Quantcast
Channel: Baca Biar Beken
Viewing all 469 articles
Browse latest View live

Review and Giveaway; Senja di Langit Ceko

$
0
0
Judul Buku : Senja di Langit Ceko
Penulis : Kirana Kejora
Penerbit : Dua Media
Jumlah Halaman : vi + 290
ISBN : 978-602-72707-1-8
Cover : ANS
Layout : Rio Maykha
Editor : Agus Mutaram



"Cinta itu ibarat mobil, ia tidaklah terlalu rumit. Yang menjadi persoalan hanyalah supir, penumpang, serta jalannya."(hlm. 174)

Kota Praha, Republik Ceko, merupakan sebuah kota monumen yang hampir seluruh bangunan di kawasannya antik. Berjalan di kota ini ibarat menyusuri bangunan-bangunan museum (bahkan meskipun bangunannya bukan bangunan museum) karena sedemikian indah serta artistiknya. Di kota seribu kastil inilah sebuah kisah cinta antara Senja Rinjani dan Bumi Saujana mekar bersemi serta mencapai puncak dari romantisme dua pasang hati. Seorang novelis dan ilmuwan cerdas yang semula rekan debat kemudian bertumbuh menjadi kawan karib sehingga akhirnya hubungan keduanya dipersatukan oleh ikatan pernikahan. Praha menjadi tempat pilihan bulan madu keduanya, selain untuk membuktikan romantisme kota tua ini juga sekaligus untuk mencari ayah kandung Bumi yang di eksilkan oleh negaranya sendiri.

"Cinta ... ia hanya bisa dirasa tak bisa kita tahu bentuknya kecuali mengikuti wadahnya saja."(hlm. 23) 

Sebagai seorang yang cerdas, Bumi cenderung kaku dan dingin saat berpacaran dengan Senja. Inilah yang membuat Senja greget banget sama cowok itu. Kalau istilah zaman sekarang, 'Dasar cowok nggak peka!'  Karena itulah, setelah menikah, Bumi sepertinya hendak membayar semuanya itu dengan sekuat tenaga berusaha romantis membahagiakan Senja. Dipilihnya seorang pemandu, Sam, seorang bule yang ternyata fasih berbahasa Indonesia, untuk menyiapkan segala keperluan selama di Praha. Senja sampai klepek-klepek terharu melihat betapa suaminya telah bersusah payah menyiapkan segala romantisme dunia untuk mereka berdua. Namun, ada alasan lain di balik segala kebahagiaan itu, sebuah ending yang mengejutkan telah menanti di penghujung cerita. Secara cerita, romantisme di buku ini terlalu pekat buat saya. Saya kurang suka dengan sosok Senja yang di pertengahan hingga akhir kok berubah menjadi--maaf--terlalu manja. Namun begitu, saya sangat menyukai segala tentang Praha dan Ceko di buku ini, mulai dari Jembatan Charles nan masyhur itu hingga Katedral St. Vitus.

“Senja, selama mata kita diberi kesempatan untuk memandang, gunakan dengan baik, untuk menangkap kebenaran. Demikian dengan telinga, bibir, dan hati, karena kita tak pernah tahu batasan waktu kita di bumi.” 

Hal lain yang sangat saya sukai di buku ini adalah penulis juga mengulas tentang tokoh-tokoh sastra, di antaranya Vaclav Havel, mantan Presiden Ceko yang juga seorang sastrawan dan penulis. Satu lagi, Praha tak bisa dipisahkan dari penulis legendaris Franz Kafka, yang menulis karya monumental Metamorfosa. Banyak sekali hal-hal unik tentang penulis besar ini di buku ini sehingga saya tergerak untuk mulai berani membaca karyanya.

Semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak."(hlm. 82)

Novel yang terinspirasi kisah nyata ini ibaratnya adalah catatan perjalanan yang kemudian didramatisasi sehingga masih terasa banget aroma 'brosur perjalanannya', terutama ketika karakter-karakternya menjelaskan tempat-tempat menarik yang ada di Praha. Sungguh sangat disayangkan karena cara berceritanya jadi seperti membaca brosur, seharusnya penulis bisa mengolahnya lagi sehingga dapat menyatu dengan cerita. Selain itu, novel ini tidak diedit dengan baik.Sesekali masih saya temukan salah ketik serta kalimat-kalimat yang berpanjang-panjang padahal harusnya bisa dirapikan. Seandainya dirapikan lagi, saya yakin novel ini bakal bikin pembaca jatuh cinta sama kota Praha.


GIVEAWAY 


Tertarik membaca novel bersetting kota Praha ini? Ada satu novel Senja di Langit Ceko gratis dari penulisnya untuk satu calon pembaca yang beruntung.

1. Peserta tinggal di wilayah NKRI.

2. Wajib follow Twitter @kiranakejora.

3. Bagikan postingan kuis ini di Twitter atau Facebook dengan mention @kiranakejora/ Kirana Kejora

4. Jawab pertanyaan berikut di komentar, cukup satu kali saja.

"Jika cinta adalah satu bangunan terkenal di dunia, maka bangunan apakah itu? Sertakan juga alasannya ya."

5. Sertakan akun twitter atau facebook atau email kamu di bawah jawabanmu ya, agar saya bisa menghubungi kamu kalau menang. 

6. Giveaway ini berlangsung sampai tanggal 27 Mei 2016 dan pemenang akan diumumkan tanggal 28 Mei 2016.  

Terima kasih ya sudah ikutan. 

Spora

$
0
0
Judul: Spora
Pengarang: Ahmad Alkadri
Tebal: 235 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2014
Penerbit: Moka Media


23280109

               Ketika membaca subjudul novel ini, yakni ‘Sebuah Novel Horor’; saya seharusnya sudah siap dengan ending-nya yang khas cerita horor. Ending yang tak tuntas, yang dipotong sedemikian keji demi meninggalkan jejak cekam di benak pembaca saat menutup halaman terakhir buku. Sebelum baca Spora, hilangkan dulu harapan akan mendapatkan kisah petualangan yang menyenangkan ala-ala Lima Sekawan, alih-alih bersiaplah mendalami kisah gore ala goosebums dalam derajat yang lebih berdarah-darah.

                Spora, seperti terlihat dari judulnya, memiliki alur kisah yang dimulai dari spora sejenis jamur ganas dari Brazil. Spora jamur ini di dunia nyata hanya menginsfeksi inang-inang berukuran kecil seperti semut dan serangga lainnya. Konon,  spora jamur ini jika sudah masuk ke tubuh inang, maka dia akan mengandil kendali atas kesadarannya sebelum akhirnya jamur-jamur ini menguasai si inang dan memanfaatkannya untuk semakin menyebarkan sporanya. Penulis kemudian mengembangkan fakta unik ini dengan memindahkan kasus infeksinya kepada manusia sehingga ceritanya pun semakin greget.

                Kisah diawali dengan terbukanya sebuah stoples aneh berisi jamur langka dari Brazil yang ditaruh di sebuah ruang extrakurikuler sebuah sekolah di Bogor. Pagi harinya, sang satpam sekolah ditemukan telah tewas dengan kepala meledak di lapangan sekolah.  Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, polisi pun langsung melakukan penyelidikan, termasuk mengintrogasi Alif, seorang siswa yang menjadi saksi mata pertama penemuan korban.  Kondisi korban juga ikut memberatkan Alif, yang memiliki masa lalu kelam yang coba disembunyikannya. Untungnya, ada Rina—cewek teman dekat Alif (teman sejak kecil maksudnya)—yang siap menemani Alif danjuga membantunya menyelidiki kejadian tragis tersebut.

                Kemudian, dua korban selanjutnya ditemukan. Lalu korban ketiga, keempat; Alif dan Rina sekarang harus berjuang demi menyelamatkan salah seorang teman mereka yang  kemungkinan menjadi korban selanjutnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah semua kejadian tragis ini terkait dengan jamur misterius itu? Kalau di spoiler-in, buku ini jadi nggak seru bacanya. Jadi, ayo beli atau pinjem sana. Spora dengan ide cerita yang unik telah memberikan pengalaman membaca yang horor buat saya, mengingatkan kembali pada seri Goosembums yang entah sudah berapa tahun lalu saya bacanya. Hanya saja, Spora leih berdarah-darah, dengan belokan kencang dan plot yang ramai tapi rapi, bukti dari betapa naskah ini pasti telah bolak-balik diterima-dikirim-balik di meja redaksi.


                Saya suka ide cerita dan eksekusi kisah horor dalam Spora, benar-benar tidak nanggung dan dengan banyak sekali cipratan darah. Untuk ukuran penulis lokal, Spora adalah sebuah pencapaian yang akan memperkaya khazanah fiksi horor (yang mungkin masih sedikit) di Indonesia pada era 2000-an ini. Jempol untuk naskah ini terutama pada plotnya yang rapi, bahasa dialog yang enak didengar, serta karakterisasi yang lumayan matang. Meski agak meniru pola tulisa horor ala barat, setting Bogor-nya yang khas membuat membaca Spora tidak seperti membaca novel terjemahan (dan itu sesuatu yang bagus). Kekurangannya (menurut saya) ada pada eksekusi ending yang terlampau sadis. Ya, saya tahu ini memang novel horor, tapi kan, tapi kan, tapi kan … . 

Spora akan jadi bacaan yang luar biasa ketika dia berjodoh dengan pembaca yang tepat. Trus, sampul dan tata isi novel ini adalah yang paling keren  di buku ini!

Menguak Rahasia Para Penulis Bestseller Dunia

$
0
0
Sesekali, saya suka menyempatkan diri untuk mengunjungi pameran buku yang abal-abal. Maksudnya pameran buku yang diselenggarakan bukan oleh IKAPI namun oleh EO EO lokal yang kadang masih sering rancu antara pameran buku atau pameran gamis terbaru #eh. Namun, harta karun sering kali ditemukan di tempat-tempat tak disangka, termasuk harta karun pustaka alias buku. Sesekali--eh berulang kali--saya malah menemukan buku-buku lawas yang sudah susah didapatkan di toko buku konvensional maupun toko buku on line di pameran-pameran buku setengah hati ini. Buku-buku karya penulis besar namun kurang promosi karena diterbitkan oleh penerbit-penerbit minor sering bisa ditemukan dalam pameran-pameran lokal begini. Di antaranya, saya memperoleh Aesop in Fableland dan buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 1 yang sudah langka itu di pameran yang serupa. 

Beberapa bulan lalu, saya kembali berjuang menembus belantara gamis dan para umi dan abi yang sedemikian bersemangat dengan ghirah ber-Islamnya di sebuah GOR universitas di Jogja. Tidak lain tujuannya adalah untuk memburu harta karun pustaka sejenis. Tepat seperti perkiraan, pulau harta itu masih menempati lapak mangkalnya yang lama yakni di pojok tenggara GOR, tepat di samping panggung utama yang saat itu sedang ramai oleh riuh rendah seorang muda yang dengan bersemangat terus mengumandangkan konsep khilafah dan rekan-rekannya. Dan, dimulailah petualangan pencarian harta karun itu di tengah hiruk pikuk gelora semangat para anak muda religius itu.

Dengan uang Rp80.000; saya berhasil membawa pulang 13 eh 14 buku. Saya memang paling tidak kuat melihat buku-buku bagus yang dihargai sedemikian murah sehingga tanpa pikir lima kali langsung saya punggut untuk menambah timbunan dikoleksi. Buku-buku karya penulis yang sepemahaman saya memang memiliki tulisan yang bagus banyak diobral di lapak itu. Secara sampul, buku-buku itu memang masih kalah jauh ketimbang buku-buku terbitan mayor yang memasung pandangan itu. Buku-buku tersebut berserakan di atas terpal sederhana, dibalut sampul yang gelap dan segelnya tidak utuh. Namun, jangan ditanya isi dari buku-buku kurang promosi ini. Dalam banyak hal, buku-buku seperti ini bagi saya ditulis dengan lebih jujur. Buku-buku ini ditulis dengan idealisme tinggi penulisnya sehingga tema-tema yang diangkat pun cenderung kurang laku di pasaran, atau pangsa pasarnya hanya sedikit. 

Buku 'Ngudud' dan Kamus Berimaadalah dua di antaraharta karun yang saya temukan seharga Rp5.000 saja per buku. Buku lain adalah Rahasia Sukses Bestseller Dunia yang bahkan di Goodreads pun sampulnya belum ada. Buku-buku lain di antara karya Oscar Wilde terbitan Serambi dan juga buku-buku tentang sastra yang mulai saya kumpulkan sebagai referensi. Tapi, karena ini adalah blog buku, tidak afdal rasanya kalau postingan kali ini tidak ada ulasan bukunya. Kali ini, saya akan mengulas buku Rahasia Sukses Bestseller Dunia yang mungkin sudah sulit dicari di toko buku ini. Buku karya Hadjid Hamzah ini diterbitkan tahun 2006 (cetakan kedua) oleh penerbit Grafindo. Buku yang 'pasaran' mungkin, tidak jauh beda dengan buku-buku 'how to write' lain yang sekarang ini bisa dengan mudah ditemui di toko buku. Saya selesai membaca buku ini dalam lima hari (lama amat) dan saya dapati isi buku ini ternyata lebih dari ekspektasi awal saya.



JK Rowling, Agatha Christie, dan Stephen King; kita semua sudah akrab dengan karya-karya mereka. Nah, buku ini mengajak pembacanya untuk lebih mengenal kehidupan para penulis tersebut dan juga proses kreatifnya. Menariknya, buku ini juga turut menyinggung hal-hal 'menyimpang' atau unik dari para penulis dunia yang jarang kita eh saya ketahui. Misalnya saja, Rowling ternyata belajar menulis Harry Potter dari novel Jane Eyre dan tulisan-tulisan pujangga Inggris William Shakespeare. Dalam khazanah Sastra Inggris, Shakespeare sering digelari sebagai the bard alias sang juru cerita. Masih ingat kan The Tales of Beedle the Bard karyaJK Rowling? Banyak hal dari Harry Potter memang mengingatkan kita pada nuansa Inggris klasik. 

Selain itu, buku ini juga mengulas penulis-penulis terkenal dunia namun jarang dapat perhatian di negeri kita. Misalnya saja Barbara Cartland dengan novel-novel romannya yang telah mencapai angka 500-an judul. Satu hal unik dari penulis ini adalah dia selalu menjadikan karakter utama wanitanya tetap perawan dalam seluruh karya romannya. Bandingkan dengan novel-novel roman Barat keluaran terbaru yang bahkan dari sampulnya pun sudah buka-bukaan wkwkwk. Selain itu, ada juga disinggung Agatha Christie yang konon sering memikirkan konsep untuk ide tulisannya dengan cara berendam di bak mandi sambil mengigit apel.

Buku bagus tidak melulu adalah buku keluar penerbit mayor dan terkenal. Jika kita pembaca yang jeli, sering kali harta karun pustaka itu tersembunyi di balik sampul-sampul lusuh di pojok bagian obralan. Asal kita tidak malas mengobrak-abrik lapak, sering kali harta karun itu telah menunggu di sana untuk ditimbun dikoleksi. Bonusnya lagi, karena masuk buku lama dan 'kurang laku,' kita bisa menebusnya dengan harga yang sangat murah. Buku adalah pengetahuan, maka dari itu ayo bersama-sama kita selamatkan dengan cara ditimbun dibaca dan dikoleksi. 

