Judul: Karung Nyawa
Pengarang: Haditha
Penyunting: MB Winata
Sampul: Haditha
Cetakan: Pertama, Maret 2018
Penerbit: Bukune

Kita tumbuh dewasa salah satunya bersama kisah horor. Dawet yang dibuat dari biji mata, menanam kepala manusia sebagai tumbal pembangunan jembatan, hingga pemulung yang suka menculik anak kecil dalam karungnya. Entah kisah-kisah itu terbukti benar atau tidak, sebagian besar dari kita pernah mendengar kisah-kisah horor yang kurang lebih mirip. Kisah-kisah itu mungkin diceritakan orang dewasa kepada anak-anak sebagai sarana untuk belajar waspada, juga untuk menyadarkan kita yang kecil dulu bahwa dunia ini tidak melulu berisi orang-orang baik semata. Bisa juga, kisah-kisah horor seperti ini terus diceritakan karena kecenderungan kita untuk tertarik sekaligus takut kepada hal-hal yang belum kita ketahui. Membaca Karung Nyawa mungkin menghasilkan dampak seperti itu. Buku ini mengajak pembaca bernostalgia kembali dengan kisah-kisah seram yang pernah mewarnai sudut kecil dari masa kecil kita dahulu.
Ide cerita utama Karung Nyawa adalah tentang pesugihan toklu (ketok gulu/potong leher) yang menumbalkan kepala manusia. Di Purwosari, salah satu wilayah urban di Bojonegoro, dulu sempat beredar kabar tentang seorang pemulung yang suka menculik anak-anak untuk ditumbalkan. Si pemulung memanen korban dengan cara mengaitkan kait setajam arit ke leher korban. Seperti biasa, kisah ini sukses menakut-nakuti anak-anak yang suka lupa waktu kalau lagi main. Cerita lain dengan versi berbeda juga banyak dijumpai di wilayah pedesaan Jawa tahun 90-an awal. Tetapi ketika pada suatu siang Johan Omar yang berusia 12 tahun menemukan sesosok wanita tanpa kepala mengambang di sungai,orang-orang mulai bertanya apakah Toklu memang benar-benar nyata adanya?
Tujuh tahun berlalu, peristiwa serupa terjadi. Warga Purwosari kembali gempar dengan penemuan sesosok mayat wanita tanpa kepala. Johan Omar yang masih trauma dengan peristiwa terdahulu memilih untuk menutup diri. Tapi, Jabil sahabatnya malah mengajaknya untuk menyelidiki peristiwa berdarah itu. Nalurinya sebagai detektif amatir bangkit, tetapi ia membutuhkan teman-teman yang lain untuk membentuk empat sekawannya sendiri. Tentu saja Johan menolak, awalnya. Tetapi setelah tahu bahwa dalam kelompok itu ada Janet Masayu, pacarnya, dan Tarom Gawat yang punya kelebihan spiritual, Johan memutuskan untuk ikut bergabung. Satu hal yang tidak ia beritahukan kepada teman-temannya, tentang sosok hantu wanita tanpa kepala yang terus menampakkan diri kepadanya sejak peristiwa tragis tujuh tahun lalu.
Orang bijak bilang, tak ada obat untuk suatu ketakutan kecuali menghadapi ketakutan itu sendiri. Baik Johan Omar, Tarom Gawat, Janet Masayu, maupun Jabil ternyata memiliki ketakutan-ketakutannya sendiri yang mau tak mau harus mereka hadapi. Terbentuknya empat sekawan ini di satu sisi telah membantu mereka mengalahkan ketakutannya. Di sisi lain, keberanian atau mungkin kenekatan itu mungkin akan menjerumuskan mereka dalam marabahaya. Fokus penyelidikan mereka hanya untuk menyelidiki si Toklu. Benarkan pemulung berdarah itu memang benar-benar ada? Siapa dia sebenarnya dan apa tujuannya? Sementara itu, desa semakin gawat kondisinya dengan banyaknya orang yang mendadak kesurupan, kemunculan penampakan hantu berkapak yang mengganggu para peronda, hingga tumbuhnya pohon-pohon aneh di sekitar Purwosari. Terlarut dengan semangat penyelidikannya, empat anak muda itu malah luput menyadari sosok pembunuh itu ternyata lebih dekat dari yang mereka sangka.
