu kanuragan kepadanya. Menjelang dewasa, pemuda Wisanggeni menjadi hampir tak terkalahlan. Dimulailah penggembaraan mencari jawab keberadaan orang tuanya.

Dalam penggembaraan inilah Wisanggeni ditetapkan sebagai buronan langit. Tidak terhitung berapa kali dia harus menghadapi utusan para dewa. Semuanya berhasil dia libas dan kalahkan dengan gampang. Hampir-hampir tidak ada tanding buat Wisanggeni, bahkan Batara Guru yang menjadi penguasa semesta saja dikejarnya hingga di beragam alam. Hanya Kresna, titisan Wisnu yang bisa menghentikan amuk Wisanggeni. Diceritakannya riwayat kehidupannya, juga takdir yang harus dijalaninya. Dan di buku ini, kita membaca sebuah kisah tentang sosok yang terpaksa harus dihilangkan dari dunia perwayangan. Karena proses kelahirannya, keberadaan Wisanggeni harus dihapuskan agar dunia perwayangan bisa tetap berjalan dengan semestinya. 

Luar biasa, tidak sampai satu jam waktu yang dibutuhkan untuk membaca novel tipis ini, tetapi efek yang ditimbulkan menetap selama berjam-jam di kepala saya. Saya memang belum membaca Kitab Omong Kosong yang tebal itu. Tapi, jika buku itu sedahsyat novel Wisanggeni ini, maka saya akan langsung memasukkannya dalam daftar beli *lupakan timbunan. Membaca novel ini sama sekali tidak terasa seperti membaca cerita pewayangan yang pelan dan serba tinggi. Malahan, membaca buku ini tidak ubahnya membaca buku fantasi tentang dewa-dewi. Beberapa hal dalam novel ini seperti mengingatkan saya pada mitologi Yunani, semisal kemiripan antara Wisanggeni dan Hercules yang--selain sama-sama putra dari dewa dan manusia--diburu oleh dewata. Dalam sebuah buku, saya pernah membaca bahwa mite Yunani kuno dibangun oleh mitos India kuno, karena itulah dewa-dewi mereka hampir mirip. Apakah ini benar? Kayaknya bakal seru kalau ada penulis yang mengulasnya. 





Judul: Wisanggeni, Sang Buronan
Pengarang: Seno Gumira Ajidarma
Ilustrasi: Danarto
Editor: Muhajjah Saratini
Tebal: 108 hlm
Cetakan: 1, 2016
Penerbit: Laksana

Buku dan Kelamin dalam Pertaruhan

$
0
0
Judul : Perpustakaan Kelamin, Buku dan Kelamin dalam Pertaruhan
Penulis : Sanghyang Mughni Pancaniti
Penerbit : Semesta
Cetakan : I, Mei 2016
Tebal : 229 hlm
ISBN : 978-602-14549-3-0 





Perpustakaan dan kelamin, dua kata benda yang sejatinya jauh berbeda tetapi dapat dipersatukan di tangan seorang penulis yang  nyata-nyata sangat mencintai buku. Adalah Hariang, seorang asli Sunda yang tinggal di sebuah desa kecil di pelosok Sukabumi, Jawa Barat  bersama ibunya. Keduanya sangat mencintai buku dan perpustakaan. Sedemikian cintanya kepada perpustakaan, ibu Hariang bahkan rela untuk menyisihkan uang pendapatan dari menjual hasil buminya yang tidak banyak itu untuk membeli buku. Setiap ada uang, sebagian selalu disisihkan untuk membeli buku demi memperkaya perpustakaannya. Tidak hanya itu, ibu Hariang kemudian membuka perpustakaan itu untuk umum. Seluruh warga desa Cigendel diperbolehkan untuk membaca buku di sana. Perpustakaan itu kemudian diberi nama Pakubon Kadeudeuh (bahasa Sunda, Pakubon = Perbukuan/perpustakaan, Kadeudeuh = Kasih Sayang). Satu lagi sikap teguh mereka yang layak dicatat, haram hukumnya bagi mereka untuk meminta - minta buku alias mendapat buku dengan gratis

"Membacalah! Membacalah! Membacalah! Karena kita tak lagi purba!" (hlm 128)