Seperti kata Miminnya @divapress01: "Membeli buku adalah membeli yang tak pernah rugi." 

Ulasan dan Pengumuman Pemenang GA 'Purple Love'

$
0
0





Ada sebuah jejak yang tertinggal dalam tulisan ketika sebuah tulisan disusun oleh seorang penulis yang telah berpengalaman. Mbak Prisca Primasari, sebagai seorang penulis, editor, dan penerjemah tentunya sudah tidak asing lagi dengan dunia buku. Keterlibatannya bertahun-tahun dalam dunia aksara terbukti dalam karyanya yang satu ini. Sebuah novel yang tipis, namun meninggalkan kesan yang tebal di benak pembaca.  Justru dalam tipisnya buku ini, akan kita temukan sebuah romansa nan manis dan rapi. Dalam dinginnya musim dingin di Skandinavia—wilayah di Eropa Utara yang jarang disentuh para penulis lokal—penulis menghadirkan sebuah kisah bernuansa dingin namun menghangatkan hati ini.


"Bukan aku yang menentukan kebahagiaanmu. Kau sendirilah yang menentukannya." (hlm. 124)


Solveig atau Lyre adalah seorang gadis yang bekerja untuk Hades, sang Dewa Kematian. Tentu saja, Lyre sudah meninggal ratusan tahun lalu di kota Bath, Inggris. Keberadaannya saat ini semata sebagai entitas terpilih untuk menemani Hades dalam menjalankan tugasnya: mengurusi orang-orang mati. Pembaca fantasi tentunya sudah akrab dengan dewa Yunani kuno satu ini. Hades adalah Penguasa Dunia Kematian yang di mitologi-mitologi lain dia dikenal juga dengan banyak nama. Dalam buku ini, pembaca akan dipertemukan dengan versi Hades yang lebih lembut dan lebih roman, lebih agak manusiawi, meski masih kaku sebagaimana golongan dewata-dewata lainnya.


Sebuah kota kecil bernama Trondheim di Norwegia dihebohkan dengan serangkaian kasus pembunuhan berantai yang pelakunya masih misterius. Pembunuhnya memang sangat keji, dia selalu mengambil lever korbannya sebagai kenang-kenangan. Hades—sebagai Dewa Kematian—tentunya sudah mengetahui siapa si pembunuh berantai itu. Namun, sebagai Dewa dia dilarang untuk turun tangan secara langsung. Bersama Lyre, Hades turun ke dunia dan merancang sebuah plot untuk menghukum si pembunuh berantai, yakni menggunakan tangan Ivarr Amudsen, Kakak kandung dari  salah satu korban si pembunuh berantai. Hades punya alasan kuat memilih pemuda kurus yang selalu sayu itu, apalagi kalau bukan dendam.


"Karena terkadang, tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang bertubi-tubi."



Sayangnya, ada satu hal kecil yang luput dari rencana matang Hades.  Lyre—yang berganti nama menjadi Solveig—malah jatuh cinta kepada Ivarr. Gadis itu awalnya ditugasi Hades untuk menggali perasaan di balik wajah dingin Ivarr yang seolah telah mati rasa akibat jutaan kesedihan yang menimpanya. Tak disangka, cinta malah ikut serta menyusup dalam hubungan keduanya. Bagaimana keduanya dapat bersatu, si pemuda masih hidup sementara si gadis telah meninggal? Bagaimana juga dengan nasib si pembunuh berantai? Berhasilkan Hades menjalankan rencananya?


“Kalau tidak aneh, namanya bukan cinta.”(hlm. 121)


Satu kualitas unggulan dari novel tipis ini, selain kerapian alurnya, adalah karakterisasinya yang serba muram namun digambarkan dengan indah. Kalimat-kalimatnya juga mengalir pelan namun merasuk dalam imajinasi pembaca bak aliran gletser nan kemilau di tengah hari dengan semilir angin dingin dari kutub.  Walau kalimat-kalimat dan diksinya baku, buku ini sangat menyenangkan untuk disimak seperti menikmati buku-buku fiksi untuk penmghiburan. Sungguh susah melepaskan buku ini ketika kita belum selesai membacanya. Begitulah sebuah tulisan yang bagus, dia membuat kita ingin segera menyelesaikan membacanya.  Kemudian, dia menyisakan kita dengan kerinduan yang ganjil saat tiba di halaman terakhirnya.  Dalam kalimat pendek, buku ini adalah kisah haru yang seru.



Pengumuman Pemenang Giveaway



Setelah membaca kilat jawaban-jawaban masuk *karena ditodong kudu cepat oleh Mbak Selsa cantique* akhirnya satu novel Purple Eyes gratis dari Penerbit Inari jatuh kepada:


Ketika membaca teka-tekinya, yang terlintas dibenakku cuman satu yaitu ava twitter "telur ungu" Cho Kyuhyun (@GaemGyu). Telur ungu yang tidak pernah berubah sampai detik ini, tetap mempertahankan. Dan itu sangat kontras dengan cover Novel ini, latar ungu dengan tokoh utama berwarna putih. Cocok dengan ava telur ungu milik Kyuhyun ==> Elegan+Simple :)

Nama lengkap: Nurul Hikmah
Kota domilisi: Kendari
Twitter/Facebook: @siwon5858
Tautan membagikan:

 https://mobile.twitter.com/siwon5858/status/733577368183275520?p=p


Selamat kepada pemenang, nanti akan saya DM lewat twitter. Terima kasih sudah ikut meramaikan giveaway ini. Tetap membaca dan berkarya ya.

Indonesia (itu) Buku

$
0
0
"Sejarah mencatat, republik ini lahir karena anak-anak muda pecinta buku yang peduli pada bangsanya. Para founding fathers kita--Tan malaka, Sukarno, Tirto Adi Suryo, Marco Kartodikromo, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Agus Salim--adalah para pecinta buku yang mau belajar dari buku dan berani berbuat." (Anton Kurnia)




Tanggal 17 Mei lalu, kita baru saja memperingati Hari Buku Nasional. Dalam waktu yang hampir bersamaan, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan laporan sebuah penelitian dari sebuah lembaga luar yang menyebut hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka membaca buku. Dengan kata lain, indeks minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Sebuah prosentase yang sangat rendah tentunya karena angka itu membuat negara kita hanya lebih tinggi dari negara Botswana yang letak tepatnya penulisnya juga belum tahu ada di mana. Tanpa mengenyampingkan beragam variabel yang menelurkan hasil penelitian Internasional tersebut, tetap saja kita layak merasa miris seraya mencoba tabah mengakui betapa minat baca di sekitar kita memang masih sangat rendah. Jamak kita jumpai, di tempat-tempat umum, lebih banyak orang yang sibuk dengan gawainya ketimbang orang yang asyik dengan buku di tangannya.

            Membaca buku secara umum memang masih dianggap sebagai sesuatu yang mewah di negeri ini. Banyak kita, yang dengan entengnya, mengeluarkan uang Rp50.000 untuk membeli paket data namun butuh berpikir lebih dari lima kali saat hendak membeli buku dengan harga yang sama. Buku dan membaca buku memang masih sesuatu yang asing bagi kebanyakan kita. Ini sebuah fakta yang miris sebenarnya karena jika kita mau membuka lembar-lembar sejarah, bangsa ini dibangun oleh orang-orang besar yang gemar membaca buku. Dalam tulisannya yang sangat inspiratif untuk memperingati hari Buku Sedunia, Zen RS, menyebut Indonesia sebagai sebuah nation yang dibangun salah satunya oleh para pecinta buku, pemamah buku, dan para penulis buku. 



www.goodreads.com
Tentang orang-orang besar Indonesia yang sangat mencintai buku, mungkin belum ada yang mengalahkan Muhammad Hatta dan Pramoedya Ananta Toer.  Keduanya adalah pembaca buku yang tekun, yang tidak bisa melepaskan buku sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupannya. Masih segar dalam ingatan kita, salah satu ungkapan masyhur Moh. Hatta tentang buku: “Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas.” Buku-buku memang menjadi teman beliau menghabiskan masa-masa pembuangan di Digul dan Ende pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Konon, kepada kawan-kawannya beliau minta dikirimkan berpeti-peti buku sebagai kawannya melawan sepi.

            Sikap yang serupa juga ditunjukkan oleh Soekarno, Tan Malaka, dan juga Pramoedya Ananta Toer. Khusus untuk kasus Pram, sudah tidak perlu lagi dibuktikan betapa besar kecintaannya peada buku. Penulis kaliber dunia ini menggunakan tulisan dan buku sebagai media untuk melawan. Bahkan, dia membangun kembali perpustakaan pribadinya mulai dari nol setelah perpustakaannya yang lama dibakar oleh sekelompok anarkhis militer. Dari pengakuan anaknya, Pram tidak pernah memberikan hadiah mainan kepada buah hatinya. Selalu buku dan buku, aku salah satu putri beliau setiap kali meminta dibelikan mainan. Bagi Pram, buku memang ibarat makanan yang ketiadaannya akan membuat hidup jadi tak jalan. Luar biasa seorang Pram yang seorang pembaca, penulis, sekaligus pecinta buku sejati.  Dalam dokumentasinya tentang Pram, Muhidin M Dahlan menulis Pram yang meminjam buku dari Perpustakaan Universitas Gadjah Mada satu becak penuh saat hendak menggarap naskah Panggil Aku Kartini Saja. 

   
toko-bukubekas.blogspot.com
Baik Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, M. Syahrir, dan Pram sama sadar bahwa bukulah yang membuat mereka tiba pada titik keberadaan mereka saat itu. Buku telah mempertemukan Soekarno dan Hatta dengan tokoh-tokoh besar dunia, memunculkan inspirasi sekaligus dorongan tentang gerakan kemerdekaan. Begitu juga, Tan Malaka, M. Syariffudin, Moh. Yamin, bahkan hingga Musso yang kiri itu. Ada sebuah kisah menarik disampaikan oleh Zen RS dalam tulisannya "Sejarah Indonesia Sebagai Permusyawaratan Buku" tentang pertemuan antara Musso dan Soekarno yang diakhiri dengan saling bertukar buku. Soekarno memberikan kepada Musso yang baru kembali dari pembuangannya di Uni Soviet buku Sarinah karyanya, sementara Musso berjanji akan memberikan buku karyanya segera kepada Soekarno. Terlepas dari buku Musso yang malah membuat keduanya saling bersebrangan, patut kita rayakan perjumpaan mereka yang diwarnai dengan saling bertukar karya intelektual berupa buku, bukan tukar proyek atau grativikasi.

            Ketika perjuangan fisik belum cukup, maka diperlukan pergerakan dalam jalur lain, jalur yang kemudian ditempuh juga oleh para tokoh pergerakan nasional, yakni jalur literasi. Ditulislah kemudian buku-buku yang kelak akan dibaca dan turut mendorong serta mengobarkan keinginan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Buku-buku yang membuat tokoh-tokoh muda itu mantap kukuh mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933), Moh. Hatta merampungkan Alam Pikiran Yunani, Sutan Sjahrir menghasilkan Perjuangan Kita, dan Tan Malaka menyusun Madilog-nya nan masyhur itu. Dalam situasi nyawa terancam karena perang, atau tubuh dan pikiran terasingkan dalam masa pembuangan, mereka masih produktif menghasilkan karya pikiran nan spektakuler. Tentunya, selain menulis, orang-orang besar ini juga tidak melupakan membaca karena tidak mungkin buku-buku besar itu keluar dengan sendirinya dari pikiran tanpa adanya asupan bacaan yang bagus.

             Masih terkait Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia yang juga dekat-dekat dengan Hari Kartini, patut kita renungkan pula polemik yang sempat muncul pada perayaan itu. Mengapa hanya Kartini saja yang dirayakan harinya padahal banyak pahlawan wanita di negeri ini? Mengapa tidak (mungkin belum?) ada Hari Dewi Sartika atau Hari Cut Nyak Dien, misalnya. Dengan tidak meremehkan perjuangan para wanita hebat tersebut, ada satu kualitas dari Kartini yang menonjol. Kartini menulis. Dia meninggalkan kepada kita jejak-jejak pemikiran dalam surat-suratnya kepada para sahabatnya dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Maka benar sekali yang pernah dikatakan oleh Pram bahwa mereka yang menulis maka suaranya akan abadi, tidak lenyap ditelan zaman. Pahlawan-pahlawan wanita lain mungkin juga menulis dan tentu saja membaca, semoga kelak akan bisa kita temukan sumber-sumber sejarah tentang aksi literasi mereka dalam bentuk khas masing-masing, sebagaimana kita temukan dalam diri Kartini.

            Begitu banyaknya buku-buku dan orang-orang yang mencintai buku dalam sejarah berdirinya republik tercinta ini, semestinya kita malu ketika sebagai generasi penerus kita malah jauh-jauh dari buku. Terlebih, ketika pendidikan dan akses terhadap buku saat ini tidak sesulit seperti zaman penjajahan dulu, selayaknya kita lebih banyak berkarya dan juga membaca. Masih mengutip tulisan Zen RS yang sangat menyadarkan di Hari Buku Sedunia kemarin, tentang Mantan Perdana Mentri kita, Amir Sjarifuddin yang bahkan tidak bisa lepas dari buku hingga menjelang akhir kehidupannya. Setelah  kegagalannya dalam Perundingan Renville yang membuatnya turun dari kursi kekuasaan, beliau semakin tertarik pada paham kiri yang akhirnya membuatnya dituding terlibat langsung dalam Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Hukumannya adalah eksekusi mati.

            Beberapa jam sebelum ditembak mati di Solo, rombongan yang menjaga Amir Sjarifuddin sempat mampir ke Jogja. Dengan pengawlaan ketat, tokoh nasional ini dibiarkan duduk sendirian di Stasiun Tugu untuk menunggu kedatangan kereta menuju Solo. Ketika itu, perwira yang bertugas mengawalnya bertanya apakah Amir membutuhkan sesuatu. Kepada petugas, dia tidak meminta makanan atau minuman enak, atau apa pun. Dia hanya meminta buku. Maka, oleh si perwira, disodorkanlah buku Romeo dan Juliet karangan William Shakespeare yang kebetulan sedang dibawanya (Seberapa banyak sih perwira zaman sekarang yang membawa-bawa buku dalam sakunya?). Dan, Amir Sjarifuddin pun khusyuk membaca buku itu di Stasiun Tugu sambil menunggu detik-detik kedatangan kereta maut yang hendak menggiringnya kepada kematian.

          
Mencintai dan beserta buku sampai akhir hayat, para bapak bangsa kita benar-benar para pecinta dan pembaca buku  Malulah kita sebagai generasi penerus bangsa kepada para mereka jika membaca pun kita masih malas.Padahal, para pendiri bangsa ini mencintai dan beserta buku sampai akhir hayatnya. Mari kita membaca buku. Jika pun kau belum sempat membacanya, maka timbunlah dulu karena sebaik-baik menimbun adalah menimbun amal kebaikan dan menimbun buku *maksa*.

