Judul: Man’s Defender
Penulis: Maisie Junardy dan Donna Widjajanto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Hetih Rusli
Cover: Eduard Iwan Mangopang
Cetakan: Pertama
Terbitan: Jakarta, 2017
Tebal: 288 Halaman
ISBN: 978-602-03-3983-2
Selama ini, banyak dari kita yang takut dengan perbedaan. Padahal, perbedaan sama sekali bukan sesuatu untuk ditakutkan. Perbedaan di dunia ini adalah sebuah kewajaran adanya. Dalam satu ayatNya, Tuhan juga telah menegaskan bahwa perbedaan adalah suatu fitrah dalam ciptaanNya. Mengapa harus takut pada perbedaan dan keberagaman? Mungkin, kita hanya belum tahu tentang betapa samanya kita dalam perbedaan. Bahwa setiap kita adalah unik dan berbeda, dan itulah persamaan yang menyatukan kita. Mempromosikan tentang pentingnya memahami dan menghargai perbedaan sebagai sebuah keunikan ini juga bisa dilakukan lewat bacaan. Hal indah inilah yang dilakukan Maisie Junardy dan Donna Widjajanto lewat novel ini. Memadukan asyiknya teknologi game virtual dengan kisah khas remaja belasan tahun, kedua penulis ini berhasil menyisipkan jubelan materi tentang indahnya keberagaman lewat kisah yang cukup seru untuk disimak.
"Tidak ada manusia di dunia ini yang sepertimu, dan tidak pernah akan ada lagi. Begitu juga menusia lainnya. Kalian memiliki kesamaan untuk berbeda."(hlm. 109)
Perasaan takut inilah yang awalnya dirasakan Alexander Putra Rosetti. Dilahirkan dari orang tua yang berbeda ras menjadikan dirinya anak ras campuran. Dirinya selalu terlihat berbeda di antara teman-temannya. Ini semakin diperparah dengan orang tuanya yang sering berpindah-pindah tempat tinggal. Dalam usianya yang masih enam belas tahun, Alex sudah pernah tinggal di banyak negara, mulai dari Tiongkok hingga Turki, dari Indonesia hingga India. Hampir setiap tahun, keluarganya berpindah rumah ke negara lain. Sayangnya, pengalaman terus berpindah-pindah inilah yang tidak disukai Alex. Terlalu cepat tinggal di suatu negara membuatnya tidak memiliki teman akrab. Baru saja dia menemukan teman-teman yang cocok, orang tuanya keburu mengajaknya berpindah negara. Maka makin nggak punya temanlah dia. Fisiknya yang berbeda juga sering membuatnya ditolak, seperti pengalaman buruknya selama tinggal di India.
"Kita tidak bisa mengubah orang lain, Alex. Tapi kita bisa mengubah diri kita sendiri." (hlm. 143)
Marco, Ayah Alex sendiri seperti tidak peduli dengan putranya. Pria itu begitu disibukkan dengan pekerjaannya hingga bahkan istrinya sendiri pun tidak tahan dengan pilihannya ini. Apa yang sebenarnya sedang dikerjakan Marco? Dia ternyata sedang merancang
CAASI–Culture Art Application and Simulation Interface, sebuah alat yang ditujukan untuk memperkenalkan keragaman budaya manusia di penjuru dunia. Dan putranya, Alex, akan menjadi subjek ujicoba yang pertama kali menggunakan CAASI ini. Apa sih sebenarnya CAASI ini? Alat ini berbentuk sarung tangan dan dikenakan saat penggunanya sedang tidur. Melalui titik-titik akunpuntur yang ada di ujung jari, CAASI akan membawa penggunanya ke alam mimpi tempat dia bisa bertemu serta berinteraksi bersama avatar pilihannya. Selama tidur, si pengguna akan diajak untuk berkeliling dunia dalam rangka mengenal anekaragam manusia dan kebudayaannya.
"Dunia kita ini sangat kaya budayanya. Banyak sekali harta karun yang bisa kita eksplorasi."(hlm. 182)
Berkat CAASI, Alex bisa melanglang buana mengunjungi berbagai manusia di berbagai belahan dunia, mulai dari suku Aborigin di Australia hingga ikut dalam penyerbuan bangsa Mongol yang pernah menguasai hampir seperempat dunia. Bagian inilah salah satu yang paling menarik dari buku ini. Sebagai pembaca, kita juga turut disuguhi banyak pengetahuan etnologis dan antropologis tentang banyak hal: tentang filosofi onsai di Jepang, tentang suku bangsa di Filipina yang memiliki sinonim terbanyak dari nasi, tentang Papua Nugini dengan dialek bahasa terbanyak di dunia, hingga perlambang dari tarian sufi yang berputar-putar itu. Pokoknya, banyak banget ilmu dan pengetahuan baru yang bakal kamu dapatkan dengan membaca novel ini.