Bagaimana cara Ambu Hariang untuk menumbuhkan semangat cinta baca dalam diri Hariang cukup unik. Beliau menyimpan seluruh buku koleksinya dalam sebuah ruangan terkunci dan putranya sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di balik pintu tersebut. baru ketika Hariang berusia 20 tahun, ibunya membuka kamar rahasia tersebut: sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang jumlahnya ratusan ribu. Ada alasan khusus mengapa ibunya melakukan itu, yakni agar Hariang muda selalu penasaran (sehingga mau berusaha untuk selalu ingin tahu lewat membaca) dan agar kerinduan yang memuncak itu akhirnya terbalaskan ketika waktunya tiba. Dan memang benar, begitu perpustakaan itu dibuka, Hariang langsung jatuh cinta pada buku-buku. Sejak saat itu, tidak ada hal lain di pikiran Hariang selain buku, ibunya ... eh juga pacarnya--si Drupadi.

"Hariang, ketika Tuhan meniupkan ruh padamu, Dia simpan pada tiga tempat: akalmu (buku), hatimu (Ibu), dan kelaminmu (Drupadi), tinggal kamu yang putuskan, mana yang akan kamu utamakan?"(hlm. 208)

 Selain kisah tentang pecinta buku, novel dengan judul mirip buku nonfiksi ini dilimpahi dengan aneka informasi sejarah tentang buku. Separuh pertama buku ini adalah buku impian dari para pecinta buku karena begitu banyak informasi, sejarah, orang-orang, hingga beragam cerita unik di balik buku. Dimulai dari sejarah terciptanya buku, bahwa buku memiliki format dan wujud yang berbeda-beda hingga menjadi yang seperti saat ini. Bangsa Sumeria memulainya dalam tablet-tablet tanah liat yang dikeringkan, bangsa Mesir dengan papirus, bangsa Jawa dengan daun lontar dan lain sebagainya sampai sebuah revolusi dilakukan oleh Tsai Lun yang menemukan kertas pada 105 M. Butuh waktu hampir 1500 tahun lagi hingga muncul revolusi kedua, yakni penemuan mesin cetak oleh Gutenberg. Begitu berjasanya kedua tokoh ini sampai Michael J. Hart menempatkan mereka dalam 10 besar tokoh paling berpengaruh dalam sejarah (no. 7 dan no. 8).

Ada 7 jenis penggandrung buku:

1. Bibliomania: membeli buku hanya untuk ditimbun
2. Bibliofil: membeli buku dan membacanya
3. Bibliotaf: menyimpan buku seperti dia menyimpan hatinya sendiri eaak
4. Bibliokas: memiliki kecenderungan untuk menghancurkan buku
5. Bibliofagi: memakan buku biar hafal/memahami isinya
6. Biblionarsisis:mengoleksi buku hanya untuk pamer
7. Bibliokleptomania : suka nyolong buku.
(disarikan dari hlm. 27 - 28)


Paling menarik tentu saja kisah-kisah unik tentang para pecinta buku. Penulis membagi para pengandrung buku itu dalam 7 golongan seperti dikutip di atas. Salah satu yang paling unik adalah Boulard yang hidup pada abad ke-18 di Prancis. Tokoh ini begitu bernafsu membeli buku hingga rumahnya tak cukup untuk menyimpan buku-bukunya yang mencapai 800 ribu judul (timbunan saya belum ada seperseratus persennya dah!) dan Boulard tak pernah sekalipun membaca buku-buku tersebut. Edan, inilah penimbun sejati. Kita juga sedikit bersedih hati saat membaca kecenderungan aneh Mary Shelley--pengarang Frankenstein--yang gemar menyobek halaman depan buku, atau Charles Darwin yang selalu membelah menjadi dua setiap buku tebal miliknya dengan alasan agar lebih mudah dibawa.

Salam penghormatan layak disematkan pada Richard Heber yang hidup di Inggris pada abad ke-19 karena dia memiliki 300 ribu judul buku yang seluruhnya sudah dia baca dalam masa usia kehidupannya. Ada juga Pliny dari Romawi kuno yang sering berkeliling kota Roma dalam kereta tertutup agar kegiatan membacanya tidak terganggu. Kisah lain tentang bibliofagi dan bibliokleptomania di buku ini juga tidak kalah mencengangkan, bikin geleng-geleng karena segitunya demi buku. Kisah tentang Marquis de Sade juga tidak kalah mengenaskan, yang sekaligus membuktikan kecintaannya pada menulis seperti yang digambarkan dalam film 'Quills'.