Ketika Fan Bertemu Anti-Fannya

$
0
0
Judul : So, I Married The Anti-fan
Penulis  : Kim Eun Jeong
Penerjemah  : Putu Pramania Adnyana
Penerbit : Penerbit Haru
Terbit  : Cetakan Ketiga, September 2012
Tebal : 540 halaman

Awalnya tertarik baca novel K-Drama ini gara-gara liat versi filmnya yang bakal ditayangkan oleh sebuah PH dari Tiongkok.  Park Chanyeol yang akan memerankan si idol Hoo Joon yang dingin, serta Yuan Shanshan sebagai Lee Geun-Yeong, si antifan. Sepertinya bakal menarik. Saya jarang banget baca K-Lit macam gini, jadi rasanya agak kagok saat membaca dua bab pertama buku ini. Butuh adaptasi tersendiri karena teknik penceritaannya yang kurang mulus, dalam artian agak berbeda dengan teknik penulisan novel pada umumnya. Membaca novel ini--kalau saya bilang--seperti sedang menonton drama Korea dalam bentuk buku. Tokoh yang berbicara kepada diri sendiri dengan gaya kocak campur konyol, karakter wanita yang cerewet dan agak galak, serta tokoh cowoknya yang dingin namun serba sempurna. Yah, dingin-dingin sok cool minta dibejek-bejek gitu. 


Berkas:So I Married An Anti-fan poster.jpeg
http://ameblo.jp/72vixexbat29/entry-12152288702.html

Apa yang awalnya tampak sebagai kelemahan, ternyata malah jadi kelebihan buku ini. Dia menarik pembacanya dengan cara yang sama seperti serial drama K-Pop menarik penggemarnya dari seluruh dunia. Ada kelincahan dan kejenakaan dalam baris-barisnya. Ada yang khas Korea dalam tokoh-tokohnya: keindahan fisik, sikap yang kekanakan namun menghibur, dan romantisme yang manis. Penulis mampu menulis ceritanya dengan gaya khas sehingga membaca buku ini adalah sebuah penghiburan yang hampir serupa dengan nonton drama Korea. Ini bacaan yang saya butuhkan untuk refreshing sejenak dari tugas pembacaan buku-buku sastra kelas berat itu.


Cerita yang diangkat di buku ini juga menarik, mengingatkan kita pada komik-komik manga yang manis. Apa yang bakal terjadi ketika seorang bintang idola dipertemukan dengan anti-fan-nya. Antifan sendiri merujuk pada orang yang membenci seorang idola. Dari sekian juta orang yang mengelu-elukan seorang Hu Joon, ada satu wanita yang begitu muak dengannya. Keberadaan antifan ini rupanya sudah menjadi sesuatu yang wajar di dunia hiburan. Sebagaimana ada gelap dan terang, yin dan yang, baik dan jahat; maka ada pula fan dan antifannya. Kemudian, muncul ide unik untuk mempersatukan idola dan antifannya ini dalam sebuah acara reality show. Tidak hanya bekerja bersama, keduanya juga tinggal di apartemen yang sama. Kok ya bisa kepikiran ya orang-orang Korea yang seperti ini.


 
Lee Geun-Yeong adalah seorang wartawati kurang sukses di sebuah majalah kelas dua di Korea Selatan. Akibat sebuah insiden yang melibatkan Hu Joon, si idola sejagat, Geun-Yeong dipecat dari pekerjaannya. Konon, Hu Joon lah yang membisiki agar perusahaan itu memecat si wartawati. Wanita itu pun memutuskan untuk tidak tinggal diam. Mentang-mentang bintang terkenal lalu seenaknya sendiri memecat karyawan orang. Geun-Yeong bertekad akan membuktikan kepada dunia tentang kelakuan buruk Hu Joon. Well, bukan hal yang mudah sepertinya karena Geun-Yeong terlebih dulu harus berhadapan dengan fan-fan fanatik Hu Joon yang rata-rata para ABG. Tau sendirikan gimana tingkah polah para fan ABG yang kadang bisa lebih ganas ketimbang obralan awal bulan itu?Kenekatan Geun-Yeong melawan para fans Hu Joon ini ternyata malah membuatnya semakin terkenal, tapi terkenal karena ketidaklazimannya. Geun-Yeong membenci pria yang dicintai oleh seluruh negeri. 


Seorang produser bertangan emas menangkap kesempatan emas dari keberadaan Geun-Yeong. Dia menawari wanita itu untuk membintangi sebuah acara reality show yang akan mempertemukannya bersama Hu Joon. Pasti akan sangat menarik ketika seorang antifans bekerja sebagai manajer si bintang. Kemudian, interaksi yang terjadi di antara keduanya akan disiarkan sebagai sebuah program TV ke seluruh negeri. Geun-Yeong yang sedang kesulitan keuangan setelah dipecatmau tak mauharus menerima tawaran ini karena bayarannya yang besar. Selain itu, diam-diam dia memiliki agenda tersembunyi untuk mengungkap siapa sebenarnya seorang Hu Joon, yakni sosoknya ketika sedang tidak di belakang kamera dan serba sempurna itu. Hu Joon yang pemarah, suka suruh-suruh seenaknya, suka minum alkohol, dan berbagai sifat buruk lainnya. Semua akan ia ungkap kepada para pengemar lewat acara itu *ketawa setan menandak #loh_kok_jadi_triodetektif*

Tapi rencana sepertinya akan berubah jadi kisah cinta kalau di drama Korea, maka begitu pula di buku ini. Di samping menemukan sifat-sifat buruk asli Hu Joon, ternyata Geun-Yeong juga menemukan sifaf-sifat positif sang bintang setelah beberapa kali berinsteraksi dengannya. Memang, kita tidak bisa menilai gimana aslinya seseorang hanya dengan melihatnya sepintas lalu atau dalam satu kali obrolan, apalagi melihatnya dari televisi. Apa yang kita lihat belum tentu benar. Kita baru benar-benar mengenal luar-dalam seseorang setelah tinggal bersama mereka selama minimal satu bulan. Geun-Yeong dan para pembaca belajar bahwa memang tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk para bintang K Pop dengan penampilan sempurna itu. Di balik kebagusan fisik Hu Joon, tersimpan perasaan seorang pria yang terluka dan kesepian. Apakah Geun-Yeong datang sebagai obatnya?

Seperti cerita drama Korea, pembaca pasti sudah bisa menebak akhir dari kisah Hu Joon dan Geun-Yeong ini. Akhir yang romantis dan manis serta bahagia. Bukan kemudian berarti novel ini jelek. Menurut saya, aroma drama Korea di buku inilah yang menjadi kekuatan buku ini. Melihat ketebalannya yang lebih dari 500 halaman, sulit membayangkan buku ini bakal dibaca remaja kebanyakan. Namun, nyatanya buku ini sudah memasuki cetakan ketiga (tahun 2012), pertanda bahwa novel ini memang bagus. Melihat font-nya yang rapat dan ketebalannya yang ampun, novel ini seharusnya melelahkan untuk dibaca, tapi ternyata tidak. Saya menemukan buku ini sebagai variasi bacaan yang menyenangkan.


"Jangan salah paham. Anti-fan bukan orang yang selalu melawan atau memaki-maki selebriti tanpa tahu apakah itu fakta atau bukan. Keberadaan anti-fan menandakan bahwa ada kekurangan pada diri selebriti tersebut. Bukankah anti-fan sejati adalah antifan yang bisa memberinya tepuk tangan, menepuk pundaknya, dan menyalaminya ketika selebriti itu mengakui kekurangannya, bersedia mendengarkan kritik pedas, dan berusaha memperbaikinya? "(hlm. 414)


 

Ketika Manusia Berlaku Bak Dewa

$
0
0

 29975109
Judul: Steelheart (Reckoners #1)
Pengarang: Brandon Sanderson
Penerjemah: Putro Nugroho
Penyunting: Rina Wulandari
Tebal: 512 hlm
Cetakan: 1, April 2016
Penerbit: Nourabooks 

"Terkadang, Nak, kau harus membantu para pahlawan."(hlm. 9)

Sebuah fenomena aneh berupa bola cahaya merah muncul di angkasa. Para  ahli menyebutnya sebagai calamity namun tidak ada yang tahu apa sesungguhnya bola merah menyala itu. Satu hal yang jelas, calamity membuat beberapa manusia menjadi lebih super dibanding manusia kebanyakan. Para manusia super ini tiba-tiba saja memiliki kemampuan luar biasa bak para dewa, seperti tidak mempan ditembak senjata, bisa terbang, mengendalikan udara, beralih wujud, meramal masa depan, hingga menghancurkan benda dengan sekali tunjuk. Kelebihan ini masih ditambah dengan postur fisik yang lebih kuat dan sempurna ketimbang manusia biasa. Konon, mereka adalah bentuk teratas dari tahapan evolusi manusia. Para ahli menyebut para manusia super ini sebagai Epic.  Sayangnya, alih-alih berlaku sebagai pahlawan super, para Epic malah menyalahgunakan kekuatan super mereka untuk bertindak semaunya.

"Kekuatan mengorupsi jiwa, dan kekuatan absolut benar-benar menghancurkannya." (hlm. 171)


Sering kali, kekuatan besar tidak diimbangi dengan kebijaksanaan yang sama besarnya. Para Epic ini menjadi bukti bahwa kekuatan seringkali merusak jiwa pemiliknya. Kekuatan super yang mereka dapatkan membuat mereka merasa sebagai manusia unggulan, titisan dewata, sehingga sah-sah saja mereka berbuat semaunya. Dunia pun kacau. Berbagai pemerintahan dunia jatuh akibat diserang para Epic yang kemudian menggantikan otoritas resmi sebagai  penguasa lokal yang zalim. Para Epic pun berlaku bak dewa-dewi kecil, seenaknya sendiri menguasai dan memerintah kota-kota yang jatuh, mengancam penduduknya dengan kekuatannya. Beberapa kali, mereka menunjukkan kekejaman yang luar biasa dengan membantai orang-orang yang menghalangi jalannya. Tidak peduli tua muda, pria atau wanita, semua manusia biasa yang menghalangi jalan para Epic (bahkan menghalangi jalan secara literal) akan langsung dimusnahkan. Bahkan, sudah menjadi hukum tak tertulis bahwa manusia biasa tidak boleh menentang para Epic.

Di mana ada kejahatan, akan ada pahlawan. Tunggu saja. Mereka akan datang. (hlm. 547)

Tidak banyak yang bisa dilakukan melawan kekuatan super para Epic itu. Angkatan bersenjata dan kepolisian Amerika Serikat tidak berdaya melawan para dewa kecil  dengan kekuatan mengerikan itu. Namun, harapan selalu ada bahkan di tengah-tengah puing reruntuhan peradaban. Sekelompok orang yang menamakan dirinya sebagai Reckoners mencoba untuk melawan kesewenang-wenangan para Epic ini. Dengan teknik perang gerilya, mereka melawan meskipun hanya berbekal kemampuan fisik yang terlatih dan persenjataan yang canggih. Sekelompok manusia melawan para Epic sebagai wujud terakhir perlawanan umat manusia melawan para dewa yang zalim. Tugas kelompok ini adalah untuk menghabisi para Epic kelas menengah dengan catatan pelanggaran HAM yang sangat buruk. Mereke bergerak diam-diam, menyerang mendadak, sebelum kemudian menghilang tak terlacak.

Bola calamity di balik selubung kegelapan Newcago

Kali ini, Reckoners menyasar kota Newcago (kemungkinan dulunya adalah kota Chicago) yang dikuasai oleh seorang Epic bernama Steelheart.  Steelheart adalah seorang Epik tingkatan pertama dengan kekuatan super yang sangat dahsyat. Selain tubuhnya yang kebal dari berbagai macam serangan, pria ini bisa mengendalikan udara serta mampu mengeluarkan tembakan energi dari tangannya. Sayangnya, seperti sebagian Epic lain, Steelheart menggunakan kekuatannya untuk menindas manusia biasa. Catatan pelanggaran HAM-nya juga tidak kalah dahsyat. Dia pernah menghancurkan sebuah bank lalu membenamkan seluruh orang di dalamnya puluhan meter di bawah tanah, sebelum mengubah sebagian besar kota itu menjadi baja. David (8 tahun) menjadi satu-satunya saksi selamat dari kejadian itu. Nightwielder, salah satu Epic kroni Steelheart bahkan menyelubungi seluruh kota Newcago dalam kegelapan abadi dengan kekuatannya.

"Jika Epic merupakan contoh dari apa yang akan kita lakukan dengan kekuatan, maka lebih baik jika kita tidak pernah mendapatkan  kekuatan apa pun."(hlm. 333)

Sepuluh tahun kemudian, David mencoba bergabung dengan Reckoners dalam upayanya untuk membalas dendam atas kematian ayahnya di bank tersebut. David menghabiskan masa remajanya sebagai pekerja di pabrik senjata, berusaha tetap hidup dan tersembunyi dari pantauan Steelheart dan kroni-kroninya, agar bisa membalas dendam. Berbekal ketekunan, dia mengumpulkan berbagai informasi seputar para Epic--kekuatan dan tingkatan mereka, serta apa-apa yang mungkin menjadi kelemahan mereka. Ternyata, meskipun memiliki kekuatan bak dewa, para Epic masih bisa dikalahkan dengan menemukan kelemahan mereka. Reckoners juga selama ini baru bertindak setelah mereka menegtahui kelemahan para Epic incarannya. Yah, karena memang tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk para Epic. Manusia masih memiliki kesempatan untuk melawan.

"Ada hal-hal yang lebih kuat daripada Epic. Ada kehidupan dan cinta dan alam itu sendiri."(hlm 547)

Berhasilkan David bergabung dengan Reckoners dan membalaskan dendamnya? Jika Steelheart tidak bisa dilukai, maka apakah kelemahan dari Epic ini? Apakah calamityitu sebenarnya? Membaca Steelheart mengingatkan kita pada serial'X-Men' dan 'Heroes' dengan para mutant serta manusia supernya. Namun, novel ini menghadirkan cerita yang baru dan lebih segar, dengan karakter-karakter manusia yang lebih manusiawi serta para Epic yang sangat tiran. Akan kita saksikan di buku ini pertempuran epik antara manusia melawan para Epic. Bukan sekadar adu kekuatan super, novel ini menghadirkan adegan pertempuran fisik yang dramatis, adu kecepatan, adu strategi, dan perang pengaruh sehingga entah mengapa kisahnya jadi lebih mudah untuk dibayangkan. Karakter-karakternya juga dahsyat, dilepaskan sedikit demi sedikit sepanjang perjalanan cerita sehingga pembaca diajak untuk terus membaca. Kemudian, penutup buku ini adalah rangkaian twist yang sangat kaya sekaligus memuaskan. Empat bintang untuk buku fantasi-aksi yang sangat direkomendasikan ini. 

Sumber gambar:
  • goodreads.com
  • tor.com

Ulasan + Giveaway: Pancen

$
0
0
Judul buku : Pancen: Di Bawah Pohon Bintaro, Kisah Ini Berakhir
Penulis : Maria Ita
Editor : Chris Subagya
Desain isi : Oktavianus
Desain sampul : Joko Sutrisno
Penerbit : PT Kanisius
Tahun terbit : 2016
ISBN : 978-979-21-4646-2





"Meski nafasku telah habis sekalipun,aku tetap mencintaimu,karena aku hujan dan kamu bumi."