"Dan kau tidak aneh. Berbeda itu tidak aneh." (hlm. 72)
Walau demikian, sebagaimana yang dikeluhkan Alex, CAASI masih cenderung mengajari dengan cara menguliahi atau menggurui. Beberapa pembaca mungkin juga akan merasa kalau novel ini hampir-hampir seperti ensiklopedia dengan banyak data di dalamnya sehingga tugas 'berceritanya' agak terganggu. Tetapi, mengesampingkan itu, buku ini tetap masih bisa dinikmati sebagai bacaan yang mengasyikkan. Kisah Alex juga mengingatkan kita pada bacaan-bacaan remaja ala-ala novel terjemahan. Lebih dari itu, novel ini turut mengemban sebuah tugas mulia yang teramat kita butuhkan saat ini: menghargai perbedaan. Di masa ketika dunia maya begitu riuh dengan ujaran kebencian karena perbedaan, buku ini sedikit banyak akan menyadarkan kita betapa sejatinya kita semua sama karena setiap kita adalah unik dan berbeda.
“Alex, berbeda itu bukan kesalahan… Keunikanmu berharga… Keunikanmu adalah kelebihanmu…” (hlm.75)
Tertarik membaca buku ini? Kalau gratis gimana? Kebetulan nih Penerbit Gramedia memberikan satu eksemplar novel Man's Defender gratis untuk satu calon pembaca yang beruntung. Berikut ini cara dapetinnya:
1. Tinggal atau memiliki alamat kirim di wilayah NKRI
2. Wajib like fanpage Man's Defender
3. Silakan share postingan ini, boleh di Facebook atau di Twitter dengan mencantumkan tagar #MansDefender. Boleh mention saya, boleh tidak yang penting kamu yakin #halah.
4. Silakan jawab pertanyaan berikut di komentar postingan ini:
"Keunikanmu adalah kelebihanmu. Nah, share dong di sini keunikan yang kamu miliki dan kamu bangga karenanya?"
5. Mohon jawab sekali saja dengan format sebagai berikut:
Nama:
Twitter/Facebook:
Email:
Link share:
Jawaban:
6. Saya akan memilih satu jawaban paling asyik dan paling unik yang berhak mendapatkan satu buku ini gratis. Buku juga akan dikirim gratis dari penerbitnya langsung ke alamat kalian.
7. Giveaway ini berlangsung selama LIMA HARI saja, bukan seminggu loh, dan akan ditutup pada tanggal 30 Mei 2017.
Terima kasih sudah ikutan.
Penulis: Maisie Junardy dan Donna Widjajanto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Hetih Rusli
Cover: Eduard Iwan Mangopang
Cetakan: Pertama
Terbitan: Jakarta, 2017
Tebal: 288 Halaman
ISBN: 978-602-03-3983-2
Selama ini, banyak dari kita yang takut dengan perbedaan. Padahal, perbedaan sama sekali bukan sesuatu untuk ditakutkan. Perbedaan di dunia ini adalah sebuah kewajaran adanya. Dalam satu ayatNya, Tuhan juga telah menegaskan bahwa perbedaan adalah suatu fitrah dalam ciptaanNya. Mengapa harus takut pada perbedaan dan keberagaman? Mungkin, kita hanya belum tahu tentang betapa samanya kita dalam perbedaan. Bahwa setiap kita adalah unik dan berbeda, dan itulah persamaan yang menyatukan kita. Mempromosikan tentang pentingnya memahami dan menghargai perbedaan sebagai sebuah keunikan ini juga bisa dilakukan lewat bacaan. Hal indah inilah yang dilakukan Maisie Junardy dan Donna Widjajanto lewat novel ini. Memadukan asyiknya teknologi game virtual dengan kisah khas remaja belasan tahun, kedua penulis ini berhasil menyisipkan jubelan materi tentang indahnya keberagaman lewat kisah yang cukup seru untuk disimak.
"Tidak ada manusia di dunia ini yang sepertimu, dan tidak pernah akan ada lagi. Begitu juga menusia lainnya. Kalian memiliki kesamaan untuk berbeda."(hlm. 109)
Perasaan takut inilah yang awalnya dirasakan Alexander Putra Rosetti. Dilahirkan dari orang tua yang berbeda ras menjadikan dirinya anak ras campuran. Dirinya selalu terlihat berbeda di antara teman-temannya. Ini semakin diperparah dengan orang tuanya yang sering berpindah-pindah tempat tinggal. Dalam usianya yang masih enam belas tahun, Alex sudah pernah tinggal di banyak negara, mulai dari Tiongkok hingga Turki, dari Indonesia hingga India. Hampir setiap tahun, keluarganya berpindah rumah ke negara lain. Sayangnya, pengalaman terus berpindah-pindah inilah yang tidak disukai Alex. Terlalu cepat tinggal di suatu negara membuatnya tidak memiliki teman akrab. Baru saja dia menemukan teman-teman yang cocok, orang tuanya keburu mengajaknya berpindah negara. Maka makin nggak punya temanlah dia. Fisiknya yang berbeda juga sering membuatnya ditolak, seperti pengalaman buruknya selama tinggal di India.