"Tidak ada satu negara besar pun, yang rakyatnya bukan penggemar sastra."(hlm. 46)

Tidak hanya asal gembar-gembor, penulis novel ini benar-benar membuktikan dirinya sebagai pecinta buku dengan melansir daftar buku-buku yang wajib baca. Membaca novel ini, kita serasa disodori judul-judul buku yang sangat direkomendasikan untuk dibaca, terutama buku-buku bagus yang jarang mendapatkan perhatian. Nama-nama penulis macam La Fang,  Putut Widjanarko, Moamar Emka, hingga Ayu Utami bertebaran di dalamnya. Belum lagi penulis-penulis kenamaan dunia dengan karya-karya besarnya. Saya seperti disadarkan betapa masih banyaknya buku-buku bagus yang belum saya baca. Dalam menyoroti sejarah buku, novel ini banyak juga menyorot para ulama Islam yang ternyata juga penulis-penulis hebat. Meskipun saat itu belum ditemukan mesin cetak, banyak ulama dan ilmuwan Islam yang menulis sehingga dari karya-karya itulah dimungkinkan khazanah ilmu pengetahuan dari era Yunani kuno masih bisa kita baca sampai sekarang. Selain menulis ulang dan menerjemahkan, para cendekiawan muslim tersebut juga memperkaya tulisan-tulisan dari era purba sehingga semakin tinggilah kadar keilmuwannya.

"Hariang, ibu merasa berutang budi kepada para penulis buku. Karena mereka telah bersusah payah menangkap berbagai realitas, yang kemudian diteks-kan, agar kita semua bisa membacanya hari ini. Itulah kenapa ibu selalu membacakan surat Yaasin kepada mereka, mengirimkan doa dan banyak ucapan terima kasih."(hlm 8)

Secara khusus, novel ini menyorot buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Baez.  Buku inilah yang digunakan dalam diskusi bersama kelompok PAKU (Pasukan Anti Kuliah) yang rutin diikuti oleh Hariang. Dari PAKU pula Hariang bisa menemukan teman-teman yang sevisi dengannya, yang mencintai ilmu tetapi kurang mencintai institusi sekolah. Pembahasan tentang buku Baez ini menurut saya terlalu banyak, sampai-sampai hampir menyerupai ulasan dalam ulasan. Buku bagus memang layak diulas, tetapi jika kasusnya diulas dalam novel, menurut saya jadi terlalu detail dan menghilangkan rasa penasaran pembaca yang belum membaca buku Baez (atau malah semakin penasaran). Untungnya, penulis tidak sekadar mengutip, namun memperkayanya dengan wacana dan kemudian mengaitkannya dengan isu-isu kekinian di dunia pendidikan dan kekinian dalam bahasa yang menyentil.

 "Koran adalah benda yang begitu banyak paradoks. Mengutip Prie G.S., ia terlalu murah untuk isinya yang mahal. Ia begitu cepat tak berharga dibanding isinya yang padat makna."(hlm 31)

Alasan mengapa buku Fernando Baez mendapatkan porsi lebih mungkin karena novel ini memang berkisah tentang terbakarnya buku-buku. Suatu malam, saat Hariang sedang ke Bandung untuk mengikuti diskusi dengan PAKU, Pakubon Kadeudeuh terbakar. Seluruh buku-buku bagus yang telah dikumpulkan bersama ibunyahabis terbakar menjadi abu. Kehilangan besar ini telah meruntuhkan semangat hidupnya, yang menjadi linglung dan gila mencari-cari perpustakaan dan bukunya. Hariang yang memang belum bekerja tetap pun bingung mencari dana untuk membangun kembali Pakubon Kadeudeuh, terlebih ketika dokter berkata bahwa ibunya hanya bisa sembuh ketika perpustakaan itu kembali didirikan. Dalam situasi sulit itulah, Hariang teringat pada tawaran Kang Ulun yang sedang mencari donor kelamin dengan imbalan 1,5 Miliar. Haruskah Hariang mengorbankan anugrah Tuhan yang hanya satu-satunya itu demi membangun kembali Pakubon Kadeudeuh? 