Novel sederhana ini ternyata menyimpan banyak hal yang baru saya ketahui setelah menyelesaikan membacanya, termasuk makna dari kata pancen itu sendiri. Saya kira, pancen adalah bahasa Jawa dari 'memang', ternyata tidak. Pancen berasal dari kata panci (iya panci yang itu) yang digunakan oleh orang Jawa sebagai wadah menaruh sesaji bagi arwah orang yang dicintai yang sudah meninggal. Sesaji dalam panci ini diberikan para hari-hari peringatan si mendiang, yakni 7 hari-an, 40 hari-an, 100 hari-an, dan seterusnya sebagai wujud kecintaan kepada almarhum/almarhumah. Coba untuk tidak memandang tradisi ini dari segi religi (yakni sebagai bentuk pemujaan arwah), melainkan pada sisi romantisme. Betapa memberikan sajian kesukaan kepada si mendiang adalah sebagai wujud lestarinya rasa cinta meskipun raga telah tidak bersama.

"Ajari aku mencintai tanpa hati, sehingga tak perlu sakit hati saat mencintai."(hlm. 21)

Pancen digerakkan oleh cinta segitiga antara Kus, Mar, dan Kam, dengan pergerakan cerita maju mundur yang dituliskan dengan rapi.  Kisah diawali dengan arwah Kus yang mendatangi adik Mar, menanyakan perihal Mar. Si adik pun sama tidak tahunya tentang nasib kakaknya itu. Kedatangannya ke rumah Mar adalah untuk mencari tahu keberadaan sang kakak yang menghilang tepat 100 hari setelah kematian Kus. Kus sendiri diduga meninggal karena bunuh diri dengan memakan buah bintaro yang beracun. Saya jadi kepo sendiri dengan buah bintaro ini, yang ternyata bisa digunakan sebagai pestisida alami untuk membasmi hama tikus. Dapat lagi pengetahuan, yay. Lanjut ke cerita. Adik Mar kemudian mencoba bertanya kepada Kam perihal hilangnya Mar, tapi suami Mar itu hanya menjawab tidak tahu. Tapi adiknya Mar tahu bahwa ada yang disembunyikan lelaki licik itu.

"Perempuan akan berharga ketika mampu berdiri dengan kakinya sendiri." (hlm. 33)

 Mar memang terakhir kali terlihat di deretan pohon bintaro depan rumahnya, tengah menari dan memberikan pancen untuk 100 hari meninggalnya Kus. Sejak awal, memang hanya ada Kus di hatinya. Lalu, kenapa dia memilih menikah dengan Kam? Benarkan Kus yang seorang dosen itu dengan mudahnya mengakhiri hidup dengan memakan buah bintaro? Lalu, bagaimana juga dengan nasib Mar? Di manakah keberadaannya? Ketika semua pertanyaan itu semakin berkelindan dalam benak adiknya Mar, tanpa disangka-sangka, jawabannya muncul dari alam seberang. Tetapi, bahaya lain diam-diam datang mengancam. Bahaya yang menyaru dalam sosok licik yang ingin menyembunyikan semua kejahatan yang telah dilakukannya atas nama cinta.

"November yang tinggal kenangan melambai-lambai di pucuk evergreen. Lalu Desember tergopoh-gopoh datang dan duduk di ranting cemara."(hlm. 6)

Pancen menghadirkan jenis cerita roman yang baru, yakni cinta di dunia orang dewasa 9mapan). Penulis menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian untuk tiap babnya sehingga kita bisa ikut merasakan serta menyelami luka dan cinta serta rasa penasaran para tokohnya. Selain itu, perpaduan antara cerita dengan puisi-puisi cinta di dalam buku ini entah bagaimana malah menjadikan membaca novel pendek ini tidak membosankan. Selain disuguhi rasa penasaran dengan ceritanya yang agak-agak thriller, pembaca juga akan dihibur dengan untaian puisi-puisi indah karya penulisnya sendiri. Seorang novelis yang juga penyair, ah keren deh Mbak Maria ini. Mungkin, masih ada beberapa hal menganjal di buku ini, seperti logika yang agak selip atau beberapa bagian yang harusnya bisa dipotong. Tapi, nanti biarlah saya tanyakan sendiri kepada penulisnya lewat surel.


GIVEAWAY TIME 



Ada DUA novel Pancen bertanda tangan penulisuntuk DUA PEMENANG beruntung yang akan langsung dikirimkan oleh Mbak Maria Ita. Silakan simak cara ikutannya:


1. Peserta berdomisili di wilayah Republik Indonesia

2. Wajib follow kak @marrielines di Twitter.

3. Share/bagikan info giveaway ini di media sosial dengan menyenggol akun @marrielines. Mohoncantumkan juga tagar #GAPancen yabiar semakin rame.

4. Jawab pertanyaan berikut di kolom komentar:

Buatlah satu bait puisi (empat baris saja) dengan tema "persembahan terbaik"

5. Format jawaban:

Nama:
akun twitter/FB/email:
Jawaban:

6. Kuis ini berlangsung sampai tanggal 16 Juni 2016. Mohon hanya menjawab satu kali saja ya. Semoga kamu beruntung jadi salah satu dari dua pemenang buku ini.

7. Jika belum beruntung di blog ini, masih bisa ikutan lagi pekan depan di blognya Mbak Desty.  Terima kasih. 

Mengungkap Misteri Perpustakaan Alexandria Kuno

$
0
0
Judul: Mata Rantai Alexandria
Pengarang: Steve Berry
Penerjemah: Chandra Novwidya Murtiana
Editor:  Widi Lugina
Tebal: 632 hlm
Cetakan: 1, Desember 2011
Penerbit: Gramedia 



13333459

Perpustakaan Alexandria kuno di kota Iskandariah, Mesir, merupakan satu dari sekian banyak  misteri terbesar dari dunia kuno. Dibangun pada masa kekuasaan Yunani di Mesir--yakni pada era Dinasti Ptolemy--perpustakaan ini pernah menyimpan ribuan manuskrip, gulungan, peta, naskah, serta kitab-kitab dari masa Yunani kuno dan bahkan dari era-era sebelumnya. Karya-karya asli Euclid, Aristoteles, Democritus, hingga naskah-naskah asli Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Ibrani kuno konon tersimpan di sana. Keberadaan terakhir Perpustakaan Alexandria diketahui adalah pada abad ke-7 M, ketika isi perpustakaan besar itu dihancurkan oleh invasi Muslim dalam rangka pemurnian ajaran agama. Namun, jauh sebelumnya, perpustakaan agung itu sendiri telah mengalami dua kali kerusakan akibat penjarahan dan kebakaran, yakni pada masa Romawi dan pada abad ketiga. Entah mana dari ketiga teori sejarah itu yang benar, tapi satu hal yang jelas adalah Perpustakaan Alexandria telah musnah. Dan, bersama musnahnya perpustakaan itu, musnah juga ribuan naskah kuno dan langka yang berisi beragam pengetahuan dari dunia kuno. Ini adalah salah satu kehilangan besar dalam sejarah peradaban manusia.

crystalinks.com

Kemudian, bayangkan jika masih ada segelintir pihak yang berhasil menyelamatkan sebagian isi Perpustakaan Alexandria tersebut dan lalu menyimpannya di sebuah lokasi yang disembunyikan? Selama 1500 tahun, misteri keberadaan perpustakaan itu hanya diketahui oleh segelintir orang-orang terpilih dan beberapa orang besar dunia yang diundang untuk bisa masuk ke dalamnya. Newton, Ibnu Sina, Benjamin Franklin, Robespierre; mereka adalah segelintir dari tokoh-tokoh besar dunia yang mendapatkan 'undangan khusus' untuk bisa memasuki Perpustakaan Alexandria dan belajar di dalamnya. Konon, dari perpustakaan itulah mereka kemudian mampu menghasilkan pemikiran atau temuan yang mengubah peradaban dunia. Untuk melindunginya dari penyalahgunaan, setiap tamu undangan disumpah untuk tutup mulut dan merahasiakan keberadaan Perpustakaan Alexandria. Selama 1500 tahun, rahasia itu tetap terjaga hingga pada abad ke-21, sebuah perkumpulan misterius yang dipusat di jantung Eropa berupanya untuk menemukan lokasi perpustakaan tersebut dan menggunakan isinya untuk kepentingan mereka sendiri.

Sejak awal, buku ini sudah bergerak cepat. Cotton Malone--seorang mantan prajurit khusus--mendadak mendapatkan kunjungan dari istrinya. Putra mereka telah diculik, dan para penculik mengancam akan melakukan apa saja kepada si buah hati jika Malone tidak bersedia membantu mereka mengungkap keberadaan Mata Rantai Alexandria. Inilah  satu-satunya petunjuk yang bisa mengantarkan ke lokasi perspustakaan itu. Tanpa bisa menolak, Malone dan Pam terpaksa harus berjibaku menemukan petunjuk-petunjuknya. Namun, ternyata lebih banyak pihak yang terlibat dalam pencarian perpustakaan ini. Malone harus bergerak cepat sekaligus berkelit menghindari berbagai serangan dari banyak pihak besar yang turut mengerahkan pasukan terlatih mereka demi mencapai tujuannya. Korban pun berjatuhan, membaca buku ini ibarat melihat orang-orang yang ditembak dengan kejam jadi mohon bersiap-siap.

Selain adegan aksi tembak-menembaknya yang seru (juga berdarah-darah), novel ini unggul dalam plot yang cepat dan membikin penasaran. Khas novel thriller di mana pembaca seperti dipermainkan di sepanjang pergantian babnya. Siapa yang musuh dan siapa yang kawan, serba tidak jelas sehingga tidak bakal bosan membaca buku yang cukup tebal ini. Ini, masih ditambah dengan kekayaan informasi sejarah yang bertaburan di buku ini, mulai dari sejarah Perpustakaan Alexandria, kota-kota dan bangunan kuno di Eropa, hingga sejarah kitab suci dan konflik tiga agama besar di Timur Tengah. Yang paling menarik tentu saja teori konspirasi baru yang dibawa dalam buku ini: terkait dengan penerjemahan Perjanjian Lama yang konon telah disimpangkan. Masih ada lagi, terkaiat sebuah kebenaran yang sengaja ditutup-tutupi baik oleh Israel maupun Saudi Arabia. Sebuah misteri besar yang konon dapat memacu pecahnya perang dunia ketiga jika sampai diketahui dunia.

Buku ini tebal tapi tidak terasa tebal karena ceritanya yang seru dan bergerak cepat, diimbuhi dengan teori konspirasi yang lumayan meyakinkan plus banyak sekali detail sejarah yang menarik. Saya suka dengan gaya terjemahannya, tapi kurang puas dengan penyuntingannya. Ada banyak sekali salah ketik di sepanjang buku ini, tidak mengganggu sih tapi ya lumayan bikin senewen karena ceritanya sendiri bagus. Empat bintang untuk Perpustakaan Iskandariah.

Ketika Sastra Mengajak Pembaca Tertawa

$
0
0
Judul: Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya
Pengarang: Gunawan Tri Atmodjo
Penyunting: Tia Setiadi
Sampul: Ong Hari Wahyu
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Penerbit: DIVA Press




Tidak selamanya sastra muncul dalam bentuknya yang melulu berat, dipenuhi deretan kata-kata tinggi namun awam asing mendengarnya. Sastra juga tidak lagi wajib mendayu-dayu dengan bahasa berbunga-bunga ala karya angkatan Balai Pustaka. Pun, sastra bukanlah buku agama yang semata berisi petuah-petuah kebajikan. Tiga mitos sastra dari Seno Gumira Ajidarma di atas kiranya tepat disematkan untuk buku kumpulan cerpen karya Gunawan Tri Atmodjo ini. Sebagaimana dijelaskan Seno, sastra ditulis oleh manusia dan ditujukan oleh manusia, kepada awamlah sastra dituliskan, sehingga sastra sendiri seharusnya tidak boleh menjauh dari kemanusiaan itu sendiri. Manusia, seperti aneka cerita di kumcer ini, kadang serius, kadang berani, sering suram, tidak jarang penuh sukacita. Gunawan dengan caranya yang khas telah menghadirkan sastra yang manusiawi di buku ini. Salah satunya, kisah-kisah yang membuat kita tertawa sebagai manusia dan menertawakan diri kita sebagai manusia.

Walau mengancam membuat pembacanya terbahak, tidak kemudian buku ini jatuh sebagai buku kumpulan cerita humor—padahal semestinya ia adalah bagian dari sastra perjuangan (meskipun tidak selalu yang harus diperjuangkan itu serba serius. Kadang humor juga perlu diperjuangkan sebagaimana sastra). Seperti disebutkan oleh sastrawan Triyanto Triwikromo dalam pengantarnya untuk buku ini, penulis mampu menempatkan cerita-cerita kocaknya dalam bangun tulisan yang tetap cerpen sastra. Dengan hati-hati, Gunawan menata cerita-ceritanya dengan perhitungan yang tepat: kapan sebuah paragraf akan membuat pembaca meledak dalam tawa dan kapan kalimat-kalimat itu seperti menahan dirinya sendiri untuk tidak melucu.


"Yu Kariyem mengeluhkan mata kanannya yang terasa mengganjal dan agak perih. Kuminta ia tenang. Aku membuka mata kanannya perlahan-lahan dengan kemampuan terhalus yang dimiliki jari-jariku. Dan, betapa kagetnya aku ketika melihat ada benda hitam sebesar biji semangka menempel di bola mata kanannya. Ya Tuhan, ternyata Yu Kariyem kelilipan tahi lalatnya sendiri.” (Perjalanan ke Pacitan)







Lebih lengkap bisa dibaca di basabasi.co

Bookish Confession: Indahnya Buku Obralan

$
0
0



Saya bisa menahan godaan bakso tusuk yang penjualnya embak-embak berpakaian menantang, atau sale sepatu casual di Sport Station yang hits banget itu. Tapi, saya menyerah kalau sudah ketemu sama buku-buku obralan. Untuk 'jajajan' yang satu ini, I cannot! Buku obral dengan rentang harga kelipatan 5rb (5rb, 10rb, 15rb, 20rb, 25rb, dan 30rb) adalah jenis buku yang paling susah untuk ditolak, apalagi bukunya bagus, ditulis oleh penulis bagus, dan diterbitkan oleh penerbit tepercaya. Kalau saya menemukan buku-buku semacam ini, saya tidak lagi memikirkan kapan akan membacanya, apakah saya benar membutuhkannya, atau apakah masih ada sisa ruang di bawah tempat tidur saya yang sekarang lebih banyak buku ketimbang debunya itu. Saat menemukan buku bagus diobral murah, rasa iba sontak memenuhi kepala saya. Betapa sangat kasihan buku-buku obralan itu, yang dengan sampul sayu dan halaman unyu seperti melambai-lambai untuk minta dibawa pulang ke komunitas timbunan. Maka, saya boronglah buku-buku obralan bagus itu. Haloooo ... buku bagus dan murah geto loh. *dilempar Mahabharata versi wattpad.

