Quantcast
Channel: Baca Biar Beken
Viewing all articles
Browse latest Browse all 469

Evolusi Penulisan Fiksi ala Gao Xingjian

$
0
0
Judul: Membeli Batang Pancing untuk Kakekku
Pengarang: Gao Xingjian
Penerjemah: An Ismanto
Tebal: 147 hlm
Cetakan: 1, November 2016
Penerbit: basabasi
Sampul: Ferdika



Rasa penasaran setelah membaca cerpen Gao Xingjian dalam kumcer Dijual Keajaiban yang rasanya ‘kok gitu aja?’ maka terbitnya buku ini tentu saja adalah sebuah kabar gembira. Karya lain penulis ini, novel Gunung Jiwa juga sudah susah banget nyarinya. Banyak pembaca baru macam kita-kita ini akhirnya bingung saat hendak mencicipi rasa dalam karya si penulis peraih Nobel yang memilih eksil ke Prancis ini. Apa yang khas dari karya-karyanya? Apakah senada dengan Mo Yan, ataukah ada rasa asli lain yang khas dari penulis asal Tiongkok ini?

Membaca cerpen-cerpen di buku ini, kita seperti diajak menanjak menuju ke sebuah puncak gunung. Awalnya lumayan mudah dan dengan pemandangan yang indah. Etape kedua sudah agak menanjak. Bagian selanjutnya lumayan menanjak, dan bergitu berturut-turut hingga menanjaknya ekstrem banget sampai ngos-ngosan bacanya. Dua cerpen terakhir adalah yang paling menguras pikiran, mana panjang pula itu dua cerpen ck ck ck. Akhirnya, setelah menamatkan membaca seluruh cerpen di buku ini (dengan dua cerpen yang sedemikian sulit diikuti di bagian akhir), pembaca akan mengetahui jawaban tentang mengapa buku ini begini. Buku ini menjadi contoh sekaligus bukti bahwa evolusi dalam penulisan fiksi ternyata masih belum selesai.


Cerpen-cerpen di buku ini mengisahkan tentang hal-hal yang biasa-biasa saja. Ingatan atau memori tampaknya menjadi jiwa (kalau bukan menghantui) buku ini. Tentang anak yang membelikan pancing untuk kakeknya, tentang kecelakaan yang menimpa seorang pria, dan tentang pria muda yang membaca bukunya di pantai dan lalu entah kenapa sampai ke mana-mana. Secara tema, kesederhanaan cerpen-cerpen ini mengingatkan saya pada cerpennya Kawabata, hanya saja lebih panjang dan sedikit lebih agak kompleks. Yang bikin terkejut dari cerpen-cerpen di buku ini adalah cara penulis bernarasi. Bayangkan ketika sedang hanyut dalam paragraf ketiga, pembaca tiba-tiba disuguhi cerita baru di paragraf keempat, lalu ceritanya ganti lagi di paragraf ke enam. Begitu seterusnya sampai cerita ditutup dengan penggalan dari cerita di paragraf pertama. Dan campur-aduk cerita ini terjadi dalam satu cerpen, di mana satu paragraf dengan paragraf lain sepertinya tidak secara langsung terkait tapi memang terkait. Bingung kan? Iya, saya sudah bingung sejak lima hari lalu, tapi saya ampet saja sendiri.

Untungnya, penulis berbaik hati dengan memberikan bonus tulisan tentang menulis di bab paling akhir buku ini. Walau masih lumayan berat, Gao Xingjian memaparkan teknik menulisnya yang sepertinya acak-acakan tetapi sebenarnya tidak. Ia menyebut teknik menulis paragraf yang tidak saling bersambung ini sebagai hal yang sah-sah saja dilakukan seorang penulis atas nama kreativitas. Apa yang dilakukan Gao ini mungkin boleh-boleh saja, tetapi apakah tekniknya ini akan bisa diterima oleh pembaca, ceritanya lain lagi. Yang jelas, setelah membaca pemaparan di bab terakhir ini, saya ingin membaca ulang cerpen-cerpen di buku ini, terutama dua cerpen paling akhir yang bikin senewen itu.

Pengarang yang berhasil, salah satunya, adalah pengarang yang bisa memaksa pembaca untuk membaca ulang karyanya lagi dan lagi. Saya ingin membaca ulang kumcer-kumcer di buku setelah mendapatkan amunisi dari bab terakhir di buku ini. Bukan karena suka sih, lebih karena penasaran. Siapa tahu, setelah membaca kumcer ini untuk kedua kalinya, bintangnya naik jadi empat. Pembaca juga boleh dong berevolusi.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 469

Trending Articles