"Kamu harus selalu ingat, buku adalah peradaban tertinggi umat manusia. Peradaban kita adalah peradaban buku. Demi peradaban itu, kamu jangan pernah meminta. Jangan pernah! Kalau perlu, lakukanlah pengorbanan demi mendapat sebuah buku!"  (hlm. 14)


Between Shades of Gray

$
0
0
24364072Judul: Between Shades of Gray
Penulis: Ruta Sepetys
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penyunting: Rika Iffati FarihahDesain sampul: Fahmi Ilmansyah
ISBN: 9786021306451
Tebal: 396
Cetakan: Pertama, Desember 2014
Penerbit: Noura Books


 

Lithuania, Latvia, dan Estonia; ketiga negara di kawasan Baltik ini sempat menghilang dari peta dunia selama hampir separuh abad ke-20. Eksistensi bangsa-bangsa ini dicaplok oleh Pemerintah Uni Soviet yang berhaluan komunis sampai akhirnya persekutuan blok timur ini runtuh pada awal tahun 1990-an. Dari televisi, kita hanya bisa menyimak berita tentang kembalinya kemerdekaan ketiga bangsa di Eropa utara tersebut, sejenis informasi yang datar karena hanya berisi tanggal dan peristiwa. Tetapi, lewat cerita, kita bisa merasakan dan serasa mengalami sendiri bagaimana penderitaan orang-orang tersebut selama berada dalam tekanan pemerintah negara lain yang menindasnya. Banyak orang yang telah membahayakan jiwanya dengan mencoba meneriakkan kepada dunia luar tentang apa yang tengah berlangsung di balik dinding-dinding Soviet. Seperti yang telah dilakukan Rita Sepetys lewat novel keras yang ditulis dengan sangat indah ini.


Between Shades of Grey berkisah tentang perjuangan bertahan hidup yang harus dilalui oleh Lina dan keluarganya di masa-masa pembuangan. Suatu malam di tahun 1941, sekelompok pasukan NKVD (kemudian menjadi KGB) mendobrak masuk ke rumah keluarga Vilkas, kemudian menciduk seluruh penghuninya--kecuali sang ayah yang telah lebih dulu menghilang. Bersama ibu dan adiknya, Jonas, Lina diangkut ke sebuah kereta. Dalam gerbong-gerbong msiterius yang bertuliskan 'pelacur' itu, mereka berdesakan dengan ratusan orang lain yang diciduk NKVD karena dinilai dapat mengganggu stabilitas pemerintahan teror Stalin yang berpusat di Moskow. Dari yang semula warga terhormat, manusia-manusia ini kemudian diperlakukan layaknya kumpulan ternak dalam gerbong padat dengan kondisi yang menyedihkan. Kurang makan, kurang tidur, jarang mandi, hingga tidak diberi kesempatan untuk membuang hajat, mereka benar-benar tidak dianggap sebagai manusia. Sungguh miris sekali, betapa di dunia ini masih ada manusia-manusia tanpa hati yang menyiksa sesamanya sendiri.

"Kita mengenal diri kita sendiri. Mereka keliru. Dan, jangan pernah biarkan mereka meyakinkanmu yang sebaliknya."(hlm. 74)

Kengerian selama diangkut dalam gerbong belum ada apa-apanya dibandingkan kesulitan yang telah menanti mereka di tujuan. Dirahasiakan dari mata dunia, kereta itu membawa mereka ke kawasan terpencil di Pengunungan Altai untuk kemudian dipekerjakan paksa di sebuah perkebunan. Selama berbulan-bulan, melewati musim yang keras, Lina bersama ibu dan adiknya dipaksa bekerja keras di ladang dengan kondisi yang sangat tidak manusiawi. Makanan dijatah,pakaian tidak memadai, bahkan Lina dan keluarganya harus tinggal di rumah sempit dan bobrok bersama seorang wanita yang pemarah. Tetapi, dalam setiap kondisi buruk, selalu ada bunga yang tetap bertahan dan mekar. Lina bertemu dengan Adrinus, cowok sebayanya yang kemudian menjadi teman dekatnya. Berkat Adrius inilah Lina dan Jonas bisa tetap waras dalam kondisi pembuangan. Selain Adrius, tokoh positif lain yang layak diacungi jempol adalah ibunya Lina dan Jonas, Nyonya Vilkas. Berkali-kali, wanita hebat ini terus menguatkan--bukan hanya anak-anaknya, tetapi juga--seluruh penghuni gerbong. Ketegaran Ibu ini luar biasa, lihatlah apa yang diajarkannya kepada Lina:

"Perlakuan yang salah terhadap diri kita tidak memberi kita hak untuk melakukan hal yang keliru."(hlm. 346)

 Secara keseluruhan, Between Shades of Gray berisi tentang penderitaan (saya sampai sudah move on dan harus membaca komik untuk kembali meningkatkan semangat hidup saya kembali (halah). Membaca novel ini niscaya membuat kita terpekur untuk bersyukur, betapa kita telah diberi kesempatan menjalani hidup yang layak. Bahwa kebebasan itu sering kali sangat mahal harganya, juga bahwa sesekali kita juga harus mencoba memandang hidup lewat kacamata orang lain sehingga kita mudah untuk berempati dan tak gampang menghakimi (nyontek tweetnya @divapress01).

Firefight, Perang antar Epic di New York City

$
0
0
Judul: Firefight
Pengarang: Brandon Sanderson
Penerjemah: Putra Nugroho
Penyunting: Rina Wulandari
Cetakan: 1, Agustus 2016
Tebal: 574 hlm.
Penerbit: Mizan Fantasi

31932579


"Terkadang, kau harus membantu para pahlawan." (hlm. 499)

Setelah dipukau dengan adegan aksi laga nan sangat epik antara Reckoners melawan para Epic dalam Steelheart, sangat sayang kalau kita melewatkan membaca Firefight. Buku kedua dari Trilogi The Reckoners ini memang tidak sedahsyat buku pertama dalam menggelar adegan-adegan pertempuran seru antara dua kubu. Tetapi, buku kedua ini ibarat sebuah jembatan yang harus ada antara buku pertama dan buku ketiga karena di buku ini penulis seperti hendak mematangkan karakter-karakter utama untuk dipersiapkan dalam perang akbar di buku ketiga nanti. Selain itu, berbagai pertanyaan pembaca akan terjawab di buku kedua ini: tentang siapa sang Prof. sebenarnya, apakah Megan benar-benar telah berubah ataukah masih jahat seperti dulu, serta apa sebenarnya Calamity itu--yang menjadi penyebab dari semua kegilaan para Epic di serial ini. Juga, sebuah rahasia besar tentang Firefight, Prof. dan para Epic akhirnya akan terungkap.

"Jika tidak ada seorang pun yang mengubah dunia, jika tidak ada yang berusaha mengubah dunia lebih baik, maka kita akan stagnan." (hlm. 282)

Penulis ini sepertinya memiliki ciri khas membuka cerita dengan adegan-adegan laga. Sejak dari halaman pertama, pembaca akan dibawa ke tengah-tengah pertempuran antara Reckoners melawan seorang Hight Epic bernama Sourcefield yang menguasai kekuatan listrik. Membacanya benar-benar seperti kita sedang menonton film yang sangat seru dan menegangkan, hanya saja kita melihatnya dari sudut pandang David. Karena memakai sudut pandang orang pertama tunggal, novel ini jadi terasa begitu filmis tapi tetap ada rasa personal. Masih ingat kan dengan selera humor David yang garing tapi bikin kita ngakak di buku pertama? Juga, tentang betapa kacaunya David saat membuat perumpamaan? Mana ada cowok ngerayu cewek dengan mengibaratkan si cewek sebagai sebuah kentang di ladang ranjau? Ngiaahahahaha, David, I am done! Sayang sekali, kenikmatan membaca agak terganggu dengan beberapa salah ketik.