Saya ini sensitif, mudah tersentuh, dan terharu kalau melihat hal-hal yang membuat treyuh hati. Nah, jadi jangan salahkan saya kalau saya selalu tersentuh dan tergerak untuk mengadopsi buku-buku obralan itu.Mengapa buku-buku obralan memiliki efek sedemikian dahsyat? Karena saya tahu dan merasakan sendiri betapa rumit dan (kadang) beratnya perjuangan sebuah naskah hingga akhirnya terbit menjadi buku. Sejak 2007 hingga sekarang, saya kecemplung bahagia di dunia editor. Dunia yang membuat saya jadi dekat dengan buku-buku. Jika dulu hanya bisa memeluk buku yang sudah jadi, sekarang memeluk monitor karena naskah editan yang belum jadi-jadi. Kalau dulu pengen banting buku jelek yang harganya kemahalan, sekarang pengen banting naskah jelek yang penulisnya pun belum bisa membedakan 'diatas' dan 'di makan'. Menjadi editor membuat saya jadi lebih menghargai buku, karena saya mengalami sendiri betapa menulis dan menyunting buku itu tidak mudah. Seperti kata Stephen King, jika menulis adalah pekerjaan manusia maka menyunting adalah pekerjaan para dewa.Kalau macam peribahasa itu men sana menggok mrene waealias di balik sebuah buku yang hebat terdapat editor yang kumat darah tingginya.



Karena tahu bahwa menulis buku itu susah, inilah yang lalu membuat saya antara miris campur sesek setengah seneng saat melihat buku-buku diobral. Saya bayangkan malam-malam yang dihabiskan penulis sendirian untuk menulis naskahnya, jam-jam panjang ketika editor mungkin sampai eneg karena harus membaca satu naskah yang sama sebanyak lima kali (dan itu pun masih ada aja typo yang terlewat), juga perjalanan panjang yang harus ditempuh si buku kesayangan sebelum sampai ke tangan pembaca. Betapa sungguh tidak adilnya ketika buku itu kemudian dijumpai di obralan dengan harga lima ribuan dalam kondisi masih segel rapi serapi kesucian diri ini. Tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk buku-buku indah itu selain memborongnya untuk dijual lagidikoleksi meskipun saya sudah punya (dan beli dengan harga asli #nyesek ganda campuran). Jadi, intinya, saya menimbun buku obralan karena kasihan sama buku-buku itu *alasan macam apa ini!* Sekian untuk posting bareng bulan ini.


borong buku-pendidikan.kampung-media.com


“Collect books, even if you don't plan on reading them right away. Nothing is more important than an unread library.”(John Waters)


Dari Buku ke Buku, Sebuah Buku tentang Buku-Buku

$
0
0


Jika ada sebuah buku yang serupa harta karun bagi para pecinta buku, maka itu adalah buku tentang buku. Penyusun buku ini, P. Siswantoro, benar-benar menunjukkan kepada pembaca bentuk sejati dari seorang bibliophile alias kolektor dan pecinta buku. Lewat Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, beliau mengejawantahkan kecintaannya kepada buku dalam bentuk kumpulan ulasan buku miliknya dalam buku tebal ini. Lebih istimewanya lagi, koleksi buku dan bacaannya pun tidak main-main, lebih dari 200 buku yang terbit mulai dari abad ke-17 hingga awal tahun 2000-an. 

29907861Koleksi naskah-naskah kuno yang telah dimiliki atau dibacanya pun tidak kalah elok, macam naskah lontar yang memuat kitab Negara Kertagama hingga naskah Pararaton. Tentu, yang jauh lebih luar biasa dari koleksinya itu adalah kekayaan intelektual yang disandang penyusun buku ini. Dengan ratusan atau mungkin ribuan buku yang telah dibacanya, tentulah bersemayam dalam pikiran beliau kegemilangan ilmu pengetahuan. Tidak mengherankan jika penulis pernah dipercaya sebagai wakil CEO dan Direktur Umum jaringan penerbit buku terbesar di negeri ini. 

Buku berjudul unik ini merupakan kumpulan hasil pembacaan beliau atas tidak kurang dari 200 buku dan naskah. Memang, tidak setiap buku diulas tuntas dalam satu bab—beberapa bab malah berisi ulasan yang campur baur dari sejumlah buku—namun kita tetap bisa mengikutinya karena gaya penulisannya yang luwes dan mengalir. Banyak pembaca yang mendapati membaca buku ini ibarat mendengarkan dongeng dari seorang kakek tentang buku-buku kesayangannya. Apalagi, kebanyakan buku yang diulas adalah buku-buku yang termasuk buku kuno dan antic, jenis buku yang niscaya susah untuk kita temukan di pasaran dewasa ini. 


Menuliskan ulasan sebuah buku adalah seuatu bentuk berbagi. Dalam hal ini, penulis membagikan informasi tentang buku-buku bagus kepada khayalak pembaca. Pembaca menjadi mengetahui bahwa ada buku-buku dashsyat semisal The History of Java karya Raffles yang memuat sketsa reruntuhan Candi Borobudur, atau tentang novel Buiten Het Gareel karya Soewarsih Djojopoespito yang ternyata adalah roman pertama yang ditulis pribumi di era Hindia Belanda. Mengulas buku, dengan demikian adalah sebuah kerja untuk mendokumentasikan sekaligus mempromosikan karya-karya bagus yang memang selaiknya diketahui khalayak pembaca luas. Buku ini, yang berisi kumpulan ulasan buku-buku yang telah rampung dibaca, kemudian menjadi sebuah sumber informasi yang tak kalah penting dari buku-buku yang diulas di dalamnya.

Tidak sekadar rangkuman isi buku, P. Siswantoro menuliskan ulasan tentang buku-buku tersebut lengkap dengan rincian fakta-fakta menarik serta nilai penting suatu peristiwa yang dibawakan oleh suatu buku. Ini masih ditambah dengan analisa dan pendapat si pembaca (dalam hal ini P. Siswantoro) terhadap suatu naskah. Kemudian, kita dibawa melompat ke buku lain yang sejenis untuk kemudian saling diperbandingkan dan saling melengkapi. Misalnya saat membahas Babad Tanah Jawi yang disambung dengan Pararaton dan Nagarakrtagama, dari satu buku ke buku lainnya, sambung menyambung menjadi satu.  Dengan cara ini, pembaca akan mendapatkan banyak informasi hanya dengan membaca satu ulasan saja. Sebuah teknik mengulas yang ringkas dan juga istimewa, serta tentunya mensyaratkan kemampuan analogi dan pemahaman yang mendalam.

Membaca buku ini, pembaca akan tergerak untuk ikut mencari-cari dan membaca buku-buku yang pernah dibaca P Siswantoro. Begitulah sebuah buku yang bagus, ia membuat kita semakin ingin membaca buku-buku yang lainnya. Paling tidak, kita jadi mengetahui ada buku-buku serta naskah-naskah agung dari zaman dulu yang mungkin kita belum berkesempatan untuk membacanya, atau malah jai tertarik membacanya setelah membaca ulasannya di buku ini. 

Buku-buku apa saja yang ulasannya ditampilkan di buku ini? Ragamnya banyak sekali, meskipun yang terbanyak adalah buku-buku nonfiksi sejarah. Melihat dari jenis bacaan, penulis buku ini sepertinya memang penggemar buku-buku sejarah, buku kuno, dan terutama nonfiksi. Ada aneka naskah kuno yang ditulis para pujangga pribumi (Serat Centhini, BabadDiponegoro), karya-karya tentang Nusantara yang ditulis oleh para penulis dari pihak colonial (De Java Oorlog karya PJF Low en ES de Clerkdan De Atjehers karya Snock Hurgronje), hingga karya-karya mutakhir (Dari Penjara ke Penjara milik Tan Malaka dan Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams). Bahkan tanpa membaca buku-buku aslinya, pembaca sudah mendapatkan banyak hal tentang buku-buku dimaksud dalam buku ini. 

            Adapun tentang jenis buku, bacaan berbau sastra tampaknya sangat minim di buku ini. Kecuali novel Het Gareen, hampir tidak ada bacaan dari jenis novel klasik yang diulas. Bisa dibilang, ulasan buku di buku ini didominasi oleh buku-buku sejarah yang sepertinya menjadi minat utamanya. Bahkan, Het Gareen pun dipilih sepertinya karena novel ini ditulis dalam bahasa Belanda oleh wanita pribumi. Sepertinya, teks-teks berbahasa Belanda memang mendapat perhatian khusus dari penulis di buku ini. Bahkan buku-buku roman terbitan Balai Pustaka semacam azab dan Sengsara karya Merari Siregar atau Siti Nurbaya karya Marah Rusli pun sama sekali tak tersebut. Sepertinya, ada bisa pada teks-teks berbahasa Belanda dan asing yang lebih diutamakan si penulis.

Namun demikian, bacaan nonsastra pun bisa diulas secara menyenangkan sehingga terasa sama menariknya dengan buku fiksi bagi penggemar bacaan fiksi. Buku ini menjadi bukti bahwa sudah semestinya tidak ada lagi pembedaan antara bacaan fiksi dan nonfiksi. Tidak selayaknya membaca yang satu kemudian menjadikan yang satunya lagi sepele. Seorang pecinta buku sejati sejati akan mencintai segala jenis buku, fiksi atau nonfiksi, lama atau baru, modern atau kuno. Membaca buku-buku kuno, seperti ditunjukkan di buku ini, akan menghadirkan pengalaman antik yang menyenangkan, sebagaimana yang dibuktikan sendiri oleh penulis buku ini. Sebuah buku tentang buku-buku. Aneka buku, sambung menyambung menjadi satu dalam sebuah buku yang utuh, seperti bangsa besar ini.


Data Buku:
Judul: Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penyusun: P. Siswantoro
Penyunting: Parakitri T Simbolon dkk
Tebal: 472 hlm
Cetakan: ketiga, April 2016
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia dan Tembi Rumah Budaya

Rahasia di Balik Ledakan Budaya KPop

$
0
0
Judul: Korean Cool
Penulis: Euny Hong
Penerjemah: Yenni Saputri
Sampul: B.U Birru
Tebal: 284 hlm
Cetakan: 1, Januari 2016
Penerbit: Bentang Pustaka



 29069661


Lima tahun lalu, sulit membayangkan ada yang bisa menyaingi popularitas Justin Bieber. Videonya ditonton jutaan followers, bersanding dengan musisi-musisi Barat lain seperti Lady Gaga, Coldplay, dan Katty Perry. Pekan lalu, saya kebetulan menonton sebuah video Youtube yang membandingkan antara Apop (American Pop) dengan Kpop. Video yang telah ratusan ribu kali ditonton itu dibanjiri dengan komentar sinis tentang betapa tidak setaranya membandingkan seorang Justin Bieber dengan BTS (boyband Korea dari manajemen BigHits). Popularitas BTS dianggap jauh melebihi Justin Bieber. Tawa para komentator semakin pecah ketika Justin Bieber kembali dibandingkan dengan boyband EXO. "Justin Bieber vs. EXO? Are you kidding me? Poor Justin!" kata mereka. Hanya dalam waktu yang relatif sebentar, musik pop Korea telah mendunia dan telah memiliki fandom setia yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan. Kpopers sendiri adalah nama fandom para penggemar Kpop di seluruh dunia dan termasuk salah satu fandom terbesar di dunia. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi kekuatan Korea sehingga mampu menaklukan dunia lewat budaya popnya?



Buku The Birth of Korean Cool: How One Nation is Conquering the World Through Pop Culturesedikit banyak mampu menjawab pertanyaan itu? Penulisnya, Euny Hong, sendiri adalah seorang Korea-Amerika yang menghabiskan masa remajanya di kawasan Gangnam (kawasan elit di Seoul yang dipopulerkan oleh Psy dalam lagunya). Dia turut menyaksikan dan mengalami sendiri proses perubahan Korea Selatan, dari yang semula negara Dunia Ketiga di tahun 1985 hingga menjadi negara industri maju di tahun 2001.  Ia juga menyaksikan betapa gebrakan Korea tidak hanya sampai di situ. Setelah memantapkan diri menjadi negara industri maju, negeri ini kembali 'menyerbu' dunia dengan budaya popnya sehingga pada tahun 2010, gelombang Hallyu sudah mewabah di penjuru dunia, mulai dari Iran hingga ke Brazil, dari Afrika Selatan hingga Prancis--dan tak terkecuali di Indonesia. fans-fans asal Indonesia sendiri termasuk yang paling fanatik kepada Kpop sehingga sering  menimbulkan heboh di dunia maya dengan fanwar-nya. Saya exo-l sih tapi juga nggak segitunya #eh.

Sedahsyat apa gelombang Kpop ini melanda dunia? Cobalah Anda buka Youtube dan akan Anda temukan bahwa video musik Psy berjudul 'Gangnam Style'telah ditonton sebanyak 2.618.216.504 kali--paling banyak sepanjang sejarah. Konser-konser grup band asal Korea juga selalu dipenuhi oleh penonton, bahkan di negara-negara yang dulu tidak pernah terbayangkan akan menonton grup musik Korea seperti Amerika Serikat. Iran bahkan tengah dilanda dengan popularitas drama Korea yang sempat hits di Indonesia tahun 2005, The Jewel in the Palace.Beberapa bintang Korea seperti Rain dan Lee Min Ho juga wira-wiri di beragam panggung bergensi tingkat dunia. Bahkan, serangan Korea tidak hanya dalam bentuk musik dan film. Rusia diketahui menjadi pengimpor kimchi terbesar di dunia, disusul oleh Jepang. Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, Korea memang berhasil menguasai banyak bagian dunia lewat budayanya.

Bagaimana sebuah negeri kecil dengan penduduk 50 juta ini menjadi negeri keren di dunia? Euny Hong berupaya menjawab pertanyaan ini lewat riset, pengalaman, dan wawancaranya dengan orang-orang berpengaruh di Korea. Dari buku ini,kita jadi tahu kebenaran pepatah bahwa Roma tidak dibangun dalam satu hari. Begitu juga Korea Selatan, perlu bertahun-tahun perjuangan dan rencana untuk bisa menjadi seperti sekarang. Diawali pada tahun 1980-an, negeri ini mulai membangun visi untuk bisa bangkit dari keterpurukan paska perang saudara dengan Korea Utara. Tidak hanya bangkit, bangsa ini juga ingin menjadi salah satu bangsa yang besar dan mampu menguasai dunia. Mereka tidak memilih senjata atau politik sebagai alat peraih kekuasaan, mereka memilih budaya populer sebagai senjata. Dan, mereka berhasil.

Salah satu ujung tombak gelombang Hallyu ada pada Kpop itu sendiri, terutama musik dan drama Korea. Agensi-agensi besar di Korea--seperti SM Entertainment dan JYP Entertainment--telah mulai membentuk artis-artisnya sejak masih kecil. G-Dragon dari Bigbang sendiri bahkan sudah masuk ke agensi sejak usia 8 tahun. Rata-rata bintang Korea harus menjalani masa pelatihan selama 6 -7 tahun sebelum mereka bisa debut untuk penampilan perdananya. Latihan mereka bisa berlangsung selama lebih dari 12 jam setiap hari. Kontrak mereka sangat ketat, yang hampir mendekati perbudakan, maka tidak heran jika bintang-bintang Kpop ini 'langsung jadi' begitu mereka naik panggung. Berbeda dengan bintang pop Amerika yang kadang hanya jago menyanyi, bintang Kpop mampu menari dan bernyanyi dengan sama baiknya. Koreografinya pun sangat sinkron dan menyenangkan untuk ditonton *nulis ini sambil nonton Twice*Pihak agensi juga tidak main-main, mereka menyewa langsung ahli koreagrafi terbaik dari Amerikadan Eropa untuk melatih calon bintangnya. Ada rahasia kenapa lagu-lagu Korea itu selalu easy listening meskipun kita tidak tahu arti liriknya. Ternyata, banyak dari lagu itu dikarang oleh musisi dari Eropa dan Amerika--tentunya juga dari Korea--sehingga menghasilkan musik populer yang bisa diterima oleh telinga siapa saja, dalam bahasa apa saja.



