Judul: A Thing Called Us
Pengarang: Andry Setiawan
Penyunting: Ayuning
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal: 290 hlm
Sampul: @teguhra
Shun, Kotoha, dan Shinji; ketiganya bersahabat sejak SMP. Ketiganya menghabiskan masa kecil dan masa remaja bersama, susah dan senang, duka dan bahagia, cinta dan lara dirasakan bersama. Ketiganya seolah tidak bisa terpisahkan. Kemudian, Shinji tiba-tiba menghilang entah kemana tanpa meninggalkan kabar atau berita. Bahkan orang tua dan teman-teman dekatnya pun tak mengetahui di mana keberadaan sang pemuda. Kotoha yang memendam cinta kepada Shinji adalah yang paling menderita. Baru sepekan mereka jadian, Shinji keburu menghilang tiba-tiba. Shun juga tak kalah merana. Pemuda yang diam-diam menyukai Kotoha itu juga merasakan kehilangan dalam wujud yang berbeda. Sudah lima tahun Shinji menghilang, dan selama tahun-tahun lamban tersebut, luka tidak makin keting tetapi semakin mengangga. Inilah cerita tentang anak-anak muda yang harus move on karena hidup adalah perhal berjalan dan bukan tentang berhenti di tempat.
Lima tahun berlalu, Kotoha masih menunggu Shinji pulang dan Shun masih menunggu Kotoha melupakan Shinji. Menunggu sering kali menjadi satu-satunya jalan yang paling mudah ketika kita tak tahu apa yang harus dilakukan. Inilah yang dilakukan keduanya. Tetapi, sampai kapan mereka harus menunggu? Waktu terus berlalu sementara Shinji tidak kunjung datang. Kotoha semakin muram dan mengurung diri, sementara Shun seolah turut menanggung beban. Sepeninggal Shinji, Kotoha dan Shun memang terus melakukan pertemuan untuk mengenang persahabatan mereka bertiga. Tetapi, pertemuan-pertemuan itu menjadi tidak lebih dari sekadar rutinitas yang biasa mereka lakukan setahun sekali. Sebuah pertemuan yang selalu terasa kosong dan hampa makna. Kotoha yang terus larut dalam sepi sendiri, Shun yang mulai lelah menanti, dan Shinji yang tak kunjung memunculkan diri. Apakah menunggu itu selamanya menjadi satu-satunya jalan yang harus dijalani?
Tetapi hidup tidak mau hanya untuk menunggu. Baik Kotoha maupun Shun harus mulai mau berjalan lagi agar kisah mereka bisa bertahan—meskipun dengan cara yang memaksa. Shun akhirnya dipertemukan dengan Aki dalam sebuah pekerjaan yang melibatkan keduanya di sebuah proyek pembangunan hotel. Aki yang tipe cewek periang ini berbeda 180 derajat dengan Kotoha yang selalu murung. Bersama Aki, Shun seperti menemukan semangat hidupnya kembali. Wanita ceria yang kadang terlalu aktif itu menyadarkan pemuda itu bahwa setiap orang berhak mencintai dan dicintai. Shun mulai melepaskan Kotoha pelan-pelan. Penantiannya selama ini tidak hanya untuk menunggu Shinji, tetapi juga menunggu luluhnya hati Kotoha. Namun, lewat Aki, pemuda itu mulai merenungkan apakan dia benar mencintai Kotoha ataukah perasaan itu hanya sebentuk beban tanggung jawab sebagai teman untuk wajib menggantikan Shinji di sisi Kotoha.
Langkah move on Shun rupanya dipandang berbeda oleh Kotoha. Cewek itu menuduh Shun telah menyerah menunggu Shinji. Tetapi, wanita itu kini juga harus belajar untuk tidak egois. Mulai hilangnya Shun dari sisinya menyadarkan betapa selama ini dia telah terlalu mengekang pemuda itu atas nama persahabatan. Persahabatan memang sesuatu yang layak untuk dipertahankan, tetapi ada saatnya ketika persahabatan juga harus mengalah jika memang itu untuk kebahagiaan. Lagi pula, yang namanya persahabatan tidak akan pernah menghilang, yang ada hanyanya ia bertambah atau berkurang. Lewat kisah mereka, kita belajar betapa cinta dan persahabatan sebaiknya jangan dicampuradukkan. Meskipun persahabatan bisa berkembang menjadi hubungan percintaan, atau percintaan yang mundur menjadi persahabatan semata. Tetapi ketika cinta dan teman harus berjalan seiring, ada satu yang harus dikorbankan.
Selain kisah tentang menunggu Shinji, buku ini juga menghadirkan aneka konflik lain dari para tokoh-tohoknya. Memang benar betapa manusia itu tidak hitam-putih, tetapi mereka berwarna dan warna-warna itu dibentuk dari masa kecil mereka. Setiap orang memiliki cerita, begitu juga Shun dan Kotoha yang memiliki kisahnya sendiri. Pun demikian Shinji, dia juga memiliki jawaban atas kisahnya sendiri. Kisah persahabatan dan cinta mereka akhirnya menemukan ujungnya, tepat di akhir cerita buku ini—bersama kisah-kisah lain yang menyusun A Thing Called Us karya Mas Andry Setiawan ini. Saya sungguh menikmati membaca novel roman ini. Rasanya, buku ini adalah sebuah perjalanan ke negeri Jepang dengan segala eksotismenya. Saya suka dengan aromanya yang Jepang banget. Setting Jepang di novel ini sama sekali tidak terasa seperti asal tempel, tetapi mampu menyatu dengan karakter-karakternya. Tokoh-tokoh di dalamnya juga sangat “Jepang” banget, rata-rata workoholic dan diwarnai aura-aura suram khas kaum urban Jepang. Tiga bintang untuk buku indah dengan sampul cantik ini.
Masalah hati ya, memang kalau nggak dibicarain baik-baik nggak bakal selesai. Dibutuhkan kejujuran, keberanian, serta kerelaan untuk menyelesaikannya. Yuk temenin saya menyelesaikan membaca cerita indah ini. Dari penulisnya langsung, Mas Andry Setiawan akan menghadiahkan satu novel ‘A Thing Called Us’ ini kepada satu pembaca yang beruntung. Silakan tinggalkan komentar di postingan status ini beserta akun Twitter atau Facebook yang bisa saya hubungi jika kamu terpilih sebagai satu yang beruntung. Jawaban ditunggu paling lambat 3 November 2017.