Mirip salah satu kisah Scooby Doo ya? Tapi ini beda. Lokalitasnya yang kental membuat buku ini juara. Haditha membawa persilangan segar antara horor lokal (yang diawali oleh Abdullah Harahap dan dirayakan ulang oleh Eka Kurniawan dan kawan-kawan) lewat Karung Nyawa ini. Mungkin, ini yang bikin saya merasakan aroma Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas saatmengawali membaca novel ini. Haditha mengatakan kalau naskah ini ditulis sebelum membaca novelnya Eka. Jadi, lebih adil kalau dibilang keduanya sama-sama terpengaruh oleh maestro Abdullah Harahap. Satu hal yang khas di buku yang mengingatkan saya pada karya Eka adalah nama-nama karakter di novel ini yang Indonesia-punya banget: nama depan yang dipadukan dengan nama julukan. Kemudian, dalam menarasikan cerita, penulis berulang kali menyebut nama lengkap setiap tokohnya di buku ini (Yoga Keling, Hanoman Ganteng, Tarom Gawat). Ini mirip dengan teknik Eka dalam menulis beberapa karyanya.
Membandingkan Karung Nyawa dengan karya pertama Haditha yang saya baca, terlihat sekali betapa jauh perkembangan yang berhasil dicapainya. Novel ini adalah bukti fisik dari ratusan jam praktis menulis dengan rutinitas dan disiplin tinggi. Di awal-awal buku memang coraknya masih sibuk bernarasi, tetapi semakin memasuki semesta Purwosari, pembaca akan langsung terseret pada rasa penasaran. Cerdiknya si penulis, misteri utama digeber dari awal, lalu misteri-misteri lain mulai ditaburkan dengan porsi yang tidak berlebihan sepanjang cerita. Belum selesai kasus Toklu diselidiki, pembaca malah disuguhi Hantu Belangkon dan Hantu Berkapak. Ini adalah teknik cerdik untuk menjerat pembaca agar tetap membaca cerita sekaligus mendistraksi pembaca dari misteri yang sebenarnya. Kemudian di ending, pembaca akan disuguhi plottwist cerdas serta pertempuran penghabisan yang masih membuat saya tak percaya mengapa penulisnya memilih ending begitu.
Saya suka aroma horor lokal yang kental di buku ini. Beberapa di antaranya pernah saya dengar sehingga rasanya mudah saja ikut masuk di cerita. Saya juga suka dengan teknik bercerita horor ala kisah fantasi Haditha yang tidak melupakan elemen lokalitas Indonesia. Buku-buku seperti ini kembali mengingatkan saya akan horor kawasan pedesaan yang dulu sempat menjadi karakteristik karya-karya maestro horor Indonesia Abdullah Harahap. Juga teknik penamaan di Karung Nyawa yang nyaman sekali terdengar di telinga saya sebagai orang yang besar di desa. Satu yang kurang dari buku ini mungkin ending-nya yang masih kurang tuntas. Puas sih tapi kurang tuntas. Namun begitu, bagi saya kenikmatan novel ini ada pada aroma horor yang terus menyapa di sepanjang cerita. Ketika Haditha mengisahkan kondisi malam hari di Purwosari yang lokal banget, cocok dengan malam hari di wilayah pedesaan di Jawa. Jadi, kebayang kan seremnya macam gimana?
Sebagaimana gosip, cerita horor akan terasa semakin seram kalau dinikmati bersama-sama. Terima kasih sudah menyimak ulasan saya. Sebagai hadiah, Penerbit Bukune telah menyiapkan satu buku misterius GRATIS untuk salah satu pembaca yang beruntung. Buku apakah itu? Ikutan dulu kuisnya yok.
1. Silakan follow dulu akun-akun Twitter @hahahaditha dan @bukune. Jika tidak ada Twitter silakan bisa like FB page Fiksi Klenik atau follow IG @haditha_m dan @bukune.
2. Tuliskan satu kisah horor yang pernah kamu dengar di masa kecil dulu dan masih terkenang dalam ingatanmu hingga sekarang. Ceritanya cukup satu paragraf saja ya. Kalau banyak-banyak nanti saya serem.
3. Wajib share atau bagikan postingan kuis ini di media sosial kamu. Boleh di FB, Twitter, atau IG. Jangan lupa menyertakan tagar #KarungNyawa #BukuneFresh.
4. Format jawaban
Nama:
Email/twitter/FB:
Link share:
Ceritamu:
5. Pastikan kamu memiliki alamat pengiriman di Indonesia ya. Kuis ini berlangsung sampai tanggal 18 Mei 2018 dan akan dilanjutkan di blog Mbak Ina dengan hadiah yang tak kalah seru. Jika belum beruntung di sini, teman-teman masih ada kesempatan mendapatkan buku misterius di blog-blog selanjutnya. Terima kasih.