Bagaimana dengan film dan drama Korea? Ada satu kualitas dari bangsa Korea yang tidak dimiliki oleh negara-negara besar lain di dunia seperti Inggris, AS, Jepang, atau Tiongkok. Korea tidak pernah menjajah negeri mana pun, bahkan malah pernah menjadi negeri jajahan. Inilah yang mungkin mendekatkan Korea dengan negara-negara lain du Dunia Ketiga. Perasaan sama-sama pernah menjadi negara jajahan membuat budaya Korea mudah diterima di negeri-negeri Amerika Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika. Kualitas lain adalah budaya Korea yang masih konservatif (jika dibandingkan dengan Jepang, Korea masih sangat konservatif) sehingga mereka masih menjunjung nilai-nilai kesopanan. Ada panggilan khusus untuk orang yang lebih tua (sama seperti di Indonesia), juga penghargaan untuk orang yang masih muda (dalam grup musik Kpop bahkan ada satu posisi khusus untuk anggota termuda, maknae).  Para bintang Kpop juga terikat kontrak sehingga mereka tidak bisa berbuat sesukanya. Berbeda dengan bintang Barat yang buka-bukaan bebas di panggung dan dunia nyata, bintang Kpop hanya 'terbuka' saat di panggung. Di luar panggung, mereka bahkan harus menjaga imagenya sebagai orang baik-baik. Skandal seperti seks bebas dan narkoba akan menjadi bencana besar bagi seorang idol Kpop kalau kata buku ini. Bahkan, pacaran pun mereka dilarang sama manajemennya.

Masih banyak lagi rahasia kesuksesan Korea menginvasi dunia dengan gelombang Hallyu-nya yang dijabarkan di buku ini. Di antaranya lewat video game (yang ternyata menyumbang jumlah yang lebih besar ketimbang Kpop) juga tentang Samsung. Juga tentang sekolah di Korea yang keras (sering kita lihat di drama Korea siswa-siswa SD - SMA yangbaru pulang larut malam karena les tambahan), pemerintahan yang bertekad kuat untuk bangkit, serta dendam han yang tersimpan di dalam benak banyak warga Korea karena tertindas selama ribuan tahun--dendam yang kemudian malah menjadi tenaga untuk bangkit kembali. Buku ini patut dibaca oleh banyak kita yang juga ingin memajukan Indonesia secara kreatif dengan sesuatu yang memang telah jadi kelebihan kita: keanekaragaman dan budaya kita.

Haruki Murakami tentang Menulis dan Berlari

$
0
0
Judul: What I Talk About When I Talk About Running
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Ellnovianty Nine Sjarif dan A. Fitriyanti
Editor: A. Fitriyanti
Cetakan: Kedua, April 2016
Tebal: 198 hlm
Penerbit: Bentang Pustaka 

29918612

“Rasa sakit itu tak terelakkan. Tapi penderitaan adalah pilihan.”

Penulis dan atlet, dua profesi yang sangat berbeda jauh ini dapat kita temukan dalam seorang Haruki Murakami, seorang penulis kontemporer dari Jepang yang paling populer saat ini. Tidak hanya berlari, Murakami bahkan memilih lari marathon sebagaiolah raga pilihannya. Dia mengaku, hampir setiap hari dia menyempatkan untuk berlari. Penulis ini hanya mengambil jeda satu hari libur lari setiap pekannya. Saat hendak mengikuti perlombaan marathon, Murakami bahkan latihan lari hingga sejauh minimal 60 km setiap harinya. Lari sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari penulis seri IQ84 dan Norwegian Wood ini. Apa yang membuatnya jatuh cinta pada olahraga berlari? Banyak hal. Salah satunya, Murakami memilih berlari sebagai cara untuk melarikan diri dari rasa kesepian yang sering menyerang para penulis. Bagi para penulis, kesepian ibarat pisau bermata dua, bermanfaat sekaligus dapat membahayakan. Situasi hening dalam kesendirian sangat mendukung proses kreatif menulis (karena itu penulis sering identik dengan menyepi). Namun, kesendirian yang terlampau besar dan lama dapat membuat manusia tertekan dan hancur. Kesendirian, kata Murakami, telah melindungi sekaligus melukainya dari dalam.

"Aku menyadari bahaya itu--kemungkinan karena aku pernah mengalaminya--dan karena itulah aku tetap membuat diriku bergerak secara rutin .... Selain itu, rutin bergerak juga membuatku mampu menempatkan kesepian itu dalam perspektif yang lebihh jelas."(hlm. 25)



Pendapat Murakami ini memang dapat dimaklumi. Setiap penulis (mungkin juga semua orang) membutuhkan sebuah ruang dan waktu pribadi untuk dirinya sendiri. Orang modern menyebutnya "me time", sebuah waktu khusus untuk dirimu sendiri. Berlari sambil mendengarkan musik, tanpa ada beban target pekerjaan yang harus dirampungkan atau beban moral untuk berbicara dengan setiap orang lain, menjadi waktu istirahat bagi Murakami sekaligus untuk mengasah kreativitasnya. Tidak bisa dibantah kalau aktivitas sehat inilah yang menjadikannya penulis yang cukup produktif. Baru mulai menulis pada usia 32 tahun, Murakami menyadari pentingnya menjaga kebugaran tubuh agar bisa menulis secara maksimal. Menulis membutuhkan ketahanan lebih, karena harus duduk selama minimal empat jam untuk fokus menulis. Saat menulis, tubuh dalam posisi duduk diam namun mental sebenarnya sedang bekerja keras. Sehingga, tetap saja menulis itu melelahkan. Ada kaitan erat antara mental dan fisik, sehingga tubuh yang sehat tentu akan sangat mendukung mental dalam berkarya. Secara umum, Murakami memandang menulis sebagai pekerjaan yang tidak sehat secara fisik.

"Untuk menghadapi sesuatu yang sehat, seseorang perlu menjadi sesehat mungkin. Itulah motoku. Dengan kata lain, jiwa yang tidak sehat membutuhkan tubuh yang sehat." (hlm 110)

Berlari, terutama berlari marathon juga mengingatkan penulis pada proses menulis itu sendiri. Tantangan terbesar seorang penulis sebenarnya bukan pada bagaimana menulis buku yang bagus, namun untuk menyelesaikan menulis sebuah buku itu sendiri. Seperti dalam perlombaan marathon, mereka yang sampai ke garis finish adalah para juara. Jadi yang pertama atau terakhir sampai tidaklah terlalu masalah, karena berhasil menyelesaikan lari sejauh 42 km lebih sedikit itu sudah menjadi pencapaian yang mengagumkan. Begitu pula penulis, hari ketika dia selesai menuliskan kata terakhir pada naskahnya adalah hari yang sangat melegakan, seperti melepaskan satu beban berat yang menggantung di punggung selama berbulan-bulan. Menulis adalah sebuah proses yang panjang, butuh ketahanan khusus, sebagaimana lari marathon juga demikian. Hanya ada dua pilihan dalam kedua bidang ini: menang melawan keterbatas dalam diri atau kalah. Tidak selalu perlu menjadi yang pertama, kadang melakukan sampai selesai dan menerima kekurangan kita adalah syarat menjadi bahagia.

"Begitu kita semakin dewasa ... kita pun mulai menyadari (atau pasrah pada kenyataan) bahwa kekurangan yang kita miliki tidak ada habisnya, sebaiknya kita mulai memikirkan sisi baiknya dan belajar menerima apa yang kita miliki."(hlm. 169)

Akhirnya, apa yang menjadikan Haruki Murakami menjadi Haruki Murakami yang sekarang? Banyak hal, tapi sudah jelas bahwa salah satunya adalah olah raga berlari. Sebuah memoar singkat namun padat ini tidak hanya mengajarkan kita untuk tetap bertahan berlari demi mengejar mimpi, namun juga tentang beragam hal remeh namun penting lainnya dalam kehidupan. Dengan gayanya yang khas--mengelitik, jujur, agak satiris--Murakami menghidangkan kepada kita sebuah cerita nyatanya yang tetap enak dinikmati sebagaimana novel-novelnya. Sangat direkomendasikan untuk calon penulis, penulis pemula, atau siapa saja yang butuh sedikit dorongan untuk tetap berlari mengejar mimpinya.

"Bagiku, tujuan utama berolahraga adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi tubuhku demi terus bisa menulis novel."(hlm. 194)



Animal Farm, sebuah Satire atas Sosialisme?

$
0
0
Judul: Animal Farm
Pengarang: George Orwell
Penerjemah: Bakdi Soemanto
Tebal: 140hlm
Cetakan: kedua, Juli 2015
Sampul: Fahmi Irwansyah
Penerbit: Bentang Pustaka



24945435

Seorang sastrawan adalah saksi dari zamannya. Begitu juga George Orwell yang menjadi saksi dari era Perang Dunia Kedua--yang disusul dengan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Penulis ini kemudian mengabadikan apa yang disaksikannya itu dalam monumen paling indah di dunia: melalui karya sastra. Animal Farm lahir atas pengamatan dan ketidaksetujuannya pada totaliterisme Uni Soviet. Pasca Perang Dunia Kedua, dunia memang terbelah menjadi dua kubu, yakni Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat serta Blok Timur yang dikomando oleh Uni Soviet. Merentang mulai dari Eropa Timur hingga Siberia, Uni Soviet merupakan wilayah luar biasa luas yang dikendalikan oleh satu komando yang berpusat di Moscow. Negara persekutuan ini dibangun atas asas Sosialisme dan Komunisme, di mana kepemilikan bersama dijunjung tinggi dan semua adalah setara. Poin Ketujuh dari Tujuh Perintah yang harus ditaati semua binatang di Peternakan Binatang adalah "Semua Binatang Setara."Pengunaan kata "kamerad" di novel tipis ini semakin menegaskan pihak mana yang coba dikritik Orwell lewat tulisannya ini.


Apa yang akan terjadi ketika sebuah pertanian dikudeta dan lalu diambil alih oleh binatang-binatang ternak di dalamnya? Peternakan Manor milik Tuan Jones awalnya adalah sebuah peternakan yang terbengkalai. Meskipun luas dan subur, pemiliknya adalah pemalas yang suka minum sampai mabuk (apakah ini melambangkan keluarga Tsar?) sehingga binatang-binatang ternaknya tidak terurus. Si Tua Mayor, seekor babi putih terhomat, mengawali pemberontakan dengan pidatonya yang mengebu-gebu tentang sebuah komunitas di mana semua binatang di dalamnya adalah setara, tempat binatang tidak lagi diperbudak oleh manusia. Dia lantunkan syair 'Binatang Inggris' yang segera saja menyulut perasaan perlawanan pada binatang-binatang di peternakan Manor:

Binatang Inggris, binatang Irlandia
Binatang di setiap negeri dan musim
Dengarlah kabar gembiraku
Tentang masa keemasan di hari mendatang

Cepat atau lambat  saatnya akan tiba
Tirani Manusia akan ditumbangkan
Dan ladang subur Inggris
Akan ditapaki  oleh binatang saja

Maka, pemberontakan pun tersulut. Tuan Jones sekeluarga terusir dari rumah dan peternakannya sendiri oleh binatang-binatang peliharaannya. Kuda, babi, ayam, angsa, ayam, biri-biri, dan merpati bersatu mengusir para manusia dari Peternakan Manor (yang namanya kemudian diubah menjadi Peternakan Binatangatau Animal Farm). Seluruh binatang di dalamnya adalah setara, gandum dan jagung dibagi merata, pekerjaan dilakukan bersama-sama, dan hasil panenan pun dibagi dengan adil tanpa ada yang diistimewakan atau direndahkan. Terlihat seperti sebuah negeri eh peternakan yan utopis memang.

Masalah mulai datang ketika nafsu manusia (eh nafsu binatang) turut campur. Dua ekor babi yang awalnya adalah para pemimpin pemberontakan tiba-tiba saling bersaing. Melalui upaya yang licik, kendali peternakan jatuh ke salah satu babi itu, Napoleon mengangkat dirinya sebagai pemimpin dan mengusir babi saingannya ke luar dari peternakan. Dari sinilah bibit-bibit totaliterisme itu mulai muncul. Merasa didukung penuh oleh 'rakyat binatangnya', Napoleon mulai menerapkan peraturan-peraturan baru sesuai kehendaknya sendiri. ketika ada binatang yang protes, dia menurunkan seekor babi bawahannyayang jago berbicara untuk meredamnya. Ini macam kampanye agar rakyat tetap mendukung pemerintahannya, dengan menggunakan metode hoax dan pembalikan fakta. Apa pun ditempuh Napoleon dan tim babinya agar kekuasaan mereka langgeng.

Apa yang semua negeri impian berubah menjadi negeri petaka. Lambat laun, para binatang mulai sadar betapa kondisi mereka di bawah kendali Napoleon tidak ada bedanya (bahkan lebih buruk) dengan kondisi ketika mereka masih dipelihara oleh manusia. Namun, kampanye masif yang dijalankan Napoleon dan antek-anteknya seperti mengunci pemikiran mereka. Para binatang itu tetap yakin bahwa semua perkataan dan perintah Napoleon adalah benar dan wajib ditaati. Lambat laun, mereka kembali kehilangan kebebasan mereka. Bahkan, bertahun-tahun kemudian, para binatang di Peternakan Binatang sudah lupa dengan apa kebebasan itu sendiri.

Animal Farm menarik karena peternakan ala Orwell ini melambangkan negara sosialis murni dengan pemerintahan yang totaliter. Di era modern ini memang masih ada beberapa negara Sosialis, seperti Tiongkok dan Kuba, namun satu-satunya negara sosialis yang mungkin masih menyerupai Animal Farm adalah Korea Utara. Luar biasa betapa apa yang ditulis Orwell lebih dari setengah abad yang lalu ternyata masih bisa kita temukan di era modern saat ini. Orwell dengan presisi sekaligus menawan mampu menggambarkan apa pandangannya tentang sosialisme. Sayangnya, subyektivitas Orwell ini tidak diimbangin dengan obyektivitasnya tentang nilai-nilai positif dari sosialisme, atau mungkin iya karena di awal-awal berdirinya Peternakan Binatang tampaknya semua binatang sama setara dan bahagia. Di bagian akhir cerita, Orwell malah menyinggung sedikit tentang borok kapitalisme (yang menjadi dasar negara-negara Blok Barat) yang ternyata sama buruknya dengan paham yang dia kritik.

"Mahkluk-mahkluk di luar memandang dari babi ke manusia, dan dari manusia ke babi lagi; tetapi mustahil mengatakan mana yang satu dan mana yang lainnya."(hlm. 140)

Terjemahan Pak Bakdi Soemanto luar biasa keren seperti biasanya, mengalir dan luwes banget. Enak dibaca dan dinikmati. Sampulnya juga keren, warna pink tapi ada simbol-simbol sosialis yang tersamar, membentuk moncong babi sekaligus sosok seragam negeri sosialis tertentu.  