"Kita tidak bisa mengubah orang lain, Alex. Tapi kita bisa mengubah diri kita sendiri." (hlm. 143)
Marco, Ayah Alex sendiri seperti tidak peduli dengan putranya. Pria itu begitu disibukkan dengan pekerjaannya hingga bahkan istrinya sendiri pun tidak tahan dengan pilihannya ini. Apa yang sebenarnya sedang dikerjakan Marco? Dia ternyata sedang merancang
CAASI–Culture Art Application and Simulation Interface, sebuah alat yang ditujukan untuk memperkenalkan keragaman budaya manusia di penjuru dunia. Dan putranya, Alex, akan menjadi subjek ujicoba yang pertama kali menggunakan CAASI ini. Apa sih sebenarnya CAASI ini? Alat ini berbentuk sarung tangan dan dikenakan saat penggunanya sedang tidur. Melalui titik-titik akunpuntur yang ada di ujung jari, CAASI akan membawa penggunanya ke alam mimpi tempat dia bisa bertemu serta berinteraksi bersama avatar pilihannya. Selama tidur, si pengguna akan diajak untuk berkeliling dunia dalam rangka mengenal anekaragam manusia dan kebudayaannya.
"Dunia kita ini sangat kaya budayanya. Banyak sekali harta karun yang bisa kita eksplorasi."(hlm. 182)
Berkat CAASI, Alex bisa melanglang buana mengunjungi berbagai manusia di berbagai belahan dunia, mulai dari suku Aborigin di Australia hingga ikut dalam penyerbuan bangsa Mongol yang pernah menguasai hampir seperempat dunia. Bagian inilah salah satu yang paling menarik dari buku ini. Sebagai pembaca, kita juga turut disuguhi banyak pengetahuan etnologis dan antropologis tentang banyak hal: tentang filosofi onsai di Jepang, tentang suku bangsa di Filipina yang memiliki sinonim terbanyak dari nasi, tentang Papua Nugini dengan dialek bahasa terbanyak di dunia, hingga perlambang dari tarian sufi yang berputar-putar itu. Pokoknya, banyak banget ilmu dan pengetahuan baru yang bakal kamu dapatkan dengan membaca novel ini.
"Dan kau tidak aneh. Berbeda itu tidak aneh." (hlm. 72)
Walau demikian, sebagaimana yang dikeluhkan Alex, CAASI masih cenderung mengajari dengan cara menguliahi atau menggurui. Beberapa pembaca mungkin juga akan merasa kalau novel ini hampir-hampir seperti ensiklopedia dengan banyak data di dalamnya sehingga tugas 'berceritanya' agak terganggu. Tetapi, mengesampingkan itu, buku ini tetap masih bisa dinikmati sebagai bacaan yang mengasyikkan. Kisah Alex juga mengingatkan kita pada bacaan-bacaan remaja ala-ala novel terjemahan. Lebih dari itu, novel ini turut mengemban sebuah tugas mulia yang teramat kita butuhkan saat ini: menghargai perbedaan. Di masa ketika dunia maya begitu riuh dengan ujaran kebencian karena perbedaan, buku ini sedikit banyak akan menyadarkan kita betapa sejatinya kita semua sama karena setiap kita adalah unik dan berbeda.
“Alex, berbeda itu bukan kesalahan… Keunikanmu berharga… Keunikanmu adalah kelebihanmu…” (hlm.75)
Tertarik membaca buku ini? Kalau gratis gimana? Kebetulan nih Penerbit Gramedia memberikan satu eksemplar novel Man's Defender gratis untuk satu calon pembaca yang beruntung. Berikut ini cara dapetinnya:
1. Tinggal atau memiliki alamat kirim di wilayah NKRI
2. Wajib like fanpage Man's Defender
3. Silakan share postingan ini, boleh di Facebook atau di Twitter dengan mencantumkan tagar #MansDefender. Boleh mention saya, boleh tidak yang penting kamu yakin #halah.
4. Silakan jawab pertanyaan berikut di komentar postingan ini:
"Keunikanmu adalah kelebihanmu. Nah, share dong di sini keunikan yang kamu miliki dan kamu bangga karenanya?"
5. Mohon jawab sekali saja dengan format sebagai berikut:
Nama:
Twitter/Facebook:
Email:
Link share:
Jawaban:
6. Saya akan memilih satu jawaban paling asyik dan paling unik yang berhak mendapatkan satu buku ini gratis. Buku juga akan dikirim gratis dari penerbitnya langsung ke alamat kalian.
7. Giveaway ini berlangsung selama LIMA HARI saja, bukan seminggu loh, dan akan ditutup pada tanggal 30 Mei 2017.
Terima kasih sudah ikutan.