Dalam Firefight, lokasi pertempuran utama berubah dan tidak lagi di Newcago. David dan Prof. berangkat menuju Babilar (Babylon Restored), kawasan kota tua Manhattan, New York yang saat itu berada di bawah tirani seorang Epic bernama Regalia. Epic kuat ini memiliki kekuatan memanipulasi air yang kuar biasa. Dengan kekuatannya dia menaikkan permukaan air laut sehingga menggenangi kawasan metropolitan Manhattan. New York kini tidak lebih dari deretan pencakar-pencakar langit yang menyembul begitu saja dari kedalaman samudra. Apa dan untuk apa Regalia berbuat demikian, masih belum diketahui. Sudah pada maklum kan kalau para Epic itu memang rada gesrek pikiran dan jiwanya? Kekuatan yang terlampau besar memang dapat mengorupsi jiwa. 

"Kita menginginkan apa yang tidak bia kita miliki, bahkan saat kita tidak memiliki hak untuk memintanya." (hlm 352)

Selain Regalia, Babilar juga memiliki misteri lain berupa pepohonan buah yang bisa berpendar. Gedung-gedung di kota ini ditumbuhi sejenis tanaman aneh yang menghasilkan buah yang dapat dimakan--alhasil menyelamatkan ratusan ribu penduduk biasa yang maish bertahan di reruntuhan (atau genangan) kota tua tersebut. Para penduduk menyebut buah-buahan tersebut sebagai anugrah dari Dawnslight. Dibandingkan dengan penduduk Newcago yang tertekan selama tirani Steelheart, penduduk Babilar jauh lebih santai meskipun kehidupan mereka selalu dibayang-bayangi oleh Epic tiran penguasa air yang bisa menenggelamkan mereka kapan saja. Prof. mengajak David ke Babilar setelah beberapa kali Regalia mengirimkan epic-epic kuat ke Newcago demi membalaskan dendam karena kematian Steelheart. Tetapi, Prof. mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan Regalia. Epic licik itu sedang merencanakan sesuatu yang besar di kota yang setengah tenggelam tersebut.

Seperti kepolisian, Reckoners memiliki cabang-cabang di setiap kota sebagai wujud perjuangan mereka melawan para Epic tiran. Di Babilar, David dipertemukan dengan tim cabang sana yang terdiri atas Val, Exel, dan Minzy. Sam, anggota keempat mereka, dibunuh oleh Firefight (yang ternyata adalah *****) sehingga mereka benar-benar mendendam pada Epic yang pernah dekat dengan David itu. Nah, karena judul buku ini sendiri Firefight, maka tentu saja di buku kedua ini kita akan sering bertemu dengan High Epic yang satu ini. Karena, tidak heran kalau kemudian banyak pembaca bilang di buku kedua ini elemen romance-nya lumayan banyak. Walau demikian, kadar romantisme di buku ini masih wajar sebagaimana novel-novel fantasy-YA lainnya, bahkan terasa unyu karena kegaringan si David. Jadi, tetap enak dinikmati.

"Ada keindahan dalam simplisitas." (hlm. 279)

Salah satu yang saya tunggu-tunggu dalam seri ini adalah munculnya Epic-Epic baru dengan kekuatan dashyat mereka. Banyak Epic baru bermunculan dengan kekuatan unik: Newton, Sourcefield, Obliteration, dan tentunya Regalia yang ternyata memiliki kekuatan yang jauh lebih dashyat dari yang diketahui David. Seperti David, kita jadi ingin mengetahui Epic-Epic yang bertebaran di buku ini: apa kekuatan mereka, sejauh mana batasan dan jangkauan kekuatan mereka, bagaimana mereka menggunakannya, dan--yang paling penting--apa sumber kelemahan mereka. Melawan para Epic dengan kekuatan yang hampir ilahi seperti mengajarkan kepada kita bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna. Para Epic adalah buktinya. Mereka, yang konon telah mengalami penyempurnaan itu, malah berlaku  kejam dan tirana kepada sesama manusia. Kekuatan dan kekuasaan telah menggerogoti jiwa mereka, mengubah apa yang dulunya manusiawi menjadi hampir hewani. Bagaimana seorang Epic menjadi dan merasakan kegalauan jiwa tersebut, Firefight yang akan menjawabnya di buku kedua ini. 

"Jika kita berhenti menolong orang karena takut, atau ragu, atau apa pun, artinya kita kalah."(hlm. 320)

gambar sampul dari Goodreads.
Viewing all 469 articles
Browse latest View live