Babad Tanah Jawi versi Raden Mandasia

$
0
0
Judul: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana Publishing
Tebal: 450 hlm
Format: Paperback
Terbit: Maret, 2016


 

Sampul dan kualitas tinta di novel ini memang terlihat kurang meyakinkan. Sampulnya cenderung gelap dan kurang kontras, sementara beberapa halaman tintanya tampak seperti fotokopi. Tapi, sejak dulu saya belajar untuk tidak melihat buku dari sampul, penulis, atau penerbitnya. Dan, kali ini, tebakan saya tidak keliru. Novel ini keren. Judulnya yang uniklah yang pertama menarik perhatian saya, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi. Sungguh judul yang sangat tidak pasaran. Judul seperti ini kalau tidak dibuat oleh anak-anak punk yang setengah seniman, pastilah dibuat oleh seorang penulis yang telah banyak membaca literatur yang tidak biasa. Nama Mandasia itu sendiri, kemudian embel-embel si pencuri daging sapi yang mengikutinya, sungguh susah menghilangkannya dari ingatan. Lebih-lebih setelah Utami Pertiwi melambai-lambaikan buku ini di depan mata, dengan iming-iming diskon khusus, maka jebol jua pertahanan saya. Novel keren ini terbelilah. Saya tidak menyesal membelinya, pengalaman membacanya begitu berbeda dalam arti yang menyenangkan. Banyak hal baru bakal pembaca dapatkan dari membaca novel ini.



Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi menyuguhkan cerita yang tidak pasaran. Settingnya campur aduk antara Nusantara lama zaman Hindu-Buddha, Mataram Islam, Asia Tengah zaman Iskandar Zulkarnain, hingga setting-setting kisah dongeng seperti dikisahkan di sampul belakangnya. Membaca halaman-halaman awal, mungkin pembaca awam kayak saya ini butuh adaptasi dulu karena nama-nama karakter yang unik, juga nama-nama tempatnya yang tak kalah unik. Sungu Lembu, Nyai Manggis, Gilingwesi, Gerbang Agung, Banjaran Waru; kita seperti diajak menyelusuri versi Middle Earth dari Nusantara. Bahasa yang digunakan juga cenderung baku meskipun umpatan demi umpatan tumpah-tumpah di novel ini. Ini memunculkan kesan rapi tapi bebas, bengal tapi tetap taat aturan. Bahasa Indonesia di novel ini membuat kita rindu membaca novel berbahasa Indonesia seperti yang ada di novel ini #halah.

 Secara garis besar, alur besar novel ini adalah perjalanan Raden Mandasia ditemani Sungu Lembu dari Gilingwesi menuju Gerbang Agung. Tapi, di bab-bab awal kita akan diajak mundur ke belakang dalam cerita yang cukup panjang (sampai saya lupa sendiri kalau judulnya ada embel-embel 'pencuri daging sapi') namun penting. Mulai dari sejarah Gilingwesi, perjalanan hidup Mandasia, hingga bagaimana Sunggu Lembu bisa bepergian bersama si raden. Gilingwesi ini samar-samar kayak Majapahit atau Mataram Hindu karena aroma Jawa kunonya masih kental. Nah, Gerbang Agung ini yang agak bingung: apakah di Tiongkok, Yerusalem, atau Konstantinopel. Tapi, abaikan dulu setting latar dan waktu di novel ini karena perjalanannya sendiri itulah yang menarik. Bisa diibaratkan perjalanan mereka adalah perpaduan dari Odysey-nya Homer, epos Mahaharata, dan Lord of the Ring versi lokal. Kepiawaian Mas Yusi merangkai setting dan karakter sungguh luar biasa. 

Memang benar kalau sekali masuk ke dalam buku ini, susah untuk meletakkannya sebelum sampai halaman terakhir. Ada semacam hal-hal unggul dari lokal yang selama ini terlupakan berhasil disuguhkan kembali oleh mas Yusi dengan cara yang khas. Selain makanan-makanan unik khas Negeri Bawah Angin, juga ada eksotisme Nusantara kuno, romantisme berlayar dengan perahu, serta serunya perang tanding. Karakter-karakternya juga manusiawi, tidak ada yang benar-benar baik 100%. Kalimat-kalimat yang layak kutip suka bersembunyi di belantara paragrafnya yang agak rapat, sehingga sering mengejutkan pembaca yang tak siap. Satu kata setelah membaca novel ini adalah: KENYANG. Kenyang dalam arti yang baik, kenyang karena seperti diajak bertualang di negeri antah-berantah, kenyang dengan bahasa Indonesia yang ternyata indah, juga kenyang dengan twist asyik saat menutup buku ini. Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi, buku yang isarankan kalau kamu mau membaca buku karya pengarang lokal yang tak biasa.




Jangan Meribetkan Masalah-Masalah Sepele di Kantor

$
0
0
Judul: Don't Sweat the Small Stuff at Work
Penulis: Ricard Carlson
Penerjemah:
Cetakan: 3, 2006
Penerbit: Gramedia

sumber: gramedia.com








Di antara deretan buku-buku motivasi yang turut membentuk diri saya yang sekarang adalah seri Don’t Sweat Small Stuffs atau Jangan Meributkan Hal-Hal Kecil karya Ricard Carlson. Buku utama ini karena disukai kemudian berkembang menjadi seri-seri dengan segmen khusus namun tetap dengan fokus utamanya: tidak meribetkan hal-hal kecil. Saya lebih dulu membaca yang Don’t Sweat Small Stuffs for Men dan Don’t Sweat Small Stuffs at Work sebelum bisa beli buku utamanya. Biasalah, nunggu diskonan wkwkwk. Yang saya dapati, anak-anak dari seri Don’t Sweat Small Stuffs ini malah lebih lengkap dan rinci, dan menurut saya seri-seri lanjutan inilah yang lebih banyak mempengaruhi saya secara positif. Meskipun fokusnya khusus ke kantor dan juga seputar masalah kehidupan pria, pembaca juga bisa belajar banyak tentang tidak meributkan hal-hal kecil di seri-seri ini. 
 
                Kantor sudah menjadi bagian dari kehidupan orang modern. Tidak bisa dipungkiri, meskipun kantor telah lekat dengan pekerjaan dan sesuatu yang ‘membebani hari,’ di tempat inilah sebagian kita menghabiskan hampir separuh harinya. Minimal 8 jam kita ada di dalamnya, bekerja dan membanting tulang (dan pikiran), bersosialisasi, chattingan, nonton Youtube, mengunduh drama Korea terbaru, … eh STOP! Pokoknya, betapa pun tidak sukanya kita pada yang namanya kantor, tetap saja tempat itu punya andil dalam membentuk kita yang sekarang dan kita di masa depan. Karena itulah—kata Ricard Carlson—sungguh rugi jika ada orang yang ‘tersiksa’ di kantor hanya karena meributkan hal-hal sepele yang seharusnya kita bisa berdamai dengannya.

                Seri Don’t Sweat Small Stuffs memang ditulis dengan ide dasar ‘jangan meribetkan hal-hal kecil demi manfaat yang lebih besar.’ Di buku ini pun demikian. Berada di kantor selama hampir seharian penuh tentu saja berpotensi memunculkan stres, baik karena tekanan pekerjaan, tugas yang menumpuk, rekan sekerja yang bawel, hingga jalanan macet yang siap menghadang setiap karyawan saat pergi-pulang kantor.  Lewat buku ini, penulis kemudian menyarankan kita untuk ‘menerima saja hal-hal yang memang tidak bisa kita tolak.’ Kedengarannya seperti sikap pasrah, sebuah sikap yang dihindari banget di abad ke-21 ini. Pasrah, nggak berbuat apa-apa, hanya bisa diam dan merana; inikah yang hendak diajarkan buku ini? Tidak sama sekali.

                Carlson menyorot pada apa-apa yang tidak bisa kita hindari, maka terimalah. Karena ketika kita menolaknya, masalah-masalah itu tetap saja datang. Begitu pula ketika kita menerimanya, masalah-masalah itu juga tetap datang. Logikanya begini, pulang kantor pasti macet, jadi semarah-marah apa pun kita, jalanan tetap saja macet. Carlson seperti memilihkan satu alternatif yang lumayan baik dari sesuatu yang sudah mentok. Ketimbang marah-marah di mobil karena macet, kenapa tidak ‘menikmati macet’ dengan mendengarkan musik di mobil, atau berbincang dengan rekan? Atau, kenapa tidak pulang lebih lambat dengan pergi ke pusat kebugaran atau ke toko buku, dan menunggu di sana sampai jam macet berlalu? Waktu kita memang sama-sama habis karena macet, tapi ada pilihan bagaimana untuk menghabiskan waktu macet itu. Dan, tidak seperti macet yang tidak bisa kita hindari, kita masih bisa memilih cara untuk menghabiskan waktu macet ini.

                Macet ini hanyalah salah satu bab yang dibahas di buku ini. Lebih banyak bab-bab lain yang telah membuka pandangan saya untuk menerima dan menjalani saja hal-hal yang memang kita tidak bisa menolaknya, kemudian—kalau bisa—berusaha menikmatinya. Penerimaan bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak bisa kita hindari ini merupakan langkah awal agar hidup tidak kaku. Seperti pohon bambu, yang ikut meliuk ke kiri dan ke kanan saat kena angin besar, sehingga tidak patah; maka begitu juga sebaiknya manusia. Jika memang bisa, kita sekuat tenaga dan kemampuan akan menghindari masalah-masalah yang akan merepotkan kita. Tetapi, ada kalanya, ketika masalah-masalah kecil itu memang harus ada, maka terima dan jalani saja dulu. Karena menolak atau menerimanya, beberapa masalah itu akan tetap datang menghampiri.

                Buku ini juga mengajarkan kita untuk tidak meributkan hal-hal sepele. Kedengarannya seperti mengajak kita untuk hanya mengalah—padahal mengalah adalah tanda orang kalah. Benarkah demikian? Dengan pandangan yang baru dan lebih meyakinkan, Carlson menghadirkan kepada kita bahwa mengalah tidak selamanya kalah. Kadang, mengalah adalah kemenangan itu sendiri. Kadang, mengalah diperlukan demi kesehatan kita sendiri. Kadang, lebih baik mengalah untuk hal kecil ketimbang menang sendiri tapi mengorbankan hal yang lebih besar—seperti persahabatan. Juga tentang kebahagiaan, Carlson menyebut bahwa tidak ada yang namanya jalan menuju kebahagiaan, yang ada hanyalah bagaimana untuk menjalani hidup dengan bahagia, untuk menghabiskan kehidupan dengan rasa bahagia tak peduli apa pun hal berat yang menanti di depan. Hidup adalah takdir, tetapi bagaimana kita menjalaninya (dengan merasa bahagia) adalah pilihan.

O2 (The Chronicles of Audy #4)

$
0
0
Judul buku: O2 (The Chronicles of Audy #4)
Penulis: Orizuka
Penyunting: Yuli Yono
Cover desainer dan ilustrator: Bambang 'Bambi' Gunawan
Penerbit: Haru
ISBN: 978-602-7742-86-4
Cetakan: pertama, Juni 2016
Tebal: 364 halaman





Setelah dengan bahagia bisa ikut tercemplung dalam petualangan Audy Nagisa di keluarga 4R, akhirnya saya harus mengakhiri kebersamaan kami *halah* dengan buku terakhir dari seri Kronik Audy ini. Sungguh menyenangkan mengikuti seri ini, karena kita akan mendapatkan cerita remaja yang khas ala Orizuka. Cerita remaja yang tidak kosong dari segi isi namun tetap mempertahankan keceriaan dan dinamika khas remaja. Setelah ikut terombang-ambing kepiawaian penulis dalam meramu plot dan karakter, membaca 02 adalah sebuah penutup yang menghangatkan, juga menyegarkan, laksana oksigen. Audy, dengan menjadi dirinya sendiri, telah membuktikan kepada kita bahwa:

"Kamu bisa jadi apa saja yang kamu mau."(hlm 315)



Entah penulis ini menggunakan teori konspirasi atau bukan, tetapi semua judul dalam seri Kronik Audy ini terdiri dari dua digit yang terdiri atas huruf atau perpaduan angka-huruf. Mulai dari 4R, lalu 21, diikuti 4/4, dan ditutup dengan 02. Pasti ini semacam konspirasi garis halus untuk menarik pembaca! Yakin! *selow banget deh ini pengulasnya*. Tapi, entah itu konspirbasi atau bukan, yang jelas seri ini bagus dan sangat layak untuk coba dibaca karena isinya beda dengan roman-roman kebanyakan yang isinya cinta-cinta melulu *Sok tau kamu, Yon. Kapan kamu baca roman remaja? Kamu aja yang nggak tahu model-model cerita remaja kekinian itu macam gimana? Kebanyakan baca buku sejarah ya gini nih, ikut uzur*

O2 dibuka dengan Audy yang masih sama: belum bisa masak seenak Rex, belum juga lulus dari S1, belum tahu mau jadi apa kelak, dan belum tahu bagaimana perasaannya terhadap Rex. Sementara Audy masih Audy, kita bisa melihat perkembangan 4R sepanjang perjalanan seri ini. Regan sudah menikah dan bahagia bersama Maura, Romeo sudah dapat pekerjaan keren dari Pemerintah Banten terkait website atau apa entah, Rex diterima di MIT, dan Rafael--yang masih tetap menggemaskan--sekarang mulai bisa bertingkah normal layaknya anak kecil yang ehm normal. Hanya saja, Rex masih kaku, dan salah satu hal imut di buku keempat ini adalah upaya Audy dan Romeo untuk mengakrabkan hubungan antara Rex dan Rafael. Saya jadi kangen sama adik dan kakak saya yang kini merantau huhuhu. Yang namanya keluarga memang imuttttt.

Keluarga memang lebih baik saat berkumpul. tapi walaupun tidak berkumpul, keluarga tetap keluarga."(hlm. 298)

 Seperti 4R dan Audy yang harus siap-siap ditinggal Rex kuliah di Amerika Serikat, di buku keempat ini penulis seperti menyiapkan pembaca untuk berpisah dengan 4R+1A. Semua konflik yang pernah muncul di buku-buku sebelumnya mulai diakhiri dengan pelan-pelan, termasuk skripsi Audy. Yup, di buku keempat ini, Audy akhirnya menjalani ujian pendadaran untuk Sarjana S1-nya. Tentu, ini tidak lepas dari lirikan maut Rex, laptop pinjaman dari Romeo, serta tatapan memelas 2R lainnya. Adegan ujian pendadaran  ini mengingatkan saya banget sama ujian pendadaran saya tiga tahun lalu *boong banget ih tiga tahun lalu!* Teman Audy, Missy yang Miss Kekinian itu juga mendapat cukup banyak porsi di buku ini. 

"Tapi ensiklopedia nggak bikin aku pengin punya tujuan," kataku lagi. "Ensiklopedia nggak bikin aku pengin jadi lebih baik. Ensiklopedia nggak percaya aku bisa melakukan itu semua." Btw, di sini siapa yang biasnya Rex?

Jadi, apakah Audy beneran jadian sama Rex? Ada adegan heboh saat Rex bilang sesuatu yang terlalu dewasa kepada Audy, yang bikin Audy kelimpungan dan salah tingkah. Sementara, Romeo mulai menunjukan gelagat ingin merebut Audy dari Rex. Jadi buku empat ini semacam perang antara Aurex dan Aurom ship, kamu milih yang mana? *halah* Dan, seperti biasa, buku bagus selalu ditutup dengan indah, termasuk buku ini. Ending-nya sangat menghangatkan hati, penuh cinta, dan membuat kita kepingin bikin foto dengan orang-orang sekeluarga. Plus, di halaman akhir buku ini ada lukisan foto dari 4R + 1A yang unyu banget: Audy yang sedang gendong si imut Rafael, Regan yang santai tapi sangat bahagia dengan keluarganya, Romeo yang endutan, dan Rex yang cupu-cupu tapi imut. 4R telah berubah banyak sejak kedatangan Audy. Begitu pula, Audy juga semakin dewasa berkat 4R. Begitulah gunanya keluarga, untuk saling mendukung dan menghebatkan.

“Seperti oksigen, keluarga ada di sekitarmu, di setiap tarikan napasmu, mengalir dalam darahmu. Walaupun kamu nggak selalu bisa lihat, tapi kamu tahu keluarga selalu ada bersamamu.” (halaman 283)

Ketika Sastrawan Pergi Haji

$
0
0
Judul: Orang Jawa Naik Haji + Umrah
Penulis: Danarto
Penyunting:Ratih Ramadhan
Tebal:184 hlm
Cetakan: pertama, Agustus 2016
Sampul: Zizi
Penerbit: DIVA Press




Selalu ada rasa berbeda ketika seorang sastrawan menulis sesuatu yang tidak berbau sastra, memoar perjalanan ibadah yang dijalaninya, misalnya. Walau bukan buku sastra, karya-karya mereka selalu asyik dibaca, kadang membacanya serasa membaca novel: mengalir dan membius. Nah, salah satu karya yang seperti ini adalah buku 'Orang Jawa Naik Haji + Umrah' karya Danarto ini. Yup, Danarto yang ini adalah Danarto yang sama dengan pengarang "Asmaraloka" dan "Setangkai Melati di Sayap Jibril" itu. Buku ini diterbitkan oleh DIVA Press, bersama "Cahaya Rasul" serta sejumlah karya lama Danarto lainnya yang sempat menghilang di pasaran. Saya yang tidak mengenal Danarto di era kuliah saya, merasa sangat bersyukur masih dimudahkan membaca karya-karya hebat beliau.



Bagaimana ketika ibadah haji ke Tanah Suci dituturkan lewat sudut pandang seorang sastrawan? Sebuah catatan unik tentang Ibadah Haji, dengan percik-percik hikmah dan sedikit sentuhan kreativitas khas sastrawan. Danarto (yang juga seorang cerpenis, novelis, pelukis, pematung, dan seniman itu) menuliskan pengalaman dan perjalanannya menunaikan ibadah haji pada tahun 1983. Buku ini jadi menarik tentunya, karena kita diajak memandang ibadah Haji dari pandangan seorang penulis, sehingga tentunya imajinasi turut sedikit dituliskan di dalamnya. Memang, Danarto ini penulis yang langka dan serbabisa.  

Sebagaimana Cahaya Rasul yang ditulis dengan pendek-pendek tapi berisi, maka begitu juga buku ini. Dalam bab-bab pendeknya selalu ada mutiara yang coba disampaikan penulisnya kepada pembaca. Sayangnya, cara penyampaiannya entah kenapa terasa sedikit unsur menggurui--sedikit sih. Mungkinkah ini pengaruh dari jenis tulisan yang bergenre religi? Entahlah. Kemudian, bagaimana teknik penulisan yang digunakan? Apakah masih ada aroma cerpen atau novel?  Danarto rupanya memilih teknik penceritaan sepenggal-penggal dengan satu atau dua hikmah yang bisa kita baca di dalam setiap babnya. Teknik yang sama juga bis kita temukan dalam bab-bab di buku Cahaya Rasul. Pemaparannya mungkin kurang mendalam, tapi cukup mengena. Sekilas, Danarto seperti hendak menuliskan hal-hal kecil yang dirasakannya (dan dia ambil hikmahnya) saat tengah tahapan-tahapan berhaji. Seperti menulis cerpen, mungkin seperti itulah teknik penggal-penggal bab yang digunakannya di buku ini.

Bagi pembaca buku-buku religi yang rakus, tulisan Danarto mungkin terkesan setengah-setengah dan kurang mendalam. Namun, teknik penulisan seperti ini bisa jadi malah bisa lebih mengena saat dibaca pembaca awam yang mungkin kesulitan kalau harus mencerna bacaan religi yg berat. Patut kita ingat, latar belakang Danarto yg lebih sebagai sastrawan dan bukan penulis buku agama sehingga tulisan religinya mungkin terasa nanggung. Namun, apa yang ditulisnya ini dapat dibilang luar biasa, karena memiliki ciri tulisan seorang sastrawan: sentuhan subjektivitas dan komentar. Ketika Danarto yang lekat dengan imajinasi bebas sastrawan menulis buku berbau religi, hasilnya adalah sebuah catatan religi yg asyik dinikmati seperti di buku ini. Dalam buku ini, Danarto menuturkan dengan gayanya sendiri perjalanan Ibadah Haji yang ditunaikannya pada tahun 1983. Tentunya buku ini jadi unik, karena menjadi ajang karya seorang Danarto di luar ranah sastra. Bisakah liarnya imajinasi bersanding dengan kudusnya perjalanan ke tanah suci? Buku religi karya Danarto ini mungkin bisa menjadi ajang pembuktiannya. 


Yang lebih unik lagi adalah tema yang diangkat di buku ini. Mengapa orang Jawa? Apakah ada bedanya ketika orang non Jawa dan jawa naik Haji? Dalam buku ini, Danarto menyorot perilaku orang-orang Jawa tahun 1980-an yang kebetulan saat itu turut berhaji bersamanya. Orang-orang Jawa tahun 1980-an cenderung masih sangat lekat dengan tradisi "Kejawennya" sehingga terjadilah banyak hal unik. Bagaimana orang Jawa kala itu yang masih rajin menggelar sesaji tiba-tiba dihadapkan pada lingkungan Tanah Suci yang dilingkupi dengan tauhid sejati? Beberapa perilaku khas orang Jawa saat di Tanah Suci juga tidak lepas dari pengamatan Danarto. Banyak kejadian lucu serta konyol. Misalnya saja, semangat beli oleh-oleh yang sangat menggebu di kalangan orang Jawa, sehingga ibadah haji juga jadi "sekalian belanja.

Tetapi, seperti pengalaman Danarto, Tanah Suci selalu memberikan mukjizat kepada mereka yang mengunjunginya." Banyak perubahan perilaku yang muncul dalam diri Orang Jawa ini saat di tanah Suci, dan Danarto mampu mendokumentasinya dengan unik dan mengelitik dalam karyanya ini. Tanah Suci ternyata memang mampu mendatangkan keajaiban kepada mereka yang berkunjung ke sana, termasuk pada Danarto sendiri. Dalam buku ini, juga bisa kita rasakan perubahan (atau perkembangan) gaya tulisan Danarto yang semakin religius. Lebih dari itu semua, buku ini adalah dokumentasi unik tentang ritual Haji pada tahun 1983, dituturkan dari sudut pandang yg tidak membosankan. Jika ingin membaca tulisan religi yg dituturkan dengan unik, imajinatif, agak usil, & sedikit menggelitik; silakan mencoba membaca buku ini.

Menyimak dan Menikmati Proses Kreatif Hamsad Rangkuti

$
0
0


Judul Buku: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Pengarang: Hamsad Rangkuti
Penyunting: Tia Setiadi
Penyelaras akhir: RN
Cetakan: Juni, 2016
Tebal: 236 hlm
Tata Sampul: Joni Ariadinata
Penerbit: DIVA Press

 30225637

Kuliah di jurusan sastra asing membuat saya benar-benar cupu dengan perkembangan dan sejarah sastra negeri sendiri. Yah, mana sempat juga sih baca Berhala-nya Danarto atau Bibir dalam Pispot-nya Hamsad Rangkuti sementara dosen meminta kami membaca Jane Eyre dan Gullivers Travels dengan font-font menyiksa mata serta bahasa Inggris klasik yang panjang dan diksinya rumit itu. Karena itu, selepas kuliah, hanya bisa melongo ketika teman-teman sekantor sibuk bahas karya-karya indah Danarto, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, atau Dewi Sartika. Daftar penulis Indonesia yang saya ketahui saat itu hanya Dewi Lestari, Andrea Hirata, dan Eka Kurniawan. Bahkan saat kawan-kawan heboh karena Landung Simatupang akan memberikan kuliah umum di fakultas, saya anteng saja karena saat itu tak kenal siapa itu Landung. Dan, saya menyesal.

Ketika dua-tiga-lima-tujuh tahun kemudian saya mulai mengetahui kehebatan sastrawan-sastrawan itu (dan sudah punya penghasilan sendiri untuk bisa membeli timbunan buku, kondisinya sudah agak terlambat. Karya-karya itu sudah menghilang dari pasaran. Saya merasa jadi generasi yang hilang karena tidak sempat membaca karya-karya hebat itu. Untungnya, tahun 2013 dan setelahnya, bisa dibilang sebagai tahun kebangkitan sastra. Beberapa penerbit mulai menerbitkan ulang karya-karya maestro sastra yang sudah langka. Buku-buku yang dulu terbit di bawah bendera Bentang Budaya dan Pustaka Jaya, kembali diterbitkan. Hati makin riang ketika penerbit tempat saya bekerja juga menerbitkan kembali karya-karya lama para sastrawan Indonesia seperti Hamsad Rangkuti, Danarto, dan Seno Gumira Ajidarma. Saya bertekad, kali ini saya tidak boleh ketinggalan lagi.

Cerpen Pispot dan Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Merupakan dua cerpen legendaris dalam khazanah sastra Indonesia yang bisa dibaca pembaca di buku ini. Khas Hamsad Rangkuti, penutup cerita karyanya sering kali sangat mengejutkan, sedemikian dahsyat hingga mampu membuat pembaca termotivasi untuk bereaksi sebagaimana yang diharapkan penulisnya. Inilah yang mungkin akan pembaca dapatkan dalam pembacaan cerpen Pispot.  

Sementara, untuk cerpen yang menjadi judul buku kumpulan cerpen ini, Hamsad kembali pada kepiawaiannya merangkai hal-hal biasa secara istimewa (sebagaimana yang ditunjukkan oleh judulnya). Hampir sama  seperti dalam kumcernya sebelumnya Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah (dulu pernah diterbitkan dengan judul Sampah Bulan Desember), cerpen-cerpen di buku ini masih dijuarai oleh kehidupan orang-orang biasa dengan segala absurditasnya. Hanya saja, kesederhanaan itu tampak lebih rumit di buku ini ketimbang di buku sebelumnya. Secara isi, ceroita-cerita di buku ini juga lebih beragam, terutama dari segi setting. 

Selain cerpen-cerpen legendarisnya yang menjadikan buku ini wajib baca bagi para pecinta sastra, bagian pengantar penulis di buku ini bisa dibilang sebagai tulisan yang sangat berisi. Seorang Hamsad Rangkuti menuliskan proses kreatif di balik penulisan cerpen-cerpen karyanya dalam ‘Imajinasi Liar dan Kebohongan (Proses Lahirnya Sebuah Cerpen)’ yang kemudian ditanggapi oleh FX Rahadi di bagian penutup. Di bagian awal buku ini, pembaca akan didongengkan langsung oleh penulis terkait prosesnya dalam menulis cerpen. Tulisan yang cukup lengkap ini juga semacam rekam jejak seorang Hamsad Rangkuti dalam berkarya, sejak pertama kali cerpennya “Sebuah Nyanyian di Rambung Tua” yang ditulisnya tahun 1959. 

Apa yang menjadikan bab ini istimewa, tidak lain karena Hamsad bersedia berbagi masa mudanya (sebagai manusia sekaligus pengarang) kepada pembaca. Disebutnya bahwa cerpen-cerpen karya para sastrawan dunia seperti Anton Chekov, Maxim Gorky, dan Ernest Hemingway sebagai hal yang telah ‘mengganggunya’ saat remaja sehingga beliau memutuskan untuk mengarang. Sudah lumrah ketika sebuah tulisan yang bagus mampu menimbulkan semacam gangguan kreatif pada diri pembacanya. Gangguan kreatif dari cerpen-cerpen karya penulis dunia inilah yang pertama kali memantik imajinasi seorang Hamsad kecil sehingga bisa menjadi penulis legendaris Indonesia.


Tepat sekali yang dikatakan FX Rahardi dalam sisipan tulisannya di akhir buku kumcer ini (Antara Fiksi dan Kebohongan) bahwa Hamsad Rangkuti mungkin bukan cerpenis yang piawai memberikan banyak hal dalam karyanya. Penulis yang kini tengah terbaring sakit karena stroke ini sepertinya memang hanya mampu memberikan sedikit hal saja kepada pembaca, namun dia memberikannya secara mendalam dan dengan sedemikian hebat. Inilah yang kemudian menjadi ciri khas karya-karyanya, yang sekaligus menjadikan pengarang ini dijuluki sebagai salah satu maestro cerpenis di Indonesia. Tentang kehidupan orang-orang biasa serta kelucuan hidup di balik kehidupan mereka yang tampaknya biasa-biasa saja. Hal-hal istimewa selalu berhasil diangkat oleh Hamsad Rangkuti dari segala yang tampaknya biasa dalam kehidupan keseharian. Agus Noor menjuluki ciri khas ini sebagai ‘kesederhanaan yang tetap memesona.”


Membaca sastra sepertinya menjadi proses pembelajaran utama yang ditempuh penulis. Di buku ini, Hamsad mengaku bahwa dirinya pun turut berproses sebagai penulis, dari yang awalnya penulis berbakat alami hingga kemudian menjadi penulis yang mengarang setelah mengetahui teknik kepengarangan. Pengakuan ini menjadi bukti bahwa latihan dan belajar tetap menjadi hal yang utama untuk bisa menjadi unggul dalam banyak hal, termasuk untuk menjadi seorang pengarang unggul. “Saya semakin yakin bahwa dengan makin banyak membaca semakin banyak yang bisa diperoleh,” akunya di halaman 13.

Selain itu, di buku ini Hamsad juga loyal membagikan ilmu dan pengalamannya dalam  menuliskan cerita. Banyak cerita-cerita uniknya yang ternyata terilhami oleh peristiwa yang mungkin terkesan biasa-biasa saja. Misalnya cerpen ‘Dia Mulai Memanjat’ yang tercetus setelah Hamsad muda mendengar ucapan pelukis senior Oesman Efendi: “Kalau kaumau terkenal, penggal kepala patung di Bundaran Senayan. Katakan itu karyamu! Kau akan terkenal!” Untung saja Hamsad tidak melakukannya, tapi dia membiarkan tokoh fiktif rekaannya yang melakukan hal itu dalam cerpen karyanya. Dan, Hamsad pun nyata terkenal sekarang tanpa harus berurusan dengan pihak berwajib. Begitulah seorang pengarang, mereka bertindak nyata lewat karya fiktifnya.



           
           
             


Viewing all 469 articles
Browse latest View live